[31] Jelang RUPS
Leony menarik napasnya panjang. Meeting dengan tim pengacara yang akan mengawal kasus antara Optima dan Faldom kali ini jauh lebih membuatnya pusing. Banyak berkas yang menjadi acuan untuknya. Diminta untuk menjadi landasan tersendiri untuk nantinya menuntut pihak, yang mana menyorot pada satu titik; Farhan.
Tapi Leony tak bisa bekerja sama dengan divisi lain. Tio sangat mewanti-wanti tiap geraknya. Beruntung akse yang Leony miliki untuk loncat dari satu divisi ke divisi lain bisa dengan mudah meminta berkas yang masih harus ia lengkapi. Meski keyakinannya penuh, kalau data serta laporan yang ia kumpulkan sudah lebih dari cukup. Namun Leony sadar, tim pengacara berbeda dalam menilai sesuatu.
"Mau makan siang apa?" tanya Tio sembari merenggangkan ototnya. Ia puas sekali dengan hasil serta keinginan yang sudah disampaikan pada tim pengacara ini. Kinerjanya cepat dan tanggap terhadap apa pun yang diinginkan terutama berkisar mengenai ganti rugi yang Faldom inginkan.
Ia bertindak sebagai pimpinan Faldom. Bukan ranah pribadi tapi selama dirinya menjabat ternyata tindak criminal itu terjadi. Enggak akan Tio biarkan, lah! Enak saja. sudah Faldom dibangun susah payah oleh Abyan, mendapatkan sokongan yang enggak main-main dari keluarga Azkia, eh ... seenaknya dipermainkan.
Kalau ingat semua nominal angka dan kerugian yang ditaksir, di mana lihai sekali tertutupi, membuat Tio makin geram. Makanya ia enggak hanya meminta satu pengacara tapi tim yang terdiri dari empat orang untuk menjerat dan menuntut orag yang bertangguung jawab penuh. Enak saja.
"Enggak tau." Meski lelah, kepalanya pusing, serta tenaganya hampir habis karena pembahasannya panjang serta membutuhkan konsentrasi tinggi, namun urusan dengan makan siangTio memang harus segera ia kerjakan. "Ayam bakar mau?"
"Tongseng aja gimana, Ony?" Tio pun menggeser duduknya. Menatap Leony lebih lekat karena sang asisten berada persis di sampingnya. "Rambut kamu sudah panjang, Ony." Maunya, sih, sentuh rambut Leony seenaknya. Tapi rasanya tangan Tio berat sekali untuk bergerak. Macam ada yang menahan dan kepalanya bilang, jangan sentuh sembarangan!
Makanya ia Cuma bisa memperhatikan jauh lebih tajam ketimbang biasanya.
"Iya. saya belum sempat potong rambut."
"Nanti sore gimana? Saya temani?"
Leony tersenyum sembari melepas kacamatanya. Mengedipkan beberapa kali demi untuk menjaga fokusnya. Tangannya bergerak cepat mengambil pembersih dari dalam kotak penyimpanan. Kacamatanya harus selalu bersih agar jelas memperhatikan sekitar.
"Mau makan tongseng di tempat atau pesan online?"
"Kamu mau keluar enggak?" Tio bersandar nyaman di mana matanya masih jua terpusat pada sosok yang kini sibuk dengan ponselnya. Entah apa yang dilakukan Leony, Tio enggak terlalu peduli. Yang penting sekarang baginya, Leony enggak lagi menjauh. Ada di sampingnya. Enggak mendadak kabur atau beralasan ini dan itu. Apalagi alasannya seputaran pekerjaan yang memang enggak ada habisnya.
"Capek, sih."
"Nah, gitu dong. Kalau capek, bilang. jangan sok kuat. jangan selalu turuti mau aku, Anna."
Leony tertawa. "Kalau enggak dituruti kamu suka enggak jelas. Ngambek gitu." Pokoknya, nada bicara Leony akan berubah kalau Tio yang memulai. Apalagi kalau Leony sudah mendengar panggilan untuknya. Anna. Yang mana menurutnya terdengar spesial sekali.
Belum pernah ada seorang pria dalam hidup Leony yang diperbolehkan memanggilnya dengan nama kecil yang ia miliki. Bahkan panggilan Ony juga berasal dari Tio.
"Mancing kamu bicara itu susahnya setengah mati." Tio kembali menegakkan punggung. "Aku aja yang pesan. Kamu rapikan aja berkasnya."
Leony tersenyum tipis. Mengangguk dan tangannya dengan cepat pula mengerjakan apa yang Tio minta. Lagi pula berkas yang berserak ini enggak boleh sampai ada orang lain yang tau. bisa bahaya. Dan juga bisa mnejadi boomerang tersendiri bagi Tio dan dirinya.
Suara ketukan pada pintu ruang Tio membuat Leony berjengit kaget. Pun Tio yang kini menatap pada pintu yang sudah terbuka itu.
"Siang, Pak Tio."
Farhan. Masuk dengan percaya dirinya.
Yang mana membuat Leony sedikit lebih cepat merapikan berkasnya.
"Ada meeting rupanya?"
Tio menyeringai tipis. "Silakan duduk, Pak."
Dalam susunan jabatan di Faldom, nama Farhan ada di jajaran petinggi yang namanya cukup diperhitungkan. Suaranya juga banyak memperngaruhi keputusan yang akan Tio ambil tapi tetap saja, Tio lebih sering percaya pada intuisinya ketimbang keberatan yang seriing Farhan katakan.
Toh ... keberatan itu hanya sepihak menguntungkan pihak lain. Sementara dirinya banyak ditekan dalam hal dividen yang harusnya bisa memenuhi target.
"Sibuk sekali Pak Tio rupanya." Farhan menyeringai tipis. tubuhnya yang tambun, agak kesulitan untuk duduk di mana ia pun menatap Leony dengan sorot cukup berani. "Pak Tio enggak ada keinginan ganti asisten?"
"Kenapa harus ganti?" Tio hanya tanggapi dengan santai. Diulurkannya pula ponsel yang tadi sempat ia utak atik untuk memesan menu makan siang sesuai dengan keinginannya pada Leony. "Kamu pantau terus orderannya, ya."
"Baik, Pak." Leony pun menyingkir dari ruangan Tio. untuk apa juga ada di dalam ruangan di mana dirinya dipandang sebelah mata. ia tau, sejak lama Farhan memang enggak terlalu menyukainya. Tapi kenapa juga salah satu komisaris itu meremehkannya coba?
Padahal apa yang ia kerjakan enggak dalam skala main-main. Selalu fokus dan hasilnya banyak membantu Tio dalam hal pergerakan kerjanya. Berusaha sekali membantu sang bos dalam hal pekerjaan. Malah kalau Leony boleh mengeluh, dirinya ini asisten Tio secara umum atau pribadi, sih? masa iya dirinya masih harus mengerjakan yang menurutnya urusan pribadi?
Naina? Memangnya itu bukan hal pribadi yang Tio punya?
Tapi apa Leony keluhkan hal itu? Enggak pernah. Malah dengan senang hati dirinya menemani Naina kapan pun dibutuhkan. Ada rasa puas yang cukup besar lantaran tau, bagaimana gadis itu bertumbuh sampai sekarang. Itu sudah lebih dari cukup baginya.
Farhan, lewat ekor matanya yang hampir tenggelam karena wajahnya yang juga ikutan bulat macam donat, mengamati sampai asisten Tio benar-benar keluar. Menutup rapat pintu ruangan sang CEO pengganti yang dipercayakan sampai pemilik sahnya bisa duduk di sini.
Entah apakah bisa duduk atau keburu lenyap karena digerogoti olehnya tanpa diketahui.
Pria gemuk itu terkekeh. Perutnya agak berguncang jadinya. Yang mana menjadi perhatian Tio yang sejak tadi memang menatapnya tajam sekali. terutama pada ucapannya barusan. apa katanya? ganti asisten? Gila, ya?
"Ah, saya jadi lupa. Maksudnya Pak Tio enggak ingin ganti asisten yang lebih kompeten? Yang bisa dibawa ke acara kantor yang jauh lebih bonafit di luaran sana."
"Maksudnya dalam hal penampilan?" Tio menegakkan punggung. Tadinya ia ingin bersantai sejenak sembari menunggu makan siangnya datang. Ngobrol yang enggak banyak menguras otaknya. Sesekali bertanya mengenai Leony yang banyak enggak ia pahami. Anggap saja ajang mendekatkan diri.
Mereka ... berhubungan satu tingkat dari biasanya, kan?
"Yah, Bapak tau sendiri, kan? asisten itu juga wajah dari bosnya. Kalau cantik, pintar, cekatan dalam satu waktu kenapa enggak?"
Tio menyeringai tipis. diusapkan kedua tangan seraya seolah berpikir. Padahal mata yang ia pergunakan untuk menatap sang lawan bicara begitu dingin dan penuh intimidasi. Mungkin makin lama Farhan makin menyadari kalau tatapan Tio enggak sesantai bicaranya. Ia sampai menggeser sedikit duduknya namun enggan bertanya.
"Saya punya kenalan. Saya juga mengerti bagaimana Pak Tio di luaran sana." Untuk menutup gugup, ia pun tertawa. Cukup keras tapi sayangnya, Tio enggak menanggapi apa-apa kecuali terus memberi tatapan tajam. Yang makin jadi membuatnya salah tingkah.
"Saya hanya mengutarakan pendapat Pak Tio. jangan tersinggung."
Tio berdecih pelan. "Sepak terjang saya di luaran sana, bukan urusan Pak Farhan. Selama saya enggak menyentuh anak gadis Bapak, seharusnya itu enggak perlu dikhawatirkan, kan?
Bola mata Farhan hampir loncat dari tempatnya. Mulutnya yang agak menghitam karena kebiasaannya merokok, tampak ingin bicara tapi enggak sanggup. Namun hatinya mendadak dongkol serta kesal sekali. apa hubungan wanita yang ada di sekitar Tio dengan putrinya? Kurang ajar sekali kalau Tio menyamakan putrinya dengan para wanita yang bisa diajak tidur oleh Tio?
"Jaga batasan kamu, Tio."
Tio tertawa. Keras sekali. Sampai ia merasa perutnya yang lapar terguncang karena gelak yang ia punya sekarang. matanya sampai berair menatap Farhan yang mendengkus tak suka ke arahnya. "Astaga, Pak Farhan. Batasan yang mana?"
"Jangan asal kalau bicara!" sentak Farhan dengan wajah mulai memerah. Pastinya ia menhana kesal yang begitu tinggi. Meski ia pernah mengenalkan putrinya pada Tio, tapi bukan pada arah yang menurutnya menjijikkan. Inginnya, Tio ada di bawah kendalinya. Ia punya banyak referensi wanita yang bisa diajak bekerja sama untuk meruntuhkan Tio. juga anak perempuannya yang pernah dipancing untuk menjalin hubungan serius dengan sang pria. Meski tau ada resikonya, tapi Farhan sedikit mendesak anaknya; Rika.
Sayangnya ... Tio menolak. Hanya sebatas makan malam bersama itu pun sekali. selebihnya, enggak pernah ada kabar dari Rika kalau Tio menghubunginya.
"Yah ... saya kan hanya bicara. Dilakukan juga enggak. tenang aja. Rika enggak masuk daftar wanita yang tidur sama saya. Lagian," Tio pun mendekat pada pria bertubuh tambun itu. "Saya enggak minat dengan pergantian asisten. Belum tentu bisa mengimbangi saya yang aneh ini."
Mata Farhan makin terbeliak.
"Anak Bapak aja ngeri melihat kebiasaan saya. Gimana wanita yang pernah tidur sama Bapak? Oh ... jangan-jangan malah tergila-gila sama saya? Bukannya kerja, malah memberantaki meja kerja saya terus? Lantas saya disetir seenaknya?"
***
Leony meletakkan mangkuk berisi tongseng bagian Tio. di depannya, sang pria masih merengut enggak suka. Bukan perkara makanan yang baru datang tapi pastinya karena Farhan yang enggak tau berkata apa. Leony sama sekali enggak mendengarkannya. Bukan tak ingin, ternyata begitu kembali ke mejanya, ia masih harus merapikan banyak berkas yang terserak.
Tak mungkin ia bekerja setengah seperti ini. makanya sembari menunggu, Leony manfaatkan waktu untuk merapikan agar enggak tercecer banyak bukti yang bisa membuat seseorang masuk ke dalam penjara untuk waktu yang cukup lama. Ditambah orang itu seolah tak melakukan apa pun. santai sekali bersikap. Yang ada malah menatap Leony dengan tajamnya.
Padahal Leony sudah sopan, lho, mengucapkan salam. Biar enggak dibilang asisten yang enggak punya sopan. Tapi yang ia dapatkan hanya dengkusan tak suka. Lantas jalannya yang tergopoh buru-buru meninggalkan ruangan mereka. saat Leony tanya pada Tio, sang bos malah menyuruuhnya diam.
Katanya, "Saya pusing."
"Dimakan dulu, Pak," kata Leony kembali mengingatkan. "Keburu dingin."
"Iya." Tio bergerak agak malas. "Mana bagian kamu?"
"Ini, kan?" Leony pun menunjuk piringnya. "Nanti jam dua kita ada meeting sama Wena Properti. Bahas untuk Sidoarjo."
Tio mengangguk di mana tangannya mulai mengaduk makan siang bagiannya. Di sekelilingnya ada acar yang terpisah serta mangkuk berisikan sambal. Serta enggak lupa kerupuk. Yang mana membuatnya tersenyum lebar. "Kok, kamu tau mesti ada kerupuknya, Ony?"
"Enggak enak kalau makan berkuah enggak ada kerupuknya, Pak."
Tio tertawa. "Ah ... kamu paling tau selera aku."
"Makan aja, Tio. nanti bicaranya."
"Tapi sepertinya kamu perlu tau satu hal."
Tadinya sendok berisi nasi yang sudah ia campur dengan kuah tongseng, akan masuk ke dalam mulutnya. Ia juga sudah lapar, sih. makanya Leony berselera sekali melihat tongseng pilihan Tio datang. Aromanya juga guriih dan mengguggah sekali air liurnya. Namun karena Tio mau bicara, ia jeda sejenak.
Toh ... Tio enggak akan lama, kan?
"Tau apa?"
"Farhan meminta aku ganti asisten yang dia referensikan."
Leony tertawa. Suapan itu pun segera masuk ke dalam mulutnya. Merasakan betapa memang tongseng itu punya cita rasa yang cukup enak. Dagingnya lembut, kuah santannya pas sekali. Baik komposisi kecap juga asin serta manis yang tercampur di sana.
Melihat Leony enggak terganggu sama sekali dengan ucapannya, membuat Tio berdecak sebal. Selalu seperti itu tiap kali ia bahas mengenai wanita di sekitar hidupnya. Enggak ada respon berlebih dari Leony. Malah yang ada, santai sekali gadis ini bersikap?
Enggak tau kah Leony kalau wajah datarnya itu bikin Tio ketar ketir?
"Kenapa?" tanya Leony dengan sorot bingung. Kunyahannya enggak ada masalah tapi ia merasa ada tatapan yang menghunus tajam ke arahnya. Seolah bisa membelah Leony dengan cepatnya. Saat ia mengangkat pandangannya, benar saja, Tio menatapnya tanpa putus.
Tatapannya jauh lebih menyeramkan ketimbang biasanya. Macam Raptor yang siap mencabik mangsanya.
"Kamu enggak cemburu? Aku ditawari asisten yang mana cantik, seksi, katanya juga pintar, dan pastinya kamu tau sendiri kan kalau ada perempuan di dekat aku bagaimana?"
Makin jadilah tawa Leony.
"Ah ... kamu nyebelin banget, Anna."
"Apa Tio mau asisten seperti itu? kalau mau, aku yang bantu pilihkan. Enggak usah Pak Farhan."
"Astaga!!!" Tio menepuk jidatnya cukup keras. "Aku enggak mau, lah. Cukup buatku kamu aja. Ada di samping aku aja kamu terasa jauh banget. Apalagi kamu enggak ada di dekat aku. Bisa gila aku, Anna!"
"Nah ... itu tau jawabannya. Kamu enggak mungkin ganti asisten kecuali aku, Tio. Jadi untuk apa aku cemburu?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top