:: 002


"Jadi, apa kau akan berbicara atau hanya diam seperti orang mati?"

Atsumu mengerjap lalu terbatuk, sebelum dengan cepat menegak lebih banyak air dalam gelas selagi menghangatkan tubuhnya di depan perapian.

Sudah berapa tahun semenjak dia terakhir kali bertemu dengan dua sosok di hadapannya, sosok yang senantiasa terlihat bersenang-senang di dalam istana, bertukar tawa bahagia bukan dengan tatapan kosong yang menusuk. Seperti seluruh jiwa telah ikut terhisap bersama tragedi itu, meninggalkan cangkang kosong.

Apa yang sudah terjadi kepada dua isan yang dikasihinya?

Pandangannya kembali bertabrakkan dengan milikmu sebelum Atsumu dengan cepat mengalihkannya pada suara api yang membakar kayu. "Bicaralah." Kau menghela napas. Hendak bangkit sebelum suaranya menginterupsi dengan takut berselimut keraguan. "Kupikir kalian sudah tidak ada di dunia ini." Dia mengeraskan genggamannya pada cangkir. "Segalanya mulai hancur, seseorang yang tidak seharusnya berada di atas takhta. Keseimbangan itu goyah."

Kau menipiskan bibir, mulai menggerakkan tungkai untuk meninggalkan ruangan sebelum tangan Suna yang jauh lebih panjang menghalangimu. Menggeleng pelan. Kau menatapnya tajam, tidak ada gunanya berada di tempat ini dan mendengar keluh kesah Atsumu. Kau sudah bertekad meninggalkan orang yang menusukmu, orang yang membuangmu dari tanah kelahiranmu sendiri. Lantas, setelah segalanya hancur kini mereka mengemis bantuan? Kau terkekeh pelan, bukankah mereka harus merasa malu.

"Tuan Putri, sungguh. Kupikir kau sudah terbunuh ketika meninggalkan perbatasan wilayah." Atsumu kini mengangkat wajah, membuatmu dapat merasakan tatapannya yang memohon pada punggungmu. "Saat itu keadaan sungguh kacau, pamanku tidak mampu menemukanmu. Kami menunggu beberapa waktu, bergerak mencari ke seluruh bagian kota tetapi," ucapannya terhenti. Dia terlihat ragu untuk melanjutkan sementara pandangannya kini jatuh pada karpet gelap di bawah.

Kau rasanya dapat menebak apa yang terjadi.

"Lalu, apa alasanmu berkunjung ke tempat ini?"

Atsumu menggigit bibir. "Kembalilah."

Keningmu mengerut. Atsumu adalah satu dari sekian banyak orang yang selalu jujur, terus-terang dengan kalimatnya, hampir senantiasa mengabaikan peraturan aristokrat yang menuntut siapa pun dalam wilayah istana, siapa pun yang memiliki darah bangsawan untuk bersikap sempurna. Memaksa mereka menjadi pribadi yang munafik.

Tetapi, semenjak memasuki pintu besar itu, ketika kakinya melangkah masuk dan duduk di kursi kayu itu, sosok yang dikenalnya seolah lenyap di balik raut berkerut dengan kelelahan mendominasi. Membuatnya terlihat jauh lebih tua daripada yang seharusnya. Tidak ada lagi gurat keangkuhan itu, sesuatu yang menjadi ciri khasnya. Membedakannya dengan Osamu sehingga kau tidak kesulitan membedakan keduanya.

"Apa maksudmu?"

Tubuhmu menegang ketika melihat sorot putus asa pada netranya. Atsumu tidak pernah memohon seumur hidupnya. Tidak, bahkan ketika posisinya dipertaruhkan atau ketika Kita Shinsuke memilih orang lain dibandingkan dirinya, memutuskan merubah statusnya dalam kemiliteran.

"Kembalilah ke rumahmu."

Kau ingin tersenyum sinis, ingin memaki, walau segala sesuatunya tercekat dalam tenggorokan. Atsumu Miya tidak pernah menginginkan semua ini terjadi. Dia bukanlah sosok yang tepat untuk menerima sikapmu. Kau mengepalkan tangan. Berbalik menjauh, kali ini Suna memutuskan tidak menginterupsi, menghargai keputusanmu. "Rumah? Kupikir mereka yang sudah membuangku Atsumu. Seandainya kau tidak tahu atau apa yang kau dengar tidaklah cukup."

Kemudian pintu ditutup.

"Kuharap kau mengerti." Suna mendesah. Mengacak rambutnya pelan. "Seperti yang kau perkirakan, keadannya sedang kacau. Jika aku tidak menjaganya, entah apa yang akan terjadi pada nyawanya." Suna menggigit bibir, padahal selama ini, sebelum segalanya diterpa badai, kau yang senantiasa tersenyum paling lebar. Menjadi pilar penopang yang menebarkan emosi positif.

"Segalanya berubah, sepertinya," kekeh Atsumu hambar. Dia menjatuhkan kepala pada kursi. Entah apa yang akan terjadi ke depannya. Ketika pertama kali melihatmu, Atsumu merasakan sesuatu, seperti sosok yang telah kehilangan sentuhannya pada kehidupan. Walau, dia berusaha mengabaikannya, menepikannya jauh-jauh. Berusaha menipu diri sendiri ketika melihatmu masih cukup kuat untuk menopang tubuhnya, menggiringnya masuk ke dalam ruangan baca yang hangat ini.

Rahangnya mengeras. "Apa dia dapat pulih?" Atsumu menggeleng. "Apa kekuatannya juga memudar?"

Suna menatap Atsumu ragu, menimbang selama beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk. "Seperti perkiraanmu, dia mulai melepaskannya."

"Jika seperti itu, tidak ada gunanya 'kan?" Atsumu menyesap kembali air dalam gelas. "Aku tidak dapat memaksanya untuk kembali lebih daripada ini, tidak peduli seberapa keras perintah Kita Shinsuke."

Suna mengerjap, tubuhnya menegang ketika mendengar nama itu disebutkan. "Apa dia masih berada di sana?"

"Apa maksudmu?"

"Kita Shinsuke."

Atsumu membenarkan posisi duduknya, menatap Suna lekat. "Jelaskan padaku. Apa maksudmu dengan Kita Shinsuke, apakah dia mengetahui apa yang terjadi atau apakah dia-"

"-tidak ada yang terjadi," potong Suna sedikit terlalu cepat, menipiskan bibir dan bergerak mendekati pintu keluar. "Apa Osamu baik-baik saja?"

Suna dapat melihat tubuh Atsumu sedikit tersentak ketika nama Osamu disebutka. Bibirnya tertarik sedikit, sepertinya ada beberapa hal yang tidak berubah. Atsumu tetap tidak mampu menyembunyikan kebohongannya dengan baik. Dia menghela napas, berucap pelan dengan suara berat, "aku akan mencoba melakukan apa yang terbaik."

Setelah menutup pintu, dia mengedarkan pandang pada sekitar, mencari jejak dirimu yang sudah pergi beberapa waktu lalu. Menyusuri lorong demi lorong yang terasa hampa, dipenuhi lukisan-lukisan besar di dinding. Seolah memperhatikan segala hal yang terjadi di penjara ini.

"Kau akan mempengaruhiku?"

Suna menoleh, mendapati dirimu tengah duduk di kursi kayu dengan satu cangkir teh di atas meja sementara manikmu jatuh pada buku dalam pangkuan. Walau, fokusmu berada di tempat lain, berenang jauh kembali pada beberapa tahun terakhir.

Ketika Suna menjatuhkan tubuhnya di seberangmu, menuangkan dirinya teh beraroma melati kesukaanmu, dia tidak menatapmu alih-alih menjatuhkan atensi pada tumpukan salju yang semakin menebal. Sepertinya, hanya dalam hitungan jari, beberapa kali lagi musim berganti maka tempat ini akan seutuhnya terkurung dalam salju.

"Rin."

Nada yang kau gunakan membuatnya kembali pada masa-masa lalu. Kembali pada momen pertemuan pertama, di taman lingkar dalam istana. Saat itu kau jauh lebih tinggi dengan senyum manis, berlari bebas sementara ibumu ikut tertawa selagi mengawasi. Kau kerap kali melontarkan cemoohan padanya yang jauh lebih lambat, selalu tertinggal di belakang.

Lalu, semakin bertambahnya umur, ketika pohon-pohon tumbuh semakin rimbun dan kekuatanmu mulai hadir dalam tiap pertemuan. Aktivitas mulai berganti, bergulir menjadi sesuatu seperti duduk berbincang di bawah pohon sakura ketika musim semi, di bawah pohon maple ketika musim kemarau atau sekadar duduk bersama api yang membakar kayu dengan saling berbagi kehangatan.

Dan, memori itu mulai terbakar bersama kenangan lain yang merangsek masuk. Kenangan buruk yang dia harap dapat musnah atau menjadi sekadar mimpi buruk. Mimpi yang hanya mengantui dirinya.

"Rin."

Maniknya kini bergulir, jatuh pada wajahmu yang menatapnya. Suna mulai bertanya, sejak kapan dia tidak lagi mengenali dirimu? Tidak lagi dapat membaca apa yang terjadi dalam benakmu. Segalanya menjadi misteri yang tidak dapat teruraikan, membuatnya mencemooh diri. Sepertinya usaha dan predikat sebagai sosok yang mampu membaca segala situasi dan orang lain hanya sebatas ilusi.

Dia mengeraskan rahang. "Aku tidak akan memaksamu melakukan apa pun."

Kau menghela napas. Memejamkan mata selagi mendengarkan suara angin di depan sana. "Osamu, apakah itu alasannya?" Tanganmu mengepal, tidak ada gunanya bagi Atsumu untuk menempuh segala bahaya hanya demi mengejar situasi yang tidak pasti. Mengejar legenda yang diceritakan oleh orang-orang di kota kecuali sesuatu terjadi pada kembarannya.

Absennya jawaban dari Suna membuat kau menyerah, melirik sekali lagi pada wajahnya yang tampak gusar.

"Aku akan berbicara dengannya satu kali lagi."

Dengan itu kau beranjak, meninggalkan Suna dalam diam.

"Apa..., kau akan baik-baik saja?"

Kau menghentikan langkah, menimbang sejenak akan apa yang harus diucapkan sebelum melepaskan senyum kecil. Sesuatu yang sudah kau lupakan, mulai menghilang dari ingatan. "Mungkin ini akan menjadi titik awal." Kau menghela napas selagi bergerak menjauh, bergumam pelan, "sekaligus yang terakhir."

「  」


Atsumu tersentak dan dengan terburu-buru memasukkan dua biskuit dalam genggaman ke dalam toples kaca. Dia berdeham pelan, melirikmu yang baru saja masuk, bibirnya terbuka sebelum kembali menutup. Digantikan senyum lebar. Terlalu lebar.

"Aku akan segera kembali," ujarnya. Dia menggaruk tengkuk. "Yah, sampai badai sedikit berkurang."

Omong kosong.

Badai di tempat ini hampir tidak pernah berhenti. Kau merotasikan mata. Melemparkan beberapa kayu lagi ke dalam perapian. "Berapa waktu yang kau butuhkan untuk sampai ke tempat ini?"

Atsumu mengerjap ketika mendengar pertanyaanmu, mulai memasang potongan demi potongan menjadi satu kesatuan. Selain kekuatan, satu hal lain yang memberi kutukan tambahan bagi mereka yang berbagi darah yang sama dengan seluruh garis kerajaan adalah kepintaran.

Terkadang, kau berharap tidak terlalu pintar untuk memahami apa pun yang terjadi. Ketidaktahuan menjadi berkah tersendiri. Memberimu kebebasan untuk bernapas tenang.

"Satu minggu." Atsumu menyisir rambutnya ke belakang. Menatapmu yang memandangi kobaran api. "Jika kita berdua, mungkin empat hari."

"Persiapkan dirimu." Kau kini menatap kedua obsidian itu, memperhatikan pantulan wajahmu untuk beberapa saat sebelum berlutut di hadapan laci kayu, merogoh satu kotak beludru. "Kita akan sampai dalam dua hari."

"Kau gila?" Atsumu terlonjak kaget dari tempatnya duduk, menatapmu tidak percaya. Selama ini, seluruh ide yang lolos dari mulutmu memang selalu di luar nalarnya, meski entah bagaimana kau selalu berhasil membawa hasil yang memuaskan. Membuat siapa pun tidak dapat membantah sang penerus taktha. Hingga kehadiran sosok bersurai putih keabuan itu yang sepertinya berhasil membuktikan sebaliknya.

Dia mengacak rambutnya. Kembali teringat perkataan Suna mengenai kewarasan dan keinginanmu untuk mati.

"Aku tidak akan membahayakan nyawa kalian berdua. Jika harus mati, maka aku akan mati seorang diri atau setelah membunuh bajingan di atas takhta itu."

Atsumu menelan saliva, mengangguk kaku. Benar. Kau pasti tidak akan mempertaruhkan nyawa Suna Rintarou maupun dirinya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top