[27] Optima

Nadia sebenarnya agak gelisah karena pertemuan kali ini. Meski awalnya ia yang membuka suara, tapi enggak sampai mendapatkan terror, kan? dia ketakutan. Sungguh. Tapi enggak bisa kalau dirinya diam saja, kan? ia butuh hidup dan bekerja. Pada akhirnya, ia memilih mundur dari keingiannya bersuara.

Padahal dirinya bukan yang melakukan. Hanya tau kalau ada penyimpangan besar dalam tubuh Optima yang disokong Faldom beberapa tahun lalu. Data yang ada pada dirinya juga bisa memberatkan banyak pihak. Makanya ia memilih mundur karena enggak ingin ada yang terjadi pada hidupnya. Ia pikir setelah berlalu bertahun-tahun, dirinya bisa terbebas dari rasa bersalah yang ada. Lantas memberitahu apa yang terjadi sesungguhnya.

Ia lupa ... proyek ini pasti didalangi banyak petinggi yang berkepentingan.

"Akhirnya saya bisa bertemu dengan Bu Nadia," Tio menjabat tangan sang wanita yang tampak tersenyum tipis sekaligus memindai sekitarnya dengan rasa cemas. Bertemu banyak orang mengajarkan Tio arti tatapan termasuk pada rekan bisnisnya. Termasuk sekarang. "Ibu tenang saja. saya pastikan kita bicara di sini dalam keadaan aman."

Ada embus lega yang Nadia keluarkan, mungkin tanpa sadar. Mereka pun duduk di ruang yang sengaja dibuat seprivasi mungkin. Leony mengatur sedemikian rupa agar enggak ada gangguan termasuk lalu lalangnya pengunjung lain.

"Semoga enggak menurunkan niat baik saya di awal." Nadia tersenyum tipis.

"Enggak, kok." Tio tertawa. "Kita makan siang dulu? Atau langsung ke inti pembicaraan?"

"Terserah Pak Tio. Saya enggak jadi soal. Waktu saya untuk siang ini cukup panjang."

Tio mengangguk paham sembari melirik ke arah Leony yang tengah mengeluarkan laptop serta laporan yang sudah ia kumpulkan untuk dibahas bersama Nadia. Sebagian besar sudah mereka ketahui jawabannya namun ada beberapa yang Tio masih belum bisa memercayai begitu saja ucapan Nadia.

Pun sang wanita yang menata rambutnya dengan gelung cukup tinggi. Memamerkan leher jenjangnya yang dibalut kalung mutiara cantik. Di mana dirinya dibalut setelan blazer serta rok sebatas lutut yang apik sekali memeluk tubuhnya itu.

"Jadwal Bapak juga enggak terlalu padat siang ini, kok. Hanya mengecek banyak laporan saja dan sebagian saya lihat," Ucapan Leony terhenti lantaran ekor matanya menangkap, bagaimana Tio mengamati Nadia. Lekat serta penuh minat. Ya Tuhan, kenapa juga dia bodoh sekali menyetujui permintaan Tio di mana sang pria akan membuktikan diri berubah?

Apanya yang berubah kalau sekarang saja sudah menatap wanita dengan buasnya? Leony tebak, isi kepalanya sudah membaca berapa ukuran bra serta pakaian yang dikenakan Nadia. Enggak bisa Leony pungkiri kalau Nadia ini termasuk wanita yang cukup menarik. Tapi ini meeting, kan?

Kenapa Tio selalu mengambil kesempatan dalam kesempitan, sih?

"Saya lihat apa, Ony?" tanya Tio tapi matanya sama sekali enggak teralih. Hanya terpusat pada Nadia. Enggak. Tio bukan tengah mendalami peran sebagai seorang pemburu. Tapi ada sesuatu yang cukup membuatnya mengambil keputusan yang sepertinya bisa untuk keuntungan di sisinya juga.

Nadia ... wanita yang enggak ingin tertinggal dalam hal fashion. Tio bisa melihat itu dengan jelas. Bahkan kukunya dikikir dengan sangat baik serta pemulasnya dikerjakan oleh professional. Enggak bisa Tio tampik, pekerjaan sebagai seorang manager hotel memang dituntut styles. Dan ini juga yang membuat idenya muncul. Karena sejak awal bertemu, Nadia enggak nyaman bertemu di luar. Setelah Tio pastikan tempat ini sangat privasi, barulah diturunkan sikap waspada sang wanita.

"Bapak sudah kerjakan sebagian besar," kata Leony sembari mendesah kesal sebenarnya. Berhubung ia sangat menyadari kalau Tio ini memang sukanya berulah, ia meletakkan agendanya agak kasar. Berhubung mendadak ia jadi perhatian, senyum palsu segera ia tampakkan. "Saya panggilkan pelayan? Biar pesan makan dulu sembari ngobrol?"

"Boleh." Nadia tersenyum tipis. sembari ia merogoh tas tentengnya yang ada di kursi sebelah tempatnya duduk. Satu flashdick kecil ia letakkan di meja. "Saya enggak ingin menjelaskan banyak pertanyaan Bapak dan Mabak Leony. Saya sudah buat salinan yang saya tau. Mbak Leony bisa cek."

Tio mengerutkan kening tapi kemudian menarik sudut bibirnya riang. "Saya pelajari dulu?"

"Silakan, Pak."

Tak seberapa lama, pelayan restoran datang dengan menu di mana Leony bantu pilihkan untuk makan siang kali ini. kebanyakan menu yang ditawarkan seafood yang disukai Tio. beruntung Nadia enggak terlalu banyak memilih dalam hal menu. Ia juga kebanyak diam dan menanggapi dengan senyuman vcanggung. Kalau Leony boleh berpendapat, wajar kalau Nadia dihinggapi kekhawatiran.

Jujur Nadia katakan pada Leony, dirinya tertekan. Tapi enggak bisa asal mundur karena ia tau apa yang terjadi.

"Tapi setelah semuanya dipelajari, mohon sekali saya enggak dilibatkan lebih jauh."

"Ibu dalam keadaan terancam?" tanya Tio. matanya telak sekali menatap Nadia yang terperangah. Buru-buru dilenyapkan kekhawatiran yang ada di wajah Nadia barusan. yang sayangnya, keburu ditangkap Tio. "Ibu tenang saja. Saya pastikan Ibu aman."

"Caranya?" Leony memang enggak mengerti dalam hal ini.

Tio jelaskan panjang lebar mengenai rencananya sebagai bentuk rasa terima kasih karena Nadia mau membantu. Berkas yang ada di flashdisk itu dengan cepat Tio pelajari. Yang mana tanda tanya besar yang selama ini menganggunya terjawab sudah. Tio baru sekelebatan memelajari tapi sudah dibuat geram dengan satu demi satu laporan yang ada. Makanya ia memberi perlindungan pada Nadia agar jangan sampai ada sesuatu yang buruk menghampiri.

Awalnya Nadia menolak tapi alasan yang Tio kemukakan, cukup masuk akal. Menyetujui bentuk perlindungan Tio sampai dirasa kondisinya aman. Serta dipastikan kalau Nadia enggak terlibat sama sekali dalam tindak pencucian uang yang dilakukan Faldom beberapa tahun lalu. Tahun awal di mana Tio menjabat. Yang membuat Faldom hampir saja runtuh.

Harusnya banyak yang memuji kinerja Tio selama berusaha keras sepanjang tahun kembali membuat Faldom berjaya. Sayangnya pujian itu hanya sebatas di muka. Tio sadar hal itu, kok. Makanya ia enggak suka kalau ada yang menganggunya bekerja. Ia dengarkan banyak saran tapi belum tentu dipakai. Ia lebih memilih konsultasi dengan pakar dan sering melakukan tindakan ekstrim namun hasilnya enggak kira-kira ketimbang mengikuti arahan pada petinggi Faldom.

"Ony," panggil Tio di saat semua menunya sudah disajikan. "Kamu suka udang, kan?"

"Iya. ini saya pesan tomyam seafood." Leony mengerjap heran. Ia masih belum bisa menikmati santapannya. Dirinya masih harus memastikan enggak ada yang kurang untuk Tio. Serta menjamu Nadia dengan sangat baik karena ia juga memahami, Nadia kunci dari apa yang bosnya tuju.

"Wah, sepertinya lezat, ya, Mbak Ony?"

"Sepertinya, Bu." Leony tertawa. "Tapi saya acungi jempol dengan menu yang kemarin Ibu bawakan. Bapak sampai habis makannya."

Nadia tersenyum lebar. "Syukurlah. Saya merasa bersalah sekali menghindari kalian terus. Padahal seharusnya itu enggak saya lakukan."

Leony mengangguk penuh paham. "Sekarang kita makan dulu aja, ya, Bu."

Tio yang sejak tadi memperhatikan mereka berdua, yang mana niat di awal ingin merecoki menu yang Leony pesan, akhirnya ia urungkan niat. Malah yang ada, udang bakar bagiannya sudah ia letakkan diam-diam di piring Leony. Serta sengaja ia pesankan satu makanan penutup khusus untuk Leony.

"Selamat makan Mbak Ony, Pak Tio." Nadia jauh lebih lega sekarang. Juga rasanya enggak ada yang perlu ia takutkan, kan? Tio menjamin keselamatannya. Keseriusan itu langsung diperlihatkan Tio di depan matanya. Menghubungi kenalannya untuk selalu memantau Nadia dari jauh. Selama Tio mengungkapkan kasus ini yang pastinya akan menyangkut pada ranah hukum, Nadia memang punya kekhawatiran sendiri. Satu-satunya manager finance yang enggak ingin menikmati apa pun yang ditawarkan, hanya dirinya.

Ia bukan orang suci, tapi kalau urusan yang menyangkut tindakan seperti ini suatu saat pasti akan terbongkar. Buktinya sekarang?

"Selamat makan, Bu." Leony balas dengan senyum tak kalah lebar. Tapi saat matanya kembali ke piring sajinya, "Lho? ini udang bakar Bapak, kan? kenapa ada di piring saya?"

"Saya makan sup ikannya cukup." Tio menyuap besar-besar mangkuk yang berisikan potongan daging ikan lengkap dengan kaldu serta irisan daun bawang yang menyegarkan. "Di sini rekomend rupanya untuk menu seafoodnya, ya."

"Iya, Pak." Nadia berusaha mengimbangi obrolan yang terjadi. Rasa sungkannya juga mulai menghilang berganti dengan banyak pembicaraan random terutama seputar pekerjaan. Ekor mata Nadia enggak bisa ditipu atas interaksi antara Tio dan asistennya ini tampak berbeda.

"Bapak dan Mbak Ony ini ... pasangan kekasih?"

"Ya?" Leony terperangah. "Enggak, Bu." Dengan gegasnya ia menggeleng. Di mana Tio mendadak bertindak! Ya Tuhan! Tolong sadarkan Tio biar enggak membuat malu! Masa ia dia menggeser tangannya seolah merangkul Leony, padahal enggak seperti itu, sih. Tapi lengan yang menyentuh punggung kursi yang Leony duduki sudah menjawab segala hal tanpa sentuh, kan?

"Ony malu mengakui kalau saya kekasihnya, Bu."

Leony melotot tak percaya. Yang mana Tio malah mengerling jahil padanya. Astaga! Leony belum lupa bilang pada Tio, kok, semalam. Ia minta dibuktikan keseriusan Tio. Yang mana tadi saja ia sudah dibuat ragu. Tapi sekarang kenapa malah diperlakukan seperti ini?

Maunya Raptor apa, sih?

***

Leony mengecek sekali lagi hasil yang ia kumpulkan dan ditabrakan dengan data yang diberikan Nadia. Enggak ada yang terlewat dan jadinya, segala hal yang menjadi tanda tanya terjawab. Ia sampai gemetar menginput banyaknya uang yang keluar demi proyek ini berjalan. Yang mana enggak ada hasilnya sama sekali.

Bahkan ditanya kejelasannya pun enggak ada yang bisa memberikan data valid.

"Gimana?" tanya Tio sembari membawa tablet kerjanya. "Kontrak kerja sama juga sudah saya dapatkan."

"Iya, Pak." Leony melepas kacamatanya. Menghela pelan saking enggak percaya atas apa yang ia hadapi di layar kerjanya. "Saya kaget banget."

"Saya sudah minta orang untuk mengawasi Manager Purchasing dan Finance. Jangan sampai saat rapat komisaris nanti mereka enggak ada."

"Pak Farhan?"

Tio terdiam sejenak. Diletakkan perlahan tablet yang ia pegang di meja Leony. Ia pun menyugar rambutnya dengan helaan frustrasi. "Itu lah. Saya enggak sangka Farhan segila itu."

Leony juga sepemikiran. Farhan, salah satu komisaris serta pemegang saham yang suaranya cukup diperhitungkan dalam tiap keputusan tahunan yang Faldom adakan. Yang mana hubungan kekerabatan dengan Alm. Kakak iparnya; Kak Azkia, cukup jelas. Kakak dari Bu Yesy. Yang Tio juga letakkan hormat dan segan serta berpikir dulu sebelum memberi sanggahan karena Farhan sendiri, orang yang enggak setuju saat nama Tio yang muncul sebagai pemegang kuasa sementara di Faldom.

Dari semua bukti yang ada, apa yang Tio pertanyakan sepanjang ia bekerja di bawah bendera Faldom, terjawab sudah. Pengumpulan bukti ini juga penting untuk membuat bungkam orang-orang yang seenaknya menaruh rasa enggak percaya pada Tio. menyangsikan cara kerjanya yang menurut mereka seenaknya. Tapi enggak berpikir, kalau Faldom digerogoti.

"Tapi kamu sudah minta bantuan mengecek rekening beliau, kan?"

"Sudah, Pak." Leony mengeluarkan satu berkas yang ia simpan rapi di meja. "Tapi kebanyakan aliran dananya dilarikan ke Yayasan yang Bu Gema."

"Yayasan Cinta Kasih?"

"Iya, Pak."

Tio mengangguk pelan. "Ada waktu untuk kita sambangi?"

"Bapak yakin sambangi di saat sekarang?" Leony menatap Tio dengan lekatnya. "Bahaya, Pak."

"Kamu benar." Tio menyandarkan dirinya dengan segera. Ia memejam seraya memijat ujung pelipisnya lelah. "Jadi? Apa yang akan kita lakukan?"

"Sepengamatan saya, ini sudah lebih dari cukup untuk membuat laporan ke kepolisian. Pihak pengacara Bapak juga sudah dihubungi, kan?"

"Barusan saya meeting, kan?" Tio tertawa. "Lupa?"

Mana mungkin meeting Tio siang jelang sore ini Leony abaikan. Dirinya dibuat sibuk enggak keruan tapi juga diminta pekerjaannya selesai? Coba! kalau bukan dirinya yang menjadi asisten Tio, jadi apa bos tukang suruh itu?

"Pulang sekarang?" tanya Tio sembari mengambil tabletnya kembali. "Saya sudah selesai, sih. Atau kamu mau ada yang dikerjakan lagi?"

"Enggak. Semuanya sudah beres."

"Pulang ke rumah dulu, ya?"

"Mau ngapain? Saya butuh rehat, Pak."

"Rehat di kamar saya juga enggak jadi masalah, Ony."

Leony berdecak. "Naina enggak ada tugas hari ini. Tadi anak itu sempat memberi kabar. Tapi besok ada membuat peta dunia."

"Nah, pas itu kamu yang buat. Gambar kamu bagus."

Ucapan itu mendapat sambut cebikan sebal dari Leony.

"Saya serius, Anna." Tio menopang dagunya dengan kedua tangan. Matanya lurus menatap Leony yang tengah merapikan berkasnya. Mengunci dengan rapi dan teratur lemari yang berisikan file penting serta membawa laptop kerja yang Tio tau sekali isinya berupa data perusahaan. Yang mana gadis itu sama sekali enggak terpengaruh dengan sorotnya yang intens.

Seolah telah menjadi sebuah kebiasaan yang ia dapatkan dalam keseharian; ditatapi Tio.

"Perdalam aja kemampuan gambar kamu."

Ucapan Tio membuatnya menghentikan gerak tangan memeriksa isi tasnya.

"Enggak mungkin kamu bekerja di sini terus, kan? Kemampuan kamu bisa buat kamu keliling dunia, kok, Anna. Saya yakin itu."

"Maksudnya?"

"Bicara sambil pulang? Ehm ... sekalian buatkan teh seperti kemarin, Anna. Enak. Saya suka."

Leony masih loading mencerna perkataan sang bos.

"Ayo, Anna. Waktu terus berjalan. Buatkan teh enggak lama, kan? Ada termos kecil yang kamu punya, kan? Jangan terlalu panas. Jangan terlalu manis juga. Toko roti di bawah ada croissant-nya, kan? Kamu beli biar kita santap di mobil. Makan malam di rumah aja. Bu Muji masak soto ayam."

Raptor kalau bicara bisa pakai jeda, kan?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top