Mistletoe🌼04

Fujimura Mamoru sudah tidak bisa menahan diri untuk bertindak. Ia curiga pada pemilik toko bunga di mana ia bekerja. Semenjak menerima permintaan 'pacar Ken-kun', Sakuraba Ryota tidak terlihat bersemangat. Kini, rekan kerjanya, gadis SMA sepantaran dengan bosnya itu sudah seminggu tidak bekerja. Ryota bilang Hinaka sakit, ada urusan sekolah, mau belajar untuk fokus ujian tengah semester, dan banyak lagi alasan lainnya.

"Aneh! Mencurigakan! Tidak bisa dibiarkan!"

Ia melihat jam di pergelangan tangan, sebentar lagi waktunya Sakuraba Ryota segera pulang sekolah. Hari ini, begitu sang bos tiba di toko, Mamoru berniat menginterogasi ini-itu padanya.

Suara kelontang dari bel kecil berbunyi seiring dengan terbukanya pintu toko. Mamoru memasang senyum lebar nan ramah pada pelanggan yang masuk. "Irrashaimase!" Namun yang datang ialah orang yang ia kenal. "Eh, Kou-kun! Kenapa bisa ada di sini? Bukannya belum jam pulang sekolah?"

Perut Eto Kouki tergelitik dengan sikap jenaka Mamoru, tapi ia tidak terbiasa tertawa. Sebagai gantinya senyum di bibir sedikit merekah. "Hari ini hari terakhir sekolah."

Mamoru langsung mengangguk mengerti. "Ooh, begitu ya? Pantas saja pulang lebih awal dari waktu biasa. Aah~ jadi kangen sekolah! Di hari akhir sekolah semua murid, laki-laki dan perempuan, saling membahu membersihkan kelas. Lalu diselingi bercanda. Ada juga yang suka mendorong teman untuk menyatakan perasaan agar di hari libur pun bisa bertemu. Setelah membersihkan kelas dan lorong, upacara penutupan sekolah. Aah~ nostalgianya~!"

"Mamoru, kau membicarakan sekolah layaknya bapak-bapak usia limapuluhan," timpal Kouki. "Oh iya, omong-omong aku kabur dari acara penutupan."

"EEEH?! KENAPA?" Ekspresi kaget Mamoru berlebihan, sampai-sampai menjatuhkan gunting tanaman di tangan. "Aah, memang sih upacara itu bikin ngantuk, tapi aku tidak menyangka seorang Eto-san... minggat?" Tanpa sadar pria duapuluh lima tahun itu terkekeh.

Kouki pun begitu, tanpa sadar ia telah terkekeh ringan. "Aku sendiri juga tidak menyangka, tapi... ada alasan kenapa aku melakukannya. Aku ingin bicara padamu mengenai Ryo, mumpung orangnya belum pulang."

Mamoru menjentikkan jari. "Soal itu! Aku juga ingin bicara pada siapa pun yang mengenal bosku ini! Sikapnya sudah aneh sejak menerima permintaan pacarnya Ken-kun. Terus Hina-chan sudah seminggu tidak ke toko."

"Fuusawa?" Kouki baru mengetahui hal tersebut. Ia berpikir sejenak seraya melangkahkan kaki ke kursi, menyamankan posisi duduk di sana. "Mungkin... karena mereka bertengkar."

"Bertengkar?" kaget Mamoru. Ia pun ikutan duduk di seberang Kouki. "Siapa dengan siapa?"

"Fuusawa dengan Ryo. Tepat sejak seminggu yang lalu." Kouki pun menceritakan kejadian yang ia tahu pada Mamoru.

"Ho...," Mamoru manggut-manggut. "Begitu ceritanya. Memang sikap Ryo-kun sangat aneh! Kenapa dia bisa begitu pada Ken-kun?!" Mamoru terpegun sesaat karena mengingat sesuatu. "Sebenarnya, ada satu hal lagi yang membuatku khawatir. Ryo-kun bersikap aneh bukan sejak menerima permintaan pacar Ken-kun, tapi sebelum itu. Dia... pulang ke rumah."

Kouki terperangah. Ia tahu betul bagaimana keadaan keluarga Sakuraba dan sikap tegas dari kepala keluarga itu. "Ryo..., tengah menyembunyikan sesuatu dari kita semua. Ia pasti membebani dirinya sendiri lagi."

Sudah pukul tiga lewat limabelas menit. Jika tigapuluh menit lagi gadis yang ia tunggu tidak menampakkan diri, ia terpaksa akan pergi tanpa meluruskan permasalahan.

Sakuraba Ryota mempertanyakan lagi keputusannya, apa tigapuluh menit itu sudah cukup untuk menunggu? Perlukah ia menambah tenggat waktu, atau kalau perlu ia harus pergi ke rumah gadis itu jika memang sudah pulang sedari tadi?

Di tengah musim dingin, menunggu di halte kecil, tempat persinggahan bis seorang diri rasanya waktu tengah berhenti untuknya. Tubuhnya semakin dingin karena suhu minus bercampur dengan kecemasan.

Selama ini semua berjalan dengan lancar, tapi ia sudah tidak bisa bertindak bebas. Masalah keluarga belum terselesaikan, beberapa minggu yang lalu Ayame menambah tugasnya, lalu seminggu yang lewat ia malah adu mulut dengan Hinaka.

Semua masalah bergumul, membuat perasaannya tidak nyaman. Kegelisahan dan kekhawatiran membuatnya tidak dapat berpikir jernih, membiarkan emosi mendominasi, dan berakhir terlampiaskan pada sikapnya yang semakin dingin.

Sebuah bis pun datang. Ia melirik setiap penumpang yang turun. Tatapannya berhenti pada gadis yang ditunggu. Pandangan mereka saling beradu. Sesuai dugaan, gadis itu tersentak kaget, spontan membalikkan badan menghindarinya.

"Bisa-bisanya kamu pergi tanpa melayangkan satu kata pada orang yang telah menunggu." Ryota segera beranjak dari tempat duduk, menghampiri Hinaka.

Gadis itu sontak membalikkan badan dan menunjuk-nunjuk dengan kesal. "Siapa juga yang menyuruhmu menunggu?! Gak ada!"

Ryota mengeluarkan surat undangan yang tersimpan di saku jaket, menyerahkannya pada Hinaka. "Ayame menitipkan ini untukmu."

Hinaka hanya melirik, enggak menerima undangan pesta ulang tahun tersebut. "Aku... tak akan datang."

"Kalau kau tak datang, aku pergi dengan siapa?"

"Pergi saja sendiri!"

Kening pemuda itu otomatis mengerut seraya memberi tatapan sebal. Walau sudah memprediksi sikap gadis itu tidak akan manis seperti sebelumnya, tetap saja penolakan itu membuatnya kesal.

"Aku tak akan pergi melihat kalian bermesraan sementara Yaegashi-kun patah hati."

Ryota membelalakkan mata tidak menyangka dengan jalan pikiran Hinaka. Tentu saja itu sudah dipertimbangkan sebelumnya, tapi melihat raut wajah gadis itu cemberut membuat perutnya tergelitik ingin tertawa. Tanpa sadar ia malah menyentil kening gadis itu agak keras.

"Hei!" Hinaka menjerit kesal, mengelus kening yang mulai memerah.

"Pikiranmu sempit, ya! Jelas-jelas kau sudah tahu maksud utama Ayame membuat pesta, kenapa kau malah termakan gosip murahan di sekolah! Memangnya di matamu aku seperti itu!"

"Kalian juga salah! Membiarkan gosip aneh begituan beredar! Apalagi namanya kalau bukan kebena--"

Geram, Ryota mencubit kedua pipi Hinaka.

"Hee--aaa...." Hinaka memberontak, mencoba menarik kedua tangan pemuda itu. Namun Ryouta tidak bermaksud melepaskannya. "Hefashiiin!"

Kedua tangan Ryota melepaskan pipi yang telah semerah tomat. Banyak kalimat yang ingin dilontar, tapi ia menahan diri untuk tidak mengungkapkannya. Jika itu dilakukan semua tindakannya bersama Ayame akan sia-sia. Untuk meredakan emosi, ia hanya bisa menghela napas. Meski begitu ia tidak bisa hidup dengan kesalahpahaman, apalagi di hadapan gadis itu.

Hinaka mengeluh sambil mengusap pipi dengan telapak tangan. "Sakit tahu!"

"Saat pembersihan kelas, aku dan Ayame sudah menjelaskannya pada Ken."

Hinaka terpegun. Kedua matanya memicing untuk mencari kebohongan di wajah Ryota. "Semua?"

"Sebagian besar. Mengenai kepindahan itu Ayame sendiri yang akan memberitahukannya pada Ken."

Gadis itu bersedekap, mengerutkan kening pertanda tengah memikirkan sesuatu. "Ternyata benar," gumamnya, "sebenarnya kalian bersekongkol membuat Yaegashi-kun cemburu." Ia menambahkan dengan gumaman, "tapi kenapa juga aku harus dipecat?"

Kini Ryota yang terpegun, namun sedetik kemudian senyumnya merekah. "Seperti biasa kau dapat menebak tindakan orang layaknya detektif."

"Bukan pujian," gumam gadis itu sebal.

"Memang bukan," timpal Ryota segera. Ia menyerahkan undangan kembali. "Aku tunggu di sini jam lima."

"Aku tidak bilang akan pergi!"

"Harus."

"Kenapa kau ini ngotot banget sih?"

Ryota menempelkan surat tersebut ke kening Hinaka. "Kalau kau ingin tahu alasan aku memberhentikanmu bekerja, datang ke sini tanggal 25 jam lima! Kita pergi bersama ke pesta!"

Tanpa menunggu reaksi gadis itu, Ryota kabur terlebih dahulu. Dengan begitu tidak ada alasan bagi Hinaka menolak permintaannya.

Sudah setengah jam lebih berbicara, Mamoru baru saja sadar belum menyuguhkan minuman untuk tamunya. Ia segera menyeduh teh di dapur dan kembali menemui Kouki. Keduanya menikmati ocha dan sanbe sebagai camilan. Sejak musim semakin dingin, pelanggan pun terasa dingin. Karena itu Mamoru dapat bersantai ria dengan Kouki sebagai tamu.

"Damainya...," gumam Mamoru bersyukur dapat bersantai di sore hari.

KELONTANG!

Pintu toko dibuka paksa oleh seorang gadis bertubuh mungil. "PERMISI! APA ADA SAKURABA-SENPAI DI SINI!"

"BUAAH!!" Mamoru tidak sengaja menumpahkan minuman dari mulutnya saking terkejut.

"Fumiko?" Kouki ikut terheran, mengapa adik kelas tiba di toko milik sahabatnya.

Raut berang Hanazono Fumiko berubah drastis melunak saat menyadari kehadiran pemuda yang dikaguminya. "Kou-san!" Ia segera menghampiri dengan senyuman manja. "Kebetulan kita bisa bertemu di sini! Apa ini disebut dengan takdir?"

Kouki terkekeh pelan. Sejak insiden 'bunga matahari', ia mulai akrab dengan gadis itu. Fumiko sendiri semakin hari semakin terlihat genit pada Kouki. Namun karena sikap Fumiko masih di batas normal, Kouki tidak mempermasalahkannya. Bahkan ia tidak risi dengan panggilan 'Kou-san'.

"Kamu ada keperluan juga dengan Ryo?" tanya Kouki.

Sikap genit yang dibuat-buat itu menghilang. Fumiko mengangguk dengan serius. "Kou-san juga?"

Kouki mengangguk.

"Kou-san tahu sesuatu? Pertengkaran Hinaka-senpai dengan Sakuraba-senpai? Rumor itu bikin Hinaka-senpai sedih. Aku tidak tahan melihatnya sedih seperti itu."

"Fumiko-chan perhatian pada Hina-chan ya?" ujar Mamoru.

"Habisnya..., Hinaka-senpai sudah membantuku. Walau ingin membantunya dianggap hutang budi, aku akan tetap dan terus membantu setiap ia kesulitan. Bagiku Hinaka-senpai adalah teman yang berharga!"

"Benar juga. Aku juga sudah ditolongnya," ungkap Mamoru mengingat bagaimana gigihnya Hinaka mempertemukannya kembali dengan cinta pertamanya.

Kouki mengangguk setuju. Ia juga merasa terbantu berkat partisipasi Hinaka mencari tahu siapa yang telah mengirimkan bunga matahari di lokernya, dan pertemuan kembali dengan Fumiko.

"Nah, nah, karena kamu juga menunggu Ryo-kun, silakan duduk, Fumiko-chan. Biar aku menuangkan teh untukmu." Mamoru berdiri, mempersilakan Fumiko menempati tempat duduknya.

"Ah, terima kasih sudah merepotkan." Fumiko mengangguk dengan sopan menerima tawaran. Namun saat hendak menempelkan pinggul ke kursi, bel pintu toko berkelontang pelan. Fumiko dan dua pemuda bersamanya langsung menodongkan kepala ke arah pintu.

"Okaeri, Ryo!" Mamoru menyapa terlebih dahulu.

Sakuraba Ryota terenyak di tempat begitu melihat kehadiran Kouki dan Fumiko di tokonya. Jika hanya sahabatnya itu sendiri tidak masalah, kendalanya adalah Hanazono Fumiko yang dekat dengan Hinaka.

Fumiko tidak jadi duduk, ia segera menghampiri Ryota dengan raut wajah penuh amarah. Gadis itu tidak mendengarkan panggilan Kouki yang hendak memintanya tetap tenang. "Aku tidak akan berbasa-basi, Sakuraba-senpai. Aku protes terhadap sikapmu terhadap Hinaka-senpai!"

Kouki menangkap kedua pundak Fumiko dari belakang, bermaksud menahan gadis itu untuk tidak lebih dekat lagi dengan Ryota, takut gadis itu akan main tangan pada sahabatnya. "Fumiko, tenanglah...."

Fumiko berhasil menahan seluruh emosi yang menggebu di dada. Ia menarik napas dalam-dalam, mengehelanya perlahan.

"Sudah tenang?" Ryota menyakinkan Fumiko seraya menyilangkan tangan di bawah dada. Lawan bicaranya dapat merasakan nada sinis yang dilontarkannya hingga gadis itu menggeram kesal.

"Fumiko, kita bisa bicara dengan Ryo baik-baik." Kouki kembali memberi nasihat.

Fumiko memberengut. "Aku tahu...."

Setelah Fumiko telah mengendalikan emosi, Kouki memanfaatkan waktu bicara dengan sahabatnya. "Ryo, tadi saat pembersihan kelas aku melihatmu bersama Ayame dan Ken. Apa kalian berdua sudah menjelaskan yang sebenarnya pada Ken?"

"Begitulah. Sudah tidak ada lagi permasalahan," jawab Ryota ringan.

"Lalu dengan Hinaka-senpai?" timpal Fumiko.

Ryota tidak membuka mulut, tampak enggan menanggapi pertanyaan Fumiko. Sontak sikap dingin itu membuat Fumiko semakin kesal.

"Aku memang tidak tahu perasaan senpai pada Hinaka-senpai, tapi aku rasa senpai sudah mempermaikannya! Kenapa harus memecat Hinaka-senpai tanpa sebab? Dia merasa senpai menyisihkannya demi kepentingan pribadi!"

"Fumiko...."

"Biarin aku bicara, Kou-san! Lihat wajah Sakuraba-senpai begitu tenang menanggapi kalimatku!" Fumiko menunjuk batang hidung Ryota bagai menunjuk pelaku kriminal yang tidak mengakui perbuatannya. "Habisnya... baru kali ini melihat Hinaka-senpai menangis! Mana mungkin aku bisa tenang?!"

Menangis. Kata itu terus terulang dalam benak Ryota. Ia berusaha mencari celah dari pengakuan Fumiko, berharap itu hanya bualan agar pertahanannya selama ini tetap bertahan melanjutkan rencana. Namun tidak ada pertanda gadis itu berbohong. Hinaka menangis karena rencananya. Kenapa Hinaka harus menangis demi hubungan Ayame dan Ken? Pasti bukan itu alasannya. Kemungkinan kedua ialah....

Tanpa sadar Ryota malah tersenyum, menutup mulut yang hampir mengeluarkan suara kekehan. Rencananya sukses, tapi tidak disangka hasilnya lebih dari yang dibayangkan.

Fumiko yang tidak dapat menerka isi kepala pemuda manis itu malah bersungut sebal. "Kenapa senpai malah tertawa?! Benar-benar tidak punya hati!"

Tidak ada gunanya menyembunyikan perasaan, begitulah pikir Ryota. Apalagi Kouki dan Mamoru ikut memasang wajah heran padanya. Ia menurunkan tangan yang menutup mulut, membiarkan mereka bertiga melihat senyumnya yang merekah.

"Aku tak akan memberitahukannya pada kalian, tapi satu hal yang harus kalian tancapkan di kepala kalian bahwa aku melakukannya karena aku punya hati."

Tidak ingin membahas lebih lanjut, Ryota melenggangkan diri menuju pintu belakang. Ia melambaikan tangan pada Kouki, berharap sahabatnya itu mengerti permintaannya untuk membawa Fumiko keluar dari tokonya. Lalu menepuk pundak Mamoru agar tetap menjaga toko seperti biasa.

Kouki percaya pada Ryota, mereka sudah berteman sejak kecil, karena itu ia yakin situasi akan kembali normal seperti biasa. Ia pun menenangkan Fumiko, membujuk gadis itu pulang bersamanya. setelah Kouki dan Fumiko pergi, Mamoru segera menyusul Ryota yang hendak menapakkan kaki ke tangga.

"Ryo-kun, apa benar kamu memecat Hina-chan?"

Ryota membalikkan badan. "Kau tahu sendiri nasib toko ini, bukan?"

Mamoru mengangguk. "Setidaknya kamu bilang baik-baik pada Hina-chan agar ia tidak salah paham."

Ryota terduduk di anak tangga. "Di situlah kesalahanku. Aku terlalu emosi karena Ken lebih percaya gosip daripada sahabatnya sendiri, Fuusawa datang dengan raut yang sama. Tanpa sadar aku menimpalkan semua kekesalah dan berkata padanya untuk tidak datang lagi ke toko ini." Pemuda itu meringis seraya menutup wajah dengan kedua tangan. "Kakko warui...."

Melihat Ryota menyesal Mamoru dapat bernapas lega. "Ryo-kun, cobalah bertindak lebih jujur di hadapan Hina-chan. Sebelum terlambat, kenapa tidak nyatakan perasaanmu yang sebenarnya? Aku bukannya bermaksud menggurui sebagai senior hidup, tapi aku tidak ingin kamu menyesal sepertiku."

Ryota hanya mengangguk, ia sudah tidak punya tenaga untuk membela diri. Karena tahu kesalahannya, ia sendiri yang harus memperbaiki sebelum Hinaka pergi jauh dari jangkauannya.

Writer's corner

Bab untuk tema "mistletoe" sebentar lagi selesai ><

Makasih udah baca~

Sampai ketemu di bab selanjutnya~

15 Agustus 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top