[36] RUPS

Tio aslinya banyak mau bertanya mengenai Leony pagi ini. selain karena gadis yang duduk di sampingnya ini sejak tadi diam saja, di benak Tio yang sejak semalam enggak bisa tidur pulas juga rasanya mau mengeluarkan semua yang mengganjal dalam hatinya. tapi ia tahan sedemikian rupa demi menjaga mood serta konsentrasi mereka berdua karena hari ini, rapat besar digelar.

Jangan sampai permasalahan pribadi bikin mereka berdua malah kelabakan dalam hal menyampaikan informasi. Akan sia-sia lelahnya mereka berdua mencari titik terang dari semua permasalahan di masa lampau, yang mana menggerogoti Faldom perlahan, eh ... mereka enggak bisa kemukakan di depan umum dengan baik.

Bukan mereka, sih, tapi Tio. makanya ia berusaha keras untuk menyingkirkan sejenak jutaan tanya bagi Leony.

"Kamu sudah sarapan?" tanya Tio mencoba memecah keheningan di antara mereka. biasa mendengar Leony bicara meski sepatah dua patah kata, sekarang mendadak enggak dengar, rasanya juga enggak enak. Hanya ada lagu yang terputar otomatis untuk menemani perjalanan mereka pagi ini.

"Belum, sih," kata Leony dengan tawa pelan. "Kamu sudah?"

"Bu Muji buat nasi goreng tapi kita berdua enggak selera."

Leony tertawa jadinya. "Padahal masakan Bu Muji enak, lho."

Tio bersyukur sekali, setidaknya masih bisa mendapati tawa Leony pagi ini. "Enakan buatan kamu, Anna." Tio bukan lagi mode menggoda. Itu kejujuran yang bisa ia katakan dari hatinya. "Kapan bisa merasakan sarapan bersama lagi?"

"Sebenarnya kalau aku hitung, banyak lho moment sarapan bersama kita bertiga. Kamu aja yang enggak pernah hitung."

"Iya, kah?" Tio melirik sekilas pada Leony yang masih tertawa. "Lupa."

"Apa yang kamu ingat?"

"Kamu, lah."

Leony hanya bisa menggeleng heran. "Pak Raptor mode ngegombal ngeri betul, ya, bicaranya. Bikin hati para gadis jantungannya enggak keruan. Untung jantung aku terbuat dan terlatih baik banget kalau di samping Pak Raptor."

Pecahlah tawa Tio pagi ini. padahal di luar sana macetnya Jakarta bikin pusing. Tapi seolah semuanya enggak jadi soal dan enggak membuat Tio berang lantaran laju mobilnya jadi lambat. Mendengar ucapan Leony barusan, seolah dirinya menemukan sesuatu yang baru. Meski tau ... seperti itu lah cara Leony bicara padanya.

"Tentukan mau sarapan apa?" Tio bertanya masih ada tawa di ujung bibirnya. "Perut aku jadi lapar lagi karena tertawa barusan, Anna."

"Aku enggak lagi melawak, lho." Leony benahi duduknya. "Itu kenyataan yang seharusnya enggak kamu banggakan, Tio."

"Ya, sih." Tio memutar setirnya perlahan. Lajur di kirinya sedikit longgar. Untuk terbebas dari macetnya area Thamrin kali ini, dirinya lebih menyukai mengambil sisi kiri dan nanti di area SCBD, dia bisa mempercepat waktu kedatangannya di kantor. "Tapi memang isi kepala aku sejak semalam kamu aja Anna. Masa aku harus bohong?"

"Baru semalam?"

Tio menoleh dengan cepatnya di mana tatapan Leony sudah mengarah padanya. "Ya enggak. Maksudnya yang benar-benar buat aku khawatir itu semalam. Kamu jauh dari jangkauan aku. biasanya, kan, selalu nempel sama aku."

Leony mencebik.

"Jadi ... mau makan apa?"

Leony tampak berpikir sejenak. "Nasi ulam aja, Tio. yang ada di Senopati?"

"Oke." Tio tersenyum lebar. "Butuh tenaga banyak, ya, untuk menghadapi hari ini?"

"Iya." Leony mengingat hari ini penting bagi sang bos. Tanpa sadar ia pun merogoh cepat ponselnya. Demi memastikan semua berkas yang ia butuhkan enggak ada yang tertinggal. Kalau hard copy, sudah ia siapkan. tapi softcopy lebih penting karena siapa tau, hard copy terbuang, dirinya bisa segera memperbanyak bukti yang ada.

Tablet yang selalu ia bawa juga sekali lagi ia periksa. Lantas ... helaan napas lega pun berembus.

"Kenapa?" Tio cukup kaget juga dengan reaksi Leony kali ini.

"Ah ... Cuma mastiin enggak ada yang terlewat, Tio. jangan sampai Farhan kelamaan menikmati uang Faldom."

Tio setuju akan hal itu. "Enggak ada, kan?"

Leony menggeleng cepat. "Semuanya beres."

"Aku selalu bisa mengandalkan kamu memang." Rasanya Tio ingin sekali lagi menarik Leony dalam pelukannya. Meski bisa, tapi ada hal yang perlu Tio jaga. Perasaan Leony. Jangan sampai gadis itu merasa, Tio mudah sekali menyentuhnya. Sama seperti ia berlaku pada wanitanya dulu. Aduh ... kalau ingat masa lalu.

Tapi semua yang sudah terjadi enggak membuat Tio menyesalinya. Ia anggap, dirinya memang tengah berpetuangan. Bagaimana sejarah dan ceritanya kalau apa yang ia lakukan dengan dan atas dasar kesenangan, ia sesali? Enggak, ya. Mereka berdua melakukannya dengan perasaan enggak ada paksaan dari pihak mana pun.

Untuk Leony, beda urusan. Pokoknya Leony enggak bisa diperlakukan sembarangan. Ia jaga dengan serius dan enggak lagi main-main. Sudah cukup untuknya berpetualang. Toh ... wanita secantik apa pun, enggak gampang menyingkirkan Leony dari pikirannya. Mungkin mulutnya gampang berucap, tapi hatinya enggak mudah teralih.

"Naina gimana?" Kalau menanggapi ucapan Tio yang berkisar menggombali dirinya, lebih baik Leony patahkan saja. bukan karena enggak bisa buat jantungnya berdetak engagk keruan. Leony ini tetap spesies perempuan tulen, kok. Yang enggak bisa menolak pesona pria tampan.

Hanya saja, saking terbiasanya mendengar kata-kata gombalan Tio untuk perempuan lain, dirinya jadi terbiasa. Bahkan dirinya sendiri sering menuliskan pesan bernada rayuan saat Tio malas berkirim pesan pada perempuan yang mengejarnya terus menerus. Atau yang paling parah, saat Leony diminta mengirimkan baik bunga atau pun hadiah di mana ada kartu terselip di sana.

Astaga. Jadi sebenarnya bakat merayu Leony ini jauh lebih lihai seharusnya, kan?

"Naina berangkat sama Parjo tadi, kan? ada apa memangnya?"

"Bukan itu, Tio." Leony mendesah pelan. "Kemarin, kan, Nai ngambek enggak kita ajak nonton. Apa masih merajuk?"

"Oh!" Tio mendadak akalnya panjang sekali. "Iya, lah. Marah dia. aku sampai enggak ditanya tadi pagi. Sayangnya aja ada Mama. Jadinya Nai tegur aku, berpamitan sekolah."

"Kan, aku bilang juga apa. Ajak Nai." Leony menyandarkan dirinya dengan agak terpaksa di kursi mobil. "Naina itu jangan sering diabaikan, Tio. Berapa banyak waktu kamu terbuang di luar, kan?"

"Iya, Anna." Tio tersenyum lebar.

"Eh ... sebentar," Leony pun segera mengacak tasnya. Dering ponselnya membuat ia langsung menmokuskan diri mencari.

"Ada apa?"

Saat mata Leony menatap layar ponsel yang kini sudah ada di tangannya, keningnya berkerut dalam. "Bu Yesy? Saya angkat dulu, deh."

Tio mengangguk.

"Ya, Bu?" Leony pun segera merespon panggilan barusan.

"Di mana Tio? kalian segera sampai ke kantor. urgent sekali, Ony. Farhan kabur ke luar negeri!"

"Apa?!"

Tio yang mendengar Leony memekik kaget, segera berusaha menepikan laju mobilnya. "Kenapa?"

Leony menatap Tio dengan sorot tak terbaca. "Pak Farhan kabur, Pak."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top