:: 001

Kau sudah muak.

Membenci setiap hal, setiap bagian, dan setiap isi dari tempat ini. Tempat yang mengukungmu untuk bergerak bebas, bahkan setiap tarikan napasmu terasa sukar. Menghimpit dada. Membuatmu ingin segera melepaskan peluru pada pistol yang senantiasa tergantung pada pinggang seandainya, seandainya saja Suna Rintarou tidak berada di sisimu.

Menjagamu.

Memperhatikanmu.

Pertemuan pertama kalian masih tercetak jelas dalam benak, ketika tubuhnya masih terlalu kecil bahkan untuk memanjat pohon di taman belakang istana yang terlalu besar. Masih jauh berada di bawahmu, lalu dalam satu jentikan jari, dalam beberapa perubahan musim, kakinya berubah menjadi lebih panjang. Lebih jenjang. Dan, setelah kau tersadar, Suna Rintarou sudah jauh lebih tinggi. Mengingatkanmu akan dinding tinggi di luar sana.

Bibirmu mengerut ketika mengingat dinding besar itu, bagian dari pulau ini yang telah merengut segala sesuatunya dari dirimu. Merampas kewarasanmu secara perlahan-lahan. Dimulai dari kedua orang tuamu yang jatuh pada lubang neraka. Terhisap oleh duka akan kenyataan pahit yang menampar wajah, lantas mengabaikan realita. Membiarkan penyihir sialan itu meraih apa yang dahulu merupakan milikmu.

"Tuan Putri."

Nada itu cenderung rendah dan datar, walau di baliknya kau dapat merasakan maknanya lebih dari yang seharusnya. Tinggal bersama- tidak, tinggal hanya berempat di istana sebesar ini membuatmu perlahan terbiasa.

"Panggil namaku, Suna."

Suna menghela napas, ikut berdiri di sisimu selagi memandangi bunga sakura bersama salju yang berguguran di luar sana. Cuaca pasti terasa dingin. Menusuk. Walau, ironisnya tempat ini seolah dikutuk untuk selamanya bergelut dengan udara dingin. Dengan badai yang meluluhlantakkan segalanya kecuali istana yang berdiri kokoh. Terisolasi.

"Apa yang kau pikirkan?"

Kau meliriknya sekilas, memuji dalam diam bagaimana pria itu mampu mempertahankan wajah datarnya. Mata runcing itu bertabrakkan dengan milikmu untuk beberapa saat, sebelum senyum tipisnya perlahan terukir pada wajah yang dipenuhi luka kecil. "Aku akan memastikan kau selalu dalam keadaan yang baik."

Sekeras apa pun kau berusaha, kau tidak mampu mengukir senyum yang sama. Melihat bagaimana salju tetap turun deras selama beberapa tahun, membuat harapan yang semula berkobar kini perlahan sirna. Kau mulai mempertanyakan arti semua ini. Pada akhirnya, kau akan mati.

"Kau mengingat," ucapnya menggantung, membuat atensimu kembali terarah padanya. "Janjimu pada saat itu?"

Keningmu mengerut, sepertinya terlalu banyak janji kosong yang kalian lontarkan selama ini hingga kau kehilangan perhitungan.

Melihat reaksimu, satu hembusan napas lolos dari bibirnya. Sedikit banyak menduga. "Untuk melihat sakura berguguran di negeri sana. Negeri yang semula milikmu."

Kau menggenggam erat pistol di pinggang. "Entahlah. Aku sudah lama membuang seluruh mimpiku. Kalau kau lupa." Memutar tubuh, kau berjalan menjauh dari kaca besar yang menjulang hingga menyentuh langit-langit, membuat suara kecil antara sepatu milikmu dengan lantai beralaskan marmer. "Suna, kau seharusnya tidak berada di tempat ini."

Dia berdiri terpaku di atas tanah, masih memandangi gugurnya sakura beserta salju. Kenangan itu kembali terlintas dalam benak. Darah yang memenuhi seluruh ruangan, luka menganga, teriakan demi teriakan, dan tangisan yang tidak berhenti selama beberapa waktu. Suna mengepalkan tangan, mulai menggerakkan kedua tungkai menyusulmu yang berjalan menjauh dengan tubuh tegak.

Biar pun selama ini kau tidak banyak berekspresi, hanya tersenyum sekenanya ketika pelayan mengantarkan makanan. Memasang wajah datar sepanjang hari atau bahkan ketika diam-diam pergi berburu di tengah badai salju, dan tetap mempertahankan sorot mata yang hampa. Dia sudah berusaha menahanmu, memastikan kau tidak membuat hal bodoh yang dapat menghancurkan diri sendiri. Tetapi, sepertinya sifatmu yang keras kepala sukar dilawan.

"Kau tidak ingin keluar dari tempat ini?" Tetapi, Suna Rintarou bukan sosok yang mudah untuk disingkirkan. Hampir sama keras kepalanya untuk hal semacam ini, mempertahankan eksistensinya di tempat yang hampir mati.

Kau menipiskan bibir, ketika pertama kali mengenalnya. Bertemu di bawah taman sakura- salah satu tempat favorit milik Sang Ratu, ibumu, kau berpikir jika Suna adalah pribadi yang dingin, kaku, dan membosankan. Meski kenyataannya berbanding terbalik dari apa yang terlintas dalam benak.

Hanya dalam segelintir waktu, kau sudah menyukainya. Memilih persensinya ketimbang si kembar Miya yang merupakan anak dari paman ibumu. Ikut hadir dalam pelatihan militer yang diadakan setiap pagi dan sore, menyerap segala hal demi menjaga negerimu dengan aman sekaligus bertukar kata dengan bocah berambut hitam itu. Meski akhirnya menjadi kesia-siaan belaka.

"Tidak. Aku tidak peduli dengan apa yang terjadi."

Suna menghela napas untuk kesekian kalinya. "Apa kau akan tetap berada di tempat ini selamanya?"

Kau tertawa pelan yang terdengar menyedihkan dengan suara serakmu. "Kalau kau mengingkan kebebasan dari tempat ini, pergilah. Aku yakin mereka akan menerima kehadiranmu lebih dari apa pun, seorang Jenderal Perang yang luar biasa." Bibirmu menipis selagi memelankan langkah, melirik raut wajah Suna yang tidak berubah lalu menggigit bibir. "Kau hanya akan mati jika datang bersamaku."

Seperti kaset rusak, potongan-potongan negerimu mulai terlintas. Bagaimana kau menghabiskan waktu bagai neraka di tempat yang sebelumnya menjadi tempat berlindung, tempat yang sebelumnya memberikan ketenangan sekaligus kebahagiaan. Terlebih ketika sorot mata seluruh penjuru kota hanya dipenuhi kebencian, seolah mereka menginginkan kematianmu terjadi dengan sangat menyakitkan di hadapan mereka. Bukan diasingkan di pulau terkutuk seperti ini.

"Aku akan memastikan mereka mengetahui yang sesungguhnya. Kejadian yang sebenarnya."

Kau berbalik, membuat kaki Suna spontan terhenti. Dia mengangkat wajah, memperhatikan dirimu yang berjalan mendekat dengan tatapan kosong. Seolah hanya tersisa raga yang berada bersamanya. "Ijinkan aku." Dia mengangguk, walau tubuhnya tetap menegak kaku ketika tanganmu yang dingin menyentuh dadanya yang diselimuti pakaian hangat. Berbanding terbalik denganmu yang hanya mengenakan pakaian biasa.

Kau dapat merasakan detak jantungnya yang bergerak lebih cepat di bawah sentuhanmu sebelum perlahan merasakan seutas tali yang saling simpang-siur. Membuatmu memejamkan mata, membayangkan tanganmu meraih sulur-sulur tali itu dan menguraikannya perlahan. "Kekuatanku mulai memudar, jika kau ingin keluar, kesempatanmu hanya dalam waktu dekat. Selebihnya, aku tidak dapat melakukan apa pun."

Kakimu bergerak menjauh, meninggalkan Suna yang kini berusaha keras tidak melemparkan umpatan selagi wajahnya memerah. Seharusnya dia sudah terbiasa, mengingat sejak kecil hal itu kerap terjadi, terlebih ketika dirinya jatuh sakit atau terluka. Kau akan datang, ikut berbaring bersama, menggenggam tangannya selagi menggumamkan sesuatu yang tidak dimengertinya.

Lalu, ketika beranjak dewasa, Suna mulai memahami kenyataan di balik tindakanmu. Keajaiban. Hampir seluruh garis keturunan di negeri milikmu memilikinya, kemampuan ajaib untuk menyembuhkan siapa pun. Kemampuan untuk menyelamatkan sekaligus mengendalikan sesuatu. Dan, ketika tragedi itu terjadi, keajaiban yang semula dipuja oleh seluruh rakyat berbalik menjadi pisau yang membunuh.

"Aku tidak akan meninggalkanmu."

Kau berhenti di depan pintu tinggi yang terbuat dari kayu berukiran rumit ketika mendengar keyakinan bulat dalam nadanya, mengulas senyum tipis. "Berhati-hatilah dengan perkataanmu."

Suna ingin membalas, ingin melontarkan kalimat lain untuk membatah sebelum menelan seluruhnya. Memilih membalas senyum lelahmu dan berbalik, hendak kembali pada ruangannya sebelum pintu di depan sana dibuka dengan kasar, tergesa-gesa, seolah apa pun yang terjadi tidak dapat menunggu. Membuat udara merangsek masuk bersama salju, menghebuskan udara dingin yang membuat Suna menggigil di balik tebalnya pakaian. Dengan cepat melirikmu, tidak yakin kau dapat tetap berdiri tegak.

Walau secara tidak mengejutkan, kau sudah berjalan pelan menuju sumber kekacauan. Membuatnya dengan cepat menyusul, mencoba tidak memikirkan dingin yang menusuk tulang.

"Tuan Putri," ucapnya serak, penuh rasa syukur. "Aku membawa kabar untukmu," sambungnya dengan mengusahakan diri tetap bernapas.

"Atsumu Miya?"

Dia menatapmu dengan raut tidak terbaca sebelum obsidian miliknya bertabrakkan dengan milik Suna.

"Suna," ucapnya, tercekat. "Kupikir kau sudah-"

"-masuklah," potong Suna selagi menutup pintu sementara kau membawa tubuhnya masuk.

Atsumu menelan saliva dan mengikutimu masuk. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top