Sunflower🌼08

Semalam karena keasikan mencari referensi 'bagaimana cara merangkai bunga' di internet aku telat tidur dan telat bangun! Jika ingin menyalahkan orang lain mungkin aku akan menuduh Sakuraba-kun. Ia berjanji akan mengajarkanku merangkai bunga, tapi sampai sekarang tidak sekali pun disinggung. Aku juga segan meminta padanya.

Niatku timbul karena kemarin banyak pelanggan yang tiba dan memesan buket hingga keduanya--Sakuraba-kun dan Fujimura-san--kewalahan. Sementara aku hanya bisa melihat di balik meja kasir. Walau aku juga ikut sibuk, tetap saja tidak sepadan dengan kesibukan keduanya.

Untung saja aku berhasil masuk sebelum tannin--wali kelas--mengecek kehadiran.

"Eto Kou--oh iya, dia absen."

Para siswi ribut mendengar pernyataan pelan dari tannin kami. Mereka berbisik 'pantas belum hadir' seraya menatap kursi yang kosong. Aku sendiri baru menyadarinya.

Sebagai remaja yang sudah aktif di dunia hiburan, Eto-kun sangat jarang absen karena pekerjaan. Bahkan bisa dibilang tidak pernah. Aku tahu karena sudah dua tahun ini sekelas dengannya--yang anehnya ia sama sekali tidak mengenalku sebelumnya.

"Sensei, kenapa Kou-sama absen?"

"Kou-sama?" heran tannin langsung disambut gelak tawa murid sekelas.

"Eto Kouki-kun, sensei! Masa gak tahu!"

"Ya ampun! Mana kutahu sebutan kesayangan kalian pada Eto-kun!" timpal tannin. "Ibunya menelepon, katanya dia sakit."

"Hee, kalau gitu harus kita jenguk!"

"Memangnya kau tahu rumahnya?"

Tannin menepuk meja karena murid-murid mulai ribut. "Ibunya meminta untuk tidak ada jengukan. Eto-kun akan kembali sekolah besok. Ia hanya kelelahan. Sudah, sensei kembali absen!"

Kelelahan. Alasan absen yang mudah diterima mengingat kesibukan pemuda itu tidak hanya sekolah. Aku memutar bola mata, bingung, kenapa ada remaja yang mau sibuk selain sekolah? Begitu sukanya dengan dunia hiburan sampai harus kelelahan dan berakhir mengesampingkan sekolah.

Aku menaikkan tangan begitu namaku dipanggil. Absen pun selesai, karena pagi ini bertepatan dengan mata pelajaran home-room kami, pembelajaran pun dimulai.


Ketidakhadiran Eto-kun membuat Fumiko gelisah. Tadi siang saat istirahat wajahnya berkerut membicarakan kakaknya.

"Semalam di kamar kakak berseru seorang diri 'dasar laki-laki dingin, tidak berperasaan, beraninya menolak gadis secantik aku, apa kurangnya tubuhku ini', begitu.

"Aku takutnya... yang dimaksud kakak... Eto-san. Kakak tidak pernah tertarik pada laki-laki. Ia tidak pernah bicara seorang pun yang menarik hatinya di rumah. Tapi ia terang-terangan membicarakan kedekatannya dengan Eto-kun di lokasi syuting.

"Mungkin saja ia tengah memanasiku, tapi aku tetap diam setiap ia bicara, sengaja menatapku dengan senyuman manisnya.

"Semoga saja Eto-san lelah bukan karena menghadapi sikap agresif kakak."

Penginnya di sekolah aku menanyakan kabar Eto-kun pada Sakuraba-kun. Secara mereka teman akrab, kemungkinan ia tahu sesuatu. Tapi mengingat statusku bukan siapa-siapa bagi Sakuraba-ouji-sama di sekolah, aku menghentikan niatku dan menahan pertanyaan ini sampai tiba di toko bunga.

"Fuusawa, kita akhiri saja permainan detektifan ini."

Aku melongo sesaat. "Main detektifan?"

"Ikut campur urusan orang, mencari informasi, memecahkan masalah. Tindakanmu itu sangat mengesalkan."

"Hah?!" Aku berseru keras, tidak terima dengan pernyataannya.

Tidak hanya bersikap dingin, mulutnya semakin tajam. Kesambet apa sih nih anak barusan?!

"Bukannya kamu sendiri yang sangat antusias dengan ceritanya Fumiko-chan? Kamu juga terlihat tertarik dengan permasalahan Eto-kun. Kenapa tiba-tiba menumpukkan kesalahan padaku seorang? Aku tak akan bicara dan mengenal Fumiko jika bukan karena permintaanmu mencari pelakunya!"

"Aku memang memintamu mencari pelakunya, tapi tidak mengenalnya lebih jauh, kan?"

Aku menggigit bibir, berusaha menahan emosi agar tidak mencakar wajah cantik bishounen itu. Padahal aku hanya bertanya mengenai kabar Eto-kun, kenapa ia begitu sewot?!

"Terserah kau!" erangku sudah tidak tahan dengan sikap sekenanya itu. "Aku tak akan bekerja! Potong saja gajiku sesukamu!"

Aku berbalik badan, berniat pergi. Namun Fujimura-san menghalangi jalanku.

"Hina-chan, tenanglah sedikit. Ya?"

"Minggir! Aku mau pulang!"

"Ba-baiklah.... Ta-tapi...."

Aku tak peduli. Meski aku menghargai Fujimura-san sebagai orang dewasa yang baik, aku menembus sisi kirinya, mendorong lengannya sedikit agar aku bisa lewat.

Terdengar suara gesekan pot bunga yang tersinggung dengan tasku. Aku menoleh, untung saja ia tidak jatuh. Dengan helaan napas gusar aku kembali melanjutkan langkah, mendorong pintu secara kasar. Pergi dari toko itu dan berharap tidak akan kembali lagi. Sudah gerah aku menghadapi sikap egoisnya!

Sepuluh, atau mungkin sudah dua puluh langkah dari toko itu, aku berhenti sesaat. Lalu melanjutkan dengan langkah biasa. Berjalan cepat dengan hati kesal ternyata cukup melelahkan. Aku menarik napas perlahan, membuat diri lebih tenang.

Terlintas di benakku membenarkan kalimat Sakuraba-kun. Entah sejak kapan aku terlalu ikut campur terhadap masalah orang lain. Pada Fujimura-san dan Ageha-san, sekarang ini pada Fumiko-chan dan Eto-kun.

Aku mungkin sudah bersikap sok, seakan tokoh penting yang dapat memecahkan semua masalah. Kenyataannya... kehadiranku malah merumitkan semuanya.

Menyadari sikapku yang berlebihan ini menyulutkan rasa sesak di dada. Terasa ada lubang yang baru terbentuk di sana. Ditambah sikap dingin pemuda itu, perasaanku bertambah kacau balau.

Langkahku kembali terhenti. Langit sore di musim gugur semakin gelap dibandingkan musim panas yang hangat dan selalu cerah hingga menusuk kulit.

Ada langkah seseorang di belakangku. Karena akan sangat malu jika orang lain melihatku yang telah menitikkan air mata tanpa sebab, spontan kupaksa kaki bergerak. Tangan kiri yang tak memegang tas naik untuk mengusap pipi dengan cepat. Namun tangan kananku ditarik seseorang. Spontan aku terkesiap, hendak memukul sang pelaku. Belum sempat melakukan serangan, tangan kiriku berhenti di udara.

"Mau apa?!" harikku pada pemuda di hadapanku. Kurenggut tangan kananku darinya, selangkah mundur untuk menjaga jarak.

Ia tidak langsung membalas dengan kalimat tajam seperti biasa. Tapi hati dan telinga sudah kutebalkan untuk mendengar ocehannya.

"Maaf.... Aku sudah keterlaluan...."

"Kau pikir akan langsung kumaafkan?" timpalku sebal.

Mudah sekali ia mengatakan maaf setelah memburukkanku!

"Aku bahkan tak berniat memaafkanmu. Aku tak tahu kenapa kamu harus repot-repot menyusulku, atau memang ada keperluan keluar dan menghampiriku. Lebih baik kukatakan saja sekarang... mulai hari ini dan seterusnya aku tak akan bekerja di tokomu!"

Tanpa mempertimbangkan sekitar, aku terlepasan bicara. Pejalan kaki yang lewat berkomentar dengan suara yang masih dapat kudengar.

'Pertengkaran sepasang kekasih?'

'Perselingkuhan?'

Spontan aku mengalihkan pandangan. Walau marah pun jika dianggap begitu tetap malu.

"Kita pindah tempat untuk bicara."

Tanpa meminta persetujuanku, ia menarik tangan kananku kembali. Seakan ada magnet, tubuhku bergerak begitu saja mematuhi kehendaknya.

"Aku tahu kau tak akan terima begitu saja." Sakuraba-kun melanjutkan penjelasannya. "Baru saja aku mendapat kabar buruk. Kau tiba-tiba datang dengan antusias tinggi menanyakan kabar Kou. Aku tak tahu harus menjelaskan dari mana. Yang terlintas hanya menghentikan keingintahuanmu itu."

Kabar buruk? Apa? Aku menundukkan kepala, menatap kaki yang melangkah hati-hati tak ingin menginjak bayangan pemuda yang berjalan di depanku. Tepatnya, meski aku mengikutinya tetap menjaga jarak karena tak ingin pemuda berpikir hatiku melunak.

Karena berjalan tanpa melihat ke depan aku tidak menyangka ia menghentikan langkah hingga kepalaku menabrak lengannya. Aku meringis pelan sambil memegang kening. Angin berhembus pelan, menerbangkan ujung rambut, seakan mereka tengah menggelitiki leherku. Tidak kusadari kami sudah ada di arena terbuka, tepatnya di tepi sungai yang membatas wilayah kota. Di sini lumayan sepi. Hanya ada dua orang dari kejauhan tengah berolahraga.

"Berat mengatakannya...." Sakuraba-kun membuka percakapan kembali. "Jika tidak kukatakan kau akan terus salah sangka."

Selama dalam perjalanan tadi kepalaku sedikit lebih tenang dibanding sebelumnya. Kekesalanku perlahan terkikis melihat wajah bersalahnya. Entah kenapa aku yakin dia tidak tengah berpura-pura.

"Apa... kabar buruk itu... mengenai Eto-kun?" terkaku dengan suara pelan.

Sakuraba-kun bergumam, terdengar lirih.

"Sebagai orang luar, aku tak ada hak mendengarkannya ya?" terkaku lagi. "Tapi Eto-kun baik-baik saja, kan?"

"Fisiknya mungkin dari luar tampak begitu, tapi mentalnya...." Sakuraba-kun malah menggelengkan kepala. "Seharusnya kuceritakan. Aku juga tak bisa memendamnya sendirian. Fuusawa...," ia memanggilku seraya menatap dengan kesungguhan, "kau sendiri bilang pada Kou, 'lebih baik diceritakan pada orang yang dipercaya daripada susah sendiri', kan?"

"Eh, Eto-kun sampai bilang begitu?" Saranku malah dibeberkan pada teman dekatnya. Malu. Mungkin wajahku kini sudah memerah.

Sakuraba-kun mengambil posisi duduk di tepi pematangan dekat sungai ini. Tangan kanannya menepuk dua kali di rerumputan. Tanpa lisan aku tahu maksudnya. Aku pun merapikan rok belakang sebelum menjatuhkan pinggul ke rumput, lalu meletakkan tas di atas paha agar rok tidak bersimbah.

Sakuraba-kun menghirup napas panjang, menghelanya perlahan. Kemudian lehernya berputar sedikit ke arahku. "Fuusawa, tolong bantu aku melepas penat di pundakku."


"Ibunya Kou meneleponku dini hari. Beliau menanyakan kenapa anaknya bisa seperti ini. Aku tak tahu maksudnya. Ia pun menjelaskan situasi Kou. Setelah mendengar itu aku pergi ke rumahnya. Ibunya pun menceritakan masa lalu....

"Aku tak bisa menceritakannya terperinci padamu. Ini demi Kou. Juga kau yang tak bisa berpura-pura bersikap seperti biasa di depannya jika sudah mengetahui ceritanya.

"Sebelumnya Kou bilang sudah menonton drama pertamanya beberapa kali, tetap tidak bisa mengingatnya. Ia bertanya pada ibunya, ibunya tak mengatakan apapun.

"Kou mendapat bingkisan lukisan kebun bunga matahari beserta tiga anak yang bermain di sana dengan ceria. Lukisan itu dibungkus rapi, dikirim langsung ke rumahnya. Kemungkinan pengirimnya Hanazono Fumiko. Gadis itu kemungkinan sudah kehabisan akal agar Kou mengingatnya, memancing memori Kou dengan lukisan tersebut. Karena itu, ia dapat mengingat sesuatu.

"Pemicu utama mengapa Kou absen hari ini ialah semalam.... Hanazono-kakak melakukan sesuatu pada Kou. Trauma masa lalu lepas, menghantui pikirannya sampai detik ini.

"Ada sesuatu yang terjadi, sangat buruk, setelah drama Kimi ni wa himawari hingga membuat Kou trauma.

"Karena itu... untuk melupakan rasa sakit itu, sejak dulu Kou mengunci kenangannya. Termasuk mengenai dua saudari Hanazono."


Trauma? Di masa lalu?

Tanpa ingin mengungkapkannya di mulut, aku menahan seluruh terkaanku dengan menutup bibir rapat-rapat.

Fumiko bilang kakaknya marah-marah sendiri di kamar. Ia menerka ada kaitannya dengan Eto-kun karena gadis itu tidak memiliki niat dengan laki-laki selain Eto-kun.

Sepenggal kisah yang Sakuraba-kun ungkap secara garis besar yang sangat kasar. Butuh waktu untukku membayangkan apa dan bagaimana keadaan Eto-kun kini.

Setelah pembuatan drama itu..., ada sesuatu yang membuat Eto-kun trauma. Anak usia 10-11 tahun, masih duduk di kelas 5 SD, pasti memiliki banyak ketakutan dan hal seram apapun bisa dijadikan pemicu trauma.

Emily..., melakukan sesuatu terhadap Eto-kun hingga membuat memori pemuda itu lepas dari kotak yang seharusnya sudah dikunci rapat. Hal ini yang tak kumengerti. Apa aku harus membayangkan hal buruk dan sedikit... porno? Kontak fisik?

Jika kontak fisik menjadi pemicu.... Berarti saat itu..., trauma Eto-kun kecil....

Tubuhku meremang sendiri. Kedua tanganku saling menyilang, bersedekap seraya menggenggam lengan. Bayangan buruk begitu saja mampir di benakku.

"Hanya dengan cerita tak jelas itu kamu bisa menerkanya," ujar Sakuraba-kun dengan nada lirih. "Sepertinya kau memang pantas jadi detektif."

Ia mencoba bercanda. Jelas itu bukan selera humornya. Tangan kiriku meremas lengan seragamnya tanpa menatapnya.

"Kenapa tidak ada pemberitaannya?" Aku bergumam sendiri sebelum Sakuraba-kun menjawab. "Benar juga. Permasalahan itu ditutup pihak pembuat drama agar tidak menghalangi rencana perilisan. Mengerikan. Tidak berperasaan."

"Ibunya Kou sendiri setuju, selama pelaku dihukum sesuai undang-undang yang berlaku. Meski wanita itu tak akan pernah memaafkannya."

Aku setuju. Jika aku ada di pihak ibunya Eto-kun, aku tak akan pernah memaafkan tindakan pelaku. Hukuman penjara maupun digantung sekali pun tak akan cukup menyembuhkan trauma sang anak dan luka di hati seorang ibu. Tanpa sadar aku sudah meremas lengan Sakuraba-kun, geram dengan kejadian yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.

Yang lebih membuatku tidak terima adalah drama tersebut sangat mengesankan, baik alur cerita maupun latarnya. Namun dibalik itu ada cerita mengenaskan yang akan sangat malu jika diketahui publik. Mengingat itu pun aku setuju dengan keputusan ibunya Eto-kun menutupi kejadian tersebut di depan media. Masa depan Eto-kun jadi taruhannya.

"Fumiko-chan.... Apa dia tahu?"

"Kemungkinan tidak. Orang dewasa sepakat tak mengatakan apapun pada pemeran anak-anak dalam drama tersebut."

Tidak heran jika Fumiko dan kakaknya tidak tahu. Mereka saat itu juga anak-anak yang mudah ditipu orang dewasa.

"Jika Fumiko-chan tahu..., ia akan sangat merasa bersalah."

Aku bisa membayangkan wajah gadis itu akan pucat pasi dan semakin fruatasi. Ia pasti akan menyalahkan diri sendiri karena sudah menjadi salah satu orang yang memicu timbulnya trauma Eto-kun.

"Kasihan sekali, Eto-kun...."

Di balik kepribadiannya yang tenang dan dewasa, ada bayang-bayang gelap yang menghantuinya.

"Apa tidak ada yang bisa kita lakukan untuk membantunya?"

Apapun itu akan sangat berarti jika bisa mengobati luka yang dialami Eto-kun. Walau kami tidak akrab, belum bisa dianggap berteman, setidaknya sebagai sesama manusia aku ingin membantunya lepas dari trauma tersebut.

Ada aliran hangat melintas di kulit. Spontan pandanganku tertuju pada tangan kiri yang sudah digenggam tangan lain.

"Aku berterima kasih atas perhatianmu pada Kou. Sebagai sahabat, aku juga ingin membantunya. Tapi untuk sekarang yang bisa kita lakukan hanya memberinya ruang agar ia bisa tenang. Aku yakin kini Kou tengah mendinginkan kepalanya menghadapi masalahnya sendiri."

Apa yang dikatakannya benar. Tidak ada bantahan atas keputusan tersebut. Seberapa kesal mendengar cerita itu yang paling tersakiti adalah Eto-kun. Ia yang mengalaminya dan ia jua yang harus menghadapi masa lalunya itu. Sebagai teman hanya bisa membantu jika ia membutuhkannya.

"Mungkin ada satu yang harus kau lakukan," ujar Sakuraba-kun kemudian. "Bagaimana pun caranya buat Hanazono mengakhiri usahanya membuat Kou mengingat dirinya."

Aku menganggukkan kepala. Jika dipikirkan 'bagaimana pun caranya' membuatku bingung. "Sulit," gumamku tanpa sadar. Aku memberinya tatapan sebal. "Lagi-lagi memberi perintah."

Sakuraba-kun terkekeh pelan. "Aku mengandalkanmu," ujarnya seraya mengumbar senyuman.

Senyuman itu... yang pernah dipahatnya saat Fumiko berkunjung ke toko. Tapi efeknya jauh lebih menyejukkan kala dipandang dari dekat. Apa hanya perasaanku saja?

"Jadi sekarang ini kau akan ke toko atau pulang?"

Aku tersentak dari lamunan. "A-ah, pulang."

"Baiklah." Ia berdiri, beserta menarik tanganku yang masih digenggamnya. Sontak aku bangkit dan kembali mengikuti langkahnya. "Kuantar."

"Eh, tapi kan hari masih terang?" ujarku bingung.

Ia tidak membalas, bahkan tidak melengah ke belakang sedikit pun. Aku penasaran apa yang tengah ia pikirkan. Untuk menebaknya aku harus melihat ekspresi wajah yang dipasangnya. Aku pun menyamakan langkah, berjalan tepat di sampingnya. Ia menoleh dan tersenyum. Sikap sederhana itu saja mengalihkan perhatianku dalam sekejap. Pikiranku semakin kacau saat tangannya semakin mengeratkan genggaman.

Sebagai balasannya aku hanya bisa menundukkan kepala, melangkahkan kaki mengikuti alur yang diciptakannya dalam keheningan.


Eto-kun absen selama dua hari. Begitu kembali bersekolah, teman-teman sekelas berebutan menanyakan keadaannya. Pemuda itu terkejut menerima perhatian mereka. Meski begitu dengan mudah ia memahat senyuman dan bicara dengan nada tenang seperti biasa.

Saat itu Sakuraba-kun ada di sisinya. Pemuda itu mengingatkan teman-teman agar tidak terlalu khawatir dan tidak membuat Eto-kun kesulitan. Sepertinya ia sengaja datang ke kelas demi membantu Eto-kun menghadapi tindakan para penggemar.

Dua hari lalu pun aku tetap menemui Fumiko. Kami makan siang sembari bercerita ala gadis sekolah. Lalu aku pun memintanya untuk tidak mencemaskan Eto-kun. Yang mengejutkan adalah keputusannya sebelum aku bicara ke topik yang hendak kuangkat.

"Aku akan berhenti mendekati Eto-san. Aku tak akan lagi mengirim lukisan, surat, dan semacamnya. Aku juga akan keluar dari fans club-nya. Dan aku juga ingin minta maaf secara langsung. Maaf dan terima kasih...."

Fumiko memintaku mencari waktu yang tepat agar bisa dipertemukan dengan Eto-kun.

"Bagaimana kalau di toko bunga?"

Fumiko setuju. Aku tak langsung meminta Eto-kun maupun persetujuan Sakuraba-kun. Karena aku menunggu waktu yang tepat, sampai ekspresi dan sikap Eto-kun di sekolah membaik.


"Cara merangkai bunga gimana sih?"

Pertanyaan itu jika dilempar ke Fujimura-san, jawabannya sederhana.

"Percayakan pada intuisimu! Pilih bunganya, lalu jalin dengan sepenuh hati!"

Sakuraba-kun menepuk kepala belakang Fujimura-san. "Penjelasanmu sangat tidak jelas!"

"Ya begitulah Mamoru," timpal Yaegashi yang entah kenapa ikut pulang bersama kami dan mampir ke toko bunga. "Jika Mamoru bisa menjelaskan secara terperinci, jelas ada yang salah dengan Mamoru!"

"Ken-kun..., makasih pujiannya." Berkebalikan dengan kalimatnya, Fujimura-san terlihat sangat sedih akan pernyataan Yaegashi-kun. Dan aku pun tertawa karenanya.

"Kau benar-benar ingin belajar merangkai bunga?" Sakuraba-kun membalikkan badan, secara aku berdiri di belakangnya.

Aku mengangguk mantap.

"Kalau begitu kamu harus mengambil buku dan pena, karena arahan dariku tidaklah sedikit," ujarnya terlihat bangga akan dirinya sendiri. Telunjuk kanannya naik, berputar-putar di udara. "Yang pertama...."

"Wa-aaa! Tunggu, tunggu! Aku belum siapin alat catatan!" Dengan tergesa aku membuka tas untuk mengambil buku catatan dan pena.

"Ajaran Sakuraba-sensei bisa lima jam lho, Hina-chan," ungkap Yaegashi-kun dengan gestur seolah berbisik padaku.

"Kalau dipikir-pikir..., mungkin...," jawabku ragu mengeluarkan catatan.

Sakuraba-kun sedikit menurunkan kepala, dengan bola mata naik menatap tajam ke arah kami berdua.

"Ka-li-an?"

Hanya satu kata dengan penuh penekanan mampu membuat kami berdua membatu di tempat.

Fujimura-san malah terkekeh. "Kalian berdua telah menginjak ranjau~!"

Aku dan Yaegashi-kun sama-sama membungkukkan badan pada Sakuraba-kun. "Sumimasen deshita."

"Ternyata ramai di sini."

Kami mendapati sosok Eto-kun tengah berdiri dekat daun pintu. Ia menutup pintu, menghampiri kami.

"Kou!" sapa Yaegashi-kun ceria.

"Kudengar kamu sakit? Sudah tidak apa berjalan sendiri?" tanya Fujimura-san.

Eto-kun mengangguk. "Ya, sudah baikan. Terima kasih sudah mengkhawatirkanku."

"Ada apa Kou?" tanya Sakuraba-kun di balik punggungku.

"Ah, tidak. Hanya ingin saja main ke sini. Apa kalian sibuk?"

Tanpa janji kami serempak mengibaskan tangan di udara. "Sama sekali tidak!" ujar kami bersamaan lalu saling menatap dengan heran.

Eto-kun tertawa. "Maaf. Kalian...," ia tersenyum dengan tatapan teduh, "terlihat terlalu kaku menghadapi orang yang baru sembuh dari sakit. Terlebih, aku hanya kelelahan. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."

Kami terkekeh kaku. Sakuraba-kun tahu cerita sesungguhnya dari ibunya Eto-kun langsung. Aku mengetahuinya dengan mengumpulkan puzzle yang terbentang di hadapanku. Sementara Fujimura-san dan Yaegashi-kun hanya tahu Eto-kun sakit karena kelelahan. Tapi mungkin suatu saat nanti pemuda itu akan membagikan kisah pada sahabat yang dipercayainya.

"Duduklah, Eto-kun, Yaegashi-kun. Kubuatkan teh dulu!" ujarku langsung beranjak ke dapur.

"Ah, tidak perlu repot."

Aku mendengar suara Eto-kun tapi tidak kugubris. Kemudian yang kudengar Yaegashi-kun mengajak Eto-kun duduk. Mereka mengobrol bersama.

Dengan gerakan gesit seakan telah lihai, aku meraih teko ukuran sedang. Lalu mengambil bunga kamomil kering yang disimpan di kulkas kecil. Untung saja air panas dispenser sudah tersedia, tinggal menyeduh teh dalam teko.

"Yang katanya ingin berhenti bekerja tapi malah tampak senang membuat teh. Bahkan menanyakan cara merangkai bunga?"

Aku menggerutu. Pemuda cantik satu ini lebih suka hadir di depanku hanya untuk membuatku kesal.

"Udah lewat seminggu, baru sekarang dibahas," ujarku seraya bersungut.

Pipiku kini pasti sudah memerah. Seminggu lalu, setelah semua terjelaskan aku hadir di toko bunga dan disambut seperti biasa, seakan kekesalanku yang lalu dianggap tidak ada oleh mereka berdua. Karena itu sampai sekarang aku masih bisa memasang wajah seperi biasa setiba di toko ini.

Sakuraba-kun mengambil nampan, menyusun enam cangkir di atasnya. "Syukurlah tak jadi berhenti." Ia pun berlalu sambil membawa cangkir-cangkir itu ke depan.

Hanya kalimat singkat itu mampu membuatku tersipu. Ditambah ia tersenyum! Itu berarti dia senang aku tidak jadi berhenti bekerja di toko ini..., bukan?

Tanpa sadar aku tersenyum sendiri, susah payah menahan kekehan yang keluar dari mulut. Sepintas aku mengingat jumlah cangkir yang dibawa Sakuraba-kun.

Lho kok enam?

Buru-buru aku membawa teko dengan teh yang sudah disaring ke depan. Benar saja dugaanku ada satu tamu lagi! Orang itu....

"Fumiko-chan!"

Aku kaget dia datang ke toko tanpa memberi tahu sebelumnya. Dan lagi tepat saat Eto-kun ada! Apa jangan-jangan anak ini menguntit Eto-kun... lagi?

Gadis itu hanya berdiri di balik rak bunga, enggan menghampiri tempat duduk para laki-laki.

Sakuraba-kun mengambil alih teko dari tanganku, meletakkannya di atas meja. Fumiko menghampiriku, lalu bersembunyi di balik punggungku.

"Fumiko-chan?" Aku bertanya hanya dengan memanggil namanya.

Fumiko tak menjawab.

"Jika kamu diam, yang lain juga tidak mengerti maksud kehadiranmu," ujarku seraya menasihati.

"A-aki tak menyangka akan banyak orang...."

Yaegashi-kun menunjuk ujung hidungnya. "Aku? Kalau mengganggu, aku akan pulang."

"Bu-bukan begitu, senpai!" Fumiko langsung keluar dari persembunyian, merentangkan kedua tangan ke depan lalu mengibasnya cepat. "Si-silakan tetap duduk. A-aku akan mengatakannya dengan cepat, pergi sesegera mungkin!"

Gadis itu maju selangkah, lalu menundukkan badan tepat di hadapan Eto-kun.

"Eto-san, maafkan atas kegigihanku! Aku tidak bermaksud membuatmu kesulitan! Aku tak akan mengirim lukisan, gambar, surat, apapun dalam bentuk bunga matahari."

"Kebalik. Harusnya mengirim bunga matahari dalam bentuk lukisan, gambar, surat, dan sejenisnya." Sakuraba-kun malah mengoreksi kalimat Fumiko.

Fumiko bergumam dengan suara terbata-bata masih dalam posisi menundukkan kepala. "Hu-wa-wa-wa....!"

"Jadi itu semua kamu yang mengirimnya?" Eto-kun tampak agak terkejut.

"Kecuali buket bunga," tambah Sakuraba-kun.

Eto-kun mengangguk. "Aku sudah berfirasat orang yang mengirimku surat selama ini bukan Emily."

"Apa dia masih mengirimmu bunga?"

Eto-kun menggelengkan kepala. "Sejak kutolak ia malah tidak pernah menatapku."

"Bukannya itu lebih baik?"

Eto-kun bergumam pelan, setuju dengan pendapat Sakuraba-kun.

"Eetoo..., aku sama sekali gak ngerti apa yang kalian bicarakan." Yaegashi-kun malah memotong pembicaraan. Tapi sejak awal yang melakukannya Sakuraba-kun.

"Kalian bisa tidak memberi ruang untuk seorang gadis bicara?" Aku bersedekap sebal pada mereka.

Yaegashi-kun bergumam 'maaf', kedua tangan bergestur meminta Fumiko melanjutkan kalimatnya. Tapi sudah terlanjur, gadis itu kembali mengendap di belakangku. Aku menarik kerah belakangnya seperti menjinjing anak kucing agar kembali menghadapi Eto-kun.

"A-aku juga meminta maaf atas perlakuan kakak terhadap Eto-san."

"Kakak?"

"Yang memberimu buket bunga.... Emily itu kakakku...."

Tidak heran lagi Eto-kun terkejut mendengarnya. Yaegashi-kun yang ingin berkomentar, mulutnya langsung disumbat kertas pembungkus oleh Sakuraba-kun.

"Begitu rupanya...." Eto-kun bergumam. Ia terlihat mulai mengerti alur yang selama ini ada di belakang punggungnya. "Jadi... kalian dua anak perempuan yang ikut bermain drama denganku saat itu."

"Eto-san ingat?" Fumiko bertanya dengan tatapan penuh harapan.

"Maaf, sayangnya tidak terlalu. Aku hanya menonton drama itu kembali. Nama kalian ada di kredit. Maaf ya tidak mengingatmu, Fumiko."

Fumiko terlihat kecewa, tapi ia menggelengkan kepala. "Tidak apa. Sudah wajar lupa. Apalagi denganku yang tak pernah lagi menginjak dunia hiburan. Tidak seperti kakak....

"Satu lagi. Aku datang untung mengucapkan terima kasih. Setahun lalu Eto-san menghampiriku... menghentikan tindakanku untuk bunuh diri...."

"EEEH??" Fujimura-san malah menjerit kencang.

Seketika itu pula aku menatapnya sebal. Memangnya saat Fumiko bicara ia tidak mendengar bagian itu?

Eto-kun tampak berpikir, meyakinkan memorinya. Mulutnya pun terbuka agak lebar. "Yang waktu itu?" Dia ingat. Kali ini aku yakin dia ingat Fumiko setahun yang lalu. "Rasanya berbeda. Apa karena kamu pakai kacamata?"

Fumiko jua terlihat senang. Ia pun membuka kacamatanya.

"Wuih, beneran adiknya Emily! Mirip!" seruan Yaegashi-kun membuat Sakuraba-kun bertindak, mencubit lengan temannya itu sampai berteriak minta belas kasihan.

Fumiko kembali mengenakan kacamatanya. "Karena itu aku tak pernah melepasnya."

"Aku tidak menyangka kita satu sekolah. Syukurlah kamu benar-benar kembali pulang, tidak balik ke jurang itu."

Fumiko bersemu karena ucapan tulus Eto-kun. Ia kembali menundukkan badan. "Terima kasih. Eto-san penyelamat hidupku. Jika bukan karena Eto-san, aku tak tahu nasibku sekarang bagaimana."

"Jangan berlebihan. Kebetulan saja aku hadir tepat waktu."

"Meski begitu... terima kasih. Bagiku Eto-san merupakan Surya yang memberi kehidupan sebatang bunga matahari yang tumbuh sendiri...."

Hening.

Seluruh orang yang ada dalam toko ini terdiam mendengar isi hati Fumiko. Yang meluruhkan suasana ialah suara gumaman penuh kagum dari Yaegashi-kun. Fumiko kembali bergemam tidak jelas, kaki ini bersembunyi di balik rak bunga.

"Terima kasih...," jawab Eto-kun yang terlihat bingung harus menjawab apa selain 'terima kasih'.

Fumiko melanjutkan kalimatnya di balik pot-pot bunga. "U-untuk ke depannya... a-aku akan menjaga jarak dari Eto-san. Ta-tak akan mengganggu lagi! A-aku mohon pamit! Selamat tinggal!"

Gadis itu melangkah dengan cepat, membuka pintu dan berlari begitu saja tanpa menutup pintu kembali.

"Fumiko!"

Aku menyusulnya. Namun begitu aku tiba di luar, Eto-kun berlari lebih cepat melewatiku. "Eh?"

Pemuda itu ternyata lebih peka dari dugaanku. Ia menyusul Fumiko, menahan pundak gadis itu dari belakang, mengajaknya bicara. Fumiko tampak terkejut dengan mengadahkan pandangan, menatap Eto-kun yang lebih tinggi darinya. Perlahan air matanya keluar. Ia menangis. Eto-kun mengusap kepalanya.

"Permasalahan pun selesai," ujar Sakuraba-kun yang tidak kusadari sudah berdiri di sampingku.

Tidak hanya ia, Yaegashi-kun dan Fujimura-san sudah ada di luar, ikut menjadi penonton.

"Permasalahan selesai, aku menagih janji!" ujarku seraya menggerakkan kedua tangan di udara. "Janjimu mengajariku merangkai bunga."

Sakuraba-kun terkekeh pelan. "Meski ajarannya sampai lima jam?"

"Lima jam, lima hari, atau sebulan lebih tidak masalah!" ungkapku senang. "Yoroshiku, Sakuraba-sensei!"

"Hmm, kunantikan rangakain bunga pertamamu kelak. Jangan mengecewakanku."

Aku tergelak senang. Baru kali ini aku merasa Sakuraba-kun berbaik hati menerima kesungguhanku.

"Ah, mereka kembali."

Aku menolehkan pandangan. Benar, Eto-kun tampaknya dapat meyakinkan Fumiko kembali pada kami. Kehadiran mereka kami sambut dengan tangan terbuka.

Untuk pertama kalinya selama aku bekerja di toko bunga Sakuraba, hari ini adalah hari yang ramai dengan kesungguhan perasaan dan kebahagiaan. Dikelilingi berbagai macam bunga yang kembang, kami saling berbagi cerita.

Catatan penulis:

Yeeey~
Tulisan ini buat #NgabubuRead challenge pun selesai~
Alhamdulillah wwwwww

Makasih buat teman2 pembaca yang nyasar ke ceritaku ini. Ureshii desu~. Vote dan komen kalian begitu berarti!

Anggap aja Hanakotoba season 1 selesai. Lanjutannya mungkin setelah idul fitri wwww, semoga aja bisa lanjut nulis. XD kan aku maso sambil tugas sama challenge tulisan lain hahahahahaa....

Sekian dulu dariku~

Semoga kita bisa ketemu di cerita yg lain~

(ノ゚▽゚)ノ💕💕💕💕💕 /love beam/

Unggah: 15 Mei 2020
Revisi: 16 Mei 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top