01 Veisalgia
🌟
HANGOVER #1 - THE HAZARDOUS NIGHT
Chapter 01 Veisalgia
🌟
Kuasa tubuhku sepenuhnya masih dikuasai hitam, sebelum akhirnya pendar samar menembus kelopak mataku. Sedikit mengusik. Segera kubuka lemah sepasang indera penglihat itu.
Ada kabut yang mengaburkan pandangan. Kepalaku berdenyut dengan intensitas tak wajar. Begitu cepatnya hingga sarafku mati rasa, tanpa ampun mengombang-ambing kesadaranku di roller coaster ganas.
Aku seperti... lumpuh?
Jangan.
Aku memejam kuat. Ada yang keliru di sini. Jemariku yang beku akhirnya bisa digerakkan. Bola mataku berputar seiring kabut yang mulai sirna.
Ini bukan kamar kosku. Ini kamar yang jauh lebih luas dan lebih mewah dari petak kosku. Sementara belasan tanya menari di otak, lenganku bergerak, masih setengah lumpuh, untuk menopang tubuh yang hendak menegak.
Hal pertama yang kulakukan setelah bangkit adalah jatuh kembali ke posisi semula karena dua hal: tenagaku belum pulih, dan selimut yang menutupi tubuhku meluncur sebelum aku berhasil duduk sempurna. Nafasku terjerat.
Aku telanjang. Di atas ranjang.
Tidak seutas benang pun menempel di tubuhku, kecuali selimut tebal yang sudah tersingkap itu. Tapi, bagaimana?
Sial. Kepalaku terlalu sakit untuk mengorek ingatan.
Hembus AC menegakkan bulu romaku, memaksa saraf hidungku berfungsi. Aroma citrus kuat merasuk. Kepalaku menoleh, mendapati kemeja putih tersampir semrawut tepat di sisi kanan bantal.
Tanganku meraih kemeja itu. Mata menyelisik sementara jemari meraba gusar. Sebuah kemeja laki-laki.
Kamar dan ranjang asing? Kemeja laki-laki? Aku tidak berpakaian?
Kugigit bibir bawahku yang sedingin es. Sungguh, hidupku bukan opera sabun murahan. Aku memaksa tubuh untuk turun dari ranjang king size ini, hingga aliran listrik statis menyengatku.
"Agh!"
Nyeri di perut bawah memaksaku merintih dan urung turun ranjang. Yang lebih penting, perih kini menyayat...
di organ 'itu'. Area genitalia.
Kusibak selimut yang masih menutup tubuh bawahku. Mataku langsung menangkap bercak merah kecoklatan yang kontras dengan bersih putih seprai. Warna serupa bercak itu kutemukan telah menjadi jejak kering di kulit selangkangan dan pahaku.
Bersama gemetar, jemariku meremas hebat. Darahku terkuras habis. Otakku tak mampu menghalau mendung gelap yang sontak membekap.
Jangan... Tuhan, jangan begini.
***
Kurasakan lingkungan masih berputar kencang ketika aku tiba di kos. Apa yang harus kulakukan sekarang? Istirahat? Tidak, aku sudah tidur terlalu intens. Namun mengapa sekujur tubuhku ngilu?
Terutama di situ. Di antara kedua paha.
Aku harus mengingat apa yang terjadi. Memaksa sel-sel otak mengeruk timbunan memori. Malam itu, aku menghadiri pesta ulang tahun Disya di hotel mewah itu. Kuingat, aku masih berinteraksi biasa dengan teman-teman Fakultas Kedokteran, mengakrabkan diri, sebab aku bukan tipikal mahasiswa aktivis kampus.
Jenuh dengan keramaian, aku menyusuri jalan sepetak menuju taman untuk menyendiri. Lalu seorang pria menghampiriku dengan dua gelas minuman di genggamnya. Salah satu gelas diangsurkan untukku.
Pria siapa?
Tanganku menyambar kemeja putih yang-benar sekali-diam-diam kuselundupkan dari hotel. Tidak, pria yang memberiku minuman tidak berkemeja putih. Pria itu berkaus merah serta blazer hitam. Sedangkan pria berkemeja putih...
Sialan, tidak ketemu.
Gali, Melati, gali!
Dengan siapa kamu melakukan one night stand? Barang vital siapa yang mengoyak selaput berhargamu?! Kamu tahu itu keliru, mengapa kamu tidak melawan?!
Kubenamkan wajah di kemeja putih, menyembunyikan air mata dari Tuhan.
Binal kamu, Melati.
***
"Mel, ndang subuhan, ntar jadi ikut ke Jatim Park 2 kan... kamu kenapa?!"
Circa berjengit seperti habis bertemu setan, mungkin karena wajahku yang carut-marut setelah menangis lebih dari tiga jam.
Aku menggeleng perlahan. "Maaf Ca, aku nggak jadi."
Circa menerawang wajahku. "Kamu kenapa, Mel?"
Aku baru saja hilang keperawanan. "Nggak papa, Ca."
"Nggak papa gimana? Kamu... ini bau apa, Mel?"
Ini bau alkohol. "Bukan apa-apa, Ca."
Dahi Circa semakin berkerut mendengar jawabanku. "Bener nggak papa, Mel? Semalam kamu minum di pestanya Disya?"
Circa, aku baru saja hilang keperawanan oleh pria asing berengsek, tidak mungkin aku baik-baik saja. "Sedikit. Aku mandi dulu, Ca."
Kutinggalkan Circa menuju kamar mandi kos, sebelum mataku berair lagi. Keduanya sudah sembab dan berkedut nyeri.
Malam itu, tidak seharusnya kutenggak minuman laknat. Minuman haram yang menjajah kewarasan hingga keperawananku. Bagaimana aku tidak tahu bahwa itu mengandung alkohol keras?
Faktanya, Melati memang dungu. Aku tidak pernah tahu apa bedanya air mineral, bir, wiski, sampanye, atau vodka.
Dasar udik. Dan lacur.
***
Kupikir sumber air mataku telah mengering, tapi tidak, cairan bening itu meleleh lagi, menganak sungai di mukena putihku. Sungguh aku sudah lelah menangis, namun perih juga tak mampu kutepis.
Dua belas jam berlalu sejak aku melarikan diri dari suite room hotel pancabintang itu, kepalaku masih berputar cepat. Aku ingin tidur, hai badanku, tidak bisakah? Aku ingin lupa ingatan, tidak bisakah?
Lupa ingatan. Benar juga.
Dug.
Benturan di kepala adalah salah satu penyebab seseorang mengalami retrograde amnesia. Dinding ada di mana-mana; aku hanya perlu menghantamkan kepala. Persetan dengan sakit kepalaku yang semakin menggila karena berciuman dengan dinding.
Kalau perlu, mati sekalian.
Tengkorakku mulai terbiasa dengan empuk benturan. Tidak sakit sama sekali. Doa kutangiskan di dalam hati, semoga aku mati.
***
Sekali lagi, mataku terbuka di ruang berdinding putih. Sorotnya begitu tajam mencungkil pelupuk mataku.
"Mel? Melati?"
Siapa yang menggenggam tanganku?
"Oi, Rek! Melati siuman!"
Sepertinya aku sempat pingsan. Bukan siuman yang kuinginkan. Setelah ini aku harus menenggak sianida.
Semua terjadi begitu cepat, aku tidak bisa berpikir banyak. Orang-orang-yang kukenal sebagai teman kos dan beberapa teman kuliah-mengerubungiku. Hidungku mulai berfungsi, mencium aroma antiseptik khas rumah sakit. Seorang dokter perempuan datang melakukan beberapa pemeriksaan dasar.
"Nggak papa, gegar otak ringan karena benturan," putusnya. Itu bukan berita baik, Dok, seharusnya Anda mengautopsi jenazahku. "Juga vertigo ringan, tapi maag dan dehidrasi akut akibat veisalgia. Kalau besok sehat boleh pulang."
"Veisalgia apa, Dok?" tanya Saskia.
"Kalian calon dokter nggak tahu veisalgia?" Dokter itu mengernyit.
"Masih maba, Dok, masih kinyis-kinyis, ehe."
Fathir menyikut Saskia pelan.
"Hangover, Ki," ujarnya. "Intinya, gangguan fisik dan mental setelah kebanyakan minum alkohol."
"Owalah, kuwi teler, Thir. Ojo keminggris kon gae hangover, [Owalah, itu mabuk, Thir. Nggak usah sok Inggris pake hangover]" serobot Sisi.
Fathir mendengus panjang. "Cewek kalo dibilangin balik ngajarin."
Dokter senior itu hanya menggeleng maklum, sebelum akhirnya menjelaskan obat apa saja yang harus kuminum untuk kesembuhan. Memangnya siapa yang mau sembuh.
Obat penggagal konsepsi, pertemuan sperma dan ovum ada, Dok?
***
"Halo, temennya Disya?"
Kepalaku menoleh, menemukan pria berkaus merah dibalut blazer hitam, sudah duduk di ayunan sebelahku. Aku mengangguk perlahan, dia mengulurkan salam.
"..."
Siapa?
"Maaf?" Kusambut tangannya, namun kuminta dia mengulang namanya.
"Toni,"
"Melati,"
Detik selanjutnya, tanganku menerima segelas langsing minuman dari tangan Toni. Berpikir bahwa itu air putih, aku menelan seteguk.
"Uhuk!"
GILA! Minuman apa ini?!
Aroma vanilla keras menggelitik lidahku, bercampur manis pekat, dan rasa terbakar. Tidak mirip seperti cola, ini jauh lebih menyetrum. Di tempatku, tidak ada yang seperti ini. Apa memang begini rasa cola di kota besar?
Kusesap seteguk lagi karena penasaran.
Minuman ini tidak buruk juga. Semakin kutenggak, El nino meradang tubuhku. Agak membingungkan, karena minuman ini dingin, namun membakar aliran darahku. Lumayan menolong saat kulitku mulai dingin ditusuk udara malam di taman, karena aku jenuh dengan keramaian ballroom.
Simfoni lembut A Thousand Years milik Christina Perri mengalun dari arah ballroom. Perlahan Toni menarik gelas kosong dari genggamku.
Bukan, dia bukan Toni.
One step closer
Itu adalah pangeran... bertopeng. Sungguh, dia pria bertopeng mata, meski seingatku pesta ulang tahun Disya tidak bertema pesta topeng. Mengapa aku menyebutnya pangeran, aku sendiri tidak paham. Anggap saja aku mulai hilang akal.
I have died everyday, waiting for you
Terhalangi topeng hitam, matanya tidak begitu jelas bagiku. Tapi bibirnya melukis senyum terindah yang pernah kulihat. Dia menyatukan jemarinya denganku, dan tungkaiku melayang di atas awan mengikuti langkahnya.
Darling, don't be afraid,
I have loved you for a thousand years
Sepasang lengannya melingkar erat di pinggangku, hingga tubuh kami berada di jarak intim. Tanpa sadar kuangkat kepala agar mataku tetap dapat memandang wajahnya.
"Bisa dansa?"
I'll love you for a thousand more
Aku menggeleng disisipi senyum. Dia tertawa manis.
"Kita sehati. Letakkan tanganmu di bahuku,"
Terbuai suara indahnya, kuturuti permintaannya. Kala dahinya bergesek dengan poniku, sensasi segar menggelitik hatiku.
And all along I believed,
I would find you
Aku tidak tahu apakah dia mendengar jantungku, tapi aku mendengar miliknya. Kidung ballroom memudar, tertutup oleh genderang dada kami yang berlomba.
Time has brought your heart to me,
I have loved you for a thousand years
Kupejamkan pelupuk mata saat lekuk bibir dingin itu beradu manis dengan milikku.
I'll love you for a thousand more
***
Hari ini aku diperbolehkan pulang. Aku dibekali surat izin dokter yang menyatakan bahwa aku perlu istirahat di rumah-dalam hal ini, kos. Aku tidak butuh surat itu, aku memaksakan diri menghadiri kelas demi bertemu satu orang: Disya.
Panjang umur, Disya, Saskia, dan Fathir menghampiri bangkuku tanpa perlu kucari.
"Udah enakan, Mel?" tanya Disya, terdengar sedikit cemas. "Kalo nggak biasa minum lain kali jangan dipaksain. Minum air kobokan aja."
Mana kutahu kalau itu minuman haram?
"Nggak papa Rek, enakan kok." Aku memaksakan senyum.
"Kamu masih pucet, Mel. Aku anter istirahat di klinik, ya? Kuliah Agama aja ini, skip nggak masalah."
Tangan ringan Saskia tetiba menoyor kepala Fathir.
"Heh, Fathir miskin dan anak-anak terlantar, nggak usah modus. Mau jenazahmu susah dikebumikan gara-gara ngeremehin Agama?"
Fathir mencebik tanpa sanggahan. Aku hanya meringis, aku percaya Fathir bukan bermaksud meremehkan mata kuliah Agama. Fathir memang kerap menjadi objek buli mahasiswi, entah mengapa. Mungkin karena dia polos dan ganteng di saat bersamaan. Dan, walau panggilan sableng-nya Fathir miskin dan anak-anak terlantar, sebenarnya dia anak tunggal pemilik perusahaan farmasi. Fathir sangat jauh dari kata miskin.
Aku segera bertanya sebelum lupa. "Dis, di pesta kemarin ada yang namanya Toni?"
Disya memutar bola mata. "Seinget aku nggak ada, Mel, kenapa?"
Nggak mungkin. "Beneran nggak ada?" Aku sedikit memaksa. "Coba diinget-inget lagi, Dis."
"Kenapa, tho, Mel?" Ah, Disya terlalu kepo. "Adanya Anthony, ponakan aku, baru 6 bulan."
Tidak, tidak boleh begini.
Aku yakin dengan ingatanku. Toni bertanya apakah aku teman Disya, itu artinya, dia haruslah salah satu teman Disya. Tanpa Toni, jejak sang pangeran predator seks hilang tanpa bekas.
"Kalo yang pake topeng hitam, Dis? Ada nggak?" kejarku lagi.
"Hell no, Melati," Disya mendengus. "Nggak mungkin aku nggak ngundang maling ke ulang tahun sendiri."
Disya berinisiatif menunjukkan dokumentasi pesta malam itu melalui iPad-nya, yang dihubungkan dengan kabel proyektor kelas. Menonton di dinding kelas yang luas, memancing yang lain untuk duduk manis. Dalam sekejap kelas penuh teman-teman seangkatan sesama mahasiswa baru. Aku tetap di tempatku bersama Fathir dan Saskia.
Kuabaikan teman-teman yang sibuk mengomentari rekaman pesta itu. Mataku terlalu fokus mencari Toni, ataupun pangeran cabul berkemeja putih dan bertopeng hitam itu.
Disya adalah putri bungsu seorang kontraktor besar di kota ini. Pesta megah itu tidak hanya dihadiri teman-teman dan keluarga Disya, bahkan orang-orang ternama hadir di situ. Pejabat pemerintah dan pengusaha, kerabat ayah Disya. Aktor, aktris, sutradara, sampai musisi nasional meramaikan acara. Bahkan executive chef yang mengoordinir jamuan di pesta itu, adalah Chef Junaedi yang sering tampil sebagai juri di ajang pencarian bakat memasak.
Tidak heran kalau banyak yang ingin menghadiri pesta itu, termasuk aku, yang selama 19 tahun bernafas belum pernah bertemu mereka yang selama ini kukagumi di layar kaca. Walau kini aku meratapi sesal. Aku bukan gadis lagi.
Tragisnya, bukan pula seorang istri.
"Mel, ketemu?"
Aku mengerjap. "Hah? Kenapa Ki?"
"Nemu ora? [Ketemu nggak?]" Saskia mengulang pertanyaannya. "Maling bertopeng item? Maling hati kamu kali, semangat banget nontonnya."
Haha, kupaksakan menarik seringai. Selain maling hati, si bangsat itu maling keperawananku.
"Diem banget. Masih hangover ya?" tanya Fathir, sejurus kemudian lengannya terangkat menunjuk proyeksi di dinding. "Eh itu foto kita sama Chef Junaedi. Gak nyangka orang aslinya ramah banget, kirain se-songong pas nge-judge di Monster Chef."
"Ho oh ya," Saskia mengamini. "Ramah, ganteng pula. Rugi kemaren aku gak minta dicipok sekalian."
"Kamu pantesnya dicipok pantat wajan, Ki. Eh jangan lah, kasian pantat wajannya bisa herpes."
"Jangkrik."
Mataku menerawang kosong pada potretku bersama Fathir, Saskia, dan Chef Junaedi di dinding, yang segera berganti slide ke foto lain. Chef Junaedi adalah salah satu idolaku, sebagai perempuan yang tidak terampil di dapur. Malam itu aku kegirangan berfoto dengan beliau.
Sekarang, segalanya terasa hambar.
Fathir dan Saskia masih berdebat kusir saat Ustadz Ahmad memasuki kelas. Tanpa dikomando, Disya mengakhiri tayangannya dan semua duduk di tempat masing-masing. Seperti biasa, Ustadz Ahmad memulai kelas dengan menunjuk beberapa anak untuk membaca ayat suci Al-Qur'an.
Saskia mendekat dan berbisik padaku, "Mel, kenapa nangis lagi?"
Spontan kuusap sudut mataku, yang entah sejak kapan berair.
"Aku nggak seharusnya di sini, Ki. Fathir benar."
***
Sejak malapetaka di kamar hotel itu, ada yang tidak beres dengan otakku. Tidak satupun ilmu perkuliahan dapat kuserap. Saat praktikum, Fathir dan Saskia berkali-kali menyikutku karena tergugu lama menilik jaringan epitel pada preparat dari balik lensa mikroskop.
Aku tidak tahu apakah efek hangover bisa bertahan selama ini. Dua minggu? Apakah itu karena pertama kalinya aku menenggak alkohol? Dari pedoman tidak sahih andalanku (baca: Google) hangover bertahan paling lama hanya 72 jam. Lebih dari itu, mungkin ini pertanda aku mulai hilang kewarasan.
"Kamu kembung soda, Mel. Ngapain sih, tiap hari ngegotong botol cola, ukuran jumbo pula?"
Ucapan Saskia siang tadi ada benarnya. Mungkin aku memang kembung cola, karena sekali lagi, menurut pedoman tidak sahihku, soda dapat menggagalkan kehamilan yang belum terjadi. Aku tidak bernyali membeli obat penggugur kandungan oplosan yang banyak dijual di pedoman tidak sahih.
Ya, tidak berani beli obat, tapi tetap berusaha melunturkan kandungan dengan soda.
Calon dokter munafik.
Ponsel di sebelahku menjerit. Melihat nama penelepon, segera kututup buku Dasar Anatomi dan Fisiologi yang tidak ada gunanya kubaca.
"Assalamu'alaikum, Melati. Sudah makan apa malam ini?"
Sejak malapetaka di kamar hotel itu, suara Mama serasa pecut di ulu hatiku. Begitu pula suara Papa. Aku tak sampai hati untuk memberitahu mereka bahwa putri sulungnya sudah bukan...
"Wa'alaikumsalam, Ma. Tadi udah beli lalapan ayam."
... perawan.
"Sakit lagi, Nak? Kok suaranya serak?" Mama tidak tahu betapa keras aku menggigit bibir bawah, untuk membendung air mata. "Ada cemilan apa di kamar? Jangan disayang uangnya di ATM, nanti Mama kirim lagi. Baru dua bulan kuliah sudah di opname, dijaga kesehatannya, Mel."
Kujauhkan smartphone tanpa memutus sambungan. Aku perlu mengatur nafas agar Mama tidak cemas mendengar suaraku. Tarik nafas, hembuskan.
Jangan buat Mamamu tegang, anak jalang.
"Mungkin sinyalnya, Ma. Suara Mama juga kresek-kresek di sini," dustaku. Maaf, Ma. "Siap Komandan, nanti kukuras saldo ATM buat hedon sempol ayam."
Mama menyembur. "Heh, jangan jajan di pinggir jalan terus! Pantesan kamu sakit kemaren."
"Habis gimana Ma? Nggak ada yang jualan di tengah jalan."
Detik berikutnya, aku masih disemprot Mama tentang menjaga kesehatan dan kebersihan konsumsi. Bisa kubayangkan Mama berceramah sambil menyisir dan mengepang rambut lurusku. Aku sudah setua ini, namun Mama masih senang merias rambut panjang-tebalku seperti bermain Barbie. Hampir 4 bulan tidak ada yang memainkan rambutku; praktis aku hanya menguncir buntut kuda setiap saat, kecuali saat di kos atau tidur.
"Mbak, kuliah di kedokteran asik nggak?" Kali ini terdengar suara Fikar, adik laki-lakiku, yang duduk di bangku 2 SMU.
"Tergantung Fik, di sini cowoknya dikit. Jadi temenmu dikit kalo masuk sini. Teknik tuh yang banyak cowok." saranku.
"Surga dong, Mbak. Ngapain masuk Teknik? Sabung terong?"
Kadang, ingin kurantai otak adikku di tempurungnya, supaya tidak terlalu sering geser ke selangkangan.
"Heh, ntar disuruh edel-edel cadaver, mau?" ancamku.
"Cadaver apaan?"
"Dosen."
"Ngapain edel-edel dosen? Minta di DO?"
"Cadaver itu mayat yang diawetin formalin, untuk keperluan praktikum. Dari cadaver itu mahasiswa kedokteran banyak dapat ilmu, tau. Cadaver itu dulunya manusia hidup kek kita, setelah meninggal pun jasadnya bermanfaat untuk kedokteran. Jadi... cadaver itu dosen, guru besar, dan harus dihormati."
Terdengar Fikar meneguk ludah setelah penjelasanku, kemudian dia mendengus. "Serah, yang penting bukan hati aku yang di edel-edel."
"Ndasmu."
Fikar tergelak renyah. "Ndasku tampan, tho, Mbak."
"Iya. Saking tampannya pengen nampol pake nampan."
Aku tidak bicara dengan Papa karena beliau sedang-seperti biasa-main catur dengan teman-temannya. Itu adalah refreshing ala Papa, jangan tanya kenapa. Aku pasti vertigo kalau bermain catur, bukan refreshing itu namanya.
Aku juga tidak bernyali jika Papa menanyakan nilai-nilaiku yang kian merosot. Nilai yang kuperoleh di kuis terakhir adalah C, dua hari lalu. Tanpa bermaksud besar kepala, biasanya nilaiku A, setidaknya B.
Air mata boleh terkikis, tapi nilai jangan miris.
Aku tidak boleh hamil.
Kuraih buku Dasar Anatomi dan Fisiologi kembali; besok adalah tutorial (diskusi) yang akan dinilai dokter pembimbing kelompokku. Sebelum tenggelam dalam halaman, kupaksa kerongkongan menenggak segelas cola sekali lagi.
-BERSAMBUNG-
Malang, Januari 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top