Mistletoe🌼03

Selama empat hari dalam minggu ini ujian tengah semester diadakan. Setelah itu libur musim dingin dari akhir bulan ini hingga awal bulan Januari. Walau libur musim dingin tidak selama musim panas, yang namanya vakansi sangat dinantikan oleh anak sekolahan.

Sayangnya, aku tak bersemangat seperti mereka. Liburan... itu berarti menetap di rumah seorang diri. Setelah dipecat dari kerja paruh waktu, kini aku tidak memiliki kegiatan khusus di hari libur nanti.

Daripada sendirian di rumah, lebih baik liburan ke rumah nenek. Nenek yang aku maksud ialah dari pihak ibu. Saat kecil aku lumayan sering liburan di sana, kampung halaman ibu di Shizuoka.

Aku ingat sekali ayah mengajakku ke taman bunga Tanbo wo Tsukatta di Nakachiku. Bunga-bunga bermekaran penuh warna di bawah pancaran sinar matahari. Berada di antara berbagai macam bunga di sana seakan menerbangkanku ke dunia fantasi. Bahkan saat kecil aku berharap menemukan peri bunga yang bisa jadi tengah bersembunyi di bawah kelopak.

Walau kali ini musim dingin, tidak mungkin menemukan ladang bunga di sana, setidaknya aku bersama orang-orang yang akan menerima kehadiranku. Setelah pulang sekolah akan kukirim pesan pada bibi mengenai rencanaku ini.

Baru saja tiba di loker untuk menukar alas kaki, beberapa pasang mata menyorotiku bagai seorang tamu salah kostum. Aku tahu penyebab mereka, tapi tetap bersikap seperti biasa dan tidak mempedulikannya. Tatapan dingin itu tidka hanya di luar kelas, bahkan di dalam pun begitu.

"Gadis tidak tahu malu."

"Berani-beraninya membentak Ouji di depan banyak orang! Dia pikir dia siapa?"

Aku hanya bisa menahan diri untuk tidak terpancing, menatap para penggosip maupun membalas kalimat mereka. Jika itu kulakukan sama saja dengan cari masalah! Lebih baik menghemat tenaga untuk ujian daripada meladeni bisik-bisik menyebalkan itu. Ditambah nasibku sedang beruntung karena tidak dirisak oleh penggemarnya Sakuraba.

Dua teman akrabku menghampiri saat aku sudah duduk di kursi. Sebelumnya aku tidak sempat memperkenalkan mereka. Gadis rambut panjang hitam nan cantik ini namanya Kiara, lalu gadis rambut cokelat agak kemerahan ini Rei.

"Hinaka-chan, aku sudah tidak tahan dengan kalimat mereka padamu. Aku ingin membelamu, tapi aku sendiri tidak tahu cerita sebenarnya." Rei terlebih dahulu berkeluh kesah padaku.

"Benar kamu bertengkar dengan Sakuraba-kun?" Lain sikap dengan Kiara yang lebih tenang, bertanya dengan nada pelan, tidak ingin menegangkan suasana.

Aku menghela napas dengan tenang. "Terima kasih kalian sudah mengkhawatirkanku, tapi aku tidak ingin memperbesar masalah. Bisa dibilang... masalah pribadi."

"Kamu... tampaknya akrab dengan Sakuraba itu ya? Terlihat dari cara reaksi dan jawabanmu. Apalagi aku tahu kamu bukan orang yang suka mencari perhatian."

Perspektif Kiara membuat mulut Rei menganga. "Benarkah? Sejak kapan? Kamu selalu bersama kami, tidak pernah sekalipun aku melihatmu bicara dengan Sakuraba itu."

Kiara mengamini kalimat Rei dengan anggukan. Aku tidak berniat menyembunyikan kedekatanku dengan Sakuraba-kun pada mereka. Hanya saja... rasanya tidak penting bercerita mengenai kerja paruh waktuku itu.

Andai kukatakan seperti itu pasti keduanya akan memarahiku, karena sebagai teman harus saling berbagi kisah kehidupan masing-masing, kan? Aku bisa dianggap tidak mempercayai keduanya.

"Dibilang akrab... aku sendiri bingung bagaimana cara menggambarkan kedekatanku dengannya," ungkapku agak ragu berterus terang. Pasalnya kedekatanku dengannya sekedar bos dan si karyawan paruh waktu. Namun kedua temanku ini tampak antusias, mencondongkan badan untuk mendengar bisikan.

Perhatianku teralihkan oleh bisikan di sana-sini. Di saat bersamaan seseorang memanggil namaku. "Hinaka-chan."

Ayame datang ke kelas. Aku menoleh dengan tatapan bingung. "A--Fujita-san?" Hampir saja aku memanggil nama kecilnya seperti biasa.

Tampak Ayame menyerngitkan dahi, pertanda risi dengan cara panggilanku padanya. Ia terlihat mengerti, tidak mengoreksi, langsung mengambil kursi terdekat, lalu duduk di sampingku.

"Aku juga heran kenapa sekretaris cantik seitokai, Fujita Ayame, mengenal Hinaka," gumam Rei, bersungut-sungut curiga.

Kiara menepuk pundaknya pelan, "Rei," memberi isyarat memberi Ayame ruang untuk bicara padaku.

Fujita Ayame, gadis itu selain populer ia juga bersikap anggun layaknya nona besar sungguhan. Ia duduk dengan punggung tegak, sorot mata menunjukkan keseriusan.

"Aku minta maaf karena telah membuatmu terlibat terhadap keinginan egoisku. Kamu bertengkar dengan Ryo-kun karena membelaku, bukan?"

Bisik-bisik siswa di kelas berdengung lebih keras. Aku melihat senyum manis kemudian beralih hambar di wajah Ayame. Ia merasa bersalah. Sontak aku menggoyangkan kedua tangan di depannya.

"Itu... juga salahku terlalu emosi. Kamu tidak perlu meminta maaf!"

Ayame meraih kedua tanganku. "Sebagian besar adalah tanggung jawabku, jadi sudah sepantasnya aku meminta maaf. Kamu jadi bahan gunjingan, hal ini tidak dalam perhitunganku. Harusnya Ryo-kun juga berpikir demikian."

Ia melepas tanganku, menutup mulut dengan tangannya segera. Ia hampir membongkar rencana di hadapan teman-teman sekelasku.

"Hinaka-chan..., aku sudah bilang kan, sebagian besar adalah tanggung jawabku... itu artinya sebagian yang lain tanggung jawab Ryo-kun. Tapi aku tidak bisa memperbaiki semua, karena itu... tolong untuk sementara biarkan kesalahpahaman tetap seperti ini."

Aku mengerutkan dahi. Dibiarkan? Kesalahpahaman antara Yaegashi-kun terhadap Sakuraba-kun? Itu ada sangkut pautnya dengan kamu sendiri lho, Fujita Ayame!

Tidak bisa! Selamanya Yaegashi-kun menyangka kalian berdua mengkhianatinya! Tentu saja aku ingin protes! Namun Ayame menggelengkan kepala, menghentikan kehendakku yang terbaca jelas di wajah.

"Lebih baik hentikan rencana egoismu, Fujita."

Kami sama-sama terkejut akan kehadiran Eto Kouki. Eto-kun memang sekelas denganku, tapi tidak disangka ia 'menegur', karena kupikir ia tipe yang tidak akan ikut campur urusan orang lain.

"Dari cerita Ken, sejak awal aku sudah curiga dengan tindakanmu. Bahkan kamu mengikutsertakan Ryo dan Fuusawa. Sebelum semua rencana itu berantakan, lebih baik kamu bicara baik-baik pada Ken. Minta maaf padanya!"

Sekilas aku mengamati reaksi Ayame, kedua tangannya mengepal erat di atas lutut. Ia tengah menahan emosi atas teguran Eto-kun. Ayame itu hampir setipe dengan Sakuraba-kun, tidak ingin digurui oleh siapa pun, tidak butuh pergantian rencana terhadap semua yang sudah disusun.

Ia pun berdiri, tidak menjatuhkan pandangan pada seorang pun di depannya. "Sebentar lagi bel akan berbunyi, aku ingin fokus untuk ujian nanti. Kalian juga, bukan? Maaf sudah mengganggu." Ayame melangkah pergi meninggalkan kelasku.

Eto-kun berdesah, suaranya agak keras hingga aku yakin teman-teman sekelas mendengarnya. "Fuusawa," setelah helaan ia malah memanggilku.

"I-iya?" Aku tersontak agak dibuat-buat karena tidak menyangka diajak bicara.

"Ken tidak pernah marah pada Fujita, sebagai mana keras kepala gadis itu, ia akan maklum. Tapi aku ingin kamu tidak seperti Ken saat menghadapi Ryo, tetaplah bersikap tegas padanya. Bagaimana cara mengatakannya ya?

"Ryo dan Fujita itu satu tipe, kupikir kamu dan Ken juga di sisi yang sama. Aku senang kamu bertengkar dengan Ryo demi Ken---bukan berarti aku benar-benar 'senang', hanya... aku bersyukur ada orang yang bisa menghadapi Ryo seperti yang kamu lakukan kemarin. Karena itu aku berharap kamu segera baikan dengan Ryo."

Aku setuju dengan kalimat pemuda itu. Setiap berselisih pendapat dengan Sakuraba-kun, dadaku terasa bolong. Namun pertengkaran kemarin terasa lebih mengerikan, sepihak ia mendorongku menjauh dengan isyarat kalimat "pemecatan".

Eto-kun pun melangkah ke tempat duduknya. Sementara kedua teman akrabku membelalakkan mata.

Rei meraih kedua pundakku, mengguncangkannya berkali-kali. "Jangan bilang di belakang kami kamu pacaran sama Ouji! Ngaku, ngaku!!! Gak ngaku pun di mataku kini kamu begitu!"

"Aku senang aja mendengar kamu sudah punya pacar, tapi kenapa tidak bilang pada kami?" Kiara malah ikutan histeris.

"Hah? Siapa juga yang mau pacaran sama makhluk Kutub Utara itu!" Aku terpekik tidak sengaja membeberkan semua perasaanku sesungguhnya mengenai pemuda yang dielukan sebagai pangeran sekolah itu. Ah, biar saja! Biar semua orang tahu sifat aslinya. "Sakuraba Ryouta itu sebangsa dengan Yeti, mulut berbisa seperti ular, serigala berbulu domba! Apanya yang pangeran dari shoujo manga! Dia itu antagonis film horor!!!"

Kiara menutup mulutku. "Te-tenanglah, Hinaka-chan...."

Aku menangkis tangannya."Bodo ameeet!!!" Ya, aku sudah tidak peduli dengan pendapat teman-teman di kelas biar mereka tahu sifat sesungguhnya si bishounen itu! Yang penting sekarang aku ingin melepas penat sebelum ujian! Biar hati tenang!

Rei memukul lenganku agak keras. "Hinaka! Orangnya ada di depan pintu kelas kita!!!"

Eh?

Secara horor leherku berputar ke arah pintu belakang kelas. Orang yang barusan saja kuhina seratus kali itu mematung di pintu, memasang senyum bak malaikat pencabut nyawa. Sedetik kemudian senyum yang hanya ditunjukkan padaku itu memudar. "Kou~ bisa keluar sebentar?"

Aku mengerjapkan mata berkali-kali. Jelas sekali ia ingin sekali melumatkan eksistensiku di dunia ini. Mungkin karena ia tengah berbaik hati serta menjaga image, ia mengalihkan seluruh perhatian pada Eto-kun.

Pemuda blonde itu menuruti permintaan Sakuraba-kun. Keduanya memang sudah pergi dari kelasku, tapi aku masih dapat merasakan aliran angin kutub mencekik leher.

Ga-gawat....

Sepulang sekolah kali ini... aku bakal mati!


Rumor: "Fujita Ayame mengkhianati Yaegashi Kensuke", "Cinta segitiga Sakuraba-Fujita-Yaegashi", maupun "Sebenarnya Yaegashi sudah berkhianat, karena itu Fujita beralih hati, dan entah kenapa orang itu adalah Sakuraba yang dianggap sebagai pasangan idealnya saat kelas satu lalu" beredar selama sepekan ini. Padahal hari ini ujian tengah semester akan berakhir, upacara penutupan sekolah sebentar lagi diadakan, rumor tidak sedap dibiarkan oleh tiga orang tersebut.

Aku hanya bisa geram sendiri. Yaegashi-kun tidak terlihat ceria seperti biasa, pulang seorang diri menghindari ejekan, bahkan menolak kehadiran Eto-kun yang hendak mengajaknya pulang bersama. Di sisi lain Ayame semakin lengket dengan Sakuraba-kun, dan entah kenapa setiap tiba di sekolah, saat istirahat, bahkan waktu pulang aku berhadapan dengan keduanya. Seakan... mereka sengaja sekali melakukan hal tersebut di depanku!

Tanpa sengaja aku mematahkan sumpit dengan kedua tangan.

"Hinaka-senpaiii...."

Teman makan siangku hari ini ialah Fumiko-chan. Gadis itu menjerit histeris begitu mendengar suara retak tersebut. Aku sengaja istirahat di luar gedung agar tidak bertemu dengan Sakuraba-kun, tapi kenyataannya lagi-lagi ia jalan bersama Ayame tepat di hadapanku!

"Aah, Sakuraba-senpai ya?" Ia pun mengalihkan perhatian ke mana mataku memandang. "Kou-san pernah cerita padaku mengenainya. Kalian bertengkar? Tidak hanya itu yang terjadi, kan? Biasanya senpai berdua bertengkar, dengan sendirinya baikan, tapi kali ini terlihat berbeda."

"Kau tahu? Aku malah dipecat!" ujarku berapi-api.

"Eeeh???"

Selama ini aku diam saja, tidak memberitahu Eto-kun, Yaegashi-kun, maupun siapa saja akan pemecatanku ini. Fumiko yang pertama. Jelas, karena Sakuraba-kun mengatakannya dengan suara pelan, hanya aku yang mendengarnya. Aku sedikit penasaran terhadap reaksi Fujimura-san akan ketidakhadiranku di toko selama sepekan ini.

Fumiko mengisihkan bekalnya dari paha ke bangku. "Senpai terima begitu saja? Tidak protes seperti biasa?" Ia terlihat lebih sebal daripada aku sebagai 'korban PHK'.

"Bagaimana caranya protes? Dia kan bos, berhak mempekerjakan dan memecat siapa saja."

"Me-memang, sih...." Fumiko kembali meraih bekalnya, kembali mengapit sumpit untuk mengaduk nasi. "Senpai," di tengah mengunyah ia memanggilku, "kapan pun aku bersedia membantu. Jangan sungkan menghubungiku. Selain berhutang budi, senpai udah seperti kakak bagiku."

"Terima kasih, Fumiko-chan." Tidak ada ekspresi yang bisa kuberikan selain senyuman padanya. "Akan kusimpan tiket 'call a friend' jika waktunya tiba."

Fumiko mengangguk dengan riang. "Bahkan menampar wajahnya, aku siap demi Hinaka-senpai. Akan kubilang 'Dasar pria bego! Kau campakkan kakak cantikku ini demi menyenangkan hati pacar sahabat? Otakmu sudah gila!'"

Aku tercengang. "Jika aku meminta, kamu benar-benar akan melakukannya?"

Fumiko malah tersentak dengan pertanyaanku, lalu terkekeh seraya menjitak kening dengan kepalan tangan memegang sumpit. Artinya itu hanya pengandaian, ia tidak mungkin berani melawan Sakuraba-kun.

Aku terkekeh. "Lagi pula aku tidak merasa dicampakkan, memangnya aku pacarnya? Hahaha...."

Tawa meledak bagai kembang api, sekali menyala lalu menghilang dalam sekejap. Mulutku mengatup rapat, kepala tertunduk menatap bekal di atas paha. Pernyataan 'bukan pacar' terasa menyakitkan di dada. Tentu saja kami tidak pacaran! Aku... bukan orang yang spesial di matanya. Aku... hanya karyawan yang duduk di kasir, menerima pesanan, dan pengusir serangga.

"E-eh, Hinaka-senpai! Kenapa menangis?"

Aku tidak tahu bagaimana ekspresi wajah kali ini, pun tidak sadar sejak kapan Fumiko memegang sapu tangan dan melap sesuatu di pipiku. Perlahan aku bisa mendengar detak jantungku sendiri, terpompa begitu cepat. Dada kembang-kempis tidak karuan. Mata dan hidung terasa panas dan berair.

Perasaan apa ini? Ya Tuhan, ada apa denganku?

Kenapa aku bertanya lagi? Seharusnya aku sudah tahu....

Bahwa sebenarnya aku....

Tengah cemburu.

Writer's corner

Kenapa ya, tiap nulis di wattpad baterai ponselku tinggal < 30% 😂 mau up tinggal 12%

wwwwwww

9 Agustus 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top