Mistletoe🌼07
Pesta ulang tahun Ayame berlangsung dengan meriah dan glamor. Sang tokoh utama memasuki ruangan pesta, menuruni anak tangga satu per satu. Dengan gaun yang cantik, gerakan anggunnya semakin menarik pandangan. Sosok Ayame bagai putri kerajaan yang begitu semangat menanti peresmian usia ketujuh belasnya.
Lalu di bawah Yaegashi-kun dengan jas, pakaian formal yang sangat cocok untuknya, menunggu lalu mengulurkan tangan pada Ayame. Kedua berpegangan tangan, menyapa para tamu layaknya pangeran dan putri bangsawan. Benar-benar persis dalam komik fantasi.
Sebelum acara dimulai, Sakuraba-kun kembali menemuiku. Wajahku terasa panas saat ia menolak permintaan para gadis berdansa dengan tegas. Bahwa ia telah memiliki pasangan dansa, dan orang itu adalah aku.
"Aku tak tahu kalau ada acara dansa-dansaan!" Aku memrotes dengan suara pelan.
"Aku juga tidak ingin berdansa," ungkapnya tenang. "Bukannya setelah ini kita pergi melihat penampilan Mamoru?"
Hiruk-pikuk dari tepuk tangan para tamu memenuhi ruangan kala Ayame memotong kue. Bahagia terpahat sempurna di wajah gadis itu. Terutama saat ia menyuapkan potongan pertama pada Yaegashi-kun. Kedua wajah mereka sama-sama memerah, saling tersipu, meski begitu kemesraan keduanya begitu menenangkan hatiku.
"Syukurlah keduanya sudah baikan."
Tanganku ditarik ke belakang. "Sebelum lagu dansa diputar," ujar Sakuraba-kun memberi aba-aba.
Aku tidak memrotes, malah mengikuti langkahnya mencari celah keluar dari ruang dansa sebelum ada orang yang mengetahui bahwa kami pergi diam-diam di tengah acara.
"Apa... Yaegashi-kun sudah tahu akan kepindahan Ayame?" tanyaku saat kami mengambil baju hangat di tempat penitipan.
"Mungkin."
Kami keluar dan mobil yang tadi mengantar sudah bersiaga tidak jauh dari pintu masuk. Mobil ini pun membawa kami pergi dari pesta yang masih berlangsung di dalam sana.
"Rasanya tidak enak pergi diam-diam begini," ujarku kembali menyesali tindakan seperti ini.
"Sudah kubilang--"
"Sudah bilang ke Ayame," potongku agak kesal, "itu kan kamu yang minta izin, aku enggak. Bahkan aku hanya meletakkan kado tanpa mengucapkan selamat ulang tahun padanya."
"Lalu, apa? Dengan wajah tanpa bersalah kamu mendekatinya padahal rumor burukmu belum bersih di hadapan tamu yang kebanyakan siswa dari sekolah?"
Kalimat pedas yang begitu menusuk ini! Ugh! Benar juga. Aku hampir saja lupa mengenai rumor itu. Awalnya hanya rumor aku bertengkar dengan Sakuraba-kun, lalu dikaitkan dengan kedekatan Ayame dan Sakuraba-kun hingga Yaegashi-kun tersisihkan. Paling parah dan yang terbaru adalah aku dijadikan kambing hitam akan semua gosip tersebut.
"Lalu untuk apa kamu tetap mengajakku ke pesta? Lebih baik tidak datang, bukan?" Aku menggerutu, membuang pandangan keluar jendela.
"Setidaknya dari jauh Ayame bisa bernapas lega kau datang ke acara ulang tahunnya."
Alasan sepele yang membuat hatiku teriris. Meski ucapannya begitu menyelekit, Sakuraba-kun selalu memikirkan orang lain. Dia mengajakku ke acara demi Ayame. Dia tidak membiarkanku mendekati Ayame agar aku tidak menjadi pusat perhatian kebencian para shipper Ayame-Yaegashi-kun, bisa juga termasuk para penggemar Sakuraba-kun sendiri.
Cahaya kota silah-silih berganti dengan cepat membuat mataku silau. Hingga rasanya kelap-kelip cahaya itu membekas dalam bola mataku, meninggalkan jejak kesedihan karena hanya dilihat sekejap mata. Begitulah eksistensiku bagi Ayame. Seharusnya aku ikut senang dalam pesta itu, bisa melihat lebih lama rangkaian bunga rancangan Sakuraba-kun yang mungkin saja rangkaian itu menjadi karya terakhirnya sebagai 'pemilik' toko bunga.
Aku ingin pulang....
Begitu kuat keinginanku, tapi bibirku kelu mengungkapkannya. Bagaimana jika hari ini hari terakhirku bersama Sakuraba-kun? Hanya hari ini aku bisa bicara, protes, saling melempar pendapat dengannya, lalu esok ia akan menjadi sosok yang tidak dapat lagi kujamah sama seperti hari-hari sebelum aku bekerja di toko bunganya?
Mobil berhenti, tanpa kusadari pintu di sebelahku terbuka. Kutengadahkan pandangan, saat itulah bulir-bulir air mata menetes dengan sendirinya. Secepatnya kuseka dengan lengan baju hangat. Untung saja ia yang membuka pintu tidak melihatku, berdiri dengan tegap tanpa memedulikan kelamaanku turun.
"Trims," ujarku singkat, keluar dengan menundukkan kepala.
Sakuraba-kun mengecek waktu dari jam tangan, lalu membungkuk ke pintu sejajar sopir. "Sampai sini saja. Aku akan pulang sendiri."
Mobil pun perlahan berjalan, meninggalkan kami berdua di pinggiran pusat pembelanjaan kota.
"Tampaknya kita terlambat sepuluh menit. Ayo, cepat."
Kubiarkan dia berjalan terlebih dahulu. Awalnya aku berencana mengekorinya dari belakang, tapi kedua kakiku tidak jua bergerak. Kuhela napas berkali-kali untuk menghilangkan sesak dalam dada. Namun dada dan benakku tetap keruh menghadapi pemuda itu. Aku tidak lagi mengerti akan sikapnya padaku. Perhatian, tapi terasa dingin. Bukannya menenangkan, tapi menusuk hingga ke tulang.
Dari pandanganku yang hanya melihat aspal, ujung sepatunya menghadap ke arahku.
"Kau keletihan? Tidak enak badan?"
Aku tidak menjawab, pun tidak menggerakkan kepala. Telapak tangannya naik, menempel ke keningku. Ia menghela napas. Tanpa enggan menggenggam tanganku.
"Kuantar kau pulang."
Tangannya menarik tanganku, namun aku tetap bergeming di tempat. Tanpa menaikkan pandangan, melihat ekspresinya kini, aku berkata, "Kamu punya hutang penjelasan padaku."
Ia berdiri di hadapanku, tidak langsung menjawab, sesekali menghela napas dengan nada berat. "Aku meninggalkan rumah sejak liburan musim panas tahun lalu, mulai tinggal dan membantu Erica di toko bunganya. Tempat pelarianku begitu mudah ditebak. Harusnya aku sudah diseret pulang oleh ayah. Erica membelaku, ia berkata aku harus memiliki pengalaman di luar didikan beliau, dengan begitu sebagai pewaris aku bisa berpikir lebih luas daripada terkekang di rumah. Namun aku hanya diberi kesempatan selama setahun."
Aku segera menerka.... Itu berarti libur musim panas lalu ia harusnya sudah pulang, tapi ia tetap tinggal di toko bunga.
"Ada alasan Erica membelaku. Dia butuh orang untuk meneruskan usaha di saat ia pergi. Sialnya, sejak musim semi hingga kini ia belum juga kembali. Aku tidak diberi penangguhan hingga Erica pulang, meski sudah berkompromi dengan ayah. Beliau akan mengambil alih paksa toko jika Erica belum juga kembali. Itu berarti Mamoru bisa kehilangan tempat tinggal. Karena itu aku setuju pulang agar toko bunga itu tetap ada di sana."
"Begitukah...," gumamku berusaha menerima ucapannya. "Sakuraba-kun... baik, ya? Selalu memikirkan orang lain. Tampaknya kamu tidak ingin pulang, tapi karena memikirkan nasib Fujimura-san, kamu bersedia kembali ke rumah. Tapi ya, memang anak itu harus patuh pada orangtua."
"Aku... bahkan tidak mau ke rumah itu lagi. Setiap inchi hidupku diatur oleh ayah. Di toko bunga itu... di sana aku bisa bernapas sesuka hati, melakukan apapun yang kuinginkan, bercengkrama dengan orang-orang yang kusuka."
Spontan aku menaikkan pandangan. Namun Sakuraba-kun tengah mengadahkan pandangan, menatap langit gelap memayungi kepala kami. Suhu dingin yang membungkus kediaman kami perlahan terasa begitu sejuk. Aku ikut mengadahkan pandangan, menatap langit yang terasa misterius, bertanya-tanya kapan salju akan turun dari sana.
Namun bukannya salju yang menghampiri. Tatapan pilu dari dua bola mata Sakuraba-kun jatuh dalam pandanganku. Tidak sekali pun kelopak mataku mengedip kala kepala kami begitu dekat..., kala bibirnya menyentuh bibirku.
"Hinaka, aku tak ingin pulang...."
Itu berati... aku tak pergi jauh darimu.
.
.
.
20.02.2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top