Sunflower🌼05


Jam istirahat hari ini rencananya aku ingin membagikan hasil belajar masak pada dua teman akrabku. Sandwich buah dan sandwich kroket. Mungkin penampilannya kurang cantik, tapi aku senang rasanya enak.

"Aku ingin beli minuman dulu," ujarku pada keduanya sebelum memamerkan bekal.

"Hinaka-chan sering lupa bawa minuman ya?"

Aku hanya terkekeh, lalu melenggang keluar kelas. Pandanganku teralihkan ke luar jendela. Ada seorang siswi duduk di sana. Ia tidak membawa bekal, anehnya malah mulai menggambar. Apa ia tidak lapar di jam makan siang seperti ini?

Karena penasaran, aku berbalik ke kelas. Dua temanku sudah makan bekal masing-masing.

"Jangan bilang lupa bawa recehan?" terka salah satunya menertawaiku.

"Aku makan di luar ya! Baru ingat janji sama seseorang!" ungkapku kemudian meraih bekal yang masih terbungkus furoshiki, lalu keluar kelas tanpa peduli tatapan heran keduanya.

Buru-buru kakiku melangkah di koridor. Saat hendak berbelok ke tangga, ada seseorang dari arah sana. Hampir saja kami bertabrakan. Rem kakiku lumayan pakem menghentikan kaki tepat di depan orang itu.

Ia juga terkejut. Yang membuatku lebih terkejut adalah ia memasang senyuman ramah yang begitu menyilaukan mata. "Begitu tergesanya?"

Para siswi di sekitar kami menoleh dengan tatapan sinis--tepatnya ke arahku.

"Hati-hati berjalan, dong! Di koridor tidak boleh lari!"

Siapa yang lari?! Hanya jalan cepat!, geramku dalam hati.

"Untung saja tidak menabarak Sakuraba-ouji!"

"Ouji, tidak terluka, kan?"

Mereka malah mencari perhatian dengan mendekati Sakuraba-kun. Pemuda itu memasang senyum simetris. "Tidak apa. Terima kasih sudah mengkhawatirkanku."

Para siswi pun bersorak kesenangan. Aku hanya bisa gusar sendirian.

"Lain kali hati-hati ya?" ujarnya kemudian melangkah. "Dasar ceroboh," gumamnya dengan suara berat tepat di telingaku saat ia lewat.

Tidak bisa membalas kalimatnya, aku hanya bisa diam menahan emosi. Jika kulawan, pasti para siswi di sekitar merundungku. Lebih baik ambil jalan aman.

Aku ingat seseorang yang hendak kutemui. Kembali aku melangkahkan kaki menuruni tangga, menuju halaman tengah sekolah yang diapit dua gedung. Tempat tersebut lumayan menjadi tempat istirahat favorit murid karena banyak tempat yang teduh dan taman bunga kecil dengan air mancur di tengahnya.

"Fumiko-chan!" panggilku.

Hanazono Fumiko terkelabakan melihat kedatanganku. "Fuusawa-senpai!"

"Gambar ladang bunga matahari lagi ya?" Mataku teralihkan pada lukisan di pangkuannya. "Boleh duduk?"

"Silakan." Ia menggeser posisi duduknya.

"Kamu gak makan siang?" tanyaku heran tidak melihat satu pun bentuk di samping kirinya seperti bekal. Hanya ada alat lukis dan sebotol jus lemon.

Ia tidak menjawab pertanyaanku, melirik-lirik kebingungan.

"Kenapa diam?"

"Ti-tidak lapar," jawabnya kemudian.

Aku mengerutkan kening. "Gak boleh gitu! Nanti kamu sakit. Ya sudah, ini aku bagi bekalku." Kuulurkan bekalku padanya.

"Ti-tidak usah, senpai! Ja-jangan merepotkan diri."

"Hm, apa kamu tengah diet?"

Fumiko menggelengkan kepala.

"Kalau tidak, makan saja!" Aku pun membuka furoshiki, memperlihatkan dua macam sandwich padanya.

Di luar dugaan ia malah terlihat lapar. Ia pun menyingkirkan alat gambarnya, lalu mengambil sepoting sandwich kroket. "Itadakimasu."

"Itadakimasu!" Aku ikut mengambil satu sandwich buah dan memakannya.

"Enak," gumamnya dengan kedua mata melebar.

Aku tersenyum senang. "Terima kasih! Coba yang sandwich buah, juga enak lho!"

"Senpai... sebenarnya ingin apa padaku? Hanya karena kemarin senpai mengajakku bicara...." Ia menatapku heran. "Apa senpai... tidak suka aku bercerita tentang Eto-san?"

"Kenapa kamu pikir begitu? Hm, aku hanya penasaran akan ceritamu. Tapi aku tahu kamu tak ingin bercerita."

Ia mengangguk.

"Ya kan?" gumamku pasrah. "Nah, begini, kalau aku menceritakan sesuatu yang menarik, apa kamu juga akan bercerita tentang pertemuanmu dengan Eto-kun?"

"Tergantung," jawabnya datar.

Aku menjentikkan jari setelah satu sandwich kulahap. "Bukan rahasia, tapi tidak ada yang tahu kalau aku...," kutahan kalimatku, menikmati rasa penasaran di wajah Fumiko, lalu kulanjutkan dengan intonasi bangga, "...karyawan toko bunganya Sakuraba-kun!"

Mulut Fumiko menganga. "A-ano Sakuraba-sama? Pu-punya to-toko bunga???"

"Sssst!" Aku menempelkan jari telunjuk ke bibir. "Jangan terlalu keras. Nanti ada yang dengar. Yaa meski bukan rahasia, tapi akan repot kalau ada anak sekolahan kita tahu hal itu."

Fumiko mengerjapkan mata berkali-kali. "Yang benar saja?"

"Aku sendiri awalnya juga tak menyangka bekerja di sana."

"Aku malah tidak menyangka Sakuraba-sama punya toko bunga? Usaha keluarga?"

Aku bergumam, mengambil sepotong sandwich kroket. "Tampaknya usahanya sendiri. Selama ini aku belum pernah mendengar tentang keluarganya."

"Senpai tak tahu keluarga Sakuraba itu seperti apa?" Fumiko malah bertanya balik padaku.

Aku hanya menggelengkan kepala.

Fumiko tampak kecewa pada jawabanku. "Mereka terkenal di dunia hiburan, tahu! Meski aku tidak tahu Sakuraba-senpai itu keluarga bagian mananya."

Aku yang keheranan. "Fumiko-chan tahu betul ya? Saa tte, kamu juga dari keluarga dunia hiburan?"

Fumiko terdiam. Kulihat sandwich-nya hanya dimakan setengah saja. "Waktu kecil."

Suaranya terdengar lirih, bahkan begitu kecil rasanya aku tidak yakin dengan kalimatnya barusan. Aku menggigit sandwich kedua. Ikut terdiam karena tidak tahu harus membalas apa.

"Baiklah. Akan kuceritakan." Fumiko menoleh pandangan padaku. "Pertemuanku dengan Eto-san. Tapi tidak di sini. Aku takut ada yang mendengarnya."

Aku mengangguk setuju begitu saja, berpikir tempat yang cocok untuk bicara hal rahasia. Sepintas aku teringat satu tempat yang... mungkin akan menarik dan sedikit kena marah.

"Bagaimana kalau di toko bunga Sakuraba?"

Fumiko terlihat penasaran.

"Dengan begitu kamu juga tidak akan menganggapku berbohong soal toko bunga itu!"

Kusangka Fumiko akan pulang bersamaku dan kami bisa pergi ke toko bunga bersama. Ternyata dua hari kemudian pun ia tidak menghampiriku. Aku pasrah, tidak ingin mendesak gadis itu bicara lebih jauh mengenai dirinya.

Di kelas pun aku hanya melihat Eto-kun dari jauh. Pemuda itu sendiri dari auranya sulit didekati. Ia hanya bicara dengan anak laki-laki di kelas, atau lebih banyak menghabiskan waktu istirahat dengan Sakuraba-kun dan Yaegashi-kun. Aku baru saja menyadarinya beberapa hari ini.

Pulang sekolah hari Jumat, tidak terlalu banyak pelanggan. Toko bunga ini jarang sekali lengang. Semenjak Fujimura-san bekerja, banyak pelanggan perempuan berdatangan--walau kebanyakan pada merayu. Tapi sejak Fujimura-san bicara dengan pachira, pelanggan perempuan itu perlahan menjauh. Walau mereka pelanggan berstatus "menyebalkan" tetap saja melihat toko sepi agak sedih.

Aku menompang dagu, menatap lurus keluar lewat kaca di pintu. Pachira sudah hampir menghalangi pemandangan. Apa benar tanaman itu memanggil rezeki?

"Sakuraba-kun, lakukan sesuatu terhadap Fujimura-san. Dia sudah terlihat gila pada pachira." Aku melaporkan pengamatanku dengan nada datar.

Karena sedikit pelanggan, Sakuraba-kun menggunakan waktu luang dengan bersantai. Pemuda itu fokus pada satu hal, dengan posisi kaki kanan disilang di atas kaki kiri, lalu di pangkuannya sebuah novel dengan hardcover warna merah hati. Di atas meja secangkir teh dan sepiring kue kering. Rambutnya yang ikal dengan garis-garis halus terkena sinar matahari senja. Sweater rajut warna putih gading tampak kebesaran di badannya yang kurus, meski begitu ia terlihat tetap pantas mengenakannya. Ditambah bawahan celana jogger hitam dan sepatu loafer putih.

Sakuraba-kun yang bergeming dalam suasana santai itu terlihat bak pemuda penuh kharisma dalam lukisan. Ditambah latar bunga di sekelilingnya, bisa dianggap bagai pameran tiga dimensi bertema fantasi.

Jika para gadis di sekolah melihat pemandangan ini mungkin mereka akan menjerit bahagia. Dalam hati aku juga tidak keberatan akan pemandangan indah ini. Tapi sisi lain hatiku masih tetap dongkol setiap mengingat sikapnya seratus delapan puluh derajat berbeda dari kepribadian manisnya di sekolah jika bicara denganku.

"Ish, malah gak dihiraukan," gumamku sebal.

Gemercing lonceng terdengar kala pintu terbuka. Fujimura-san membuka pintu untuk seseorang. Pelanggan? Aku menjulurkan kepala. Seorang gadis dengan seragam yang sama denganku melangkah masuk.

"Hina-chan, ada yang mencarimu," sahut Fujimura-san tetap berdiri di daun pintu.

"Fumiko-chan?" Nadaku terdengar agak kaget, tapi sebenarnya aku tercengang akan kehadirannya. Ditambah ia mengenakan kupluk di kepala, sweater warna cream tipis agak kebesaran  menutupi seragam.

Ia menundukkan kepala sedikit. "Sore, senpai," sapanya dengan suara pelan.

Aku pun menghampirinya. "Selamat datang!" ujarku senang. "Kamu datang untuk bercerita?"

Ia menganggukkan kepala.

"Mari ke sini~."

Tanganku membimbingnya ke tempat duduk. Langkahku terhenti, Fumiko juga begitu. Sakuraba-kun menatap kami dengan keheranan. Sial! Kenapa aku bisa lupa ada si Bos Besar lagi bersantai? Aku harus dan segera beralasan agar tidak disemprotnya!

"Himawari-chan," ujarku seakan itu adalah kode rahasia.

Langsung saja Sakuraba-kun menjawab dengan senyuman sumringah. Tidak kuduga!

"Selamat datang!" Ia meletakkan buku di atas meja dan bangkit. Tangan kanannya terbuka, mengarah ke kursi kosong. "Silakan duduk, Oujo-sama. Maaf atas kekurangan persiapan kami menyambut Anda."

Kedua pipi Fumiko langsung bersemu disambut dengan suara lembut dan perlakuan hangat itu. Tapi hatiku jengkel melihatnya? "Grrr, sekali pun dia tak pernah bersikap manis untukku."

"Fuusawa-san, hidangkan teh untuk tamu kita." Ia berujar bagai pemilik mansion mahal pada pelayan, menjaga sikap sebaik mungkin di hadapan orang asing.

Aku menggeram sebal. "Tentu, Tuan Muda," jawabku mengikuti alur cerita.

Belum sempat membalikkan badan, tanganku ditarik Fumiko. "Ti-tidak perlu repot-repot. A-aku datang untuk bicara dengan Fuusawa-senpai. Ma-maaf, Sakuraba-senpai, bisa pinjam Fuusawa-senpai sebentar?"

"Kamu datang untuk membicarakan soal Eto Kouki, bukan?" Sakuraba-kun menerka langsung. Fumiko kelabakan dengan gumaman tidak jelas. Sakuraba-kun terkekeh pelan. "Santai saja. Justru kedatanganmu sudah lama kunantikan."

Fumiko membelalakkan mata. "Maksudnya?" Ia melirikku curiga.

"Sebenarnya aku yang meminta Fuusawa, agar pengirim surat pada Kou, bernama Himawari, datang ke sini. Tidak perlu takut, aku hanya ingin mendengar cerita dari sudut pandangmu. Bagaimana?"

Aku menyatukan dua telapak tangan ke depan wajah. "Maaf ya, Fumiko-chan, aku tidak bermaksud buruk. Dan lagi, kami sekedar membantu Eto-kun. Mungkin cerita darimu juga bisa memecahkan masalahmu sendiri. Bagaimana?"

"Jadi sejak awal aku sudah ditipu?" Fumiko terlihat kecewa.

"Maaf ya, hanya ini satu-satunya cara agar kau bicara dengan kami." Nada suara Sakuraba-kun kembali normal, tidak seramah pertama menyapa, jua tidak terdengar arogan. "Sebagai temannya Kou, aku tidak ingin melihatnya gelisah."

"Apa... surat dariku mengganggunya?"

"Tentu tidak!" jawabku cepat. "Sebelum kamu bercerita, lebih baik dengarkan dulu penjelasan dari kami. Sakuraba-kun setuju, kan?"

Sakuraba-kun mengangguk. Ia kembali duduk di kursinya. Aku mendorong pelan Fumiko agar duduk berhadapan dengan Sakuraba-kun. Sementara aku duduk di tengah mereka.

"Buatkan teh." Sakuraba-kun mengingatkanku.

"Ah, iya lupa!" Aku terkekeh pelan, beranjak ke dapur untuk membuat teh baru untuk Fumiko.


Sementara aku membuat teh, Sakuraba-kun menceritakan keresahan Eto-kun pada Fumiko. Terdengar agak berbelit, tapi aku menyangka ia sengaja melakukannya agar aku kembali membawa teh dan dapat ikut berbincang dengan mereka. Setelah melihat Fumiko berdua dengan Sakuraba-kun, gadis itu tampak tidak nyaman. Untung aku segera kembali menemuinya.

"Semua sudah kuceritakan, sekarang giliranmu," pinta Sakuraba-kun mengakhiri sesinya. Ia meraih pegangan porselen dengan ibu jari dan telunjuk, menyesap minumannya tanpa suara. Gerakan yang anggun.

Fumiko tidak langsung bersuara. Kedua tangannya memegang lutut menegang. Perlahan genggaman itu mengendur, ia pun mengangkat pandangan. Tidak melihat kami, tatapannya pada jejeran bunga peony yang ada di belakangku.

"Aku bingung harus mulai dari mana...." Meski berkata begitu, kepalanya mengangguk setelah yakin apa yang akan diceritakannya. "Apa kalian pernah menonton drama Kimi ni wa himawari?"

Rasanya aku pernah mendengar judul drama tersebut, tapi rasanya itu sudah sangat lama. Seandainya drama itu memiliki kepopuleran, mungkin sudah sering diputar di beberapa stasiun televisi hingga aku bisa mengingatnya dengan jelas.

Sementara Sakuraba-kun berdesah pelan. "Apa ... itu drama pertama Kou?"

Fumiko mengangguk. "Mungkin."

Aku terkejut. Tidak hanya mengenal, pemuda ini bahkan tahu drama pertama yang diperankan Eto-kun. Bukan lagi teman sekolah biasa, hubungan keduanya pasti sudah mendekati "sahabat".

"Itu juga drama pertamaku."

Aku hampir mengeluarkan suara 'eh?' mendengar pernyataan Fumiko.

Gadis itu tersenyum kecut. "Pertama..., dan terakhir. Saat itu aku kelas empat. Eto-san kelas lima."

"Saat itu pertama kali bertemu dengan Eto-kun?" terkaku seharusnya tak perlu dijelaskan.

Fumiko mengangguk. "Hanya peran kecil, sebagai anak-anak yang sering bermain di ladang bunga matahari, pemeriah suasana cerita. Saat itu kami sangat akrab. Tidak hanya terlihat di depan kamera, di luar adegan kami jua akan berlari-lari, mengumpat di balik batang matahari yang tinggi hingga terkena teguran."

Sakuraba-kun bersedakap, lalu tangan kirinya terangkat untuk mengelus dagu. Ia tampak memikirkan sesuatu. "Kelas lima ya?"

Aku menatapnya seakan ingin membaca isi kepala pemuda tersebut. Hingga ia menaikkan kelopak mata, pandangan kami pun beradu. Seulas senyuman terbit di bibirnya.

"Tampaknya ingatanku saat itu sedikit berawan," ungkapnya ringan.

Aliski terangkat heran. "Sakuraba-kun sudah berteman dengan Eto-kun sejak SD?"

"Tepatnya sejak TK. Tapi kami beda SD dan SMP. Baru tingkat SMA ini kami satu sekolah kembali. Walau beda sekolah, setiap waktu libur kami akan bertemu dan saling menceritakan pengalaman."

Mulutku menganga. Tidak kusangka keakraban mereka sudah sangat lama!

"Karena itu," Sakuraba-kun kembali bergumam, "aku tidak begitu ingat cerita Kou mengenai drama tersebut." Lehernya menoleh ke Fumiko yang tak disangka juga sama terkejutnya denganku. "Maaf sudah menyela kalimatmu, Hanazono-san. Silakan lanjutkan."

"Ternyata senpai dari keluarga Sakuraba yang itu," ujar Fumiko membuat keningku mengerut. Dari keluarga Sakuraba yang itu? Memangnya ada berapa banyak kelompok keluarga Sakuraba di negara ini?

"Saat ini yang kita bahas mengenaimu dan Kou. Bisa hiraukan mengenai Sakuraba-yang-itu itu?"

Sakuraba-kun jelas terlihat tidak nyaman latar keluarganya diungkit. Fumiko mengangguk patuh, sementara hatiku sudah menjerit penasaran mengenai keluarga Sakuraba-yang-itu itu!

"Sebagai anak kecil, aku menganggap Eto-san sosok kakak laki-laki. Ia ada di antara kami dan menjadi penengah jika kakak memarahiku."

"Kakak?" tanyaku heran.

Fumiko melepas kupluk dan kacamata bulatnya. Hanya melihat wajah aslinya aku teringat seseorang. Fumiko menjawab dengan suara getir. "Kakakku, Hanazono Emiko. Atau orang-orang mengenalnya sebagai Emily."

Emily? Artis dan penyanyi muda yang tengah naik daun itu? Dari paras saja jelas aku yakin Fumiko tidak berbohong.

"Begitu ya?" Sakuraba-kun bergumam. "Garis besarnya sudah jelas."

'Garis besar'?

Garis besar apanya?

>>bersambung
Sunflower🌼06

Unggah:
12 Mei 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top