:: 004
Kota itu sudah hancur.
Kau tidak dapat menyingkirkan perasaan kosong ketika melewati rumah demi rumah yang rusak dan hancur di berbagai sisi. Sesekali menemukan manusia yang terbaring kaku dengan mengenaskan di atas salju, terkapar. Membuat kau bergidik ngeri. Tidak pernah terbayang kalau segala sesuatunya akan menjadi sekacau ini.
"Keadaan di kota tidak seburuk ini, meski keadaannya tidak lebih baik."
Kau menggangguk, mencoba mengabaikan jeritan yang terdengar bersama ratapan tangis yang saling bersusulan di tempat itu. Membuatmu mengeraskan rahang.
"Kakak."
Suna yang pertama bergerak maju, memperhatikan seorang anak kecil yang kini berdiri tidak jauh dari hadapanmu dengan wajah berlinangan air mata. "Apakah kau dapat membantu kami?"
Gadis kecil itu kemudian lari ke dalam pelukan Suna yang berlutut, terisak pelan. "Orang tuaku mati dalam medan perang," ucapnya sedikit terbata di sela tangisan.
"Kau tahu sesuatu?" Manik kelabu milikmu melirik Atsumu yang berdiri gelisah.
"Karena keseimbangan itu goyah, keadaan menjadi kacau dengan cuaca yang tidak beraturan membuat pemberontakan mulai berkobar di beberapa bagian yang akhirnya menimbulkan perpecahan." Atsumu memandangi gadis kecil itu yang dibaluti pakaian berwarna merah bercampur abu akibat asap yang beterbangan di udara. "Kita harus menghentikan ini secepatnya."
"Dengan cara apa?"
Atsumu melirikmu yang diam memperhatikan Suna. Tengah berada di ambang keraguan, setelah sampai di kota lalu apa? Membunuh si bajingan congkak itu? Lalu, apakah dengan kematiannya maka seluruh kekacauan ini akan berhenti? Kau meragukan hal penjelasan terakhir. Jika hal itu benar, maka Atsumu tidak perlu berjalan jauh-jauh dengan risiko kematian hanya untuk mencarimu di tengah pulau bersalju yang terkutuk.
Atsumu tidak membalas. Seolah menyadari- tidak, dia sudah tahu akan konsekuensi itu. Sudah paham dengan apa yang akan segera terjadi cepat atau lambat meski sekeras apa pun pria itu mencoba mengabaikannya. Berpikir jika kau dapat memiliki rencana lain yang jauh lebih menyenangkan.
"Kita sudah bergerak sejauh ini," ujar Suna memecah keheningan di antara kalian yang tenggelam dalam pikiran. "Tidak ada pilihan lain." Kemudian, pandangannya terarah pada gadis kecil yang kini duduk dalam pangkuannya. "Kau tahu di mana kami bisa mendapatkan kuda?"
Dia menggigit bibirnya selagi mengangguk. "Orang tuaku menjual kuda, kupikir kakak dapat meminjamnya jika kalian berjanji."
Kau bergerak maju, mengulurkan ibu jari dan kelingkingmu yang mungil. "Setelah kekacauan ini berakhir, aku akan kembali bersama kakak ini. Kita akan melihat bunga sakura berguguran di musim semi yang akan datang, bagaimana?" Kau menepuk pelan pundak Suna, membuat pria itu tertawa ringan.
Gadis tadi langsung tersenyum, kedua matanya berbinar cerah. Dia mengusap kedua matanya, beranjak dari pangkuan Suna, setengah berlari memasuki desa yang diikuti Atsumu sambil sesekali memaki kayu yang tergeletak di tengah jalan. "Sial, apa tidak bisa lebih rapih."
Kau mendengus, membantu Suna berdiri dari tempatnya duduk lantas mengekori Atsumu yang sudah jauh di depan sana.
"Kau tidak ingin beristirahat lebih dahulu?" Suna menoleh, memperhatikan kerutan pada wajahmu. Kalian terus berjalan tanpa henti semenjak meninggalkan pulau, kalau pun lelah maka kau dengan sigap mengulurkan tangan untuk membantu. Mengurangi rasa lelah, mengubahnya menjadi enegeri tambahan.
"Aku tidak dapat memprediksi apa yang akan terjadi ke depannya," ujarmu pelan, lalu melempar senyum pada gadis kecil itu yang melambaikan tangannya seraya mengeluarkan dua ekor kuda dari dalam kandang. "Apa harapanmu, Suna? Setelah semua ini berakhir?"
Suna mengikutimu memasuki kandang, tidak menjawab pertanyaanmu dan mengambil alih tali kekang yang disodorkan oleh gadis itu. "Terima kasih," ucapnya diakhiri senyum tulus. Membuat gadis itu mengangguk bahagia. Sedikit banyak, kehadiran ketiga orang yang berada di hadapannya memberikan secercah harapan. Mereka menyerupai sosok yang selalu didengernya dari sang ibu sebelum menghampiri dunia mimpi, sosok yang juga dilihatnya dalam selebaran kertas-kertas yang dibagikan.
Sang Putri akan kembali. Merebut takhtanya. Mengembalikan keseimbangan. Membangkitkan yang sudah layu dan mati.
Dibantu oleh Suna, kau menaiki kuda, membiarkan Atsumu mengendarai kudanya seorang diri seperti yang diinginkannya.
Perjalanan menuju kota jauh lebih singkat lantaran jalan-jalan yang lebih memadai dan rapih, walau terkadang kalian terpaksa mengambil jalan memutar ketika jalanan terhalang oleh batu-batuan sisa bangunan yang hancur akibat perang seraya berusaha mengindari benda tajam maupun jebakan yang terkubur dalam salju.
"Kita sudah dekat," ujar Atsumu setelah hening selama beberapa jam terakhir, tidak banyak bersuara lantaran pikiran dipenuhi ragam kemungkinan buruk yang dapat terjadi. Tangan kanannya menunjuk bangunan dari bata yang menjulang tinggi di kejauhan, kau memgulum senyum. Rupanya bangunan itu masih berada di sana. Seolah tidak ada apa pun yang terjadi. Memberikan perasaan ganjil yang menganggu.
"Bersiaplah, para prajurit berjaga dengan ketat di pintu masuk."
"Kau memiliki rencana?" Suna melirik Atsumu yang berjalan di sisi kalian, menunggangi kuda berwarna hitam.
Atsumu mengangguk ragu. "Rencana dapat dibuat kapan pun 'kan?" Maniknya menatapmu yang duduk di belakang Suna dengan sedikit pasrah, itu adalah kalimat yang sering kau lontarkan kepadanya. Berulang kali. Bukan salahnya jika pria itu berakhir mengikuti jalanmu yang sesat. Kemudian, dia tertawa pelan. "Kita akan masuk melalui jalur lain."
Dia memacu kudanya, berbelok dan bergerak menjauh dari gerbang masuk menuju kota. Kau meremas pakaian Suna ketika kuda bergerak jauh lebih cepat kali ini, berbisik pelan di telinganya, "kau yakin dia dapat dipercaya?"
Suna melirikmu sekilas. "Kau tidak mempercayainya?"
"Atsumu akan melakukan apa pun demi menyelamatkan Osamu. Jika perkiraan kita benar dan tepat," ucapmu mengantung selagi menggigit bibir. "Kemungkinan besar kita masuk ke dalam perangkap." Walau, kau sendiri tidak tahu apa yang akan dapat kau lakukan jika pada nyatanya Atsumu berkhianat. Ah, apakah pria itu dapat disebut berkhianat jika saat ini kau hanya seseorang yang pernah menjadi seorang pewaris takhta yang bahkan gagal melindungi kerajaannya sendiri.
"Aku akan mengikutimu."
Kau tersenyum kecil. Selalu seperti ini, Suna akan melakukan apa pun demi memastikan keselamatanmu. Memastikan kau tetap aman, terlindungi, dan tetap bahagia sekalipun terkurung dalam istana dan pulau yang dikutuk. "Apa alasannya?"
Pertanyaan yang terlontar itu terdengar seringan angin, terbang bersama hembusan dingin yang menerbangkan helai demi helai rambut sekaligus salju yang jatuh memenuhi tanah. Kau merapatkan tubuh, merasakan kehangatan sekaligus aroma segar dari tubuh Suna. Memberimu ketenangan yang sudah lama tidak kau rasakan, membuatmu teringat akan ibumu, kerajaanmu, dan segala hal indah yang sudah terjadi. Perlahan, ketika kau memejamkan mata, sulur-sulur dalam diri Suna kembali terlihat, membuatmu membantu menguraikannya kembali. Membantu pria itu agar tetap dapat berpegang pada kekuatannya yang ikut memudar bersama dirimu.
"Mungkin karena aku menyukaimu," gumamnya. Membuatmu membuka mata perlahan, mengerjap.
"Apa?"
Suna menggeleng. "Kita masih memiliki janji."
Kau tertawa pelan, memukul pelan punggungnya. Benar, janji saat itu. Di malam kau dipindahkan ke tempat ini dan ketika kau nyaris mati untuk yang kedua kalinya, Suna berjanji akan membawamu untuk melihat bunga sakura di negerimu.
Dan, Suna tidak pernah melupakan janjinya padamu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top