[28] Bertemu Mami Farah
Buat Naina, merah itu melambangkan keberanian juga cinta yang besar. Ehm ... juga sosok wanita yang mendadak ia gandrungi kehadirannya. Enggak pernah Naina lupa bagaimana telatennya wanita itu menasihatinya perkara mens pertamanya. Duh ... sakitnya perut kala itu sampai buat Naina mau nangis. tapi mau berkeluh sama siapa?
Sementara dirinya gemetar ketakutan karena celana dalamnya mendadak ada noda merah.
Dia pikir, telat makan karena banyak kegiatan di sekolahnya yang enggak ada jeda sama sekali. dua porsi ayam tepung lengkap dengan soda serta es krim habis ia telan. Pakai bismillah, sih, makannya. Naina enggak lupa akan hal itu. Tapi setelahnya, ia kembali merasakan sakit perut yang sangat amat menyiksa. Sampai ditemani Pak Parjo ke toilet khusus perempuan di mana ia sangka, dirinya hanya kekenyangan.
Tapi begitu mendapati ada bercak darah di celananya, ia enggak bisa untuk diam saja. yang ada nangis ketakutan. Dan saat itu lah, sang bantuan datang.
Farah.
Bicaranya enggak ada kesan lembut. Matanya juga menatapnya dengan dingin macam Naina habis berbuat salah. padahal dia lho yang masuk ke dalam bilik toilet di mana ada Naina. Lantas menerangkan cara pakai benda yang menurutnya asing. Dia mana tau hal seperti ini. makanya, ia jatuh kagum pada kepribadian wanita berambut merah itu.
Ia buntuti setelahnya.
Enggak peduli kalau dimarahi, diketusi, atau disinisi oleh Farah karena ia yang enggak mau segera pulang. Dirinya juga mau pulang, apa yang akan dikerjakan di rumah? Enggak ada. semuanya sudah ada yang merapikan. Bahkan PR nya saja bisa jadi orang lain yang kerjakan. Kalau pun ia mendapatkan pengawasan dan banyak pertanyaan dari Daddy-nya, Naina selalu bisa menjawabnya. Dan kerja sama dengan Parjo biar enggak mendapatkan murkanya Tio.
Satu hal yang membuatnya melakukan tindakan gila; entah kenapa melihat Farah seolah ia melihat ibunya. potret sang ibu yang ada di ruang tamu rumahnya selalu ia pandangi lekat-lekat apalagi saat merindukan sang ibu. Dirinya ditinggalkan saat masih terlalu kecil. Dalam kecelakaan di mana katanya juga, ia ada di sana. jadi salah satu korban yang beruntung bisa terselamatkan.
Ia kejar sosok Farah sampai wanita itu kesal dan marah. Naina mana peduli. Inginya simple; Farah jadi ibunya. di samping Tio sebagai pengganti sang ayah. Makanya ia panggil Tio 'Daddy', tinggal mencari Mami, kan?
Tapi bukan Mami model gini juga!
"Kamu suka ini?" tanya Mirah sembari mengulurkan satu setel pakaian yang menurutnya cocok dipakai Naina. Sengaja ia jemput anak itu di sekolahnya. Enggak susah meminta alamat sekolah anak itu pada Bu Suny. Lagian terlihat wanita paruh baya itu enggak keberatan kalau cucunya ia dekati. Toh ... kalau sang cucu dekat dengannya, bukannya gampang menarik perhatian incarannya?
Tio.
Sudah ia susun banyak rencana menggaet hati Naina termasuk menemaninya menghabiskan waktu berdua. Seperti sekarang. Ada di salah satu mall di bilangan Jakarta selatan.
"Enggak," tukas Naina dengan ketusnya. "Tante mau belanja apa, sih? Aku capek banget, lho, ini. mau pulang. Kalau masih lama, Tante sendiri aja, deh."
Mirah menghela pelan. "Niatnya Tante mau belikan baju kamu. atau sepatu? Tas mungkin?"
Tangan Naina mengibas pelan. "Banyak banget barang aku yang belum dipakai. Aku bisa dimarahi Daddy kalau beli lagi. kemarin sama Daddy dan Kak Ony sudah banyak bagianku." Tangannya lantas ia lipat di dada. Matanya menatap jengkel pada wanita yang ada di depannya ini.
"Oke kalau gitu gimana kita makan siang dulu? Kamu belum makan, kan?"
"Sudah enggak lapar." Sungguh, tadinya begitu masuk ke dalam mall ini, tujuannya jelas foodcourt. Menu pilihannya sudah ia gambar di kepala. Potongan daging di atas nasi dengan lelehan mentega, pipilan jagung manis, serta buncis yang ia sukai. Ia juga sudah bicara dengan Parjo untuk mengantarnya tapi sayang, si wanita berambut merah jadi-jadian ini bilang biar dirinya bersama Naina.
Tapi mana?
Malah diajak belanja! Enggak tau apa kalau lapar Naina bisa jauh lebih galak ketimbang biasanya? Lapar bikin otak enggak konsentrasi, kan? ditanya apa pun juga enggak nyambung. Tapi kenapa Mirah terus saja mendesaknya untuk mengikuti permintaannya?
"Mau makan apa? Roti manis? Es coklat? Ayam tepung?"
Naina enggak ingin banyak mendengar ucapan Mirah lagi. ia memilih untuk berjalan lebih dulu meninggalkan sosok wanita itu. untuk pertama kali dalam hidupnya, di mana semula ia merasa wanita berambut merah itu cantikn dan baik hati, ia benci. Terutama pada sosok Mirah ini. entah dari mana, sih, asalnya perempuan ini datang? Lagian kenapa Omanya kurang kerjaan sekali memperkenalkan Mirah di dalam hidupnya?
Katanya, "Nai harus bersikap baik dengan Mirah, ya. Orangnya baik, kok. Kalian pasti bisa bersabahat."
Ngapain juga Naina diberi sahabat seperti ini? kalau Omanya bisa, bawakan Mami macam Farah, sabahat seperti Leony, dan teman berdiskusi macam Gio. Enggak perlu yang lainnya. tapi sang oma mana bisa, kan? dia juga sudah berjanji untuk enggak menghubungi Farah lagi kecuali dalam ...
Ini urgent, kan, ya?
Seringai tipis muncul mendadak di belah bibir tipis Naina. Ia pun segera mengambil ponselnya. Sebelum mencari nomor Farah, ia berdoa dulu. Kata Leony, sebelum memulai sesuatu harus meminta pada Tuhan agar dipermudah. Ia hanya ingin diberi kelancaran menghubungi Farah dan dijemput di sini. semoga aja bisa.
"Nai?" panggil Mirah yang cukup terkejut dengan perubahan sikapnya yang mendadak. Padahal di mobil tadi, menurutnya enggak ada yang aneh. Anak itu mau diajak bicara dan sesekali menceritakan mengenai sekolahnya. Enggak ada pertanyaannya yang enggak dijawab Naina. Tapi kenapa sekarang malah berubah?
Dia juga sudah menawarinya makan, kan?
"Mami," Naina berhenti melangkah. "Ehm ... Tante, aku ganggu?"
"Kenapa, Nai?"
"Aku di PIM. Bisa bertemu?"
"Oh, kebetulan saya di PIM. Di Steak house. Kamu sama siapa? kalau ada Parjo, beri ponselnya ke Parjo. Biar saya minta dia temani kamu bertemu saya."
"Enggak usah. aku bisa sendiri."
"Bisa jangan membantah."
Naina mencebik. "Oke." Ia pun berbalik. "Tante Mirah, tolong antarkan aku ke Steak House."
"Ya?"
"Bisa enggak?"
***
Farah memperhatikan dengan amat cara anak yang ada di depannya makan. Sesekali ia berdecak sebal karena enggak hati-hati kala mengunyah. "Mau tambah kentangnya?"
"Boleh." Naina tersenyum lebar sekali.
"Kamu benar-benar seperti anak yang enggak keurusan, Nai."
Naina tertawa. "Daddy mau rapat entah apa itu namanya. Bikin Kak Ony juga sibuk. Jadinya enggak ada yang perhatikan aku lagi, Mi, eh ... Tante."
"Sudah lah. Terserah kamu mau panggil saya apa. Mami juga boleh."
"Serius?" Naina mengerjap enggak percaya. "Mami enggak bohong, kan?"
Farah menggeleng pelan. "Habiskan makannya." Lantas matanya teralih pada sosok wanita yang datang bersama Naina. Enggak banyak yang mereka bicarakan karena memang belum pernah bertemu sebelumnya. "Dimakan, Mirah. Atau lagi diet?"
Mirah tersenyum simpul. "Enggak, Mbak. Hanya membatasi karbo aja."
Farah mengangguk paham. Menyuap santai salad pesanannya. Ia berada di sini sekadar menghabiskan waktu. Putrinya mendadak ingin makan masakannya tapi enggak di apartemen. Inginnya duduk bersama di meja makan kos sang suami sebelum mereka pindah ke BSD.
Rumah yang dalam tahap renovasi itu sudah selesai penataannya. Berikut rumah yang Robert sediakan untuk mereka tinggal. Makanya ia cukup terkejut mendapati telepon dari bocah yang menurutnya menyebalkan tapi di satu sisi, ia kasihan.
"Saya tebak, pasti Mbak Farah ini Mami yang sering diceritakan Naina."
"Mungkin," sahut Farah singkat. "Nai, potongan dagingnya terlalu besar itu. kamu enggak bisa ngunyah nantinya." Farah kembali berdecak. "Saya mau bantu kamu enggak kasih."
"Nai sudah besar, Mi. Bisa sendiri. Kak Ony bilang aku harus mandiri."
"Betul yang Ony bilang. Tapi enggak gitu juga. Kalau kamu tersedak?"
Naina nyengir lebar. "Biasanya Kak Ony yang bantu, berhubung enggak ada, Mami boleh bantu?"
Farah memutar bola matanya tapi enggak menolak. Mana bisa ia menolaknya saat mata itu menatapnya dengan riang. Naina, hanya gadis kesepian yang egois.
"Sudah telepon Daddy kamu?"
Naina mengangguk cepat.
"Nanti disusul Daddy dan Kak Ony. Jadi aku boleh main dulu di sini sampai mereka selesai."
Farah mengangguk pelan. potongan daging itu diiris jauh lebih kecil agar Naina bisa menyantapnya dengan nyaman. Farah minta agar porsi kentangnya ditambah karena sepertinya, anak ini belum makan padahal jam sudah menunjuk angka tiga. Astaga. Kalau seperti ini terus bisa-bisa Naina terkena asam lambung?
Yang benar saja!
Sementara Mirah enggak ubahnya seperti patung yang enggak mengerti apa pun. ia sendiri mau menawarkan bantuan pada Naina, gadis kecil itu sama sekali enggak ingin dibantu. Tapi di depan Farah, terlihat sekali kalau ada kemanjaan di sana. Padahal niatnya Mirah ingin mendekat dan akrab dengan Naina dari waktu ke waktu. Eh ... malah mendapatkan hal seperti ini.
"Saya enggak bisa temani Naina lebih lama, Mirah. Saya harap kamu menjaganya dengan baik."
"Iya, Mbak. Jangan khawatir masalah itu."
Senyum Farah timbul lagi tapi kali ini sedikit ia condongkan tubuhnya pada Mirah yang duduk di sampingnya. Enggak mungkin ia bicara di mana Naina bisa mendengarnya. "Anak kecil paling tau mana yang tulus, mana yang enggak. saya enggak peduli tujuan kamu apa, tapi yang perlu kamu tau, Naina gadis yang butuh perhatian ektra double. Enggak gampang meruntuhkan kekeras kepalaannya."
Mirah menelan ludah gugup.
"Saya hanya mengenal Tio sesaat. Enggak banyak yang kami obrolkan kecuali Naina. Melihat kehadiran kamu sekarang, saya merasa kalian ada hubungan khusus?"
"Bisa dibilang gitu, Mbak."
Farah kembali tersenyum lebar. ia pun kembali duduk dengan santainya. Melipat kakinya dengan anggun. Gaun soft cream sebatas betis itu sedikit tersingkap di bagian kakinya. Menampilkan betapa kaki Farah, putih mulus terawat. Rambutnya yang kini sedikit lebih gelap, pas sekali bersanding dengan bentuk wajahnya. juga riasannya yang enggak terlalu tebal.
"Saya doakan semoga hubungan kalian lancar."
"Apa yang lancar?" sela Naina.
"Kamu sebentar lagi ujian, kan, Nai?' Farah mengalihkan topiknya dengan cepat.
"Iya. Kak Ony banyak ajarin aku mengenai materi yang enggak aku tau."
Farah mengulum senyumnya tipis. "Hebat, ya, Kak Ony?"
"Hebat banget, Mi. Enggak tau, deh, dia tuh bisa aja bantuin kerjain PR aku. kemarin aku dapat nilai B plus untuk hasta karya patung burung dari tanah liat. Padahal dikerjainnya malam, lho. besok aku ada tugas buat peta dunia. Sudah bilang sama Kak Ony, sih. Makanya nanti malam Kak Ony datang."
"Syukurlah. Naina sudah punya teman, kan?"
"Iya." Naina tertawa lebar.
Mirah yang mendengar semua hal yang Naina katakan, terasa enggak suka dan ada yang menyulut api di sekitar tubuhnya. Makanan yang ada di depannya ini enak, ia tau itu. tapi karena berulang kali nama Leony disebut tanpa beban, serta ada keriangan di sana, membuat Mirah enggak terima.
Dia sudah berusaha, lho, untuk mendekati Naina.
"Saya permisi sebentar, Mbak." Ia enggak tahan juga akhirnya. Sedikit menepi ditambah ia juga harus melaporkan tingkah cucu dari Suny ini dengan segera. Meski kepalanya dipenuhi amarah, tapi Mirah berhasil keluar dari restoran itu tanpa perlu berjalan dengan entakan. Biasa saja. padahal matanya menatap sinis pada siapa pun yang berani melirik ke arahnya.
Ditariknya napas panjang sebelum akhirnya ia pun merogoh tasnya. Mengambil ponsel yang ada di sana, menghubungi seseorang sekadar untuk memberitahu posisi terakhirnya kini.
"Saya di PIM dengan Naina," kata Mirah berusaha seringan mungkin. "Bersama Naina saya, yah ... habiskan waktu."
"Kalau cucu saya memang terlalu keras kepala untuk didekati, jangan dipaksakan, ya, Mirah. Saya sudah peringati sejak awal."
Mirah terdiam.
"Saya minta kamu datang dan berkenalan dengan Tio. Tapi kalau Naina yang enggak menerima, jangan dipaksa karena memang anak itu enggak mudah akrab dengan orang lain."
"Iya, Bu."
"Semoga jalan kali ini, kalian bisa tambah akrab ya."
Andai saja ... astaga, Tuhan!
"Yah ... saya sendiri jadinya pusing dengan respon Tio ke kamu. Jangan terlalu diambil hati, ya, Mirah?"
"Enggak, Bu." Mirah mencoba tersenyum kembali. "Saya sadar diri, kok."
"Seharusnya enggak jadi masalah kalau hanya berkenalan aja. Cuma memang anak Ibu ini luar biasa keras kepalanya. Wajar aja single terus."
"Atau malah sudah punya wanita idaman yang enggak Ibu tau?"
Agak lama Suny terdiam. "Saya enggak tau kalau itu. andai pun ada, saya senang sekali. paling enggak, anak saya enggak terus menerus kerja keras."
Mirah mengepalkan tangannya.
"Saya sering bercerita mengenai Tio, kan? Saya seperti kehilangan anak satu-satunya sekarang. yah ... mau marah dengan takdir juga percuma, kan, Mirah?"
"Iya, Bu."
"Ya sudah. Setelah puas bermain dengan Naina, kamu bisa kembali ke rumah. Saya siapkan makan malam spesial kali ini."
Dalam komunitas yang mana Mirah serta Suny sebagai anggota, posisi Suny memang paling dihormati di sana. selain jabatannya sebagai ketua, banyak hal yang Suny lakukan untuk komunitas. Mirah bagian dari partisipan yang banyak berkontribusi serta berhubungan dengan Suny. Apa pun yang Suny katakan di komunitas itu, enggak ada yang enggak menuruti. Semuanya bahu membahu membantu Suny termasuk Mirah.
Makanya begitu ia diajak bicara mengenai keluarganya, terutama sang putra, ia cukup penasaran. sayangnya ... ia lupa, itu hanya sebatas cerita dan berkenalan semata. Enggak ada keinginan lebih.
"Aku mau ikut Mami Farah belanja buah. Kalau Tante Mirah enggak mau ikut, bisa pulang bersama taksi."
Mirah mengerjap heran.
"Naina," kata Farah dengan nada penuh peringatan. "ENggak baik bicara gitu."
"Kan, aku benar, Mi?"
Farah menggeleng pelan. "Kayaknya memang Naina hobi sekali kalau bicara itu memancing emosi seseorang."
Atas ucapan wanita cantik di depannya ini, Mirah tertawa. Setuju karena apa yang dikatakan itu benar.
"Saya mau ajak Naina belanja buah. Stok buah di kulkas anak saya sudah habis. Naina juga tunggu Daddynya jemput, kan?"
"Iya, Mi." Naina sudah menggandeng tangan Farah. "Ayo, buruan."
"Saya ikut, Mbak. Naina ada di bawah tanggung jawab saya."
"Saya senang mendengarnya." Farah tersenyum lebar.
"Ehm ... Mami, kakak rambut pirang itu namanya siapa, deh?"
"Rindu," sahut Farah singkat.
"Oke, Kak Rindu. aku boleh bertemu?"
"Untuk?" Farah penasaran juga.
"Minta maaf." Naina sedikit menunduk. "Saat di rumah sakit, aku tau aku salah. Kak Ony bilang, harus minta maaf kalau salah."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top