🌼 Prolog

Hanakotoba
(The language of flower)

Sakuraba Ryouta / TsukiPro © Tsukino Talent Production

Warning!
AU (Another Universal)
OOC (out of characters)

Fanfiksi ini ditulis untuk mengikuti #NgabubuRead Challenge yang diadakan WattpadFanficID

Penulis
koi-fumi

Publikasi: Rabu, 29 April 2020
.
.
.

Kupikir Sakuraba Ryouta-kun hanya seorang penjual bunga....

Yang kuingat langit tiba-tiba mendung. Kupercepat langkah agar sampai rumah sebelum hujan mengguyur tanah. Sayangnya air turun begitu saja dari langit membasahi seragam yang kukenakan. Kardigan cokelat berubah warna bagai baru saja terjerumus lumpur. Aku tak bawa payung, tidak pula berniat singgah untuk berteduh. Karena hari itu aku harus segera sampai ke rumah.

Kedua orangtuaku akan kembali hari ini ke Jepang setelah ekspedisi profesi mereka selama dua bulan ini. Aku sangat merindukan keduanya. Lewat video call pun tidak cukup mengobati kerinduanku. Demi menyambut kepulangan mereka, aku sudah mempersiapkan berbagai kejutan sejak kemarin. Salah satunya shortcake kesukaan ibu. Aku sudah tidak sabar mencicipinya bersama mereka.

Begitu sampai di belokan menuju jalan ke rumah, seseorang dengan setelan jas hitam berdiri di sana dengan payung meneduhi eksistensinya. Aku khawatir ia seorang penjahat, penguntit, atau apapun itu yang membuat perasaanku tidak enak.

Aku melewatinya tanpa permisi. Namun ia segera menyodoriku sebuah buket bunga putih dan sepucuk surat. Lalu meninggalkanku begitu saja mematung di bawah derasnya hujan awal musim gugur.

Aku hendak memintanya menjelaskan maksud buket dan kedatangannya. Namun suaraku tersekat di tenggorokan, ia pun tak menoleh ke belakang.

Aku menggenggam buket itu di tangan kanan, surat di tangan kiri. Kedua kakiku enggan melangkah. Terasa berat. Berbagai macam pikiran buruk menyerbu kepala dan dadaku bagai terkena serangan puluhan panah menusuk dan mulai membolongi tubuh. Sedikit demi sedikit. Tubuhku menggigil, kubiarkan begitu saja berharap rasa sakit itu tergantikan.

Tiba-tiba saja sesuatu menghalangi hujan membasahiku. Seseorang dengan seragam yang sama berdiri tepat di hadapanku, dengan tangan kirinya memegang pegangan payung.

"Buket itu milikmu?"

Aku berusaha menggelengkan kepala--kurasa persendiannya di sana mulai kaku karena dinginnya hujan--meski sedikit.

"Seseorang memberikannya padamu?"

Aku, kembali berusaha, menganggukkan kepala.

"Lili, poppy, melati. Semuanya putih," gumamnya lirih.

"Kamu tahu artinya apa?"

"Melati..., simbol ketulusan hati seseorang. Ia bisa diberikan dalam kondisi apapun selagi hatimu tulus mengucapkan sesuatu pada orang yang kau tuju.

Lili..., melambangkan kesucian. Namun ... itu juga bisa berarti kesucian setelah kematian.

Poppy putih..., bunga yang akan seseorang berikan sebagai penghibur atas kedukaan seseorang setelah kehilangan orang yang mereka cintai."

Tubuhku semakin menggigil mendengar semua pernyataan dari mulut pemuda itu. Bahkan suaranya lirih menyebut makna bunga di genggamanku satu per satu.

"Arti keseluruhan..., 'Dari lubuk hati yang terdalam..., turut berduka cita....'"

Mendengar kalimat yang sesungguhnya, seketika air mataku tak terbendung.

Di tengah derasnya hujan, tidak peduli siapa di sisiku, suara hati menjerit berusaha menembus langit kelabu, meragukan kesungguhan berita yang kuterima....

Pihak perusahaan penerbangan mengirimkanku surat bela sungkawa atas meninggalnya kedua orangtuaku dalam kecelakaan pesawat menuju Jepang, hari itu, pagi menjelang siang.

Aku pun menjadi gadis yatim-piatu di usia keenam belas.

Mayat para korban kecelakaan tidak ditemukan karena terbenam dalam lautan. Begitu pula dengan kedua orangtuaku.

Kerabat dekat mengadakan upacara kematian. Tetangga dan kolega orangtuaku hadir untuk memberi penghormatan terakhir. Kalimat-kalimat penghibur dari mereka tidak berarti untukku yang kini tinggal seorang diri.

Apa jadinya aku tanpa kedua orangtuaku?

"Untung saja orangtuamu meninggalkan tabungan untuk kelanjutan sekolah dan hidupmu sampai mandiri."

Itu bukanlah sebuah "untung" yang kuinginkan. Aku ingin keduanya kembali, memelukku dengan kasih sayang.

Setelah upacara kematian selesai, para orang dewasa berkumpul. Mereka mulai berdebat siapa yang pantas mengadopsiku. Namun tidak ada yang mengajukan diri untuk memungut seorang gadis remaja.

"Hidup kami saja sudah susah. Apalagi ditambah satu anak."

"Anakku mau kuliah. Kau tahu sendiri aku janda cerai. Setelah anakku kuliah, aku mau menikah dan tinggal dengan calon suamiku."

"Aku tetap tinggal di sini. Sendiri." Aku memutuskan sebelum mereka beralih menanyakan pendapatku.

"Tidak apakah, Hinaka-chan? Tidak takut tinggal sendirian di rumah?"

Aku tersenyum kecut. "Sudah berapa kali aku ditinggal keduanya demi tuntutan profesi? Dua bulan? Setengah tahun? Dulu mereka tetap pulang dengan segudang cindera mata. Tapi kini keduanya tidak akan pulang. Selamanya. Meski begitu, aku akan tetap menjaga rumah."

Perdebatan mereka berhenti setelah meyakinkan keputusanku. Dan mereka pun pergi, meninggalkan kesan peduli. Aku tahu itu semua topeng yang mereka pasang sebagai kerabat dekat.

Walau aku bersedia hidup seorang diri... aku merasa hampa dan kehilangan arah.


Suatu hari setelah pulang sekolah Sakuraba-kun menghampiriku.

"Setelah mendapat karangan bunga, apa kau membenci bunga?"

Aku tak mengerti maksud kehadirannya. Namun raut wajah dan nada suaranya tidak terdengar mengejek kesedihanku.

"Tidak," jawabku datar.

"Baguslah kalau begitu." Ia menganggukan kepala dengan tatapan yakin. "Kau juga tidak ikut kegiatan sekolah atau pun kerja sampingan."

"Begitulah," jawabku kembali dengan nada tak bersemangat.

"Kalau begitu, setelah pulang sekolah pergilah ke toko bungaku. Kau kupekerjakan!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top