[29] Dijemput Daddy

Naina duduk dengan riang. Mukanya penuh sama tawa juga boba di tangannya sesekali disedot isinya. Berdecak sembari merem melek merasakan manis bercampur dengan masam dari strawberry smoothies pesanannya. Sementara dua orang di depannya hanya beradu pandang dengan tatapan maklum, lantas salah satunya mulai menyalakan mesin mobil.

"Senang, ya, Nai bertemu Mami Farah?"

"Iya dong." Naina tertawa. "Tadi aku temani Mami belanja buah. Minggu depan aku diperbolehkan main ke rumahnya. Sekalian minta maaf sama Kak Rindu."

"Rindu?" Tio membeo. "Kamu mau bertemu dia?"

Naina tanpa ragu mengangguk. "Aku punya salah, Daddy. Harus minta maaf, kan?"

Tio mengangguk meski heran. Mengingat pada bagian mana sama Naina, di mana ingatannya mendadak terhenti pada kejadian di rumah sakit. "Ah, kamu memang harus minta maaf sama Kak Rindu, sih."

"Ya, kan?" Naina kembali menyedot smoothiesnya. "Kenapa aku Cuma boleh beli satu? Enggak boleh dua? Pelit amat."

"Nai," kata Leony memperingati.

"Aku sudah makan, Kak Ony. Bareng sama Mami. Bukannya tadi Kak Ony bicara sama Mami, ya?"

"Memang Kak Ony bicara sama Mami, ngomongin kapan kamu makan ada apa yang kamu telan?"

Naina cemberut. "Serius, deh. Ini enak, Kak. Enggak boleh beli lagi?"

"Jangan terlalu banyak konsumsi gula sama boba, Nai." Kali ini Tio yang bicara. "Minggu depan masih ada. Mulai sekarang kamu jangan terlalu sering makan yang sembarang."

"Tapi aku enggak sakit, lho, Daddy." Naina memilih mendekat pada Tio yang kini sibuk memfokuskan diri pada setirnya.

"Meski sudah makan, tapi memang enggak bagus terlalu banyak minum seperti itu, Nai." Leony sedikit mencondongkan diri pada gadis yang kini merengut menatapnya. "Kalau jus buah boleh deh."

"Mami tadi beli buah banyak. Nai dibelikan."

Leony tersenyum lebar. "Tadi Mami juga bilang sama Kak Ony. Termasuk kasih resep jus yang enak."

"Benar?"

"Nai mau?" Leony menyeringai penuh arti.

"Mau."

"Oke. Nanti di rumah, Kak Ony buat ya."

"Daddy juga," sahut Tio cepat. "Yang bisa bikin muka glowing gitu, Mami Ony."

"Diam!" Ony melirik sinis pada Tio yang mana pria itu malah terkekeh. Pun Naina yang ikutan tertawa mengikuti tingkah Daddy-nya.

"Mami Ony? Kok, lucu sih. Macam Mami Farah aja."

"Ngawur! Lucunya di mana? Kak Ony belum punya anak, ya. Kalau Mami Farah, mah, wajar. Ada Kak Rindu, kan?"

Padahal maksudnya Naina bicara 'lucu' seperti itu bukan mengarah pada punya atau enggaknya anak pada diri Leony. Tapi pada sapaan yang menurutnya tepat disemat untuk gadis berponi serta masih setia dengan kacamata burung hantunya itu. namun mendengar tanggapan Leony barusan, membuat Naina terdiam. Enggak jadi larut terlalu lama pada tawa yang masih tercipta di bibir Tio.

Ia pun memilih bersandar pada kursi penumpang di belakang. Smoothiesnya enggak lagi seenak tadi. Ia letakkan begitu saja di sisinya. Andai tumpah, ia enggak peduli. Padahal tadi ia habiskan sebagian waktunya berkeliling area supermarket bersama Farah, cukup menyenangkan. membantunya memilih buah pun dirinya dibekali satu kantung berisi buah yang ia gemari.

Saat dijemput Tio dan Leony, keriangannya makin jadi. Ia banyak berceloteh ini dan itu, menceritakan apa pun yang didapatkannya selama bersama Farah. Mirah? Ehm ... enggak terlalu ia pedulikan. Hanya mengekori Naina dan enggak bisa menghentikan apa pun yang ingin ia lakukan di sini. kadang malah ia dimarahi Farah. Katanya, "Enggak sopan bicara seperti itu pada Tante Mirah. Beliau yang temani kamu di sini, Naina."

Kalau sudah ditegur seperti itu, yang bisa Naina lakukan hanya menunduk seraya minta maaf.

Lantas membiarkan Leony entah bicara apa dengan Farah karena ia keburu menarik Tio. seraya merengek minta satu kantung camilan yang enggak mungkin ia setujui dibelikan Farah. Dirinya diberi kartu tersendiri dari Tio. enggak mungkin enggak ada saldonya. Yang mana bisa ia bayarkan semua keinginannya dalam hal jajan. Tapi berhubung ada Tio di sini, Naina enggak akan keluarkan kartunya.

Juga enggak mungkin menolak saat satu kantung berisi buah yang Farah beri untuknya tadi. Katanya, "Kamu banyak kegiatan di sekolah, kan? Kalau enggak suka vitamin, makan buahnya jangan sampai kelupaan."

Enggak. Farah enggak banyak bicara. Dia jawab apa pun yang Naina tanya dengan singkat. Tapi semua ucapan Farah ia rekam baik-baik. Enggak, kok. Naina sudah enggak ada keinginan menggebu untuk menjadikan Farah ibunya. untuk apa? Bisa-bisa Naina mendapatkan lirikan sinis lagi. enggak bisa menelepon atau sekadar berkirim pesan lagi. Dia kehilangan, lho. makanya enggak berani berulah.

Namun berbeda dengan Leony. Yang tiap kali ia bertanya, malah banyak bicara dan makin seru percakapan mereka. Naina macam bertemu teman ngobrol yang seru dan enggak membosankan. Ada saja tingkah Leony yang menurutnya seru dan menyenangkan. Meski begitu, ucapan Leony juga enggak bisa dibantah dengan mudah. Entah bagaimana cara Leony memberitahunya, tapi yang jelas Naina enggak bisa segera menyanggah. Yang ada malah berpikir untuk enggak macam-macam.

Naina menghela pelan. matanya kembali melirik pada sosok Leony yang terhalang sandaran kursi.

Di sisi lain, Leony merasa ada yang berbeda. Naina enggak lagi bicara dan dari spion tengah, gadis itu malah duduk dengan muka agak murung. "Nai?" panggilnya pelan sembari menoleh.

"Ya?"

"Mau kutemani bertemu Kak Rindu?" tawar Leony yang rasanya ingin sekali berpindah ke belakang. Duduk di sisi Naina sembari menjelaskan kalau panggilan, ehm ... apa tadi? Mami Ony? Ya Tuhan! Enggak adakah yang lebih gila ketimbang itu? "Pak, saya mau loncat ke belakang boleh enggak?"

Tio sampai terbeliak dengan permintaan Leony. Bisa kah ditahan? Mana bisa! di saat yang bersamaan dengan kalimat itu meluncur, Leony enak banget melepas sepatunya. Menyingkirkan tasnya sedikit, mengangkat pakaiannya biar enggak terlalu menganggunya saat pindah ke belakang.

"Ony! Hati-hati!" Tio benar-benar enggak sangka kalau Leony bisa berbuat senekad ini. memang, sih, badannya kurus dan bisa semudah itu pindah. Tapi, kan? Astaga! Tio kehabisan kata-kata. Ditambah enggak ada rasa bersalahnya sama sekali pula. Malah nyengir lebar seolah tingkahnya ini bisa dimaklumi Tio.

Kalau ada Leony serta Naina di saat yang bersamaan, kadang Tio harus rela mendadak dewasa seperti sekarang. Meski nantinya ia berubah menjengkelkan dan menyusahkan Leony. Yang mana lebih banyak porsi di sisi Tio yang menyebalkan tapi ia enggak masalah. Enggak diprotes Leony, kan? Sampai detik ini belum pernah ada kata protes meluncur dari bibir sang asisten.

"Bisa geser minumnya enggak?" tanya Leony memecah canggung di antara mereka. Leony tau, ada sesuatu yang mengganjal di mana membuat Naina enggak lagi bersuara. Topik mengenai Farah enggak akan habis dibahas gadis itu sampai beberapa hari ke depan.

Kalau perkiraannya benar, Naina membungkam suaranya saat Leony menyinggung perkara panggilan 'Mami' untuknya. Sungguh, itu berat. Enggak mudah kalau sampai Naina ucapkan hal itu di depan umum, bisa jadi dirinya banyak mendapatkan pertanyaan dari berbagai sisi. Enggak. dirinya aja belum bisa meneguhkan hati perkara pernyataan Tio saat itu

Kelihatannya serius, sih, tapi Leony enggak bisa mudah percaya. Bukan apa. Ada di sisi Tio beberapa tahun membuatnya hapal mengenai kebiasaan pria itu dalam berucap. Kendati begitu, ia enggak bisa sembarangan menanggapi atau mengabaikan ucapan sang bos. Perlu ia telaah dan pelajari lebih dalam.

Tapi itu nanti.

Masih bisa ia pikirkan. Yang harus menjadi fokusnya sekarang adalah Naina.

"Bisa sendiri, kan? Lagian ngapain Kak Ony di sini?" Naina berkata agak sinis. Langsung menggeser tubuhnya sampai ke dekat pintu.

"Enggak mau ditemani Kak Ony?" Leony menyeringai tipis. "Padahal mau cerita tentang resep jus buatan Mami Farah."

Naina hanya melirik tanpa minat.

"Kata Mami, kamu itu butuh buah naga, pisang, dan mangga. Dijadikan smoothies gitu. Mau pakai madu atau gula tapi enggak bisa banyak. Dikit aja."

"Gula," sahut Naina singkat. "Aku enggak suka madu."

"Nanti bantu Kak Ony prepare buat smoothiesnya, ya."

"Sama Bi Muji aja. Aku capek." Naina melengos.

"Capeknya kenapa?" Leony tersenyum tipis. Ia pun memosisikan diri menghadap sedikit pada Naina. "Padahal tadi Tante Mirah bilang, kamu bersenang-senang sama Mami Farah. Tante Mirah kamu abaikan."

"Ya lagian ngapain dia jemput aku? rajin banget. aku biasanya juga sendiri. Dan asal Kak Ony tau, ya. Dia itu ribet banget, Kak. Masa disuruh milih baju yang enggak ingin aku pakai? Padahal aku lapar, lho. Aku telat makan tadi. Untung aja ketemu Mami."

"Jadi tadi makan juga dibayarin Mami?"

"Iya."

"Daddy sudah bilang, lho, Nai. Kalau makan—"

Ucapan Tio enggak sampai selesai terucap lantaran ia merasakan satu usapan lembut tepat di lengannya. Saat Tio melirik, tangan Ony di sana. lengkap dengan wajahnya yang tersenyum tipis di mana tanpa suara seolah mengatakan, "Biar aku aja yang bicara sama Naina."

Yang mana segera saja Tio kembali menutup mulutnya. Fokus pada setir adalah paling bagus untuknya sekarang. Seperti biasanya, Leony paling bisa membuat Naina merasa lebih baik. Pastinya. Meski tadi agak terkejut juga saat Naina mengatakan 'Mami Ony'. Seringai licik mendadak ia ciptakan berikut dengan banyaknya agenda di kepalanya.

Tio itu aslinya sosok perencana. Meski terkesan amburadul dan seenaknya, tapi percayalah Faldom di tangannya berjalan sesuai dengan rencana yang ia susun di otaknya. Sama seperti dirinya yang sering merencanakan perjalanan ke luar negeri demi festival yang akan berlangsung di sana, atau sekadar menyelupkan dirinya pada laut yang biru jernih, bermain dengan hiu atau paus di sana. Harus matang perencanaannya agar enggak menganggu kerjanya yang meski mobile, tapi ada tanggung jawab di sana.

Makanya untuk kali ini, Tio harus buat planner khusus.

'Cara menaklukan Mami Ony.'

Sepertinya itu hal yang harus ia kerjakan sekarang. Ini semua berkat siapa? Naina, lah! Anaknya itu memang membuat idenya berkembang pesat. Haruskah ia belikan boba tadi sebagai hadiah khusus?

Lanjut pada interaksi kedua perempuan di belakang yang mana salah satunya menatap Leony dengan kesal.

"Ya aku mana tau kalau dibayarin sama Mami."

"Iya, enggak apa. Nanti Kak Ony sampaikan terima kasih khusus juga permintaan maaf karena bisa jadi kamu ganggu Mami Farah lagi makan? Tadi bertemu Mami, saat beliau sama siapa?"

"Sendiri, Kak. Malah saat aku datang, sudah ada steak yang siap aku santap. Berhubung aku lapar, aku pesan kentangnya double."

Leony mendesah pelan. Ia menghitung jam pulang Naina serta perjalananya sampai mall tempat tadi mereka bertemu. Lantas jam di mana bocah ini bersama Farah. Astaga. Ada jeda cukup lama di mana seharusnya Naina sudah makan. "Perut kamu sakit enggak?"

"Tadi iya, sekarang enggak."

Gadis berkacamata itu pun menghela panjang. Ia pun bergegas mengambil tasnya, merogoh cepat demi mendapatkan sesuatu di mana obat pereda nyeri lambung ia keluarkan. Dipatahkan jadi dua dan segera ia berikan pada Naina. "Aku tau ini enggak ada efeknya, tapi paling enggak, biar kamu enggak terlalu sakit saat nanti kita makan malam."

"Pahit enggak?" tanya Naina mengernyit takut pada obat berwarna hijau ini.

"Enggak. Agak mint gitu rasanya."

"Enggak ada air putih, Kak Ony. Masa aku tenggak gitu aja?" Pokoknya Naina itu benci banget sama obat. Rasa pahitnya selalu nyangkut di tenggorokan enggak mau hilang. Belum lagi efek yang ditimbulkan untuknya, bisa muntah karena enggak mau masuk—Naina menolak minum obat makanya muntah karena dipaksa minum. Andai dijadikan serbuk sekalipun, ia masih harus menghilangkan rasa pahitnya dengan makan pisang.

Banyak.

"Enggak ada penawarnya, Kak." Naina menyingkirkan obat itu dengan segera. "Aku enggak apa-apa, kok."

Leony tersenyum tipis. "Sekarang enggak apa-apa. Takutnya saat makan malam perutmu perih, Nai."

"Enggak ada pisang," sahut Naina beralasa.

"Ada, kok." Leony mengangkat kantung belanja berisi aneka buah di dalamnya. Yang mana ada pisang yang terlihatminta perhatian gitu. Ini sudah membuat Naina mencebik enggak suka. "Dikunyah juga enggak apa-apa, Nai. Enggak pahit, kok."

"Kalau pahit?"

"Ya ... kita mampir beli cokelat."

Naina mencibir. "Itu mah kesukaannya Kak Ony. Aku mau boba lagi kalau ini pahit."

***

Leony enggak pernah peduli siapa pun yang datang ke rumah yang ditinggali Naina juga Tio (terkadang). Karena Leony tau, Tio seringnya pulang ke apartement. Sekarang aja enggak ada angin, enggak ada hujan, cuaca Jakarta juga lagi panas mentereng enggak mendadak hujan deras menyebabkan banjir. Apalagi sampai timbul putting beliung yang memporak porandakan seantero ibu kota ini.

Jangan sampai, ya! Astaga! Leony enggak bisa bayangkan kalau sampai itu terjadi.

Tio akhir-akhir ini sering pulang dan bersikap layaknya pria yang punya anak. Etapi Tio ini memang belum punya anak, kan? Naina hanya keponakan yang kebetulan ditinggal selamanya oleh kedua orang tuanya. Yang mana juga paling disayang sama Tio. Dan diumumkan secara resmi, sejak pertama kali Leony berjumpa dengan Tio di rumah sakit, kalau Naina adalah anaknya.

Enggak jadi masalah, sih.

Tapi ...

"Kalian baru sampai?" tanya Suny yang tampak semringah mendapati sang cucu dan Leony serta Tio memasuki ruang tamu.

"Iya, Oma." Meski neneknya cerewet dan kadang nyebelin di mata Naina, tapi tetap saja ia menyayangi wanita paruh baya yang merentangkan tangannya. Memintanya untuk masuk dalam pelukan. Enggak bisa Naina tolak kalau begitu.

"Gimana main di mallnya? Seru?"

"Seru." Naina mengurai pelukannya. "Selalu seru kalau sama Mami Farah."

"Iya, tadi Tante Mirah cerita kalau kamu bertemu dengan Mami Farah." Suny tersenyum penuh arti. "Tante Mirah baru selesai masak sup. Kamu harus coba. Tadi Oma sudah coba dan enak rasanya."

Naina menatap wanita berambut merah yang tersenyum padanya. Sebenarnya, di antara wanita yang pernah ia temui, Mirah paling baik. Enggak banyak tingkah dan enggak menatapnya sinis juga bermusuhan. Tapi karena Naina sudah keburu jengkel karena menurutnya, Mirah enggak memperhatikan dirinya dengan baik. Jadinya ... "Aku mau smoothies, Oma. Alpukat kayaknya enak, Kak Ony. Biar perut aku kenyang juga. Aku butuh makan yang lembut kayaknya. Perut aku mulai sakit."

Leony segera mendekat. "Serius?"

"Iya. Kak Ony bilang, telat makan enggak langsung merasa perih, kan?"

Suny kebingungan. "Telat makan?"

"Buatkan, Kak. Aku di kamar."

"Kok, bisa Ony?" Suny bertanya dengan nada khawatir setelah Naina meninggalkannya.

"Saya buatkan bubur dulu, Bu."

"Mama jangan tanya Ony, lah. Mana dia tau. Kami jemput pas Naina sudah bersama Farah. Mama enggak tanya sama Mirah?" Kali ini Tio yang bicara. Dia enggak tuli, kok, mendengar ocehan Naina yang tumpah setelah banyak pertanyaan pancingan dan jadinya membuat bocah itu enggak berhenti ngoceh.

Inginnya marah sama Mirah, tapi Tio sadar, enggak bisa marah begitu saja di depan sang ibu. Maka ... membalikkan keadaan adalah hal yang paling benar, yang bisa ia lakukan.

"Mirah?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top