[22] Satryo Stress
Saat kehilangan panutan dalam hidupnya yang semula bebas, Tio sampai tak ingin keluar kamar. Bingung apa yang harus ia lakukan karena semua yang terjadi begitu mendadak. Terutama setelah selesai pemakaman. Ada dua orang bersetelan resmi datang di tengah acara pengajian yang masih berlangsung khidmat.
Naina kala itu masih berjuang dengan lukanya. Sang nenek, Suny, yang menungguinya dengan setia. Terkadang bergantian dengan Yesy. Meski terkesan banyak aturan, cerewet, kaku, tapi Yesy itu menyayangi Naina setulus hati. Hanya saja pihak Yesy agak kurang terima saat dibacakan akta waris yang Abyan tulis kala itu.
Nama Tio didapuk meneruskan Faldom. Menjaga Naina sampai nanti ia dewasa. Yang mana membuat Tio serasa direnggut kebebasannya. Sayangnya Tio mana bisa ngeluh? Himpitannya besar sekali di tengah keraguan yang mendadak datang. Padahal Tio itu tidak buruk amat, kok, memegang kendali. Ia hanya tak ingin terlalu serius menapak hidup.
Cita-citanya keliling dunia. Bekerja tanpa perlu kantor dan bertemu banyak orang. Menemukan cinta sejati, menikah bersama, punya anak agar Naina punya teman. Dalam bayang Tio, anaknya mungkin sama rusuhnya dengan Naina. Tio paham betul kalau Naina itu gadis yang tak bisa diam, memiliki daya pikat untuk menjadi anak dengan predikat menyebalkan.
Hanya itu yang inginnya Tio. Sederhana, kan? Didukung? Abyan mendukung sekali apa yang Tio lakukan. Yang terpenting, kuliahnya beres. Kakak iparnya? Sering sekali membiayai perjalanannya ke luar negeri meski hanya sebatas; ingin melihat paus misalnya.
Kurang enak apa hidupnya Tio?
Lantas Tuhan jungkir balikkan segalanya. Sampai di titik di mana ia sadar, ia tak bisa menjalani hidup seperti semula. Ada tanggung jawab yang jatuh di bahunya. Tak bisa ia biarkan Naina sendirian. Tak terbayang juga dalam benak, anak sekecil itu mencari kedua orang tuanya yang telah tiada.
Di bawah tatapan banyak orang yang tak setuju, Tio menerima apa pun yang Abyan pinta. Sebagai bentuk pelampiasan tersendiri, di sela waktu sibuknya menjalankan Faldom, Tio tak pernah kekurangan wanita. Dianugerahi tampang yang memang tampan, dengan mudah ia menundukkan banyak wanita.
Terkecuali ... gadis yang menawarkan bantuan.
Bagi Tio yang sebenarnya mengagungkan kesetiaan, janji adalah janji. Sayangnya, otak Tio bergeser karena ditekan sana sini. Membuat ia mengubah sedikit pandangannya mengenai arti kesetiaan. Yang mana Tuhan sekali lagi bermain dengannya. Menghadirkan Leony tepat di saat Faldom mulai stabil tapi kebiasaannya bersama wanita, sudah keburu menancap menjadi keseharian.
Leony melepas sabuk pengamannya. Mesin mobil Tio belum ia matikan. "Saya sudah sampai di rumah, Pak. Bapak bisa pulang sendiri tidak?"
Tio menoleh dengan rengutan. "Kamu ... benar-benar pergi ninggalin saya?"
"Saya enggak meracuni minum Bapak dengan alkohol, lho. Kenapa Bapak melantur?" Leony tertawa. Diambilnya tas yang ia letakkan di kursi belakang. "Saya pulang, ya, Pak. Terima kasih sudah boleh nyetir."
"Abrianna," panggil Tio lagi.
"Jangan panggil saya seperti itu, Pak." Leony tersenyum simpul. "Selamat malam, Pak Tio. Sleep well. Hari esok masih panjang."
"Kamu tega banget sama saya." Bahu Tio jatuh lunglai, matanya sengaja menatap Leony dengan nelangsa.
"Dari mana saya tega?" Leony mengerjap pelan.
"Enggak mau diajak kencan sama saya."
"Kencan sama Rara saja lebih baik."
Tio melepas sabuk pengamannya dengan desahan frustrasi. Membuka pintu sama seperti yang Leony lakukan. Mengiring langkah Leony yang mulai menggeser gerbang hitam tua yang menimbulkan derit cukup mengganggu. "Saya jemput besok?"
Leony menghentikan gerakannya, menoleh seraya masih dipertahankan senyumnya yang penuh palsu ini. "Enggak usah. Bapak lebih baik antar Naina sesekali ke sekolah. Pasti Nai senang."
"Ya sama kamu, lah."
"Saya masih repot kalau harus terlalu pagi berangkat." Ini bukan sekadar alasan, sih, tapi kejujuran yang bisa Leony katakan.
"Jadi kamu enggak mau kencan sama saya?"
Leony dengan tegasnya menggeleng.
"Walau saya ganteng?"
"Siapa bilang Bapak jelek?"
Tio mencibir. "Saya mapan, lho, Ony."
"Saya tahu." Leony tertawa. "Sudahi, Pak. Saya mau masuk. Capek." Untuk mempertegas ucapannya, ia sedikit merenggangkan punggung. "Bos saya lagi tega banget mempekerjakan saya enggak pakai kira-kira, Pak."
Tio berdecak. "Kenapa masih mau bekerja kalau gitu?"
"Yah ... butuh duit, lah, Pak. Apalagi?" Leony menyeringai lebar. "Bapak pulangnya hati-hati, ya. Jangan sampai saya mendadak ditelepon kalau kondisi Bapak dalam keadaan enggak baik."
"Kamu doakan saya yang buruk, Abrianna?"
Leony makin jadi tawanya. "Enggak, Pak."
Mata Tio enggak lepas sebenarnya sejak mereka bersama di mobil. Di mana seenaknya Tio memberikan kunci mobil pada Leony. Alasannya, "Saya lelah banget. Bisa enggak kalau kamu yang nyetir? Saya mau tidur sebentar?"
Tio yakin Leony tak akan menolak meski mukanya mendadak cemberut. Mobil Tio sendiri entah sudah berapa kali dikemudikan Leony. Dirinya ada di samping sang gadis. Duduk santai menikmati musik yang terputar di audio yang tersedia. Tio jarang sekali meminta supir untuk mengemudikan sedannya. Ia lebih menikmati perjalanannya sendiri namun kalau ada Leony, ia manfaatkan gadis itu tanpa terkecuali.
Lagi pula Leony tak pernah menyanggah, hanya tampangnya saja berubah tak suka tapi kemudian senyumnya kembali tampak.
"Bilang sama mama saya, Bu Yesy, atau siapa pun yang berniat mencarikan saya jodoh. Saya enggak tertarik." Tio sekali lagi bicara.
"Saya sudah katakan, Pak. Kalau mereka memaksa, saya bisa apa?"
"Ponsel kamu mana?"
Leony mengerjap heran. "Kenapa dengan ponsel saya?"
"Blokir nomor mereka berdua biar kamu enggak direcoki lagi."
"Kok kekanakan sekali?"
"Dari mana asalnya kalau kamu terus menerus dibuat capek sama mereka perkara dimintai tolong cari yang sesuai? Iya, kan?" Nanti malam pasti akan Tio urus segalanya. Jangan sampai memecah konsentrasinya menghadapi urusan kantor yang mendadak menggila. Ia butuh Leony dalam keadaan fokus juga.
Leony tak bisa bicara kalau sudah tersudut. Selain karena ucapan Tio ini tepat sasaran, ia juga tak tahu harus mencari kata-kata yang sesuai lagi seperti apa.
"Kamu harus fokus bantu saya, Ony."
Kalau Tio sudah memanggilnya pada mode semula, Leony lega. Selain karena tak akan ada bujuk rayu serta mengingatkannya pada kejadian di masa lampau, pria itu juga sudah mulai serius bicaranya. "Iya, Pak."
"Ya sudah, selamat beristirahat, Ony."
Leony hanya bisa membalasnya dengan senyuman lebar. Matanya tak teralih sampai sedan milik Tio benar-benar menghilang dari pandangan. Ia mendesah pelan. "Kuatkan hati aku, Tuhan. Enggak bisa aku jatuh cinta sama orang yang enggak setia." Matanya terpejam kuat.
Saat ia berbalik, sosok sang ibu mengejutkannya. "Mama?"
"Dasar perempuan, Tolol!" Abigail menoyor kepala Leony dengan entengnya. "Dia masa depan yang cerah! Bisa kembalikan keluarga kita seperti semula, Anak Bodoh!"
Leony hanya bisa mengepal kuat. Ia tak terlalu memedulikan ucapan ibunya. Kadang ia ingin meninggikan suara pada sang ibu. Memintanya untuk berhenti merongrong Leony memenuhi kebutuhannya. Agar menyadari juga, hidup mereka sudah tak lagi sama.
"Anna!!!" teriak sang ibu dengan cukup kencangnya. Tak peduli kalau sudah malam dan bisa memancing keributan. Dia kesal karena Leony tak mau menuruti sarannya. Memiliki menantu pria kaya bisa membuatnya kembali menikmati kejayaan, kan? Tak akan ada lagi yang memandangnya remeh.
Seperti saat dirinya diagungkan kala masih berjaya dulu. Sebelum sang suami meninggal dunia lengkap dengan banyak utang. Sialan sekali suaminya itu!
"Kak," panggil Haikal pelan yang menyambutnya di depan pintu. "Kakak ... enggak apa-apa?"
"Belum tidur?" Leony agak terkejut sebenarnya tapi tetap usapan lembut ia berikan pada Haikal. "Sudah malam. Tidur sana."
"Nunggu Kakak dan Abang pulang."
"Abang belum pulang?"
Haikal menggeleng pelan namun sejurus kemudian, matanya terbeliak saat sang ibu dengan seenaknya menarik rambut Leony. Menjambaknya sampai sang kakak memekik kesakitan. "Lepas, Mama! Lepas!" Haikal langsung menolong sang kakak. Ia tak terima kalau kakaknya selalu diperlakukan kasar oleh sang ibu.
"Ma!"
Beruntung pertolongan itu datang. Hari segera menarik sang ibu, serta melepaskan tangannya dari rambut sang kakak. "Cukup, Ma!"
"Kurang ajar kalian semua! Sialan! Anak enggak berguna!"
***
Naina menatap wanita berambut merah di depannya dengan penuh perhitungan. Tak peduli kalau dirinya mendapatkan tatapan yang sama. Yang pasti, Naina tak akan kalah. Apalagi kalau sampai wanita ini berpikir, rainbow cake yang dibawa bisa membuatnya luluh.
Tidak, ya. Naina bisa membelinya sendiri. Uang jajannya cukup untuk memilih aneka ukuran.
"Enggak mau dipotong? Atau Tante Mirah bantu potong?"
"Enggak usah."
"Naina, jangan enggak sopan sama Tante Mirah." Suny tersenyum lebar. "Maafkan cucu saya, ya. Memang agak ketus anaknya."
"Enggak apa, Bu, saya paham." Mirah tersenyum lebar. Dengan anggunnya ia potong bagian kue berhias icing gula manis. Ia sajikan pada gadis kecil yang sejak awal kedatangannya, tak menurunkan sikap permusuhan. Berhubung Mirah terbiasa menghadapi anak kecil, apalagi seperti Naina yang keras kepala, ia yakin mudah mengambil hatinya.
Mirah, wanita yang akan diperkenalkan dengan Tio, mengenal baik sosok Suny. Beberapa kali bertemu di seminar mengenai pemberdayaan wanita, sebenarnya Mirah tak tertarik untuk kencan buta seperti ini. Namun bujuk rayu Suny terutama menjual nama Naina, anak yang kesepian itu membuatnya tergerak. Meski sambutan yang ia dapat cukup mengejutkan.
"Selamat malam, Naina." Ia pun menyodorkan piring kecil berisi potongan cake tadi. "Ayo, dicoba."
"Aku kenyang." Naina mendorong piringnya dengan sedikit kasar. "Aku mau tidur. Aku yakin Daddy enggak akan pulang ke rumah. Dia pasti bertemu Cacing Unicorn di luar sana."
"Cacing Unicorn?" Suny terperangah. "Apa itu?"
"Adalah." Naina menggeser kursinya di mana bertepatan dengan kemunculan Tio.
"Mama di rumah? Tumben." Tio mengerutkan kening. Matanya juga bersirobok dengan wanita asing yang ada di dekat ibunya. Tak salah kalau Tio punya dugaan di mana sang ibu memang serius mengusiknya perkara jodoh. Wanita sedikit berumur, rambut merah, cukup cantik dengan make up yang dikenakan.
"Duduk dulu, Tio." Suny tersenyum cerah. "Kenalkan ini kawan Mama. Namanya Mirah."
Tio menghela panjang. Demi sopan santun, demi nama ibunya juga, serta tak ingin ia buat keributan di malam ini, ia pun mengulurkan tangan. Disambut dengan senyum tipis dari sang wanita tentu saja. "Tio," katanya singkat. Berusaha sabar karena tingkah ibunya malam ini. "Nai sudah makan?" tanyanya pada sang keponakan setelah melepaskan tahutan tangan mereka.
Hanya sebatas formalitas, kan?
Apa yang Leony katakan mengenai sosok Tio itu pemangsa ulung, jelas benar. hanya sekelibatan mata di mana ia tahu dirinya diperhatikan penuh minat oleh sang wanita, andai tak ada yang mengusik pemikirannya, pasti sudah ia terkam. Sampai tak bersia. Prinsipnya, tak ada kata sia-sia bagi Tio. Namun ucapan Leony mengenai penolakan serta 'ranjang' yang terus menerus bergema di kepalanya, benar-benar mengusik.
"Kapan saya ada niat seperti itu, Abrianna?" tanya Tio dengan sorot tak percaya.
"Sudah, Daddy." Naina menatap Tio dengan heran. "Daddy kenapa? Kok, tampangnya kesal?"
Bagaimana Tio tak jengkel meski ucapan Leony memang kenyataan. Ada saat di mana asistennya itu dengan seenaknya ia minta untuk mengurus kesenangannya. Memesan hotel, mengirimkan beberapa barang untuk teman tidurnya, juga ... garda terdepan untuk memberi mereka alasan Tio tak ingin lagi berhubungan.
Berengsek sekali Tio!
"Ladies, saya kebetulan lelah sekali." Tio tersenyum lebar. "Saya ke kamar dulu, ya. Mohon maaf enggak bisa temani kalian ngobrol. Besok saya masih ada meeting panjang."
Naina mengikutinya. "Nai juga, Oma. Besok berangkat pagi, kan? Bye, Oma. Bye Tante Merah."
Suny melongo, Mirah hanya tersenyum tipis.
Mata Mirah tak lepas menatap punggung tegap Tio. Satu hal yang pasti, mendadak ia ingin berkenalan dengan Tio secara personal. Selain tampan, bagi Mirah ada sesuatu yang memicunya untuk mendekat pada sang pria. Toh ... ibunya meminta ia kencan buta dengan sang putra, kan?
***
Kalau mau versi cetaknya sudah bisa diorder di sopi, ya.
Akun aku tau dong yaaa
Raptor_book_store
secinta itu aku sama Daddy Raptor.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top