[20] Bertemu Nadia

Berhubung orang yang akan Leony temui adalah seorang Manager hotel, maka penampilannya juga menyesuaikan. Leony sebenarnya tak terlalu memusingkan perkara apa yang ia kenakan. Tubuhnya yang kurus lebih sering dibalut dengan pakaian longgar. Hanya kaerna pertemuan ini, Leony memilih untuk tampil agak berbeda. Tanpa disadari, di bahu Leony juga ia bawa nama baik sang bos.

"Bu Leony?"

Ia terkesiap namun setelahnya, senyum tipis segera hadir. "Bu ... Nadia?" sambutnya seraya menerima uluran tangan dari si penyapa.

"Oh, bukan. Saya asistennya."

Leony tersenyum simpul.

"Ibu ajak bicara di ruangannya. Enggak enak tamu datang dari jauh."

Tak ada bantahan yang ingin Leony katakan. Diikuti langkah sang asisten sembari bertanya penuh basa basi tapi ternyata ada beberapa hal yang membuatnya tampak terperangah. Termasuk harga sewa semalam di kelas VVIP yang mana ada di lantai yang menawarkan view terindah di hotel berbintang lima ini.

"Tapi Bu Leony enggak perlu khawatir. Saya dapat ACC langsung dari Ibu, kalau Bu Leony mau bermalam di sini, ada potongan khusus. Enggak perlu jauh-jauh healing ke luar kota. Hotel kami juga menawarkan fasilitas lengkap."

Leony menyeringai saja. Maunya juga healing, tapi ia tak pernah terbayangkan saat dirinya tengah menikmati apa pun yang ada di sini, mendadak Tio menginterupsi. Yang ada bukan dirinya menikmati waktu santainya, tapi malah pusing mendengar banyak ocehan serta kerepotan yang Tio buat untuk hidupnya.

Ia belajar dari banyak pengalaman liburnya yang tak pernah benar.

"Jangan kebanyakan kerja terus, Bu. Sesekali manjakan diri. Karena pekerjaan juga, semakin kita terjun di dalamnya, semakin enggak bisa keluar. Saya juga kerja, sih. Tahu kapan sibuk dan kapan harus merilekskan diri." Si asisten tadi, yang mana Leony kenali bernama Hannah, tersenyum simpul penuh arti. "Kerja sesuai porsi aja, Bu. Perusahaan enggak akan bayar Ibu kalau mendadak dirawat di rumah sakit. Yang bayar itu fasilitas karena kita bekerja di sana. Kalau Ibu kelamaan sakit juga, pastinya ada kandidat lain yang menggantikan. Dan apa yang Ibu dapat?"

Iya juga, sih.

Ucapan Hannah tak ada yang salah. Meleset saja tidak . Semuanya menurut Leony masuk sekali dalam akalnya. Tapi apa bisa dirinya melakukan hal itu? Ia tak yakin, sih.

"Nah, ini ruangan Bu Nadia." Hannah pun membukakan pintu ruangan yang mana berada di salah satu ujung koridor. Ruangan yang menurut Leony cukup nyaman untuk kategori jabatan Manager hotel.

"Selamat siang," sapa Leony yang mana segera disambut dengan senyum ramah dari wanita yang berdiri menghampiri Leony.

"Siang." Lantas Nadia pun meminta Hannah untuk menutup pintu ruangannya. Setelah memastikan pintu itu rapat tertutup, Nadia kembali tersenyum tipis. "Apa yang bisa saya bantu, Mbak ... Leony? Benar?"

"Iya. Saya Leony. Seharusnya Ibu tahu maksud kedatangan saya, kan?"

Nadia mengangguk pelan.

"Bisa katakan ke saya, kenapa Ibu menghindar?"

***

Tio melirik ponselnya dengan enggan. Sudah tiga kali getar di ponselnya mengusik tapi ia malas tanggapi. Bukan apa, nama Yesy yang tertera di sana membuatnya makin ingin mengabaikan benda pipih hitam miliknya itu. Padahal ada sesuatu yang ia tunggu tapi ... ck! Tio jadi jengkel.

"Siang, Pak."

"Siang." Tio mengernyit bingung saat sekuriti yang biasa ia temui di pintu masuk utama kantornya, justru mengetuk pintu dan memasuki ruangannya. Bersama dengan ... "Papa?"

Arfan menyeringai tipis. "Terima kasih, Pak, sudah diantar."

"Baik, Pak." Si sekuriti tadi pun undur diri.

"Papa tumben ke sini?" Tio pun bergegas menghampiri sang ayah. "Mana Mama?"

"Yakin mau bertemu Mama?"

Tio berdecak. "Kalau membawakan perempuan berambut merah buat kencan buta, enggak ya. Aku ogah!"

Arfan tergelak sempurna. "Makanya bawa calon istri ke kami, Tio."

Tio mempersilakan Arfan untuk duduk di sofa yang ada di ruangannya. Ia juga meminta OB menyiapkan kopi untuk sang ayah.

"Mana Leony? Papa enggak bertemu dia di ruangannya."

"Ada tugas kantor," sahut Tio dengan segera.

"Tumben enggak sama kamu."

"Memang harus bersama aku terus?"

Arfan masih menyisakan tawa di ujung bibirnya. "Siapa tahu nanti pulangnya Leony kenalan sama pria lain, kamu yang kelabakan."

"Lho? Kenapa aku mesti kelabakan?" Tio mencebik heran. Obrolan ringan itu terjeda saat ada yang kembali mengetuk pintu ruangannya. Dua cangkir berisikan kopi yang baru diseduh ini tersaji tepat di depan mereka.

"Pa, tolong bantu aku hentikan apa yang Mama mau. Pusing. Leony jadi ikutan dampaknya. Dia jadi sering lembur karena direcoki sama pertanyaan Mama. Mana perempuan yang sesuai sama aku dan Naina." Tio memberondong ayahnya dengan banyak hal termasuk titik di mana ia merasa ibunya agak keterlaluan.

"Maksud ibumu baik, Tio. Kamu sudah usia berapa sekarang? Sudah waktunya menikah. Apa yang kamu tunggu?"

Tio terdiam. Cangkir yang tadinya ingin ia sesap, tak jadi. Tertahan begitu saja. Bukan karena aromanya yang tak lagi menggoda, juga bukan karena kopi ini hanya sebatas kopi seduhan biasa. Tio tak jadi soal mengenai kopi hitam apa yang dihidangkan kalau tak ada Leony. Ia malas membuat repot orang lain karena percuma. Tak ada yang pas urusan selera dengannya kecuali buatan Leony.

Banyak hal yang digelontorkan mengenai pribadinya hanya pada Leony. Sampai Tio sendiri bingung, kenapa dengan mudah ia beritahu pada sosok gadis yang jauh berbeda dengan wanita yang sering menghangatkan ranjangnya. Jenis pertanyaan itu tak mampu ia dapatkan jawabannya.

Alhasil yang bisa ia katakan pada sang ayah hanya, "Aku belum siap, Pa."

"Dalam hal apa?" Arfan menyandarkan punggungnya di sofa. "Kerjaan kamu mapan, meski nantinya kamu harus kembalikan pada Naina, tapi paling enggak selama kamu di sini ada banyak hal yang bisa kamu pelajari. Papa yakin, begitu kamu melepas Faldom, kamu bisa berjaya di luaran sana."

"Iya, Pa." Tio menyadari hal itu, kok. Ia bukan orang yang serakah akan kekuasaan. Justru dirinya ada di sini, banyak yang meragukan dirinya. Di bawah tatapan sinis serta ucapan mengenai ketidakcakapannya memimpin, ia patahkan dengan kerja keras. Demi siapa? Selain Naina, juga demi sang kakak; Abyan.

"Pikirkan masa depan kamu."

"Tapi enggak lantas aku setuju dengan ide Mama, lho, Pa. Masa iya karena cerita Naina mengenai Mami Farah itu jadinya teman kencanku wanita berambut merah? Asal sekali punya ide."

Arfan sendiri kembali tergelak. Sementara Tio berdecak sebal.

"Perkara itu jangan lagi-lagi campuri, Pa. Tolong beritahu Mama. Aku bisa cari sendiri. Lagian Papa tahu, kan, aku enggak bisa dekat sama perempuan sembarangan? Naina itu ... duh, Pa! Gawat banget kalau ngerjain gadis yang lagi dekat sama aku."

"Kamu benar." Sekali lagi Arfan tertawa yang mana menulari Tio. Gelak tawa mereka memenuhi ruangan miliknya sekarang. Lantas banyak obrolan seputaran pekerjaan yang lebih membuat Tio bersemangat. Saking larutnya pembicaraan mereka, Tio tak terlalu memedulikan ponselnya yang bergetar dan menimbulkan bunyi dengung di sana.

"Mungkin penting," sela sang ayah saat Tio lagi-lagi melirik ke arah meja.

"Enggak, Pa. Kalau Oma Yesy belum aku angkat teleponnya, beliau enggak akan puas."

Arfan mengedikkan bahu saja. Baru juga akan kembali bicara melanjutkan obrolan yang terjeda, suara ketuk pintu ruangan ini membuat mereka menoleh.

"Masuk," sahut Tio dengan segera di mana pintu segera terdorong begitu saja. Menampilkan sosok Leony yang datang dengan dua paper bag.

"Siang, Pak," sapanya ramah. Sembari perlahan ia letakkan barang bawaanya tadi. Pun mempersilakan OB masuk membawakan piring saji.

"Apa ini, Ony?" tanya Tio penuh minat.

"Bu Nadia sampaikan sebagai permohonan maaf. Beliau bukan enggak ingin ditemui, tapi memang agak sibuk akhir-akhir ini."

Ucapan itu tak lantas membuat Tio percaya.

"Ini menu makan siang yang paling juara dari restoran hotel yang Bu Nadia kelola. Saya harap, Pak Tio menyukainya. Saya pesan yang Bapak suka, sih. Tapi maafkan saya, saya enggak tahu kalau ada Pak Arfan di sini."

"Santai aja, Ony." Arfan tertawa. "Siapkan untuk Tio saja."

"Lho? Papa enggak mau makan siang bersama?"

"Masa Papa ganggu makan siang kalian."

Leony terperangah.

"Sudah, santai ajalah. Papa pamit dulu kalau begitu."

"Tapi, Pak," Leony berusaha untuk mencegahnya. "Saya bisa pesankan yang lainya. Jarang sekali Bapak makan bersama Pak Tio. Kalau saya semalam sudah makan bersama di rumah. Sama Non Nai. Manfaatkan waktu yang ada, Pak."

Apa yang Leony katakan membuat Arfan terdiam. Matanya lekat sekali menatap Leony.

"Silakan duduk, Pak. Saya siapkan makan siangnya. Lanjutkan ngobrolnya. Nanti saya pesan yang lainnya. Enggak usah pedulikan saya."

"Kamu sendiri sudah makan, Ony?" tanya Tio.

"Sudah, Pak."

"Bisa jangan bohong sama saya?"

Leony tersenyum. "Gunanya saya bohong apa?" Ia pun menuang sup agar tempatnya lebih pantas. "Tolong yang ini hangatkan dulu, ya," pintanya pada OB yang masih ada di dekatnya. "Yang ini juga."

Dibiarkan Leony menyajikan apa yang dibawa. Juga menyingkirkan cangkir kopi milik kedua pria yang ia tahu, masih menatapnya dengan lekat. "Bapak sudah dua cangkir, kan? Sore enggak ada kopi, ya, Pak. Ingat, Bapak harus terus sehat karena banyak yang bergantung sama Bapak di sini. Termasuk saya." Senyum Leony tak lebar. Tipis sekali tapi sudah membuat Tio terdiam lama.

"Nah, semuanya sudah saya siapkan." Gadis berkacamata itu pun tersenyum puas. "Selamat makan."

Sampai pintu ruangan yang tadi sempat terbuka, kembali menutup, tak ada yang bicara satu sama lain. Sampai pria paruh baya yang duduk di depan Tio pun terbahak.

"Papa kenapa?" Tanya Tio dengan herannya.

"Gitu kamu mau lepaskan, Tio?"

Kening Tio berkerut dalam.

"Ternyata cuma Abyan anak Papa yang peka. Kamu enggak. Gadis sebaik Leony itu langka, Tio. Lihat? Terampil dia selain sebagai asisten. Sabar pula ngadepin kamu. Dan kamu masih enggak mau dekati dia? Ketimbang kamu pusing sama perjodohan yang mamamu buat, kenapa enggak ajak Leony kencan?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top