Sunflower🌼07
Sesuai pernyataan Eto-kun, Emily sendiri yang mengaku sebagai pengirim buket bunga matahari padanya langsung. Tentu hal itu membuatku terkejut.
"Apa kamu sudah memberitahu Sakuraba-kun?"
"Belum. Kemarin ia menyatakannya. Semalam aku tidak sempat memberitahu Ryou...."
Eto-kun terdiam sesaat, ada yang aneh dari pengalihan matanya dariku.
"Ada hal lain?"
Ia menggelengkan kepala, tampak enggan mengungkapkan sesuatu.
"Jangan dipendam," ujarku. "Bicarakan saja berdua dengan Sakuraba-kun, atau bertiga dengan Yaegashi-kun. Kalian teman akrab, kan?"
Eto-kun memperlihatkan ekspresi terkejut.
"Lebih baik kegelisahan dibagi pada orang yang dipercaya daripada susah sendiri. Kalian teman, pasti akan saling mendukung."
Seulas senyum terpahat di wajah tampan pemuda itu. "Benar juga. Terima kasih, Fuusawa. Aku tidak menyesal mengajakmu bicara."
Aku tertawa pelan. "Jangan formal begitu. Santai saja!"
Setelah itu Eto-kun keluar kelas, aku yakin ia mencari dua teman akrabnya. Dan aku langsung dihujam seribu pertanyaan dari para gadis di kelas. Bahkan dua teman akrabku sekali pun.
Aku beralasan hanya pembicaraan mengenai pelajaran biologi karena aku tak sengaja membentangkan buku botani dan ia pun menghampiriku. Jawaban sederhana dan agak berbelit itu membuat mereka kecewa, lalu membubarkan diri.
"Makan siang di luar lagi?"
Baru saja berdiri dari kursi, teman akrab sekelasku meyemprot dengan pertanyaan ketus.
Aku merapatkan kedua telapak tangan di depan wajah.
"Maaf ya? Bagaimana pun ada yang ingin dibicarakan."
"Sama siapa sih?"
"Adik kelas," jawabku agak membusungkan dada. "Hyaah, sebagai kakak kelas yang baik, aku berkewajiban mendengarkan kegelisahannya."
Aku pun melambaikan tangan dan membawa bekal keluar. Biasanya Fumiko menggambar di halaman tengah sekolah yang bisa dilihat lewat jendela koridor. Herannya kini ia tidak ada di sana. Apa karena suhu semakin dingin ia mengambil tempat lain?
Setiba di lantai satu, aku mencari eksistensinya ke seluruh sudut koridor. Waktu istirahat sudah berlalu sepuluh menit. Jika ia tidak kutemui lima menit lagi, aku memutuskan untuk kembali dan makan di kelas. Aku menghela napas, sayang sekali jika tak bertemu, padahal aku kembali membuat sandwich.
Kuingat kembali sifat Fumiko. Anak itu tidak terlihat punya teman, selalu sendirian saat istirahat. Makan siangnya hanya roti dan sebotol minuman yang didapat di mesin penjual otomatis. Ia tampak lebih sibuk menggambar daripada mengisi perut.
Terlintas di benakku jalan menuju labor kimia yang ada di sudut bangunan menuju gedung olahraga. Jika tidak salah di sana sepi meski saat istirahat. Karena semua murid lebih memilih ke kantin yang arahnya berlawanan dengan jalan tersebut. Aku yakin karena setiap selesai pelajaran olahraga bertepatan jam istirahat koridor di sana sepi. Langsung saja aku melayangkan kaki ke sana.
Tidak ada siapa pun di koridor tersebut. Sangat sepi. Andai ada pengusulan tujuh keanehan sekolah, aku akan mengusulkan koridor ini yang selalu sepi meski jam istirahat sekali pun. Aneh, kan?
Aku meneruskan langkah menuju pintu keluar. Namun di luar juga tidak ada siapa pun.
"Senpai ngapain di sini?"
"Huwa!" Aku terperanjat, hampir melepaskan bekal di tangan. Kubalikkan badan, mendapati Fumiko di sana. "Jangan ngagetin, dong!"
"Ah, maaf. Aku tidak bermaksud." Fumiko merasa bersalah.
"Tak apa, kok." Tanganku mengibas di udara. "Oh iya, makan siang bersama yuk!"
"Sandwich?" terkanya menatap lekat bekalku.
Aku mengangguk.
"Boleh ... kucicipi?"
"Tentu!"
Ia memasang senyum ceria.
"Kita makan di tempat biasa, yuk?" Aku mendorong pundaknya karena kedua tangannya memeluk alat menggambar, membimbingnya melewati koridor menuju halaman tengah. "omong-omong kamu ngapain juga ke koridor gedung olahraga?"
"Rencananya ... mau menggambar. Di sana tenang...."
"Anak gadis tidak boleh sendirian! Nanti diganggu murid preman!"
"Senpai sendiri?"
"Karena berpikir kamu ke sana, aku ke sana."
"Eeh?" Wajahnya sedikit memerah. "Ti-tindakanku ... terbaca ya?"
Aku tertawa pelan. "Untung saja aku tiba lebih dulu. Ayo cepat, sebelum jam istirahat habis!"
Kami tiba di bangku biasa Fumiko menggambar. Hari ini ia hanya membawa melonpan dan sebotol jus apel. Aku pun mengeluarkan bekalku. Hari ini sandwich telur dan sandwich salad.
"Enak!" Fumiko mencicipi sandwich salad-keju. "Senpai pandai masak ya?"
"Hanya masakan sederhana," ujarku malu.
Jika ingin membawa bekal nasi, pasti tambahannya telur, sosis, dan sayur. Karena alat masaknya berbeda dan agak merepotkan, aku lebih memilih membuat sandwich dengan modal sekali masak, seperti isi telur saat ini. Sementara salad, tinggal memotong berbagai macam sayur yang ada di kulkas, ditambah parutan keju dan sedikit mayones.
"Kamu sendiri juga bisa masak, kan? Kemarin ini kamu pulang untuk membuat makan malam ayah."
"Ah, iya. Hanya masakan biasa."
"Kenapa tak buat bekal?"
Fumiko mengalihkan pandangan, terdiam selama aku mengunyah dan selesai menelan. "Jika ... aku buat bekal ... harus buat ... untuk kakak juga." Ia melahap hampir setengah bagian sandwich di tangannya. Mengunyahnya agak kasar, pipinya pun membulat. "Alasan yang egois ya?" ujarnya kemudian melanjutkan makan.
Entah pengaruh dari sikapnya yang terlihat agak kekanakan atau alasan yang diungkapnya, perutku tergelitik, meledakkan tawa di bibirku.
"Senpai, jangan ketawa."
"Ma-maaf...." Kucoba menahan tawa, tapi tidak bisa.
Aku tetap tertawa dan semakin bertambah melihat wajah sebal Fumiko, pipinya membulat sempurna hingga memerah. Karena tingkahnya itu, hampir saja ia tersedak dan menyemburkan sedikit makanan dalam mulut. Ia ikut tertawa dengan kelakuannya sendiri.
Sebelum bel pertanda jam istirahat berbunyi, kami buru-buru kembali ke gedung. Kelas satu ada di lantai satu, sementara aku kelas dua ada di lantai dua. Kami berpisah begitu aku menaiki tangga. Baru setengah jalan, Fumiko memanggilku. Ia naik tergesa-gesa.
"Boleh minta nomor Lime?"
"Ah, tentu!"
Kami sama-sama mengeluarkan ponsel dari saku kardigan, aku menyebutkan nomor Lime-ku, Fumiko yang menambahkannya, lalu aku yang mengikutinya balik.
"Terima kasih, senpai!"
Dari awal mengenal Fumiko, baru kali ini ia benar-benar tersenyum ceria. Hanya karena mendapat kontak baru di Lime?
Ia pun menganggukkan kepala sekali, membalikkan badan untuk turun. Namun di bawah sana ada Eto-kun dan Sakuraba-kun hendak naik. Fumiko membatu. Aku sendiri ikut tegang melihat mereka saling bertemu pandang. Sakuraba-kun tampak berpura-pura tak mengenal Fumiko, terus menaiki anak tangga dan melewatinya.
"Kou?" Sakuraba-kun berhenti satu anak tangga di atasku, memanggil Eto-kun yang masih tertegun di bawah.
Eto-kun menganggukkan kepala. Kakinya menaiki setiap anak tangga, melewati Fumiko begitu saja. Gadis itu hanya dapat menundukkan kepala, sedikit menepi untuk memberi Eto-kun jalan.
"Ano!"
Fumiko memanggil. Suaranya terdengar bergetar tapi cukup membuat langkah Eto-kun berhenti. Fumiko membalikkan badan, berusaha mengangkat kepala agar dapat menatap Eto-kun.
"Eto-san... apa masih ingat aku?"
Eto-kun memunggungiku. Aku tidak tahu bagaimana reaksi wajahnya saat ini di hadapan Fumiko.
"Aku... Hanazono Fumiko. Waktu kecil sebutanku Fu-chan karena kakak mengerjaiku. Hanya Eto-san memanggilku Fumi! Kou-niisan... apa kamu ingat aku?"
Tidak ada jawaban. Eto-kun mematung di tempat. Aku menoleh pada Sakuraba-kun, melirik dengan isyarat 'apa kamu tahu sesuatu?'. Sayangnya Sakuraba-kun hanya menghela napas tanpa suara. Aku kembali menatap punggung Eto-kun dan kecemasan di wajah Fumiko.
"Maaf... kamu dari sanak keluarga mana?"
Fumiko menundukkan kepala. Tubuhnya bergemetar hebat. Tanpa mengucapkan sepatah kata ia membalikkan badan dan pergi begitu saja. Aku hampir melangkah hendak mengejarnya, tapi bel berbunyi, mengharuskanku masuk kelas sebelum guru tiba. Kulangkahkan kaki, melewati eksistensi Sakuraba-kun tanpa menoleh padanya.
Sepintas tadi aku sempat melihat gadis itu meneteskan air mata. Tanpa sadar air mataku sekenanya keluar. Aku baru menyadari saat kain pembungkus bekalku basah.
"Anehnya. Dia pergi begitu saja."
"Kou, kau kenal anak tadi?"
"Tidak. Aku baru bertemu dengannya hari ini. Tampaknya aku salah ujar, ia terlihat kecewa."
Percakapan keduanya menyentakkan kesadaranku. Kupercepat langkah menuju kelas sebelum keduanya mendekat.
Harusnya aku yang sebal dengan sikap Eto-kun pada Fumiko. Pemuda itu bicara dengan nada datar, tidak bermaksud bersikap dingin, tapi tetap saja responnya itu terasa dingin. Apalagi terhadap seorang gadis.
"Dasar Kou si Wajah Kaku! Harusnya dia mengejar Hanazono. Meminta penjelasan langsung dari gadis itu. Mencoba penasaran mengenainya. Mengingat kembali masa lalu. Dengan begitu, setidaknya, romansa tercipta!"
Aku hanya bisa menatap dengan ekspresi datar pada sikap Sakuraba-kun yang di luar prediksi. Pemuda itu bersikap tenang seakan tidak peduli pada kejadian tadi siang, dikarenakan ia ada di sekolah. Namun setiba di toko seluruh emosi dan imajinasinya meledak. Fujimura-san saja hanya melihatnya dengan senyuman aneh.
"Yappari, Sakuraba-kun di masa depan akan menjadi novelis romansa. Ceritamu pasti laku keras."
Sakuraba-kun melepas tatapan tajamnya bagai busur panah padaku. Seketika itu jua aku mengumpat di bawah meja kasir. Terdengar helaan napas berat. Aku menaikkan kepala sedikit ke permukaan meja. Wajah Sakuraba-kun memerah.
Eh, apa aku salah lihat?
Pemuda itu merapikan seragamnya dengan menarik kerah kardigan-- padahal pakaiannya tidak berantakan sama sekali, lalu melangkah menuju pintu belakang.
"Setiba aku di bawah kembali, sudah ada seteko teh." Ia berpesan saat melewati meja kasir.
Aku baru berani keluar dari persembunyian begitu ia pergi. Fujimura-san terkekeh. Ia ternyata tak jauh dari posisiku.
"Ryou-kun itu diam-diam perhatian, kan?"
Aku membalas dengan tatapan datar. "Perhatian dari mana? Dia malah kelihatan ingin semua terealisasi sesuai imajinasinya yang liar."
Dari kekehan kini Fujimura-san tertawa terbahak-bahak. "Yah, meski begitu ia tetap perhatian. Tentang Kou-kun, bukan?"
Aku mengangguk. "Ya, begitulah. Momennya dengan Fumiko-chan hampir saja! Jika dia ingat Fumiko-chan yang saat kecil atau saat setahun yang lalu, itu sudah cukup. Tapi Eto-kun sama sekali tak mengenali Fumiko."
Fujimura-san bersedekap, bergumam, tengah memikirkan sesuatu. "Jika begitu ada baiknya bicara baik-baik, empat mata. Kou-kun itu sangat kaku. Ia juga tidak peka. Tipe pemuda yang susah didekati para gadis. Karena itu sebagai teman, Hina-chan dan Ryou-kun harus membantunya."
Baru kali ini Fujimura-san berpendapat, terdengar sangat dewasa. Aku tak sengaja bertepuk tangan.
"Oi, Hina-chan? Apa maksud dengan tepuk tangan itu? Barusan aku tidak berpidato!" Fujimura-san tersinggung.
"Gak kok. Maksudku... akhirnya 'tercerahkan', begitu. Kalimat Fujimura-san sangat berarti. Sasuga otona na da na? nante sa."
"Huhuu, Hina-chan, aku tak merasa kalimatmu barusan pujian."
"Pujian kok!"
Fujimura-san memasang wajah sebal, kemudian senyumnya kembali terbit. "Ya sudahlah!" Ia kembali memanggil namaku. "Jangan lupa buat teh untuk Ryou-ouji kita yang penuh perhatian itu!"
"Ah, iya!" Aku tersentak dari tempat duduk. "Akan kubuat dengan penuh perhatian," ujarku seraya menaikkan jempol.
Fujimura-san tertawa. "Asal Hina-chan tahu, jika bukan karena perhatiannya Ryou-kun, aku tak akan mendapat pekerjaan dan tempat tinggal. Aku anak perantauan. Karena itu aku bersyukur langsung bertemu dengannya dan menjadi florist di toko ini."
Ah, benar juga. Suatu saat makan malam bersama, Fujimura-san pernah bercerita mengenai pertemuannya dengan Sakuraba-kun dan wanita bernama Erica.
"Dan jika tidak karena perhatiannya, Hina-chan juga tidak akan bekerja di toko bunga ini."
Eh?
Maksudnya?
Fujimura-san tersenyum seakan ada makna di balik kalimatnya barusan. Ia bersikap tidak peduli dengan kebingunganku dan kembali menyibukkan diri dengan bunga-bunga.
Perhatiannya Sakuraba-kun... padaku?
>>bersambung
Sunflower🌼08
Unggah: 14 Mei 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top