[35] Panggilan Darurat. 2

Leony duduk termangu seorang diri di dalam kamarnya. Enggak. Tio enggak lagi memaksanya untuk kembali pulang ke rumah. Ya gila saja, sih, kalau Tio lakukan itu juga padanya. Masa iya enggak bisa membaca situasi yang tengah Leony hadapi. Itu juga setelah didesak agar Tio pulang. Kalau enggak, pria yang masih mengenakan kemeja kerjanya itu ngotot mau menemani Leony saja.

"Aku enggak apa. Serius, Tio." Leony kembali membujuk Tio yang enggak mau turun keras kepalanya. Matanya juga menatap sang gadis enggak suka.

"Kalau nanti ibu kamu ngamuk lagi? Kamu sendirian, lho, Anna. Haikal lagi ke klinik, kan?"

Leony belum mau menurunkan senyumnya. Bukan senyum manis, senyum yang Leony punya sarat sekali pedih serta sedih. Jangan harap Tio suka melihat Leony seperti ini. Berulang kali Tio memaksakan dirinya untuk bisa diterima Leony malam ini. Ia tahu, maksud Tio baik. Tapi sang pria punya banyak kesibukan, kan? Jangan sampai karena masalah ini konsentrasi Tio jadinya terganggu. Tapi kalau dipikir juga, Leony pun sama sibuknya.

Enggak ada Leony yang santai di samping Tio.

"Aku bisa jaga diri, Tio."

"Enggak percaya," dengkus Tio dengan raut sebal.

"Kalau kamu nginap di sini, aku yang semakin terjepit posisinya." Leony tertawa meski pelan. "Jangan buat aku makin enggak enak hati, ya."

Suara decakan Tio kembali terdengar. "Kalau keadaan kamu seperti ini, rasanya aku ingin cepat kita menikah."

"Memangnya aku menyetujui kamu ada di hidup aku?"

"Anna!" Tio terbeliak jadinya. Menatap Leony dengan sorot tak percaya. "Hati aku diremukin terus sama kamu."

Untuk ucapan kali ini, Leony terbahak jadinya. Ia sampai mengusap sisa air mata yang ada di sudut matanya. "Pulang, ya."

Tio tak bisa lagi bicara apalagi membantah. Yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah mengangguk patuh. "Tapi boleh peluk enggak?"

Leony masih punya sisa tawa di bibirnya. Yang mana ia angguki permintaan Tio kali ini. "Boleh."

"Mau peluk saja mesti izin, lho, aku." Tio melangkah mendekat, pada sosok kurus berponi yang menatapnya. Wajahnya sembab air mata. Rambutnya agak berantakan karena sempat Tio saksikan sendiri, bagaimana Leony yang berusaha menenangkan ibunya. Meski ia bantu, tapi sepertinya wanita paruh baya itu hanya butuh Leony.

Sebelum ia benar-benar mendekap sang gadis yang berhasil lama sekali bersemayam di dalam hatinya, ia rapikan ujung rambutnya. Menatap lekat pada kedalaman netra yang sebenarnya bagi Tio itu indah. Tatapannya selalu tulus. Senyumnya enggak pernah terpaksa. Tindakannya juga biarpun terkadang membuat Tio pusing, tapi enggak pernah membuatnya kecewa.

Sama seperti saat pertama kali Tio bertemu.

"Benar boleh?" tanya Tio memastikan.

"Biasanya bukan hanya dipeluk, kan, para wanita yang ada di dekat kamu? Diterkam, Tio."

Lagi-lagi decakan Tio keluar. "Kenapa nyebelin banget kamu, ya?"

"Hanya mencoba mengatakan hal yang nyata terjadi, kan?"

Tio enggak peduli kalau nanti ia mendapati Leony yang meronta. Tio juga pastinya akan mengabaikan kalau Leony marah padanya. Tapi kalau dipikir, dirinya sudah izin. Harusnya Leony enggak menolak, meminta Tio menjauh, atau pun mendorong sang pria untuk kembali berjarak.

Nah ... benar saja, kan?

Tio enggak ditolak. Ini boleh ada adegan loncat girang tidak, ya? Bukan apa. Leony ini termasuk yang jarang sekali, demi Tuhan, Tio pastikan jarang sekali ada kontak fisik dengannya. Meski label asisten melekat kuat pada kening Leony, di mana jarang sekali mereka terpisahkan. Tapi ketahuilah, Tio sangat menghargai gadis yang kini ada di pelukannya.

Terserah dunia mau menghujatnya pria bejat, berengsek, hanya ingin yang terbaik dalam hidupnya tapi sudah menjajal banyak wanita di luaran sana. Tio enggak peduli. Yang ia pedulikan cukup Leony saja. Asalkan dalam sorot sang gadis enggak ada penghakiman, dari mulutnya masih diberi ia kesempatan untuk berubah, dan tingkahnya enggak pernah membuat Tio merasa kalau dirinya buruk, itu sudah lebih dari cukup.

Maka yang ia lakukan akhir-akhir ini, enggak ingin lagi bermain. Lagian sudah banyak pembicaraan mengenai hatinya pada Leony, kan? Enggak tahan juga lah kalau Tio selalu dapat pengabaian dari Leony.

"Kalau besok aku jemput, jangan marah," kata Tio sembari mengusap punggung Leony lembut.

"Oke." Leony semakin mempererat pelukannya. Aroma parfum Tio itu sangat ia kenali. Ya ... seringnya juga Leony yang belikan, kok. Katanya pilihan Leony paling cocok dengannya. Pun selera pakaian Tio. Kapan, sih, enggak ada campur tangan Leony dalam hidup sang pria? Rasanya enggak ada, deh. "Sudah peluknya." Ia pun sedikit mengurai lantas mendongak di mana ia tahu, mata mereka kembali bertemu. "Sudah malam. Kamu pulang, ya. Pasti Naina cari kamu."

Tio padahal enggak rela tapi bisa apa? Selain mengangguk dan patuh. Juga banyak memberi pesan pada Leony kalau terjadi hal yang buruk, dirinya harus yang paling pertama tahu. Enggak ada yang boleh Leony sembunyikan lagi ataupun ditutupi. Yang mana semua ucapan Tio dibalas dengan anggukan serta senyum tipis.

Sampai sedan hitam itu melesat pelan meninggalkan area rumah Leony, barulah ia mendesah lega. Ia tatapi rumah yang memang enggak lagi terlihat sama seperti dulu. Banyak kenangan manis yang terjadi tapi enggak bisa dipungkiri, banyak juga hal buruk yang silih berganti menghampiri.

"Kak," panggilan dari Hari membuat Leony sedikit berjengit. Semua hal yang baru saja terjadi belum lama bersama Tio, langsung musnah dari sekelebatan ingatannya.

"Ya?"

"Haikal sudah tidur. Kata dokter enggak ada masalah yang serius di kepalanya. Cuma luka saja." Melihat sang kakak duduk di tepian ranjangnya, membuat Hari memberanikan diri. Enggak buta dirinya menatapi sang kakak yang tampak lebih kurus dari biasanya. Pasti di kepala kakaknya banyak yang dipikirkan. Rasanya juga Hari ingin sekali membantunya. Sedikit saja meringankan beban pikiran kakaknya. Inginnya melihat senyum manis kakaknya kembali. Tapi sayang, kakaknya pintar bersandiwara.

Buktinya, senyum palsu itu ada lagi menghias wajah kakaknya yang cantik.

"Sudah kamu tebus obatnya, kan? Kamu pastikan lukanya diobati dengan baik, kan?" tanya Leony sembari menepuk sisi ranjangnya yang kosong. "Duduk sini, Abang." Untuk Hari, sengaja ia panggil Abang. Agar Haikal juga terbiasa memanggilnya seperti itu. Kedua adiknya, meski terlihat cuek, tapi Leony sadar mereka bertiga enggak bisa terpisahkan.

"Sudah, Kak." Hari turuti apa yang kakaknya inginkan.

Lega sekali ia mendengar.

"Tapi ... Mama, Kak."

Leony terdiam, seolah tahu apa yang ingin Hari katakan.

"Kita sudah enggak bisa menahan Mama terlalu lama."

****

Mana yang minta lanjutannya lagi? Hayoo komentnya yang banyak yaaaa

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top