[23] Tio suka teh buatan Leony
Mak Lampir:
Angkat telepon saya, Tio!
Tio berdecak sebal. Diletakkannya kembali ponsel karena banyak yang harus ia urus.
"Pak," sapa Leony sembari membawa satu berkas yang sudah ia koreksi. "Bu Nadia mau bertemu tapi di luar jam kantor dan agak privasi. Mengingat apa yang akan beliau sampaikan memang cukup krusial."
Tio sedikit berjengit lantaran kaget dengan kemunculan Leony yang mendadak. "Enggak jadi soal." Ia pun berdeham pelan sembari menerima uluran berkas dari Leony. "Tim keuangan bagaimana? Sudah beri laporan lengkap dua kuartal ini?"
"Sudah, Pak. Bisa dicek diemail. Saya sudah cek dan semua oke. Bapak bisa beri approval untuk mereka lanjutkan."
Tio mengangguk. Matanya kembali turun menatapi laporan yang baru saja Leony berikan. "Untuk berkas ke Optima, sudah kamu siapkan, kan?"
Leony memilih mengangguk saja. "Tapi, Pak, semisal semua kecurigaan kita benar dan data menunjukkan hal yang valid, rapat komisaris jadi kisruh nantinya."
"Harus kisruh, lah. Raptor pecinta kerusuhan."
Bibir Leony mencebik. "Bisa berbahaya kalau mereka dendam sama Bapak apalagi sampai dimasukkan ke penjara."
"Korupsinya enggak main-main, Ony. Ini terjadi di saat saya baru banget megang Faldom. Saat saya benar-benar butuh dukungan, malah dibuat seolah saya ini enggak becus. Dan yang membuat saya heran, kenapa saat itu Kak Abyan setuju?"
Leony yang masih berdiri di depan meja kerja Tio, tak tahu haru respon bagaimana. Dirinya jadi karyawan Faldom saja belum sempat bertemu sang bos utama. Ya, Tuhan! Kalau saat itu ia bertemu dengan Abyan, berarti hantu sang bos utama yang menemuinya? Gila saja. Mendadak Leony mengusap tengkuknya.
"Kamu kenapa?" Tio heran jadinya. "Ada yang salah?"
"E-enggak, Pak."
Tapi Tio mana mau percaya. "Duduk dulu. Kenapa kamu mesti berdiri seperti itu? Kaki kamu memangnya enggak capek?"
Leony berdecak pelan. Ingin sekali mengatakan kalau bokongnya sudah tepos sejak tadi pagi.
"Kamu sudah buat janji khusus dengan Bu Nadia, kan? Sudah tentukan tempatnya di mana?"
"Sudah, sih, Pak."
"Oke."
Obrolan mereka terjeda sejenak dengan ketukan pintu yang membuat mereka menoleh. Yang mana sosok wanita pengirim pesan yang enggak digubris Tio, muncul di sana. "Lho? Tante?"
Tio ini tak pernah konsisten memanggil sapaan untuk seseorang. Tapi yang paling sering terjadi hanya kepada Yesy seorang. Kalau dalam mode mengalah dan tak ingin banyak debat, Tio lebih sering gunakan kata 'Oma' apalagi di depan Naina. Mengajarkan Niana sopan santun itu perlu. Kalau dalam mode ingin berdebat dengan kekuatan penuh, seringnya Tio memanggil Yesy dengan sebutan Ibu. Tapi kalau Tante, biasanya Tio tak mempersiapkan diri dengan kemunculan atau interupsi Yesy di depannya kini.
"Tante ngapain di sini?"
Yesy rasanya ingin menghantam kepala Tio dengan tas yang ia bawa. Kebetulan isinya barang yang cukup beras; payung lipat, tas make up, ponsel, tablet, serta botol parfum. Jika mengenai kepala Tio yang menyambutnya dengan cengiran tanpa rasa bersalah sedikit pun ini, pasti bisa menimbulkan benjolan kecil. Tak masalah, yang penting dirinya puas. Seenaknya mengabaikan dirinya padahal ia sudah meluangkan waktu ke Jakarta. Benar-benar keterlaluan.
Tapi mengingat bagaimana effort serta kasih sayangnya terhadap sang cucu, Yesy mencoba sabar. Lagi pula Tio pasti repot menggantikan Abyan bertahun-tahun sampai nanti bisa diserahkan pada Naina. Sebagai seorang ibu yang kehilangan putri tercinta, juga sebagai nenek yang merasa sangat sedih karena cucu kesayangannya harus tumbuh tanpa kasih sayang orang tua, ia sudah bersyukur sekali Tio memperhatikan Naina.
Walau, yah ... seenak udel!
"Bu," sapa Leony dengan santunnya. "Selamat datang. Saya enggak tahu kalau Ibu mau ke sini?"
"Iya." Yesy membasahi bibirnya dengan decakan. "Ini semua karena bos kamu yang kurang ajar itu enggak mau angkat telepon saya."
Leony mengerjap bingung. Segera ia larikan tatapannya pada Tio yang masih menyeringai lebar. Dan kini sang bos sudah beranjak dari duduknya lantas seenaknya merangkul sang wanita paruh baya itu. Meski menerima jeweran serta cubitan di lengannya, tapi sang pria tak marah.
Leony sendiri suka heran dengan kelabilan perasaan Tio. Belum Leony lupa, kok, keluhan Tio mengenai neneknya Naina yang ada di Surabaya. Malah perjalanan dinas kemarin juga, sepanjang jalan bosnya tak berhenti mengeluh ini dan itu kala akan menghadapi Yesy.
Padahal kalau Leony pikir, apa yang Yesy inginkan sederhana. Hanya bertemu Naina si cucu kesayangan, mendapatkan kabarnya sesering mungkin, juga tahu perkembangan yang terjadi dalam hidupnya Naina. Tapi karena telinga Leony masih ingin sehat dan tak mau mendadak tuli saking sering mendengar ocehan Tio, maka ia mendukung apa pun keluhan sang bos.
"Ony, siapkan Tante Yesy teh melati. Biar tenang hatinya."
Yesy berdecak tapi kemudian tersenyum tipis.
"Baik, Pak." Leony mengangguk patuh.
Sementara Leony yang sudah pergi meninggalkan mereka berdua, giliran Tio yang tak lagi pasang senyum di wajah. Tak perlu lagi pura-pura ramah. "Tante ada urusan apa ke sini?"
"Memang saya enggak boleh berkunjung?" Yesy berdecak heran.
"Kalau kunjungannya menanyakan Faldom atau Naina, saya terima dengan senang hati. Tapi kalau kunjungannya hanya sebatas menanyakan dan menyodorkan agenda kencan saya, lebih baik Tante bertemu Mama saja. Silakan berkolaborasi sampai kalian merasa, sudah paling hebat menentukan pasangan saya."
Yesy terperangah. "Kamu mengintimidasi saya?"
"Enggak," Tio membasahi bibirnya lantas tersenyum tipis. "Saya enggak nyaman direcoki perkara jodoh, Tante."
"Tapi yang ibumu bilang itu benar, kok. Saya sendiri sampai heran, siapa sih Mami Farah itu? Kamu enggak mau kasih tahu sampai sekarang."
Tio menghela panjang. "Memangnya Naina masih suka cerita mengenai Mami Farah itu?"
"Enggak, sih."
Rasanya Tio mau mencebik sebal jadinya. "Saya rasa Naina sudah paham apa yang saya jelaskan mengenai batas perkenalan mereka. Lagi juga hanya karena Farah berambut merah, enggak mungkin juga seleraku jadi wanita seperti itu, Tante."
"Selama wanita itu baik dan bisa dekat dengan Naina, enggak ada salahnya mencoba Tio."
Tio mengembuskan napas lelah. "Iya, Tante." Tak ingin banyak bicara, Tio hanya merespon seperti itu saja. "Meski saya heran juga, sih, kenapa agenda kencan buta konyol ini gencar sekali dilakukan? Ada apa memangnya?"
Yesy terdiam.
"Ada sesuatu? Yang menyangkut Faldom? Saya diharuskan punya istri untuk melanjutkan kepemimpinan Faldom?"
"Dari mana asalnya itu, Tio?" Yesy mencibir. "Saya serahkan Faldom di tangan kamu tanpa embel-embel seperti itu."
Tio memilih diam sembari melipat tangannya di dada. Menunggu apa yang akan wanita itu katakan sebagai pelengkap keingintahuannya.
"Tante dan Mama kamu ingin, kamu juga punya kehidupan pribadi yang layak, Tio. Berapa tahun kamu kerahkan untuk Faldom? Saya pribadi kadang merasa egois sama kamu. Seringnya banyak menuntut kamu harus selalu siap sedia untuk Faldom dan Naina. Sampai saya lupa, kamu juga punya kehidupan pribadi," kata Yesy dengan ringisan tipis. Sedikit menunduk karena memang merasa atas keegoisan yang ia punya pada Tio.
"Saya mengerti kekhawatiran Tante dan Mama kalau begitu," Tio tersenyum tipis. Namun ucapan selanjutnya terjeda dengan kedatangan Leony yang masuk dengan dua buah cangkir. "Kok, dua? Siapa yang satunya, Ony? Saya enggak suka teh, lho."
"Ini teh dibawakan spesial dari Ibu. Bapak pasti suka. Aromanya juga enak, kok." Leony tersenyum riang. Diletakkan perlahan cangkir teh milik Tio juga Yesy. "Untuk Ibu," kata Leony sembari mempersilakan bagian untuk sang wanita.
"Tadi saya bawakan lapis Surabaya buat camilan kamu, Ony. Untuk Tio terpisah. Kamu tahu, kan?"
"Tahu, Bu. Sebentar saya ambilkan yang sudah dipotong. Tadi belum siap."
Yesy tersenyum tipis. "Naina gimana? Katanya semalam belajar nungguin kamu pulang?"
Inginnya cepat kembali ke pantry mengambil bolu khas Surabaya untuk disajikan dengan segera, namun pertanyaan barusan membuatnya melambatkan gerak. "Iya, semalam saya ajarkan Non Nai dulu."
"Kamu enggak bilang sama saya, Ony?" Tio merengut tapi juga tampak enggak nyaman dengan cangkir tehnya. "Ini ... ganti dengan lainnya, Ony. Enggak bisa, ya?"
"Coba dimasukkan gulanya dulu, Pak." Leony kembali fokus pada sisi Tio. Ia pun mengambil beberapa bongkah gula batu yang tersaji di dekat mereka. "Segini saya rasa cukup." Ia pun mengaduk pelan. "Bapak bisa coba dan rasanya enak, kok."
"Ini teh, Ony, bukan kopi. Kamu tahu, kan, saya kurang suka?"
Leony mengangguk. "Coba dulu."
"Kalau enggak enak?"
"Saya traktir makan malam nanti. Tapi kalau enak, Bapak traktir saya makan malam."
"Oke." Tio pun mengangkat cangkirnya dengan enggan tapi matanya menatap Leony lekat. "Awas saja kalau enggak enak. Saya hukum kamu."
Senyum Leony masih tak mau pergi sampai ia perhatikan detik demi detik yang berlalu. Di mana isi cangkir itu mulai membasahi sela bibir sang bos dan akhirnya, mungkin disesap sedikit. Lantas ... "Kok, enak?"
"Enaklah, Tio." Yesy menyela. "Kamu itu memang enggak percayaan, ya? Apa yang Leony katakan itu benar. Pastinya juga asisten kamu sudah mencoba sebelum dikasih ke kamu. Lagian enggak akan saya bawakan sesuatu yang enggak enak," cibir Yesy telak.
Senyum Leony makin lebar. "Iya, Bu. Teh yang Ibu bawa saya suka. Makanya saya ingin Bapak merasakan cita rasa teh ini juga."
Yesy setuju meski ujung bibirnya tertarik penuh arti. Ia pun mulai menikmati bagiannya di mana Leony kembali undur diri. Mendengar Tio meletakkan cangkirnya, Yesy menoleh. Isinya sudah tersisa separuh. "Enggak suka, Tio?"
Yang mana ditanggapi dengan tawa renyah khas Tio yang kini memenuhi ruangannya. "Memang enak, Tante. Saya enggak sangka rasanya cukup nyaman masuk di tenggorokan saya."
"Apa karena Ony yang buat?"
"Mungkin." Tio masih mempertahankan tawanya.
Berhubung Leony sudah kembali masuk, Yesy biarkan dulu mereka bicara entah apa saja. Kebanyakan seputar pekerjaan mereka di mana pastinya berkaitan dengan Faldom. Juga interaksi yang sebenarnya ditangkap berbeda oleh Yesy. Sabar sekali Leony hadapi Tio. Di mata Yesy, Tio menjelma menjadi bocah ingusan yang mencari banyak perhatian, tak kenal waktu dan tempat. Persis seperti Naina yang keras kepala serta tak mau kalah.
Karena hal ini juga, ia pun menyingkir sejenak. Lengkap dengan ponselnya yang segera ia sambungkan pada seseorang.
"Sudah di Jakarta?" tanya si penerima telepon di ujung sana.
"Sudah." Yesy melirik siapa tahu salah satu di antara dua orang yang ditinggalkan di sofa itu mendadak memberinya perhatian. Menguping misalnya. Tapi tidak, saat ia menoleh, malah terlihat dua orang itu jauh lebih akrab bicaranya. "Saya lagi di kantor Tio."
"Gimana menurut Mbak Yesy?"
Yesy tertawa. "Seperti yang kamu duga, sih. Saya setuju kalau ini diteruskan."
"Biar Leony sadar."
"Atau saya perlu pinjam sepupu jauh Azkia? Untuk goda Ony mungkin? Buat Tio makin enggak keruan?"
Di sana, Suny tertawa lepas. "Idenya ya ampun!"
"Saya yang gemas sama mereka berdua. Saling suka tapi enggak ada yang mau bilang."
"Gengsi, Mbak."
"Alah!" Yesy berdecak pelan. "Sudah, ya. Kita bertemu di rumah. Saya jemput Naina dulu."
"Iya, Mbak. Hati-hati di jalan."
"Kamu enggak lupa ajak Mirah, kan?"
"Enggak dong."
"Kebetulan tadi Tio bilang mau ajak Leony makan malam. Kita pertemukan mereka. Gimana?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top