[32] Kencan Milik Tio

Leony ini sebenarnya terganggu dengan ocehan Tio mengenai Farhan. Padahal dia, lho, enggak kurang sama sekali mengupayakan yang terbaik sebagai seorang asisten dari CEO Faldom. Memangnya ada yang sanggup bekerja hampir dua puluh jam lamanya? Belum lagi Tio ini model bos yang banyak mau. Enggak sedikit membuat kepala mendadak ingin ditukar dengan kepala sapi kek, kambing kek, atau sekalian kepala hiu.

Karena apa?

Banyak sekali yang mendadak berubah dari keinginan Tio. dan semua yang diminta selalu inginnya cepat, perfeksionis, jangan ada salah, dan bisa dipertanggungjawabkan. Kalau bukan karena gajinya yang gede dan uang lemburannya yang membuat Leony bisa menghidupi keluarganya, pasti ia sudah menyerah.

Oh ... jangan lupa saat Tio kumat centilnya. Aduhai ... Leony ingin sekali bersumpah semoga Tio kena batunya. Sayangnya ia tak pernah tega mengucapkan hal itu meski dalam hati. Mungkin karena terkadang ia bisa melihat sisi lain yang orang lain belum tentu tau mengenai Tio.

"Ony, Nadia ada kirim email terbaru?"

"Enggak, Pak." Leony mendongak dengan segera. Rasa yang tadi bercokol di dadanya karena ucapan Farhan serta cara si komisaris itu menatapnya, segera ia singkirkan. Jangan sampai air mukanya terbaca oleh Tio.

"Enggak ada yang aneh, kan?" Tio menarik kursi yang ada di sekitar meja Leony. Jam di tangannya sudah menunjuk pukul empat sore. Sudah banyak berkas dan meeting yang berlalu di antara mereka tapi yang paling membuatnya mencurahkan segala konsentrasi, ada di laporan Optima dan menyelewengan dana.

"Bu Nadia bilang selalu aman. Orang yang Bapak minta untuk menjaga beliau selalu stand by."

Tio mengangguk pelan, tersenyum setelahnya. "Syukurlah. Apa yang Bu Nadia bocorkan ini bukan data sembaranga, Ony."

Leony tau itu.

"Ya sudah, kamu kerjakan cepat bagian kamu. kita pulang ontime hari ini."

Leony mengerjap pelan. enggak percaya pada apa yang baru saja ia dengar. Bukan apa, jelas rapat RUPS itu enggak ada pekerjaan yang simple dan sekarang? tio minta pulang tepat waktu? Yang benar saja. memangnya banyak laporan yang masuk ke email sang bos sudah dikerjakan semuanya?

Kalau sudah, sih, Leony mau tepuk tangan. Berarti enggak ada lagi koreksi di mana Leony harus segera perbaiki.

"Kenapa kamu melihat saya macam ada hantunya?"

Leony menghela pelan. "Enggak percaya aja kalau bisa pulang on time."

Tio terbahak. Sampai rasanya sakit perut karena perkataan gadis berkacamata di depannya ini. Tapi ucapan itu memang patut membuat asistennya enggak percaya, sih. ada saja yang harus dikerjakan justru di jam genting semisal jam lima kurang sedikit. Entah ada bagian yang menurutnya salah. atau malah mendiskusikan sesuatu. Padahal bisa dilakukan esok hari tapi Tio paling enggak suka kalau ada pending pekerjaan di hari sebelumnya.

Baginya, esok sudah harus berganti job laporannya. Makanya hal itu juga yang membuat ia sering menahan Leony biar enggak pulang duluan. Lagian juga, biar Tio bisa mengantarkannya pulang. Matanya kini menatap Leony dengan lekatnya. Sengaja kursi yang memang bisa digeser seenaknya itu, karena di bawahnya terdapat roda yang bisa membuatnya bergerak mendekat. Ditopangnya ujung dagu Tio dengan sebelah tangannya. Tangan satunya, mengambil camilan yang ada di sisi komputer kerja milik Leony.

Yang mana selalu lebih banyak dirinya yang menghabiskan. Leony yang rajin mengisinya karena tau, Tio membutuhkan pengalihan berupa camilan.

Seolah enggak terpengaruh apa pun karena dirinya belum mau melepaskan matanya dari Leony, Tio makin jadi lah. "Anna," panggilnya pelan.

"Ya?" Leony yang enggak terlalu menggubris keberadaan Tio, kembali bekerja sejak tadi. jemarinya lincah sekali menari di atas keyboardnya. Matanya sesekali ia benahi frame tebal demi untuk melihat lebih jelas. Ekspresi wajahnya serius dan datar. Enggak terlalu peduli dengan tingkah Tio yang mana kalau gadis lain, pastinya menyudahi pekerjaannya. Lantas dengan senang hati melempar diri tanpa tau mau ke pangkuan Tio.

"Ngedate, yuk."

Loeny hanya melirik pada sang pria sekilas lantas berkata, "Saya menolak."

"Astaga," Tio terbeliak. Punggungnya menegak. Enggak terima kalau Leony bicara seolah tanpa berpikir. Padahal sejak tadi, sebelum lidahnya bergerak untuk melontarkan kata, dia ini mengucapkan butuh keberanian lho. enggak gampang soalnya kalau berhubungan dengan Leony. Kalau sama wanita yang sering kali ia ajak untuk bersenang-senang, jangankan bicara masalah ngedate, mereka dengan senang hati tanpa butuh kata dengan mudahnya ia bawa ke ranjang.

Leony?

Jangan harap. Mau gandeng tangannya saja, Tio sampai sekarang enggak berani. Entah kenapa kalau berkaitan dengan Leony, ia jaga sepenuh hati, segenap jiwa, seutuhnya sampai ia merasa, Leony enggak bisa jauh darinya. Eh ... salah. Tio yang enggak bisa jauh dari Leony.

"Di bioskop ada film seru, Anna. Kamu enggak berniat nonton bersama saya?" Tio jadinya agak kecewa gitu. Lagian kenapa, sih, tanggapan Leony langsung membuat ada yang patah tapi enggak terlihat oleh matanya. Bunyinya keras pula. Untungnya Tio enggak butuh diraba dulu dadaanya. Bikin ia tambah nelangsa.

"Avatar maksudnya?" Leony tertawa pelan. dilepaskannya kacamata itu dengan segera. meski agak buram tapi ia bisa tau kalau Tio enggak melepaskan matanya dari Leony. Diambilnya tisu pembersih kacamata, sesekali pangkal hidungnya pun ia bersihkan dari minyak wajahnya. meski ada di ruangan berpendingin tapi minyak wajah itu terproduksi alami untuk melindungi kelembaban kulit. Untungnya, dari semua keanehan wajah Leony yang sebagian besar membuatnya mendapatkan tatapan heran, wajah Leony ini mulus.

Tanpa jerawat. Perawatannya juga mudah sekali meski bukan cantik karena air wudhu saja. enggak bisa kalau hanya air keran di musola kantornya membuat Leony punya kulit yang bagus. Ia rogoh uang cukup dalam untuk merawat wajahnya.

"Iya. lagi seru, kan?" Tio berdecak sebal. Dilipatnya tangan di dada. "Saya sudah beli tiket barusan makanya ngajak kamu pulang on time."

"Lain kali tanya dulu, ya, Tio." Leony tersenyum. Tipis banget. macam benang yang enggak terlihat tapi sumpah demi ibu Raptor yang meninggalkan anak Raptor setelah pintar berburu, senyum itu manis sekali. kalau istilah senyummu mengalihkan duniaku bukan hanya sebatas baik lagu, pasti sudah Tio katakana kali ini. rasanya enggak lucu kalau Tio bilang seperti itu karena tau, Leony pasti akan berucap.

"Kamu berubah jadi Afgan, kah?"

"Biasanya juga kamu pulangnya larut, kan? Temani Naina belajar dulu. Makan malam dulu di rumah aku."

Leony masih mempertahankan senyumnya. "Kemarin aku sudah enggak pulang, kan? Aku kangen sama Hari dan Haikal, Tio."

"Tapi tiketnya?" Tio menatap Leony dengan nelangsa.

"Jam berapa?"

"Jam setengah tujuh di Senayan."

Leony berpikir sejenak lantas menghela pelan. "Oke. Aku bilang Hari dan Haikal enggak pulang lagi."

Tio nyengir lebar. "Kok tau enggak akan aku antar pulang ke rumah?"

"Modusmu terlalu mudah terbaca, Tio."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top