02 Permen Buah


🌟

HANGOVER #1 - THE HAZARDOUS NIGHT

Chapter 02 Permen Buah

🌟

Cafetaria Fakultas Kedokteran seramai biasa, terutama di jam makan siang. Yang datang kemari bukan hanya mahasiswa Fakultas Kedokteran; banyak mahasiswa fakultas lain berkunjung karena ragam menu yang jarang dimiliki cafetaria fakultas mereka. Atau mungkin, mahasiswa otak selangkangan seperti Fikar yang berminat pada Fakultas Kedokteran hanya karena banyak bunga. Ralat, adikku masih calon mahasiswa, tapi bisa kubayangkan jika dia kelak tidak masuk Fakultas Kedokteran, dia akan rutin menyambangi cafetaria ini untuk tebar pesona.

Salah satu contoh mahasiswa penabur feromon adalah mahasiswa Fakultas MIPA yang saat ini duduk di hadapanku dan Saskia. Modus operandinya adalah kehabisan tempat duduk karena ramai. Sudah tahu cafetaria ini selalu ramai, masih juga makan di sini?

Mulanya dua mahasiswa--yang ternyata dua angkatan di atasku--itu hanya berbasa-basi sambil menyantap rawon. Namun kian kesini maksud sebenarnya mulai terkuak.

"Kalian dulu masuk PD (Pendidikan Dokter) jalur apa?" tanya Alvin, nama mahasiswa itu.

"Mandiri, Mas," Saskia lebih dulu menjawab.

"SNMPTN," aku menyusul.

"Sepupuku tahun depan lulus SMA, dia galau mau masuk FK," jelasnya. "Boleh minta kontak kalian, nggak? Untuk referensi dia, supaya ada gambaran kuliah kedokteran."

Bukankah gambaran kuliah kedokteran sudah dijelaskan oleh guru BK di SMU?

"Maaf, Mas, gambaran kuliah kedokteran 'kan sudah dijelasin sama guru BK di SMU? Lagian kita maba, Mas, belum ngerti apa-apa." Saskia satu pemikiran denganku.

"Kalo dari sumber langsung lebih sahih, Ki," teman Alvin, yang bernama Okan, membantu kroninya. "Di FK juga beda kuliahnya sama MIPA yang pake sistem semester."

Aku menungkupkan sendok dan garpu di atas piring kosongku, lantas menatap kedua senior itu.

"Kalo Mas penasaran dengan kuliah kami, Mas boleh kok datang langsung ke kelas," aku berujar datar, lebih dingin dari Saskia yang masih bisa tersenyum. "Dokter-dokter kami ramah dan terbuka, Mas bisa minta izin pengamatan untuk penelitian. Kalo Masnya datang pagi lebih bagus, soalnya kuliah kami satu angkatan, dan pagi kami selalu ada kuliah."

Sepasang senior penggoda itu menganga. Aku tidak salah, kadang ruang kuliah kami kedatangan beberapa 'tamu' yang penasaran dengan perkuliahan Fakultas Kedokteran. Para dokter--dosen kami--menerima mereka dengan syarat mereka hanya mengamati dari jarak sekian, tidak terlibat dalam proses perkuliahan.

Saskia memberikan senyum miring padaku, kelegaan tersirat di wajahnya.

"Ehm, tapi, Mel," sekarang dia bertopang dagu. "Agak ribet, ya. Enakan tanya-tanya ke kamu--"

"Selamat siang."

Kami berempat menoleh tanpa dikomando. Tepat di belakangku, seorang pria kaukasia yang kukenal sebagai salah satu dokter, berdiri dan tersenyum ringan pada kami, dengan sebotol air mineral di genggamnya. Dia bukan dokter pembimbing kelompokku. Aku tidak ingat siapa namanya.

Dokter itu berpindah ke ruang kosong tanpa kursi antara aku dan Mas Alvin.

"Iya, Mas, kenapa?" tanya Mas Alvin.

What, 'Mas'?

Kulihat Saskia menahan tawa yang sama denganku. Dokter bule ini memang masih muda sekali; tanpa snelli, orang akan mengiranya personil One Direction.

"Maaf nimbrung dikit, tapi saya sependapat sama yang dikatakan mahasiswa saya," dokter itu menyelip lirik padaku. Dilihat dari dekat, irisnya biru laut. "Kalau berminat, Mas atau sepupu Mas bisa saya bantu supaya bisa mengamati perkuliahan kami. Kontak saya, bisa Mas cari di situs Fakultas Kedokteran kami."

Jeda sesaat dua senior itu berpandangan. Alis Mas Okan terangkat sebelah. "Mas siapa?"

Dokter itu mengulurkan salam, Mas Alvin tergugu namun tak pelak disambutnya tangan dosenku. "Lucas McFord," salamnya berpindah pada Mas Okan. "Boleh dipanggil senyamannya saja, tapi di FK saya lebih familiar sebagai dokter McFord."

McFord?

Nama itu tidak asing. Di mana aku pernah mendengarnya? Aku berasumsi mungkin di salah satu sesi ospek saat pengenalan struktur organisasi.

"Oh," kulihat wajah kedua senior tengil itu kaku, dan Mas Alvin meneguk ludah, bergantian memandang dokter McFord dan Mas Okan. "Terima kasih, Dok. Nanti kalau jadi saya kontak Dokter. Kami permisi dulu, Dok, Melati, Saskia."

Saskia dan aku hanya tersenyum tipis saat kedua senior itu beranjak meninggalkan meja kami. Aku masih berusaha mencerna yang barusan terjadi.

"Terima kasih, Dok," Saskia berkata. Aku hanya tersenyum sopan.

Si dokter tidak tersenyum, "Buat apa?" maka praktis aku merasa bodoh. Apa dia tidak sungguh bermaksud menolong kami?

Senyumku benar-benar lenyap ketika pria berambut keemasan itu meraih cola ukuran tanggung milikku yang masih tersegel, menukar dengan sebotol air mineral di tangannya yang lain. Entah keberanian dari mana mendorong tanganku mencoba merebut cola... tetapi gagal. Dokter McFord mengangkat lengan, menjauhkan cola dari jangkauanku.

"Dok!" spontan aku memekik, yang langsung disambut delik intimidasi darinya.

Ya Tuhan, ke mana musnahnya dokter ramah tadi? Jadi dia hanya ramah terhadap sesama spesies berbatang?

"Sebelum makan tadi, kamu sudah minum cola sebotol. Jangan minum lagi. Didn't you understand the risks of consuming too much carbonated drinks?"

Tanpa menunggu jawabanku--yang memang tidak ada karena aku bingung--dokter itu langsung angkat kaki, menyisakan aku dan Saskia yang berpandangan.

"Hish, Melati!"

"Aduh, Ki!" erangku tertahan. Saskia mencubit lenganku sambil memelotot. "Seneng amat sih nyubit!"

"Kamu jangan cantik-cantik napa?"

Bola mataku berputar gerah. Tolong, jangan lagi perkara cantik.

"Mengundang cogan, tau! Kemaren di Matos salesboy cuma ngomong sama kamu. Udah lima cowok temen seangkatan kita nanyain id LINE kamu ke aku. Daaann, yang ini aku belum cerita ke kamu," Sepasang kelopaknya mengerjap kilat. "Mas Diandra yang duta kampus itu, pap foto candid kamu keringetan pas ospek, di ige dia dengan caption 'BUNGA' pake emot hati. Bayangin berapa hati yang potek pas lihat story-nya. Sekarang mas-mas beda fakultas. Barusan lagi, ujug-ujug tak disangka satu-satunya bule dan ophthalmologist FK ngasih perhatian khusus sama kamu."

Aku mengerjap. Saskia melotot hingga bola matanya nyaris mencelat dari rongga. Panjang sekali pidato hiperbolisnya.

"Perhatian matamu picek." Kucubit gemas pucuk hidung Saskia, hingga dia mengaduh seperti aku tadi. "Dia ganti cola-ku sama Aqua receh. Cola lebih mahal dari Aqua, tau. Aku nggak bisa diginiin!"

Saskia mengusap kasar hidungnya, lantas mendengus, "Dokter McFord tau kamu sudah minum cola sebelum makan, Mel. Berarti dia merhatiin kamu di sini. Dari tadi. Kamunya aja yang daki naga."

"Ck, bodo!" Aku hanya mampu mencebik. "Kalo besok aku hamil, ini salah dokter itu,"

Alis Saskia naik sebelah. "Emang minum Aqua bisa bikin hamil, Mel?"

Kutepuk perlahan bahu Saskia. "Bisa, kalau Allah menghendaki. Kun fayakun."

Saskia mencucu mendengar jawabanku, namun kami segera beranjak untuk tutorial Biosains. Tutorial adalah diskusi berkelompok, mendiskusikan kasus yang diberikan dokter pembimbing kelompok kami. Sepanjang berjalan ke kelas, bukannya membahas persiapan tutorial, Saskia masih berbinar menyebut sederet nama cogan yang (menurutnya) tertarik padaku.

Jujur tanpa maksud meninggi, aku tidak tertarik sama sekali pada mereka.

Keinginan terbesarku saat ini: TIDAK HAMIL.

"Yang cantik banyak, Mel. Tapi perasaan kamu diem jadi patung aja bisa panen terong, hihihi."

Aku tidak tahu ucapan Saskia barusan adalah pujian, atau sebaliknya, satire. Mungkin memang aku secantik itu, atau Saskia hanya melebih-lebihkan. Yang manapun itu, entah mengapa aku tidak senang.

Andai Saskia, Mas Diandra, dokter McFord, dan sederet nama yang disebut Saskia tahu bahwa aku bukan gadis suci lagi, masihkah aku ini cantik?

***

Jemariku menyusur kalender meja di petak kosku.

Pelipisku berdenyut hebat setiap mengingat musibah itu, namun aku tak boleh berhenti memikirkannya. Atau, menghitungnya. Menghitung setiap kemungkinan bahwa malam itu, pangeran cabul tidak memakai pengaman dan kemungkinan terburuknya... aku hamil.

Plak! Kutampar pipi berkali-kali.

Tanpa suara, aku terkekeh miris. Bukan hal aneh ketika seorang perempuan kehilangan kegadisannya karena pergaulan bebas abad 21. Terlebih, justru beberapa dari mereka dengan sengaja melakukan aktivitas seksual atas dasar suka-sama suka. Lebih dari sekali dan tidak sampai hamil. Berapa persen kemungkinanku hamil?

Kecil sekali, seharusnya.

Namun keterlambatan menstruasi tiga hari saja sukses menciutkan nyaliku. Aku harus mencari seseorang, atau kepalaku akan berakhir mencium dinding lagi. Siapa saja. Orang pertama yang kutemui adalah Circa, yang sepertinya akan pergi.

"Ca, mau ke mana?" cegahku segera.

"Ke 21, nonton Wonder Woman sama Mbak Pingkan dan Mas Diandra. Ikut yuk, Mas Diandra pasti seneng ada kamu."

Tanpa banyak berpikir, aku berlari mempersiapkan diri. Bukan karena Mas Diandra. Karena aku tidak ingin hilang akal sendirian di kos lantaran memikirkan hamil dan dorongan aborsi.

Sekarang, di sinilah aku, duduk di kursi belakang Brio silver Mas Diandra dengan Circa. Mbak Pingkan yang berada di kursi penumpang di depan Circa, asyik berceloteh perkara video seorang pria membabi buta di pernikahan mantan yang sedang viral.

Pandangku menerawang keluar kaca riben. Isi tengkorakku bagai dikocok. Jalan lurus-mulus terasa bagai roller coaster. Gelombang mual menerjang sistem pencernaanku. Mungkin aku memang terlalu banyak mengonsumsi soda seperti kata Saskia dan Fathir.

"Melati, are you OK? Kamu agak pucet."

Pandangku dan Mas Diandra bertemu di rear-view tengah. Sepertinya dia menyadari kebisuanku.

Aku tersenyum tipis. "Nggak papa, Mas. Cuma agak pusing."

"Melati gitu Mas, belakangan ini nggak seru. Badannya di sini tapi pikirannya marathon nggak tau kemana. Sering sakit juga," seloroh Circa, tak pelak aku mendelik. Dia menjulurkan lidah dan melanjutkan, "Biasanya Mel asik kok, Mas. Ayo Mas, hibur Mel. Nanti kalo jadian jangan lupa traktir Mbak Pingkan sama aku. Jadian juga berkat kita kan, Mbak?"

Circa dan Mbak Pingkan ber-highfive. Sungguh terlalu. Mas Diandra menggeleng dan tertawa renyah. Dia melirikku lagi dari rear-view.

"Ngehibur sih gampang. Tapi memangnya Melati mau dihibur aku?"

Aku hanya meringis, tak tahu harus bereaksi seperti apa. "Makasih, Mas Diandra. Beneran nggak apa-apa, kok."

"Yahh," Dia mendengus dibuat-buat. "Tuh Melati nggak mau."

"Nggak lah, malu-malu aja itu si Mel," serobot Mbak Pingkan, mengedip sebelah mata padaku. "Siapa yang bisa nolak seorang Amerta Diandra Mahesaputra?"

"Berarti Mbak Pingkan juga nggak bisa nolak, 'kan?" Kubalik pernyataannya untuk mengalihkan obrolan.

Mbak Pingkan mengibas rambut dengan senyum miring. "Maap ya, Mel, Ndra, seorang Pingkan Auralina pantesnya sama Ji Chang-Wook, Kim Soo-Hyun, apalagi Mas Lee Jong-Suk."

Aku menyeringai. "Melinjo busuk?"

Circa dan Mas Diandra kontan tergelak. Mbak Pingkan menekuk wajahnya. Tanganku membekap mulut sekuatnya, dan kurasa sebentar lagi aku akan muntah.

***

"Uhukk! UHUKK!!"

Circa terus memijiti tengkukku.

"Ugg-UHUKK!!!"

Muntahan nasi pecel yang belum tercerna sempurna terus menyembur dari mulutku. Mataku membuka dan menutup keras. Terlalu lama bertopang pada kloset duduk ini, kedua lenganku mengalami tremor.

"Melati, aduuhh..."

Circa kebingungan, aku kelelahan.

"UHUKK!!!"

Kerongkonganku kini perih. Tidak ada lagi yang bisa kumuntahkan, namun gemuruh di perutku belum juga usai.

"Mel, udah habis isi perut kamu. Jangan dipaksain muntah, Mel."

Circa benar, perutku sudah terkuras. Dia meraih lenganku untuk membantuku duduk di penutup kloset. Kuusap mulut dengan tisu yang diangsurkan Circa. Lidahku semakin pahit menggigit.

"Bisa berdiri?"

Cemas tidak hilang dari wajah Circa saat dia memegangiku. Aku bisa berdiri, hanya saja kakiku seperti baru turun dari wahana halilintar.

Di luar toilet area 21, Mas Diandra dan Mbak Pingkan menyambutku dengan air muka yang sama dengan Circa.

"Mbak, Mas, Ca, maaf aku pulang aja," pamitku segera, ketiganya menganga. "Aku bisa naik angkot sendiri, di luar banyak," kusunggingkan senyum agar tak ada yang khawatir.

"Ping, Ca, kalian nonton berdua. Aku nganterin Melati."

Kini aku yang menganga karena keputusan Mas Diandra.

Mbak Pingkan mendesah berat. "Elah, Andra. Udah beli 4 tiket. Rugi lah. Kan kamu yang ngebet banget mau ketemu Gal Gadot."

"Iya, Mas," selaku segera. "Mas nonton aja, beneran aku bisa pulang sendiri. Di depan banyak angkot."

"Yaudah Mbak, udah takdirnya," Circa justru cekikikan. "Oke Mas, ntar aku salamin buat Gal Gadot. Mungkin ini jalan supaya Mas dan Melati jadian."

***

Mas Diandra kuminta untuk menunggu di luar, sementara aku masuk ke apotek. Apotek ini masih satu gedung mall Matos dengan 21. Aku sungkan merepotkan Mas Diandra kalau kuminta untuk mampir di apotek luar. Alasanku meminta Mas Diandra menunggu di luar sederhana: karena yang ingin kubeli adalah...

"... testpack, sama obat mual, Mbak," aku menggigit bibir bawah sebelum menambahkan, "obat mual untuk ibu hamil."

Pegawai apotek itu tersenyum sebelum meninggalkanku, "Oke, sebentar ya, Mbak."

Kuremas jemariku yang mengeras.

Astaga, apa yang barusan kukatakan?

'Obat mual untuk ibu hamil'? Melati, kamu memang gila. Apa yang kuharapkan? Bahwa aku benar-benar akan hamil, begitu? Embrio sedang berkembang menjadi janin di rahimku?

Nope. Aku tidak boleh hamil.

Sejurus kemudian mataku teralih pada kotak warna-warni yang dijajakan di dekat meja kasir. Biasanya di dekat meja kasir berjejer permen dan mainan mini untuk menarik perhatian anak kecil. Tentu saja, supaya anak tersebut merengek minta dibelikan permen dan mainan itu.

Tanganku meraih salah satu kotak warna-warni itu, tulisannya 'Fruit-Flavored'. Ukuran kotaknya segenggam tanganku. Aku belum pernah melihat permen seperti ini, mungkin hanya tersedia di kota besar.

"Kamu suka rasa buah?"

Demi nasi padang rendang, jantungku mencelat saat kutemukan dokter McFord--entah sejak kapan--berdiri di sebelahku, menatapku datar dengan iris biru samuderanya. Ingatanku kembali ke kejadian cola di cafetaria, dan wajahku langsung berkabut tebal.

"Saya suka rasa cola," dengkusku, menekankan pada kata 'cola'.

Dokter itu menyipit, seolah ada yang salah dengan kalimatku. "Oh, so there are cola flavored, too. Sudah pernah coba rasa apa saja?"

"Yah, banyak, Dok," jawabku, meski tidak mengerti arah pembicaraan ini. "Rasa buah juga pernah. Tapi yang merk ini saya baru lihat, jadi belum coba."

"Biasanya kamu pakai merk apa?"

"Macam-macam, Dok." Agak ganjil sebenarnya, dokter McFord menggunakan kata 'pakai' untuk makanan. "Mentos, Relaxa, Fox's, Kopiko--"

"Ehem." Bibirnya terlipat seperti menahan geli. Aku semakin dungu dibuatnya. "Kamu pikir itu apa?"

"Ya permen lah!" Tandasku cepat, persetan walau dia dosenku. Situ picek, ya?!

"Kondom, Stupid."

Kon? Dom?

Detik selanjutnya, kulihat kotak karton melayang dari genggamku ke hidung dokter McFord.

Wait. Aku ngapain barusan?!

Dokter McFord mengusap gusar wajahnya, dan kudapati sepasang tanganku turut serta menangkup wajahnya. Bergerak sendiri mengusapi hasil kejahatanku. Ya Tuhan!

"Dok, nggak papa? Maafkan saya!"

Aku baru saja menimpuk kondom ke wajah dosenku. Edan kowe, Melati!

Sejurus berikutnya, aku sadar pandangku dan itis biru laut itu melebur selama beberapa detik. Cepat-cepat kutarik tanganku dari wajahnya.

Aku baru saja menyentuh wajah dosenku.

DEMI APA?!

"Ma-maaf!" Gigiku bergemeratak. Kakiku mundur selangkah. "Maaf, Dok, maafkan saya! Maaf saya nggak sopan, saya ngelempar kondom ke Dokter dan pegang-pegang wajah Dokter--"

"Melati, you look pale. Easy--"

Sontak indera penglihatku memudar. Semua tampak putih, dan entah apa yang terjadi selanjutnya.

***

Belakangan, aku selalu terbangun di tempat asing. Di kamar hotel (terkutuk!), di bangsal IGD rumah sakit, dan sekarang... kupaksa mataku melihat beberapa loker besi, lalu ada rak kaca berisi entah apa itu. Lenganku bergerak menopang tubuh untuk duduk.

Kemudian dingin tubuhku berganti dengan kehangatan yang mendekapku. Aroma musk merasuk hidungku.

"Kamu seneng banget bikin orang cemas, Mel."

Tubuh itu mengendur karena orang lain menariknya menjauh dariku.

"Save that lovey dovey shit for later, she needs some space."

Lalu kusadari Mas Diandra dan dokter McFord berhadap-hadapan menyabung pandang dalam jarak intim, entah apa tujuannya. Aku nyaris berpikir mereka akan ciuman.

Ibu jariku memijit pelipis yang berdenyut seakan kiamat. Dari penjelasan Mas Diandra, aku tiba-tiba pingsan di dalam apotek, lalu dokter McFord membopongku masuk ruang pegawai apotek ini.

Tidak enak badan, muntah-muntah, lalu pingsan... kurasa aku tidak butuh testpack lagi.

Aku butuh sianida.

Jangan. Mungkin aku harus bertanya pada pedoman tidak sahihku: "cara mati yang paling cepat".

"Mel, minum ini dulu," Mas Diandra menyodorkan secangkir teh hangat kepadaku, yang kuterima dengan bingung. "Kalo kamu udah enakan kita makan dulu, ya, baru aku anter kamu pulang."

Selera makanku sudah lama musnah. Meski begitu, aku mengangguk kecil, Mas Diandra mengacak pelan poniku.

***

Empat bulan lebih aku tinggal di kota besar, namun belum juga familiar dengan makanan-makanan di foodcourt mall ini. Padahal jarak mall dan kampusku terbilang sangat dekat; tidak jarang teman-teman mengajakku makan siang di mall. Tapi harganya, tentu saja di atas harga cafetaria FK. Aku dan Saskia lebih memilih makan di cafetaria karena urusan isi dompet.

Jadi, yang kupesan hanyalah semangkuk cwie mie. Tulisannya 'mangkuk bisa dimakan'. Kupikir mangkuknya berupa replika mangkuk beling yang terbuat dari permen, ternyata mangkuknya adalah kerupuk besar.

Bicara soal permen, aku segera teringat bahwa aku telah melempar kondom sekaligus grepe-grepe wajah dosenku.

"Ish, Melati begooo!"

Bertambah satu lagi alasan mengapa aku harus mati.

"Bego kenapa, Mel? Jangan dipukulin pipinya kasihan merah-merah," Mas Diandra tertawa renyah selagi mencubit lembut pipi kananku. Aku malah tidak sadar aku memukuli pipi.

"Tadi itu lho, Mas..." ujarku setelah Mas Diandra menurunkan tangannya. Matanya menyimakku lekat, dan kurasakan wajahku memanas. "Ah nggak jadi."

"Lha? Tadi yang di apotek, maksud kamu? Kenapa?" kejarnya, kemudian memasukkan sesendok bakso ke mulut.

"Iya..." Garpuku menari menggulung mie. "Jadi tadi itu dokter, eh dosen aku, Mas. Trus aku..." Pandangku jatuh ke sosok pria yang lengannya digelayuti seorang wanita di depan kedai warung Jepang. Mereka sibuk memilih menu.

Oh, dr. McFord sudah punya pacar. Saskia akan menangis darah jika tahu.

"Sayang banget, dokter kamu udah taken, Mel," Mas Diandra mengikuti arah pandangku, lalu kembali padaku lagi.

What?

"Ora, Mas, bukan itu maksudku!" bantahku segera. Iya, yang benar saja. "Aduh jangan deh, Mas, ini aib banget. Sumpah ngisin-ngisini, Mas."

Mas Diandra tersenyum halus. "Ya sudah, yang penting kamu nggak isin sama aku."

Duh... Mas Diandra. Aku tidak bisa tidak tersenyum mendengar ucapannya. Kutatap wajahnya yang digandrungi mahasiswi seantero kampus.

Aku benar-benar sungkan pada Mas satu ini. "Mas, makasih banyak, trus... maaf banget, gara-gara aku, Mas gagal ketemu Gal Gadot."

"Seeing you is much better, though," Mas, tolong jangan tersenyum seperti itu padaku. "Lagian Wonder Woman baru premiere 2 hari lalu, kalo kamu udah sehat kita nonton. Tanpa Pingkan dan Circa, just us."

Semakin segan lah aku pada senior Fakultas MIPA ini. Maaf, Mas, tidak akan ada kisah di antara kita. Sekalipun ada, kisahnya adalah, Mas akan jijik dan menyingkir setelah tahu bahwa aku sedang hamil oleh pria yang bahkan tidak kuketahui wajahnya.

-BERSAMBUNG-


Glossarium
. Snelli: jas putih dokter
. Ophthalmologist: dokter spesialis mata

Cara supaya dinutis dosen: lempar mukanya pake kondom. Kalo ganteng sekalian grepe-grepe

Malang, Januari 2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top