[21] Abrianna Leony Jacob
Tio merenggangkan otot tubuhnya yang agak kaku. Bagian leher belakangnya ia urut pelan. Sedari makan siangnya selesai bersama sang ayah, pekerjaannya tak ada henti menghampiri. Kadang ia keluar hanya untuk menggeser jadwal yang ada pada Leony. Lantas meminta asistennya menyiapkan banyak data untuk menunjang apa yang ia butuhkan.
"Sudah jam enam rupanya." Tio meringis tipis. Dari meja kerjanya, bisa terlihat asistennya masih duduk dikelilingi beberapa odner yang ada di samping mejanya. Kadang Tio perhatikan, Leony membenahi kacamatanya. Lalu kembali fokus melanjutkan pekerjaan. Ada satu botol minum besar yang tak pernah jauh dari sisi layar komputer Leony. Berwarna hitam di mana banyak ditempeli stiker Minnie Mouse Tio tahu itu perbuatan siapa. Bahkan botol minum itu juga ia tahu kapan Leony dapatkan.
"Leony dekat dengan Naina, kan?" tanya Arfan yang membuat Tio menoleh. Piring berisi makan siang yang disajikan Leony barusan, sudah tak menyisakan apa pun kecuali sisa kuah serta potongan sayur yang kurang ia minati; sawi putih.
"Dekat," sahut Tio. "Enggak penting banget pertanyaan Papa." Ia pun menyambar gelas berisi air minum yang lagi-lagi, sudah Leony siapkan untuknya.
"Apa yang buat kamu enggak melirik ke Leony? Lebih memilih mengencani perempuan yang enggak jelas?"
Pertanyaan itu sudah sering didapati Tio. Yang mana ia tak punya jawab dengan pasti. Yang ada malah dirinya melirik ke meja Leony di mana sang asisten sudah duduk bergumul dengan pekerjaan. Tampangnya datar, senyumnya timbul tenggelam, bahasanya juga kadang santun kadang buat Tio pusing. Tapi yang paling ia senangi dari kinerja Leony, gadis itu selalu berupaya mengimbanginya. Meski kadang kesalahannya banyak, tapi Leony dengan cepat dan tanggap mengubah ke arah yang lebih baik.
Juga ... permintaan maafnya yang sering Tio dengar kalau Leony memang salah. Tak pernah malu dilontarkan alih-alih mendebat dirinya. Kadang ucapan maaf Leony buat Tio gemas. Ingin sesekali ia dengar Leony mendebatnya. Makanya kadang ia menjadi pribadi yang menyebalkan hanya demi agar Leony bukan sebatas meminta maaf. Tapi mengeluarkan pendapatnya. Mengkritik dirinya yang sering membuat gadis itu jengkel.
"Papa dan Mama enggak jadi soal kalau kamu memang serius dengan Leony. Kalau masalah cantik, sepertinya bekerja sama kamu itu benar-benar di bawah tekanan. Buktinya dia selalu serius kalau di kantor."
"Papa memberi kesan kalau aku bos yang jahat?" Tio tak percaya mendengar ucapan sang ayah barusan.
"Kenyataannya seperti itu, kan?" Arfan tertawa. "Papa cuma bisa beri peringatan, jangan sampai kamu menyadari kalau Leony berharga, di saat kamu enggak bisa bergerak ke mana-mana."
"Maksudnya?"
Arfan mengedikkan bahu. "Papa mau kembali ke kantor."
"Leony memangnya mau ke mana?" Tio mendengkus geli. "Dia butuh pekerjaan ini, kok." Dengan percaya diri, ia tinggalkan kursinya. Melirik gelas miliknya yang sudah kosong. Bisa saja ia isi sendiri karena dispenser tersedia di ruangannya. Tapi tidak.
Ada yang ingin ia lakukan. "Ony," panggilnya sembari terus melangkah mendekat.
"Ya, Pak?" Leony membenahi kacamatanya. Agak lelah, sih, matanya tapi ia tak bisa meninggalkan laporannya begitu saja, kan? Pertemuannya dengan Nadia tadi, membuat ia banyak menggeser pekerjaan yang seharusnya bisa selesai sore ini. Maka pikiran lembur adalah yang terbaik. Lagi juga ia tak bisa pulang kalau Tio masih ada di ruangannya.
"Ambilkan saya minum."
Leony menatap Tio tak percaya. "Dispenser di ruang Bapak sudah kosong, kah?"
"Masih ada." Tio menyeringai sembari menarik salah satu kursi yang ada. "Saya kelewatan melangkahnya. Jadi kamu saja yang ambil, ya." Disodorkan gelas miliknya pada Leony.
Gadis itu berdecak sebal. Ingin sekali misuh-misuh tak keruan pada Tio yang seenaknya seperti sekarang. Mencibir adalah yang bisa ia lakukan sekarang.
"Ony, kamu mau Pepper Lunch? Rice Salmon?"
"Bapak lapar?" Leony memastikan suhu untuk minum Tio sesuai. Hari ini Tio menuruti perkataannya untuk tak meminta cangkir kopi selanjutnya. Biasanya kopi yang Tio konsumsi itu dalam jumlah yang cukup banyak. Pernah suatu waktu, Leony tak bosan berapa kali ingatkan makan tapi Tio tak menggubris. Saat itu Tio berkali-kali rapat dengan pemilik tender besar yang tengah Faldom lobby. Proyek ini memang Leony akui, hasilnya luar biasa berdampak pada Faldom.
Leony bangga dengan apa yang Tio kerjakan. Tapi selang dua hari kemudian, Tio ambruk. Masuk rumah sakit dengan kondisi asam lambung tinggi.
Sejak saat itu, Leony memperketat semua asupan yang masuk ke dalam tubuh Tio termasuk kopi. Awalnya, ya ampun! Rasanya Leony mau gigit ban truk saja. Alot sekali berdebat dengan Tio. Untungnya, ancaman dirinya resign masih berlaku dan bisa membuat Tio sedikit melunak. Sampai detik ini, hanya diperbolehkan maksimal dua cangkir kopi itu pun Leony yang lebih sering membuat takarannya.
Termasuk juga menu makan siang serta malam yang kadang masih Leony urus lantaran lembur bersama.
"Saya masih ada pekerjaan yang enggak mau dibawa pulang." Tio masih belum mau beranjak dari ponselnya. "Mau enggak?"
"Boleh, Pak."
"Steak?"
"Enggak, Pak. Cukup yang tadi aja."
"Tadi siang kamu makan apa?" Tio menggeser duduknya. Matanya segera ia larikan pada sosok Leony yang kini sudah mendekat padanya. "Kamu bilang sudah makan tapi kenapa saya enggak percaya, ya?"
Eh ... Leony malah tanggapi dengan senyum tipis. Padahal pertanyaan Tio tadi mengkhawatirkan keadaan sang asisten, lho. Dan ke mana cemberut yang Leony munculkan barusan? Hilang begitu saja?
"Ini minumnya, Pak." Leony meletakkan perlahan gelas sang bos. "Saya sudah makan siang tadi. Kalau belum, saya bisa pingsan karena banyak sekali tugas dari bos saya. Belum lagi entah sudah berapa kali," Ia pun mengambil agenda yang enggak pernah jauh dari meja jangkauannya. "Ehm ... di catatan saya sudah lima kali ganti jadwal untuk seminggu ke depan."
"Ada yang lebih penting dari sekadar pertemuan biasa, Ony," kata Tio lengkap dengan decakannya. "Duduk," perintahnya kemudian. "Saya pesankan rice salmon juga steak buat kamu. Menu saya juga enggak jauh beda, kok."
"Pepper Lunch untuk menu rice-nya banyak banget, Pak. Ditambah steak? Perut saya bisa meledak."
"Kamu mendadak ngawur, Ony?"
Leony mendesah pelan. "Saya enggak bisa makan terlalu banyak."
"Tapi saya diprotes sama Papa jadinya. Kesannya saya ini enggak memperhatikan kamu."
Gadis itu mengerjap pelan. Kacamata berframe merah gelap yang cukup tebal ini, masih bisa menangkap ekspresi Tio yang lekat menatapnya. Hal itu membuat Leony mendesah pelan. "Bapak baik, kok. Enggak pernah lupa memberi kebaikan ke saya."
Tio terdiam. Sudah ia pesan apa pun yang diinginkan. Tinggal menunggu kedatangannya saja dan ia bisa bersantap dengan Leony malam ini. Namun satu hal yang menggelitik baginya. "Papa bilang, kenapa saya enggak mendekati kamu saja untuk menjadi teman kencan?"
"Saya asisten Bapak. Bukan teman kencan."
"Ketimbang saya melakukan pendekatan dengan orang asing? Yang saya rasa enggak banget pilihannya? Bukankah lebih baik bersama kamu?"
"Hanya karena dipaksa punya teman kencan sama orang tua? Saya dikorbankan, Pak?"
Tio ngakak sejadi-jadinya. "Kalau saat perayaan kurban, Ony, kamu enggak masuk kategori. Tubuhmu terlalu kurus dan enggak menarik sama sekali."
Leony menghela pelan. "Nah, itu Bapak tahu. Sama seperti wanita yang mengelilingi Bapak. Berbeda dengan saya, kan?"
Tio masih menyisakan tawa namun setelahnya, ia menegakkan punggung. Ia fokus menatap Leony yang duduk di dekatnya ini. "Saya belum lupa cara kamu melamar saya, kok."
Leony tersenyum tipis. "Itu sudah lama terjadi, Pak. Kalau boleh saya minta, saya tarik saja pernyataan konyol itu."
"Abrianna."
Cara Tio memanggilnya kali ini, membuat jantung Leony sama sekali tak sehat. Nada suara itu sedikit berat tapi penuh fokus di sana. Satu hal yang membuat Leony makin tak bisa berkutik; Tio terus menatapnya lekat. Tuhan! Tolong singkirkan Tio dari hadapannya saja. Kalau sudah seperti ini, bisa-bisa Leony lemah imannya.
Sayangnya, kecewa yang Leony punya untuk Tio terlalu besar. Menutup rasa kagum serta keinginan terkecilnya. Cukup bagi Leonny memandangi punggung lebar sang pria ketimbang harus jadi salah satu wanitanya. Masa iya, Leony menyerahkan diri sebagai piala bergilir hanya karena ucapannya di masa lalu?
Tuhan takdirkan mereka kembali bertemu, tapi Leony yakini, mereka tak untuk bersama.
"Iya. Saya nikahi kamu di masa depan. Tunggu saya temukan kamu. Oke? Yang terpenting, selamatkan anak saya dulu."
Leony saat itu, mana berpikir pemuda setampan Tio sudah memiliki anak. Yang ia pedulikan, keinginannya memiliki suami tampan di masa depan. Sayang, takdir dengan kejam merenggut segalanya dari Leony. Sampai titik di mana ia berusaha bangkit dan berjuang, membuatnya lupa pernah ada janji yang terucap.
Saat Tuhan baik hati mempertemukan mereka, keadaan membuat Leony sadar. Janji itu hanya sebatas kata. Apalagi sang pria, meski mengingat dirinya, sama sekali tak memedulikan janji yang pernah ada. Bertindak seenaknya. Melukai harga dirinya. Kalau saja bisa Leony tarik ucapan itu, pasti sudah ditarik sejak lama.
"Konyol banget minta nikah sama buaya macam Tio!" katanya tiap malam kalau ingat mengenai kejadian di rumah sakit kala itu.
"Kenapa sekarang malah saya ditolak berkali-kali? Apa karena saya enggak kunjung berikan cincin buat kamu?"
"Tio, please," kata Leony pelan. "Sudah saya utarakan alasannya." Jikalau Tio sudah memanggil dengan nama depannya, biasanya pembicaraan di antara mereka berkisar mengenai hati. Leony tanpa sadar refleks menyebut nama Tio tanpa embel-embel apa pun.
Panggilan itu pula membuat Tio ingin sekali agar Leony terus menerus menyebut namanya seperti tadi. Namun rasanya itu mustahil. Sukar sekali bagi Leony untuk menuruti pintanya. Padahal apa susahnya memanggil nama Tio? Memang, sih, kalau di kantor harus tahu sopan dan hierarki yang ada di mana Tio adalah bosnya. Tapi kalau mereka hanya berdua?
Kesannya Tio ini sudah bapak-bapak sekali, kan?
"Kamu tahu, saat itu saya enggak butuh banyak berpikir untuk setuju. Meski kamu bilang itu pernyataan konyol, tapi buat saya, apa yang kamu minta sebanding."
"Enggak bisa ditukar, Tio, antara menyelamatkan nyawa dengan hidup bersama seumur hidup." Leony masih mengulum senyumnya setipis mungkin. "Makin ke sini, saya makin paham kalau kita berbeda."
"Katakan apa yang berbeda?" Tio melipat tangannya di dada. "Enggak terima kalau memperbandingkan dengan latar belakang." Ia pun mengibaskan tangannya pelan
"Dulu saya naif, kok. Saya serius. Meminta seorang pemuda yang dalam keadaan kalut, untuk menikah padahal saya belum lulus sekolah." Leony tertawa. "Lantas Tuhan kembali pertemukan kita lagi. Dan saya gembira sekali, sungguh. Saya senang melihat Naina tumbuh sehat dan enggak kurang apa pun. Saya jadi merasa bersalah sekali pernah melontarkan ucapan aneh itu."
"Enggak terima maaf dari kamu."
Leony masih berusaha menarik sudut bibirnya. "Iya, enggak apa-apa kalau Raptor enggak mau maafin Siput."
"Abrianna." Tio mendesah frustrasi. "Ayo, lah. Saya sudah terima lamaran kamu dulu, kan? Berarti selama waktu itu sampai sekarang, kita bertunangan, kan?"
Makin lebar jadinya tawa Leony. "Kayaknya hanya saya tunangan yang besar sekali hatinya melihat pasangannya, tidur bersama wanita lain."
"Itu lagi yang dibahas," Tio berdecak. "Aku juga sudah katakan alasannya, lho. Mereka sekelebatan, Abrianna."
"Memang Tio cinta saya?"
Tio mengerjap pelan. Ucapan itu baru kali ini terlontar dari bibir tipis yang Leony miliki.
"Saya pahami kalau wanita yang ada di sekitar Tio hanya penghiburan semata. Siapa, sih, yang enggak tertarik dengan wanita cantik?" Ia pun kembali tersenyum padahal untuk mengatakan ucapan itu, ia butuh banyak keberanian. Apalagi di bawah tatapan Tio yang macam orang mau diterkam. Ganas.
Kalau Leony katakan Tio ini Raptor benar, kan? Tapi enggak ada Raptor mukanya seganteng Tio, sih.
"Tapi saya bukan wanita cantik, Tio."
"Yang bilang kamu cantik siapa?"
"Semoga ada pria yang bilang saya cantik." Ih! Kalau saja Leony berani mengacak rambut Tio, menarik tangannya, serta menggigiti lengan sang pria kuat-kuat, pasti sudah dilakukan sejak tadi. Kenapa juga ia harus berhubungan kembali denagn masa lalunya dalam kondisi seperti ini? Mau disesali seperti apa pun, ia butuh pekerjaan ini. Mau resign, ia tak yakin ada yang bisa menggajinya seperti Faldom.
Tio berdecak. "Sudahlah. Kita berkencan yang benar-benar kencan. Saya juga sudah lama enggak berdekatan dengan wanita, kok. Kamu tahu, kan?"
"Berniat membawa saya ke ranjang kamu juga, Tio?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top