Sunflower🌼03
'Bergabunglah ke fansclub-nya Kou-kun!'
Sejak kapan dia bertitah bagai bos padaku di luar kepentingan toko bunga?
"Yaa, masa sampai harus masuk fanclub-nya Eto-kun? Pasti ada cara lain, kan?"
"Kalau begitu 'cara lainnya' kuserahkan padamu. Besok harus ada laporannya!"
"Memangnya aku pesuruhmu, apa?!"
Kemarin jelas-jelas kutolak dengan jelas, tapi tatapan intimidasinya tidak bisa kuhindari. Sepintas sisi lain ku mendesak 'lebih baik jangan cari masalah dengan Sakuraba-sama jika masih ingin hidup esok hari'.
"Ba-baiklah! Akan kuusahakan!"
"Ryo, tidak masalah melibatkan orang lain? Aku datang untuk mendengar pendapatmu saja. Aku tak ingin merepotkanmu maupun.... Ah, maaf, namamu siapa ya?"
"Teman pembantu A."
"Siapa yang 'Teman-Pembantu-A?! Fuusawa Hinaka. Asal kau tahu, aku sekelas denganmu, Eto-kun."
"Eh, benarkah? Maaf kalau begitu."
"Nah, karena teman sekelas ada baiknya saling membantu, kan?"
"Sakuraba-kun!"
"Ah, kalau ada kemajuan, aku akan mengajarimu merangkai bunga."
"Beneran??"
Kira-kira kejadiannya kemarin sore begitu. Ukh, karena diimingi akan diajarkan merangkai bunga, kepalaku langsung saja mengangguk setuju. Kenapa aku semurahan itu sih?
Ya sudahlah. Nasi telah jadi bubur. Walau dimakan masih enak, sih, tapi tidak mengenyangkan, terpaksa kujalani titah Tuan Muda Sakuraba.
Misi ini kujalani dengan skenario yang sudah kurekam dalam otak beberapa kali. Sepulang sekolah aku berlama-lama berdiri di lokerku, berpura-pura menunggu seseorang sembari terus memperhatikan loker Eto-kun. Saat murid sudah jarang melewati daerah ini, aku menyembunyikan diri di balik loker target, akan menengok jika ada murid yang datang.
Suara langkah terdengar. Hanya satu. Pelan-pelan kakiku bergesek dengan lantai kayu, berusaha agar tidak mengeluarkan suara. Kepala menjulur sedikit, mata siap mengawasi.
Di sana ada seorang siswi. Dari warna dasinya, merah, pertanda angkatan pertama. Rambutnya dikepang dua dengan ikatan di bawah telinga. Tubuhnya lebih kecil dariku, dari samping wajahnya tampak imut dengan bibir yang tipis dan hidung memerah. Ditambah kacamata bulat bertengger di hidungnya yang kecil. Gadis itu meraih sesuatu dari tasnya. Ia mengeluarkan setumpuk surat. Lalu satu per satu diselipkan di celah loker Eto-kun.
Sesuai dugaan!
Aku keluar dari persembunyian. Bayanganku segera menghampirinya. Gadis itu menyadari keberadaanku, terkejut setengah mati dan menghamburkan sisa surat di tangannya.
"Waah, maaf mengagetkanmu!" ujarku berusaha beradegan 'kebetulan bertemu' yang kukarang di otak sebelum bertindak.
Gadis itu langsung memungut surat. Gerakannya tampak kikuk. Aku pun membantunya mengumpulkan surat-surat tersebut, lalu menyerahkan padanya. "Ternyata benar saat seperti ini surat untuk Kou-sama diselipkan! Kamu salah satu anggotanya kan?"
"I-iya." Suaranya bergetar, bahkan ia tidak mau menatapku.
"Aku ingin bergabung dengan fansclub Kou-sama! Kamu bisa memberitahu caranya? Aku juga ingin mengirim surat pada Kou-sama!"
"Ka-ka-kalau itu... se-senpai bisa ketemu dengan ketua. Ca-caranya datang saja saat pertemuan."
"Ooh, ada pertemuannya?"
Ia mengangguk. Tangannya kembali menyisipkan surat ke loker. "Hilang," gumamnya.
"Hm?"
Seluruh surat di tangannya tak tersisa, tapi ia melirik ke bawah, mencari sesuatu yang dianggapnya 'hilang'.
"Suratnya kurang?" terkaku.
Ia mengangguk dengan pandangan tetap ke bawah. Ia pun menunduk, lalu menjongkok, kewalahan mencari sesuatu di sekitar. "Padahal sudah lama kutunggu kesempatan ini. Aku... bagaimana pun... harus menyerahkannya...."
"Memang apa?"
"Surat! Dariku! Karena ada fansclub aneh ini aku tak bisa lagi mengirim surat padanya." Gadis itu tengah kesulitan. Daripada menjawab pertanyaanku, ia terlihat tengah bicara sendiri. "Mereka membatasi, bertindak bak agensi. Karena itu... hari ini sudah kutunggu. Akhirnya aku dapat giliran. Tapi... suratku...."
Aku tersenyum. Tidak sangka akan bertemu secepat ini. Tadi aku tidak bilang, kalau aku juga memungut surat yang jatuh, lalu menyembunyikan satu surat yang kesannya begitu berbeda. Kuangkat surat itu--lebih tepatnya sebuah kertas dengan gambar pematangan bunga matahari dan salah satunya tumbuh lebih tinggi.
"Maksudmu ini?"
Ia mendongakkan pandangan, langsung berdiri untuk meraih 'surat' di tanganku. Seketika itu jua aku menaikkannya lebih tinggi, menjinjitkan kaki agar tak dapat diraihnya.
Kubaca tulisan di balik gambar. "Akulah bunga matahari."
"Kembalikan!"
"Ini." Kuserahkan begitu saja.
Surat ditarik, ia mundur selangkah dariku. Ia melirikku ragu-ragu. "Se-senpai... mau apa?"
Dilihat dari gerak-geriknya, gadis ini tipe pendiam dan penakut. Atau... ia sering dirundung?
"Kupikir yang tadi itu bukan surat. Maaf ya?" Tampaknya cara mendesak tidak cocok untuk gadis yang tengah ketakutan ini. Aku harus mendekatinya lebih hati-hati, perlahan, buat dia nyaman. "Gambarnya bagus. Kamu yang menggambarnya?"
Ia mengangguk.
"Ladang bunga matahari? Kalau tidak salah yang paling populer di... Hokkaido....?"
"Hokuryu-cho, Uryu, Hokkaido."
Aku menjentikkan jari. "Wah kamu tahu banget ya? Pernah ke sana?"
"Hm, begitulah...."
"Surat dengan gambar matahari itu untuk Eto-kun ya?"
Sedari tadi ia tidak menatapku langsung, tapi kali ini dia mendongakkan pandangannya.
"'Akulah bunga matahari'. Apa ... kamu ingin mengatakan dengan jelas bahwa kamu 'bunga matahari'? Terdengar ... ada yang meniru tindakanmu?"
Gadis itu menggenggam suratnya erat-erat. Bahkan kedua ujung kertasnya melusuh. "Percuma. Tak akan tersampaikan." Perlahan kedua matanya basah, setetes air mata meluncur di pipinya. Ia memeluk diri, tubuhnya meloroh, terduduk di selasar loker.
Aku tertegun. Terkaanku tampaknya ... menyakiti perasaan gadis itu. Aku duduk bersimpuh di sampingnya. "Maaf. Aku tidak bermaksud...."
Ia sesegukkan. Aku jadi bingung harus bagaimana selanjutnya. Kepalaku menoleh kiri-kanan, baik ke koridor maupun ke luar gedung. Anehnya, kami sudah berbicara berdua sedari tadi tidak ada satu pun murid yang lewat. Mungkin waktu seperti ini yang disebut dengan kesempatan? Jadi harus dipergunakan sebaik mungkin.
"Himawari--bunga matahari. 'Saya hanya melihat dirimu'. Itu hanakotoba-nya, kan? Bunga matahari yang selalu dan hanya menghadapkan diri pada sang Surya. Romantis ya? Tapi juga sedih secara sepihak...."
Harusnya aku menyampaikan kalimat penghibur, tapi malah mengakhirinya dengan kalimat sedih! Tangan kananku bergerak-gerak tidak menentu di udara, seakan memilah kata yang berhamburan di hadapanku.
"Aku tahu." Ia berujar dengan nada pelan. "Sampai kapan pun perasaan ini tak akan dibalas sang Mentari pun tak apa. Ia akan tetap menganggapku bunga matahari, sama halnya dengan para gadis di fans club pun tak apa. Tapi... aku tidak ingin Eto-san menyangka orang itu aku."
"Kamu... sangat menyukai Eto-kun ya?" Kuusap punggungnya perlahan. "Tersampaikan. Aku yakin. Karena itu masukkan suratmu ke lokernya. Suratmu berbeda dengan yang lain, pasti menarik perhatian Eto-kun."
Kepalanya menoleh ke arahku. "Benarkah?"
Aku mengangguk penuh keyakinan.
"Sebenarnya senpai mau apa? Sesama penggemar tidak saling mendukung, apalagi senior-senior di fans club." Ia menatapku curiga. "Aneh."
Menghilangkan kecanggungan aku terkekeh ringan. "Benar juga ya? Mm, mungkin karena sesama pengagum itulah harus saling kerja sama, bukan?"
Kedua mataku melirik ke atas, memintanya bangkit. Ia menghapus air mata dengan lengan seragam. Aku berdiri terlebih dahulu, menawarkan tangan padanya. Ia menyambut tanganku, lalu kutarik tangannya pelan hingga ia berdiri. Kemudian gambar ladang bunga matahari itu diselipkan ke loker Eto-kun.
"mendengar ceritamu, hmm, lebih baik aku tidak usah bergabung fans club tersebut. Secara aku bukan penggemar, hanya mengaguminya."
"Lebih baik begitu, senpai. Aturan mereka sangat ketat. Aku juga tidak suka dengan ketuanya."
Aku tertawa geli. "Tapi kamu tetap bergabung. Kenapa?"
"Apa... perlu kuceritakan?"
"A-aah...," tampaknya aku mendesaknya lagi, "tidak perlu, jika kamu merasa tidak nyaman," jawabku kewalahan. "Hanya ... aku ingin tahu alasan orang-orang membuat fans club ... selain mengagumi, menyukai, mungkin ada alasan lain? Begitulah. Kalau kamu sendiri bagaimana, Himawari-chan?"
"Namaku bukan himawari. Hanazono Fumiko." Ia melangkah, berputar, menuju loker khusus anak kelas satu. Aku mengekorinya. "Alasanku... rahasia."
"Yaaah," reaksiku langsung kecewa.
Gadis itu malah terkekeh meski sedikit. "Nama senpai siapa? Aku tak akan bercerita pada orang yang namanya tak kukenali."
"Ah! Benar juga. Aku Fuusawa Hinaka, kelas 2-B."
Kepalanya berputar cepat, memelototi padaku. "Senpai sekelas dengan Eto-san!"
"Atchiaa, ketahuan!" Aku menggaruk kepala. "Apa informasi itu salah satu kekuatan fans club?"
"Ah, tidak. Mu-mungkin karena aku tidak sengaja... membuntutinya...." Ia bergerak dengan kikuk, membuka loker lalu menukar uwabaki--alas dalam gedung--dengan sepatu.
Aku sudah sedari tadi mengenakan sepatu, karena itu aku tidak lagi perlu ke lokerku, lalu mengikuti Hanazono Fumiko-chan keluar gedung. Kami berjalan beriringan menuju gerbang sekolah.
"Aku... sebenarnya ingin mengucapkan terima kasih." Fumiko-chan memulai percakapan. Ia terlihat sudah terbuka padaku. "Namun, kupikir sayang sekali jika hanya terima kasih, padahal kami sudah satu sekolah, ada kemungkinan untuk bertatap muka. Karena itu... aku sedikit memberinya teka-teki.
"Kedengarannya nakal ya? Aku tidak mengharapkan apapun dari Eto-san. Namun di sisi lain aku ingin dia mengingatku kembali. Itu sudah cukup."
"Jadi...," aku kembali menyusun sebuah pendapat, "dulu secara tidak sengaja kamu bertemu dengan Eto-kun, dia memberikan sesuatu padamu, sesuatu yang berharga, karena itu kamu ingin mengucapkan terima kasih?"
Ia mengangguk. "Rasanya terima kasih saja tidak cukup. Karena itu, setiap ada kesempatan aku memberinya berbagai teka-teki agar ia penasaran denganku. Sampai ia menyadari kehadiranku, aku pun mencari sesuatu yang pantas diberikan pada Eto-san."
"Begitu ya?" Aku mengangguk, mengerti. "Kalau boleh tahu apa yang diberikan Eto-kun padamu?"
Langkahnya terhenti. Aku yang berjalan di depannya ikut berhenti, menoleh, melihatnya bergeming di tempat.
"Kehidupan."
Aku terpegun, mencari makna dari satu kata yang dilontarnya barusan. Banyak hal maksud di balik tatapan matanya yang sendu. Aku tidak begitu yakin bagaimana kisahnya dengan Eto-kun, masa lalu, dan kondisinya saat ini. Yang jelas latar yang membayangi gadis itu terlihat berat untuk diungkapkan.
Kedua ujung bibirku tertarik ke atas. "Begitu ya?" Tidak pantas rasanya mencampuri urusan orang lain. Aku tidak ingin jadi sosok yang sangat penting di tengah cerita orang lain seperti yang kulakukan pada Fujimura-san dan Ageha-san. Untuk saat ini aku harus undur diri. "Pantas kamu menganggap Eto-kun sebagai mataharimu. Dialah yang memberikan kehidupan pada bunga matahari yang tumbuh tinggi demi mencapai cahayanya."
Ia tersenyum menanggapi kalimatku.
"Fumiko-chan," aku mendekat, lalu berbisik, "jika butuh bantuan, aku siap! Walau tidak akrab dengan Eto-kun, setidaknya aku sekelas dengannya, kamu bisa mengandalkanku!"
"A-aah, tidak! Aku tidak mau merepotkan senpai!"
Kutepuk pundaknya. "Tak apa, tak apa! Hiyaah, masa remaja memang tidak hanya sibuk belajar, tapi juga gelisah akan cinta!"
Fumiko tertawa. "Kalimat senpai seperti orang tua saja!"
Baru saja tiba di toko bunga, Sakuraba-kun menagih hasil kerjaku sebagai mata-mata.
"Jadi bagaimana?" Ia memberikan tatapan penuh harapan padaku. Ia tampak begitu menantikan kisah seru dari bibirku.
"Lebih baik Eto-kun mendengarkan ceritaku," jawabku yang terdengar seperti kilahan.
Ia mendesah pelan. "Baiklah," ujarnya kecewa. "Akan kutelepon Kou."
Tidak berapa lama Eto-kun tiba di toki bunga! Aku tidak percaya. Kupikir Sakuraba-kun pura-pura menelepon, ternyata mereka benar-benar memiliki nomor kontak dan salin berhubungan. Sedekat itu rupanya! Kedekatan mereka tidak hanya kulit luar saja, tapi sampai ke dalam-dalamnya--apanya yang dalam ya?
Herannya, tidak hanya Eto-kun yang datang, Yaegashi-kun mampir ke toko membawa pesanan. Sore menjelang malam ini Sakuraba-kun menutup toko, dan kami makan malam bersama.
"Lha, kok jadi makan bareng?" heranku melihat alat masak nabe, panci beserta kompor portabel di atas meja. Terlebih Yaegashi-kun tidak membawa makanan dari kedainya, melainkan pesanan bahan masakan yang diminta Sakuraba-kun.
"Sudah lama tak makan nabe bersama ya?" ujar Eto-kun seraya menyingsingkan lengan seragamnya. Tangannya sudah meraih keranjang belanja, melangkah ke dapur.
Aku berdiri kebingungan. Mereka berempat bergerak tanpa perintah. Setelah Sakuraba-kun mengeluarkan alat masak nabe, Yaegashi-kun membantu Fujimura-san mempersiapkan meja dan kursi sebagai tempat makan nanti, kemudian Eto-kun yang sudah di dapur.
"Jangan diam saja. Bergeraklah!"
Badanku baru bergerak setelah Sakuraba-kun bertitah. Tanpa pikir panjang aku ke dapur, membantu Eto-kun. Aku tercengang melihat kepiawaian tangan pemuda itu membersihkan sayur-sayuran, dan memotong bahan masakan lainnya.
"Eto-kun pandai memasak!" terkaku terkagum-kagum. Padahal dia anak orang kaya, model, bintang iklan terkenal, tidak kusangka ia begitu lihai menggunakan pisau. "Kubantu!" ujarku tidak mau kalah sebagai perempuan yang notabene harus pintar memasak.
"Terima kasih," ujar Eto-kun datar.
Kami memiliki kerjaan masing-masing. Tak ada pembicaraan. Aku tipe pendiam, tapi jika suasana canggung begini tidak enak juga tidak bicara.
"Ingin dengar cerita pengirim gambar bunga matahari itu sekarang atau nanti saat makan?" tanyaku padanya.
Ia bergumam terkejut. "Sudah bertemu? Tidak kusangka."
"Kebetulan," ungkapku.
"Saat makan saja," ia memutuskan.
Aku mengangguk. Semua sayur sudah bersih. Daging sapi yang dibeli sudah dipotong khusus nabe. Kemudian tahu dan bumbu-bumbunya. Semuanya dicampurkan dalam satu panci, lalu direbus bersamaan. Setelah masak, Eto-kun mengangkat panci dengan kedua tangan yang telah dialas, membawanya keluar. Di meja sudah disediakan lima mangkok dan beserta gelas. Aku ingin tertawa. Lima? Aku sudah dianggap dalam 'tim' mereka.
"Enak~! masakan Kou yang kurindukan!" ujar Yaegashi-kun berlebihan.
"Kou-kun, setelah lulus jadilah istriku!" Fujimura-san memohon.
"Maaf, tidak bisa." Eto-kun menolak dengan tegas.
Sementara Sakuraba-kun tertawa. Ia sangat menikmati makan malamnya. Dan aku... hanya mengunyah dalam diam mengamati keakraban mereka berempat. Sejak kapan mereka seakrab ini ya? Posisi Yaegashi-kun jelas sebagai teman dekat Sakuraba-kun. Fujimura-san karyawan toko ini. Yang tidak habis pikir keberadaan Eto-kun. Kalau sudah akrab, lebih akrab, dengan mereka mungkin akan kutanyakan. Sekarang bukan waktu yang tepat.
"De, bagaimana tentang pengirim gambar bunga matahari tersebut?" Akhirnya Sakuraba-kun membuka percakapan.
"Bunga matahari?" heran Yaegashi-kun.
"Nanti kujelaskan," jawab Sakuraba-kun. "Sekarang ini Kou harus mendengar laporan Fuusawa."
Bilang aja situ juga! Ah, aku hanya bisa menimpali dalam hati. Mulutku terbuka, siap bercerita. Namun ekspresi Fumiko-chan terngiang di benakku. Sikapnya, tindakannya selama ini akan sia-sia jika kuceritakan dengan gamblang pada Eto-kun. Sesaat aku mengatup mulut, memikirkan cara lain. Dengan pelan-pelan aku pun bersuara.
"Gadis ini menganal Eto-kun. Kalian pernah bertemu sebelumnya. Tapi maaf, Eto-kun, aku tidak bisa mengungkapkan identitasnya. Dia tidak bilang apapun, ini pendapatku saja. Karena aku yakin... sebenarnya dia ingin kamu yang menyadari maksud dari semua suratnya."
Tak ada yang merespon. Bahkan Sakuraba-kun yang terlalu melit. Yaegashi-kun hanya ternganga seolah tengah melumat kalimatku. Sementara Fujimura-san tetap makan dengan lahap.
"Begitu..kah?" Eto-kun tengah berpikir.
"Itu berarti pelakunya murid sekolah kita," ujar Sakuraba-kun, yang kemudian meneguk air putih. "Apa ia terlihat seorang artis?"
Aku menelengkan kepala. "Rasanya tidak. Dia terlihat sangat murid biasa."
"Kalau dia murid biasa, bagaimana caranya mengirim buket bunga pada Kou?"
Ah, benar juga! Hal itu kulupakan. Aku termenung sesaat. Mengingat lagi percakapan dengan Fumiko-chan. "Jika tidak salah... dia tidak ingin Eto-kun salah menyangka dirinya orang lain."
"Be..ar..i?" Yaegashi-kun bersuara dengan mulut berisi makanan. Ia bertanya seolah telah mengerti alur percakapan kami.
"Orang yang mengirim buket itu berbeda dengan pengirim gambar," ujarku menuntaskan perkara.
"Kau bicara seakan permasalahan telah selesai." Sakuraba-kun menimpali kesimpulanku. "Kou, apa sampai sekarang ada buket bunga matahari misterius?"
"Dua hari yang lalu, setelah menyelesaikan pemotretan majalah. Setangkai bunga matahari sudah ada di atas meja riasku."
Sakuraba-kun bergumam. "Apa hanya kebetulan?"
Aku ingin menjawab mungkin, tapi teringat kembali kalimat Fumiko-chan. Apa jangan-jangan... dia tahu sesuatu?
"Untuk apa dipikirkan jika tidak mengganggu?" Yaegashi-kun ikut menanggapi. "Kou terlalu memikirkannya. Terima saja dengan hati lapang seperti biasa. Permasalahan pun selesai, kan? Kecuali Kou takut ada seseorang cemburu dengan buket bunga itu."
"Howaah! Tumben Ken-kun bijaksana!" Fujimura-san malah memuji Yaegashi-kun. Yang dipuji langsung membusungkan dada. "Keduanya sama-sama mengagumi Kou-kun. Mereka mengungkapkan rasa dengan cara yang berbeda. Seperti yang Ken-kun bilang, asal tidak mengganggu, terima saja."
Eto-kun mengangguk dengan khidmat. "Baiklah. Jika itu pendapat kalian, akan kulakukan."
"Jangan hanya karena pendapat kami, Kou sendiri harus mengambil keputusan menindaki siapa saja yang memberimu hadiah. Kou itu terlalu baik, bahkan pada orang asing sekali pun."
"Ryou.... Hm, terima kasih sudah mengkhawatirkanku. Aku akan mengambil keputusan secepatnya saat orang itu bertindak lebih jauh."
Mereka kembali makan dan memuji makanan yang ada di mulut. Sedangkan aku tetap diam, mengunyah dengan pelan, dan benak yang masih memikirkan suatu hal. Ada yang mengganjal dan itu membuat perasaanku tidak nyaman.
Tapi....
Masakan Eto-kun patut diacungkan jempol!
>>bersambung
Sunflower🌼04
Unggah: 10 Mei 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top