:: 003

"Sudah siap?"

Kau memandangi seluruh istana yang memerangkapmu sekaligus melindungimu selama lebih dari beberapa tahun ini. Melirik Suna yang sedari tadi tidak berhenti menatapmu, memastikan bahwa kau tidak akan melakukan hal bodoh lainnya setelah keluar dari dalam. Membuatmu mendengus.

"Ayo."

Atsumu menyeringai. "Kalau kau masih ingin melakukan perpisahan dengan tempat ini tidak masalah."

Hal itu sukses memencingmu untuk menendang salju yang berada di bawah kaki, membuatnya mengumpat selagi bergerak menghindar. Membalas hal yang sama dan berhasil kau hindari dengan baik.

Kau menyeringai, mengangkat satu ibu jari lalu mengarahkannya ke bawah. Sebelum lelaki itu sempat membalas lebih jauh kau sudah bergerak maju. Kembali pada rute awal selagi memastikan kalian tidak salah jalan, memperhatikan tanda-tanda yang ditinggalkan Atsumu selagi mengarah pada kediamanmu. Senantiasa bekerja di tempat bersalju membuat kemampuan Atsumu berada di atas rata-rata, ditambah kekuatannya yang setara.

Jika dia yang terjebak di tempat ini, maka sudah dipastikan Atsumu sudah membebaskan diri semenjak pertama kali dibuang ke dalam pulau ini. Membuat bibirmu berkedut, apakah kau memang menginginkannya? Apakah jika memiliki kekuatan yang sama kau akan memilih membebaskan diri dari tempat ini? Kembali pada negerimu yang sudah menjadi asing tidak memberi keuntungan apa pun.

"Apa kau yakin dapat melewati dindingnya?"

Kau melirik Atsumu yang entah bagaimana sudah berada di depan, memandu jalan. Pertanyaan itu membuat langkahnya terhenti, dia menoleh, memperhatikanmu sebelum jatuh pada Suna yang tidak jauh di belakangmu. Berusaha mempertahankan langkahnya agar tidak tertinggal.

"Tentu saja!"

Mendengar nada percaya diri dan ekspresi angkuhnya yang kembali membuatmu tanpa sadar tersenyum. Setidaknya, dalam perjalanan ini segala sesuatunya kembali seperti sedia kala. Kembali pada momen segalanya masih menjadi satu kesatuan yang utuh. Membuatmu mulai menikmati berjalan di atas salju, mendaki beberapa pegunungan, menuruni lembah dan beristirahat dalam gua ketika malam tiba.

"Kau lihat!" Seruan penuh semangat Atsumu membuat Suna yang setengah terpejam akibat omelan Atsumu untuk segera bangkit, mengingat waktu yang dibutuhkan dalam perjalanan ini mengerjap. Memandangi dinding tinggi yang panjangnya tidak terlihat ujungnya. Seberapa lebar dinding itu mengisolasi tempat ini? Dia menelan saliva. Tidak yakin akan rencana Atusumu karena sejauh mata memandang, dia tidak menemukan satu pun pintu atau gerbang yang disebutkan oleh pria bersurai kuning itu.

"Kau yakin?"

Atsumu berlari mendekati dinding putih yang berdiri kokoh itu, mengusapnya beberapa kali seraya memastikan diri sendiri jika itu adalah dinding yang sama dengan yang dimasukinya. Tetapi, nihil. Tidak ada pintu. Tidak ada gerbang. Dia mengerjap, memastikan penglihatannya tidak sedang menampakkan ilusi, walau segalanya sia-sia.

"Aku tidak tahu jika akan menjadi seperti ini."

Kau menghela napas. "Penyihir itu tidak akan membiarkan ini menjadi mudah. Hanya ada satu pintu untuk masuk, kau tidak dapat keluar setelah menginjakkan kaki di sini." Tanganmu merogoh saku, mengeluarkan satu pistol ke arah dinding, membuat Atsumu dengan cepat mengangkat tangannya. Bergidik ngeri seraya menyingkir. Dia tidak dapat membaca apa yang ada di pikiranmu, apa yang tersembunyi di balik sorot mata kosong itu?

Satu tembakan.

Dua tembakan.

Tidak ada hasilnya. Kau mengembalikan pistol ke dalam saku, melirik Suna di sisimu. "Menurutmu bagaimana?"

Suna menipiskan bibir. Dia membenci bagaiamana akhirnya cerita ini, tidak menyukai kenyataan yang harus dihadapinya. Maniknya bergulir pada Atsumu yang memandanginya bingung, tidak mengerti apa yang tengah menjadi topik perbincangan. Membuatnya setengah merasa bersalah telah membawa kalian berdua ke dalam kekacauan ini tanpa tahu bagaimana menyelesaikannya.

"Tidak perlu merasa bersalah," tukasmu, membuat perhatian Suna kembali padamu. Memperhatikan kau mengeluarkan satu kotak beludru dalam saku untuk menunjukkan satu cincin berwarna emas dengan sakura pink pucat serta rubah menghiasi.

"Kau yakin?"

Atsumu berjalan mendekat, menghampirimu untuk melihat apa yang berada dalam genggamanmu sebelum terkesiap. "Apa-"

Dia tidak menyelesaikan kalimatnya, memandangi obsidianmu yang berpendar di bawah cahaya bulan. "Kita akan segera sampai di pinggir kota, setidaknya pagi ini."

Atsumu menelan saliva. "Kau benar-benar akan menggunakan kekuatan itu?" Dia mengacak rambut gusar, menatap Suna yang memalingkan wajah. Mengerti jika apa pun yang diucapkannya hanya menjadi angin lalu bagimu. "Kau akan memotong nyawamu. Tidak ada kepastian kau dapat melepaskannya, jika rubah itu memutuskan untuk mengikatmu maka kejadian yang sama akan kembali terulang." Dia menggeleng. "Aku akan mencari cara lain, mungkin mencoba menggunakan kekuatanku untuk melewati dinding tinggi itu."

Atsumu mungkin tidak berada di tempat yang sama, tidak berada dalam area utama istana ketika kejadian itu terjadi. Ketika seluruh wilayah dipenuhi oleh kubangan darah dan manusia yang tidak lagi bernapas, menyisakan raga mereka yang tercabik-cabik. Tetapi, dia menyaksikan bagaimana kondisi istana di pagi harinya. Bagaimana manikmu yang semula bercahaya menjadi kosong dalam pelukan Suna. Bahkan, penampilanmu yang senantiasa terawat, begitu indah dan megah lenyap dalam darah yang menghiasi wajah dan pakaian putihmu.

"Tidak ada gunanya, Atsumu." Kau menghela napas, melirik Suna yang berjalan mendekat untuk memasangkan cincin tersebut. Sebaik apa pun pria itu mencoba berekspresi, mencoba menutupi perasaannya kau tahu dia merasa frustasi. Terjebak di antara satu-satunya pilihan yang ada. "Aku akan baik-baik saja."

Suna mengangguk. "Aku akan berada di sini."

"Jika sesuatu yang buruk terjadi, tolong bunuh aku." Kau melirik Atsumu di belakang yang menegang sebelum memejamkan mata dan mengucapkan beberapa kata yang ibumu ajarkan. Lalu segalanya menjadi gelap, hampa.

Kau dapat merasakan sesuatu yang hangat menjalari tubuh, sesuatu yang perlahan bersinar, membuat kau perlahan membuka mata. Mendapati sebuah pohon sakura yang hanya menyisakan batang, pohon yang sama dengan yang berada di dalam kerajaan. Pohon yang sama dalam dongeng ibumu dan pohon yang sama dengan pohon yang menjadi saksi bisu ketika kau menghabiskan waktu bersama Suna.

Tubuhmu berjalan mendekat hingga kau dapat menyentuh batangnya yang terasa dingin di kulitmu. Membuat kau terkesiap, perlahan sulur-sulur itu mulai menyusuri batang pohon dari bawah hingga memenuhi seluruhnya, berubah menjadi kuncup bunga yang akan mekar dan perlahan kembali bercahaya, menunjukkan seekor rubah besar dengan sembilan ekor.

Kau menipiskan bibir. "Pinjamkan aku kekuatanmu."

Rubah itu tidak merespon, memandangimu dalam diam.

"Saat ini aku tidak memiliki pilihan lain."

"Kau akan segera mati," ucapnya, walau tidak ada dinding di sekitar, suaranya bergema, memenuhi tempat ini. Dia perlahan tersenyum. "Kau yang memutuskan mengurungku di dalam sini, lalu kini kau memintaku untuk membantu?"

Kau berdecak, merotasikan mata. "Kau yang bergerak tanpa mendengarkan perintahku." Seluruh kejadian itu kini berputar dalam benak, memaksamu untuk kembali merasakan keputusasaan yang sama. Melihat bagaimana darah orang tuamu membasahi pakaian. Kau mengeraskan rahang. "Seperti yang kau katakan, aku akan segera mati. Jika kau tidak memberikan bantuan, maka untuk selamanya kau akan terjebak di dalam sini."

Terdengar tawa pelan, manik runcing yang selalu mengingatkanmu dengan Suna itu menatapmu sebelum mengangguk. "Aku akan memberikannya dengan satu syarat."

Kau membasahi bibir selagi mengangguk. "Apa pun itu akan kulakukan."

Setelah itu pijakanmu mulai goyah sementara pandanganmu mengabur, samar-samar kau mendengar suara khawatir Suna yang meneriakkan namamu. Keningmu mengerut, menahan rasa sakit yang bersarang pada kepala. Dibutuhkan lebih dari lima menit sebelum kau akhirnya dapat membuka mata dalam pelukan Suna.

"Kau dapat melanjutkan perjalanan ini?"

Mengangguk, kau perlahan melepaskan diri. Melirik dinding yang perlahan memudar, membuat Atsumu terkesiap memperhatikan bagaimana dinding itu kini sudah lenyap.

"Menurutmu berapa waktu yang dibutuhkan?" Kau menggumamkan terima kasih pada Suna yang menyodorkan sapu tangan, menyeka hidungmu yang mengeluarkan darah segar. Setidaknya, darah yang mengalir kali ini jauh lebih sedikit dibandingkan malam itu.

"Kita akan sampai di sana saat pagi," ucapnya selagi mengangkat wajah untuk melihat cahaya bulan di atas sana.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top