Sunflower🌼01
Sebelum bunkasai digelar, pagi hari seluruh murid diwajibkan berkumpul di gedung olahraga. Tidak lain untuk mendengarkan sepatah kata dari seitokai untuk membuka acara secara resmi.
"Dengan begitu, hari ini saya umumkan bunkasai dibuka!"
Seluruh murid bersorak riuh di sekitarku. Aku hanya terkekeh menerima semangat mereka.
"Mari berjuang bersama!" Murid-murid saling memberi semangat, baik sesama teman sekelas, satu klub, maupun berbeda kelas atau klub.
Aku yang sejak kelas satu tak ikut klub tak memiliki kegiatan khusus di hari bunkasai. Selain tugas berjaga untuk pameran planetarium kelas yang sudah dijadwalkan bergilir, waktuku sangat bebas. Nantinya aku juga ingin berkeliling dengan teman mencicipi makanan dan pameran lain yang ada.
Seluruh murid berhamburan menuju stan maupun kelas pameran masing-masing. Aku dan teman sekelasku pun begitu, meski ada yang mendapat tugas untuk stan klub ia pun berpisah dengan kami.
Baru saja memasuki gedung belajar, kandung kemihku melonjak! Teman akrabku menoleh heran karena aku tak lagi berjalan di samping mereka. Dengan senyuman kaku aku berkata pelan, "Aku mau ke toilet dulu."
Keduanya tertawa. "Habis makan apa pagi ini? Kare pedas?"
Kujentikkan jari. "Tepat sekali!"
Mereka tertawa, aku pun berbalik badan, sedikit berlari menerobos murid-murid yang masih berkeliaran di koridor agar secepat mungkin sampai ke kamar kecil.
Karena makan kare pedas, aku minum terlalu banyak. Akhirnya ya beginilah. Bukan mulas, hanya kebelet pipis. Hihi.
Setelah menyelesaikan panggilan alam, tangan yang hendak membuka pintu bilik terhenti begitu mendengar percakapan siswi dekat wastafel.
"Akan kucoba mengajak Sakuraba-kun nanti!"
"Berjuanglah! Kapan lagi kesempatan mendekati pangeran sekolah?"
"Lalu... menyatakan perasaan!"
"Kudoakan keberuntunganmu, sahabatku!"
Dalam bilik toilet aku termangu. Harusnya hal seperti itu sudah biasa kudengar. Banyak siswi di sekolah ini, dari junior, seangkatan, maupun kakak kelas menyukai Sakuraba-kun.
Julukan pangeran bukan sebuah kemulukan semata. Ia benar-benar seorang pangeran yang diidamkan banyak gadis. Senyumannya hangat bak mentari. Ia tidak pernah memandang sinis siapa pun yang menyapanya. Kudengar ia selalu menerima hadiah dari para siswi, bahkan selain hari valentine sekali pun. Selalu memenuhi panggilan para gadis yang memintanya bertemu untuk pernyataan perasaan, meski pada akhirnya ditolak--dengan sopan. Ia tidak terlihat marah terhadap apapun kalimat kasar dari murid laki-laki yang iri dengannya.
Tapi....
Kenapa sikapnya sangat berbeda di depanku?!
Mulutnya setajam pisau! Menyuruh seenaknya! Salah sedikit ditatap sinis! Ia tersenyum untuk menindas!
Tapi....
Aku menghela napas begitu akhirnya dapat keluar dari toilet begitu dua siswi itu pergi.
Jika diingat kembali, sesekali ia bersikap baik padaku. Misalnya ... mengantarku pulang sehabis kerja dari toko bunganya. Sejak Fujimura-san menyuruhnya--bukan menyuruh sih, tepatnya apa ya? Menyindir? Ya, setelah sindiran itu ia terus mengantarku pulang. Katanya sebagai tanggung jawab karena sudah memintaku bekerja di tokonya. Baik sih, tapi entah kenapa setiap mengantarku wajahnya terlihat kaku. Mungkin karena terbebani mengantarku setiap habis bekerja padahal ia ingin beristirahat juga, kan?
Aku sudah menyadarinya sejak awal. Dua hari bunkasai ini aku diliburkan bekerja. Baru kembali bekerja lusa depan. Saat itu aku akan memintanya tak lagi mengantarku pulang. Kalau diteruskan, aku sendiri yang makin kegirangan. Rasanya curang memiliki perasaan seperti itu pada pangeran sekolah. Harus kusudahi!
Saat kaki kiriku melangkah ke tangga, seseorang menahan pundakku. Aku menoleh dengan mengerutkan kening.
"Kau habis main air, apa?"
Orang yang diomongin malah tiba!
"Siapa juga yang main air? Gak ada kerjaan banget!" timpalku sebal.
"Rok belakangmu basah." Setelah berkata itu ia menaiki tangga mendahuluiku.
Aku segera menggapai ujung rok belakang. Rasanya darahku naik ke ubun-ubun.
Ia berbalik sebentar dengan kepala terangkat sedikit, senyuman sinis yang selalu diberikan padaku. "Dasar anak kecil."
"Hah?!" protesku padanya yang tetap memasang wajah datar meninggalkanku yang tengah kebingungan.
Duh malunya! Bagaimana caranya mengeringkan rokku ini? Sesampai di kelas yang ada malah ditertawakan teman-teman. Ceroboh banget, bisa-bisanya saat pembersihan mengenai rok?
Kulirik sekitar, murid-murid sudah jarang di koridor. Perlahan aku berjalan di tepi, melihat situasi, lalu berlari kecil kembali ke toilet. Tidak ada cara lain selain menepuk-nepuk bagian basah dengan lap tangan sampai lumayan kering!
"Adegan seperti dalam shoujo manga tak akan nyata!" protesku menggebu-gebu.
Dua teman akrabku hanya melongo, tidak mengerti tema pembicaraan yang kuangkat untuk mengisi waktu makan siang.
Aku berbicara sembari beradegan sedikit. "'Rokmu basah.' Lalu murid ikemen melepaskan blazer-nya, mengikatkan lengan blazer ke pinggang sang gadis dari belakang. 'Dengan begini tidak akan kelihatan, kan?' ujarnya sambil mengedipkan sebelah mata." Kuselesaikan kisah dengan suapan nasi besar ke mulut, mengunyahnya dengan gemas.
"Hi-hinaka-chan?"
"Ada kemampuan menulis novel romantis!"
"Bukan!" timpalku sebal. "Tadi aku telat ke kelas karena rokku basah, kan? Tapi anak itu hanya memberitahu tanpa berkata manis sedikit pun! Intinya," aku berpura-pura sesegukkan, "adegan dokidoki seperti shoujo manga begitu aneh jika benar-benar nyata!"
"Artinya kamu inginnya dia bersikap manis padamu?" terka temanku yang memiliki kecerdasan tinggi di antara kami bertiga.
Kujentikkan jari pertanda kalimatnya tepat.
"Dia siapa?" Setelah bertanya ia melirikku dengan ganjil. "Hinaka-chan dekat sama laki-laki gak bilang! Cerita dong!"
"Ogah!" timpalku sebal. Keduanya menatapku sambil berkedip-kedip. Aku terkekeh melihat aksi melit keduanya. "Udah ah! Jadi gak selera makan tahu!"
"Habisnya kami khawatir padamu. Setelah orangtuamu... pergi ... kamu bilang bekerja paruh waktu sepulang sekolah."
Keduanya memasang wajah sedih.
"Kamu juga tak ikut kegiatan sekolah satu pun. Setidaknya ... ada satu hal yang membuatmu merasakan masa remaja. Kami berharap begitu."
"Kalian ini," aku terharu akan perhatian mereka. Meski keduanya sama-sama sibuk dengan klub olahraga--yang satunya tenis, satunya lagi lari--hingga waktu luang hang out sepulang sekolah pun sangat langka. Ditambah sekarang aku bekerja paruh waktu. "Tenanglah. Sampai sekarang aku merasa senang dengan kehidupanku. Tidak terlibat masalah yang paling penting!"
Setelah jam istirahat, kami bertiga dapat jadwal bebas. Tidak seperti besok jadwal kami berbeda-beda, tak akan lagi bersama untuk mengelilingi sekolah. Kami memutuskan menjelajahi stan-stan di halaman depan. Membeli makanan--meski sudah makan siang, perut kami tetap keroncongan mencium aroma masakan, setidaknya satu porsi dibagi tiga--lalu membawanya ke bangku panjang di bawah teduhan pohon di halaman tengah.
"Eh, lupa beli minuman."
Aku berdiri. "Biar aku aja! Mau apa?"
"Teh buah! Rasa apel ya?"
"Aku jus jeruk."
"Oke."
Mesin penjual minuman otomatis ada di koridor ke kantin. Aku mengambil jalan pintas agar kembali segera ke tempat teman-temanku. Mengelilingi gedung kegiatan murid, bermaksud masuk lewat pintu kantin. Sayangnya aku lupa kalau kantin tutup saat bunkasai. Terpaksa aku berjalan lebih jauh, menuju lorong penghubung dua gedung.
Kakiku berhenti melangkah, malah mundur dan spontan bersembunyi di balik dinding. Hampir saja aku memasuki area rawan tempat pernyataan perasaan! Karena di sana sudah ada sepasang siswa. Jika salah satunya bukan kenalan, mungkin aku akan mencari jalan lain. Tapi kali ini aku malah amat-sangat penasaran menontonnya sampai selesai!
"Sejak kita sekelas tahun lalu, aku... menyukai Sakuraba-kun! Ma-maukah kamu menjadi kekasihku?"
"Miyazawa-san.... Aku tidak menyangka kamu memiliki perasaan khusus padaku. Aku senang mendengarnya. Tapi mohon maaf, aku tidak bisa membalas perasaanmu."
Sang gadis menundukkan badan sedikit dengan satu tangan terulur. Ia berharap lelaki yang disukai menyambut tangannya yang berarti menerima perasaannya itu. Namun sebaliknya, laki-laki itu mundur selangkah, menundukkan badan sebentar.
"Maaf ya?" ujar siswa laki-laki sekali lagi.
Siswi itu menaikkan badan, kepalanya sekali naik lalu menunduk. "Tidak apa. Aku ingin menyampaikan perasaanku. Sakuraba-kun bebas menjawabnya. Tapi, apa aku boleh tahu? Adakah kini gadis yang kamu sukai, Sakuraba-kun?"
Tidak ada jawaban. Aku menunggu jawaban sama dengan siswi itu. Aduh kelamaan banget sih tu anak mikir? Gak bisa jawab karena gak ada lalu malu mengungkapkannya, atau ada tapi bingung harus diberitahu atau tidak? Yang mana yang benar?
"Kalau ada ... tentu sangat merepotkan."
Jawaban yang tak terpikirkan olehku. Hebat juga membuat jawaban yang rumit. Setelah berkata itu Sakuraba-kun menganggukkan kepala lalu pergi meninggalkan siswi itu.
Aku pun mencari jalan lain agar bisa masuk ke gedung, tidak lupa dengan tujuanku membeli minuman.
"Kalau ada ... tentu sangat merepotkan!" Aku menirunya dengan gerakan berlebihan, lalu tertawa sendiri. "Yah, kalau ada pasti menarik melihat Sakuraba-kun yang kalem itu jadi malu-malu menghadapi gadis yang disukainya. Haha...."
Seketika rasa humorku lenyap membayangkan Sakuraba-kun berjalan dengan gadis lain, saling bergandengan tangan dan tertawa. Pernapasanku terasa sesak.
Eh, sesaat tadi aku memikirkan apa?
Aku tahu seharusnya tidak pergi ke toko bunga. Namun rasanya selama seharian ini tak bertemu dengannya rasanya... tidak menyenangkan? Sisi lain hatiku terasa lompong. Bertemu sih, tapi begitu singkat, bahkan menjengkelkan!
Seperti biasa, sore hari Fujimura-san di luar toko tengah dirayu kakak-kakak cantik. Hadeuh, kalau Ageha-san jadi arwah gentayangan pasti sudah mengutuknya!
Ia menyadari keberadaanku. "Are, Hina-chan kenapa ke toko? Hari ini dan besok kan tidak kerja?" Ia menyapaku, menghiraukan dua wanita pesolek yang berpura-pura memilih bunga di rak luar.
Aku terkekeh pelan. "Sehari tak melihat bunga rasanya aneh." Aku beralasan.
Fujimura-san tertawa. "Bunkasai menyenangkan?"
Aku menganggukkan kepala.
"Yaah, jadi kangen masa sekolah. Aku dapat izin Ryo-kun menutup toko sebentar untuk lihat-lihat ke sana besok! Mungkin aku akan pergi ke pameran kelas Hina-chan! Lalu stan makanan kelasnya Ryo-kun! Katanya takoyaki? Enaknya~!"
"Hm, enak lho," jawabku singkat. Sesaat aku mencuri pandangan ke dalam toko. Ternyata benar Sakuraba-kun belum pulang. "Aku... pulang dulu, Fujimura-san."
"Hm, hati-hati di jalan ya!"
Aneh sekali, seharusnya aku senang hari ini lepas dari kerja paruh waktu, tapi langkah kakiku berat meninggalkannya. Apa seharusnya aku menunggu sedikit lagi sampai ia pulang? Tapi jika bertemu pun akan bicara apa?
Daripada mati kutu disemprot kalimat pedasnya, lebih baik aku pulang!
Mungkin sesekali aku harus mengecek kondisi jantungku!
Setiap tidak menyangka bertemu dengan Sakuraba-kun di luar toko, jantungku berdetak begitu kuat sekali. Kupikir jantung ini akan meloncat hingga lepas dari tempatnya.
Meski hari ini masih perayaan bunkasai, jadwal pergi sekolah tetaplah sama. Sebagai murid kami butuh mempersiapkan berbagai hal sebelum pengunjung tiba. Karena itu aku di sini, di halte menunggu bus selanjutnya.
Baru saja duduk beberapa detik, tak kusadari kehadiran Sakuraba-kun duduk di sampingku. Tanpa suara sapaan. Ia benar-benar memperlakukanku seperti orang asing. Pihak ini pun sulit menyapa jika situ berwajah ketus!
"Lihat, ada Sakura-chan!"
Aku menoleh ke arah Sakuraba-kun, tidak jauh dari sisi kanannya ada gerombolan laki-laki dengan seragam sama menghampiri. Tubuh ketiganya kekar, tampaknya mereka atlet. Mungkin klub rugby. Tubuh mereka cocok dengan olahraga penuh kekerasan itu.
"Sakura-chan, pergilah nanti ke stan kami? Kami menunggumu!"
Sa-sakura-chan? Maksudnya... Sakuraba-kun? Aku melirik khawatir pada pemuda yang duduk di sampingku. Ia malah mengulas senyuman.
"Selamat pagi, Ozawa-senpai, senpai sekalian. Semoga stan pembentuk otot kalian ramai ya?"
"Sudah dibilang bukan stan pembentuk otot! Stan yakitori!"
Ya-yakitori? Kenapa aku baru tahu ada stan daging? Gak mahal modalnya? Daging? Sekejap hampir air liurku keluar membayangkan daging ayam yang ditusuk. Aromanya saat dipanggang ... pasti menggoda. Tapi kemarin kok tidak kelihatan ya? Dan lagi, seingatku di pamflet bunkasai tidak ada stan yakitori?
Mereka semakin mendekat, mencondongkan badan ke Sakuraba-kun. Spontan aku menghindar. Ketiganya mengelilinginya. Sementara Sakuraba-kun tetap duduk bersilang dengan kaki kanan di atas kaki kiri, bersedekap dengan tenang.
"Gara-gara Sakura-chan kami tak jadi membuka stan yakiniku. Kau tahu, yakitori tak cukup memberi energi bisep-bisep ini." Salah satunya bicara tepat di depan wajah Sakuraba-kun, menepuk-nepuk lengannya yang tercetak di balik seragam.
Stan yakiniku? Tentu saja itu keterlaluan! Mana ada acara anak sekolah membuka kedai dengan modal besar! Itu melanggar peraturan!
"Ide stan rugby melenceng dari anggaran yang disepakati seitokai. Dan lagi tujuan senpai sekalian hanya untuk bersenang-senang memakan yakiniku, bukan untuk dijual. Jika ingin membuat acara sendiri, sebaiknya di luar bunkasai."
Tuh, kan! Jawaban Sakuraba-kun sama dengan pendapatku! Aku aja sebagai murid biasa tahu aturan tersebut!
Laki-laki di samping kiri Sakuraba-kun menaikkan sebelah kakinya ke bangku. Tempat duduk kami bergetar dibuatnya. Aku sempat meloncat di tempat saking kagetnya. Ia ikut-ikutan mencondongkan badan ke Sakuraba-kun.
"Banyak bacot kau! Padahal hanya anggota tambahan seitokai! Bukan seitokai maupun seitokaichou!"
Yang lain ikut menimpali. "Kalau kau diam saja, kaichou sialan itu tidak akan menyita alat-alat yakiniku! Malah menggantinya dengan panggangan biasa! Yakitori? Yang benar saja! Yakitori tak seenak yakiniku!"
"Seitokaichou mengganti agar senpai menjualkannya secara umum, bukan dipakai pribadi. Tapi jika tidak dilaksanakan pun tak apa. Asal jangan lupa memulangkan modal seitokaichou."
Sakuraba-kun membalas kalimat mereka dengan tenang dan tegas. Ia sama sekali tidak takut menghadapi tiga laki-laki bertubuh lebih besar darinya?
"Dasar laki-laki berwajah perempuan! Kau berani bicara karena beranggapan kami takut menghajar wajah manismu, hah?!"
Aku meloncat dari tempat duduk. "AAH! BUS DATANG!!"
Ketiganya menolehkan kepala serentak, menatapku dengan tatapan tajam. Saat itu pula bus yang tiba membunyikan klaksonnya tanda akan berhenti. Seketika ketiganya menyadari kedatangan bus dan memperbaiki sikap berdiri. Salah satunya menunjuk tepat di depan hidung Sakuraba-kun.
"Kau laporkan ke seitokai, esoknya kau ke sekolah pakai rok! Camkan itu, Sakura-chan!"
Bus berhenti. Ketiganya berjalan melewatiku, menaiki bus saat pintunya terbuka. Aku tercenung di tempat, tepat di depan pintu bus. Pak sopir menanyakan 'apa aku akan naik?' hanya dengan tatapan. Aku menggelengkan kepala. Pintu tertutup, bus itu pun berlalu dari hadapanku.
Pelan-pelan aku melangkah, menghampiri Sakuraba-kun yang kini tengah memasang wajah masam.
"Dai..joubu?" tanyaku hati-hati.
Sakuraba-kun menghela napas dengan kuat, menyandarkan punggung, menaikkan kepala sedikit dengan mata tertutup. Ia tengah merilekskan diri sehabis bertempur kalimat dengan anggota klub rugby.
"Otsukare," ujarku spontan.
Ia terkekeh. "Apanya yang 'otsukare'?"
Aku tertawa kikuk. "Karena... sudah menjadi sosok seitokai di luar sekolah. Kerja yang bagus," ujarku lagi.
"Aah, menyebalkan!" ujarnya kesal tapi terdengar santai. "Apanya datang ke sekolah pakai rok?"
"Bisanya keroyokan," tambahku. "Stan yakiniku--oh bukan, yakitori. Selain memasak, apa mereka juga akan mempertunjukkan cara memotong ayam yang benar?"
Sakuraba-kun terkekeh dengan guyonanku. "Jika iya, apa kau ingin melihat?"
"Tidak, ah! Jika sekali saja aku lihat pembantaian hewan yang selama ini kumakan dagingnya, aku akan trauma dan tak akan lagi mampu memakannya."
"Trauma? Kau yang selama ini membantai kecoa? Terdengar ironi!"
"Sial!" kesalku. "Itu karena kamu menyuruhku!" Aku terdiam sesaat, duduk di samping Sakuraba-kun tanpa permisi. "Omong-omong, kecoa juga sudah jarang di gudang? Mereka migrasi ya?"
"Migrasi?"
Aku mengangguk. "Karena nyawa mereka terancam dengan kehadiranku, bisa saja mereka lari ke...."
"Ke?"
"Lantai dua ruko!"
Sesaat aku bisa melihat wajah Sakuraba-kun memucat. Ia memberiku tatapan tajam. "Fuusawa!"
Aku tak kuasa menahan tawa, suaranya meledak lewat mulut. Di tengah tawa, hatiku berbisik senang bertemu dengannya. Walau nanti di sekolah kami tak akan bertemu, setidaknya momen saat ini cukup berarti hingga esok aku kembali bekerja di toko bunganya.
>>bersambung
Sunflower🌼02
#ngabuburead ✌
Unggah: 8 Mei 2020
Catatan penulis:
Sudah yang sedih2, saatnya yang fluffy~.
Gak nyangka aja udah jalan 8 hari nulis buat ngabuburead. Cerita kali ini berkesan banget buatku. Awalnya tema hanakotoba udah lama kupikirkan untuk ff growth, tapi latarnya dunia hiburan.
Namun aku pikir ulang buat rombak alurnya. Dan jadilah AU serta ooc sedikit dari karakter para anggota growth, dan~ lebih fokus ryoutaxoc.
Seperti tema sebelumnya, bagian Sunflower akan menceritakan kisah dari anggota growth yang lain. Ada yang mau menebak? Clue, bagian ryo-chan belakangan, jadi antara ken atau kouki. Nah nah nah! Tebak~!
Sampai ketemu di bab selanjutnya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top