Mistletoe🌼02

Sakuraba-kun tampaknya antusias merancang sketsa karangan bunga permintaan Ayame. Selama dua hari ini ia menggores pensil di kertas dengan serius di toko. Di sekolah ia akan meminta pendapat Ayame untuk mendapat kesepakatan terakhir.

Pada dasarnya Sakuraba-kun menolak permintaan Ayame menyerahkan persediaan bunga di toko sebagai dekorasi pesta. Atas usulanku, ia setuju menjadi penanggung jawab dekorasi bunga tersebut dengan pasokan pada toko bunga besar atas nama Ayame. Mungkin karena itu ia merasa terbebani, ditambah harus merahasiakan rencana pesta ini dari Yaegashi-kun yang sekelas dengannya.

Hingga kini peranku belum digunakan oleh mereka berdua. Aku hanya bisa menuggu sampai Sakuraba-kun meminta bantuan jika rancangan dekorasi telah ditetapkan. Katanya Fujimura-san juga ikut membantu karena bagaimana pun karangan bunga tersebut nantinya mengatasnamakan Toko Bunga Sakuraba, otomatis semua karyawan harus bekerja!

Namun sebelum pekerjaan itu tiba... ada hal lain yang harus kuhadapi.

Yaegashi-kun sudah menungguku di depan pintu kelas, menghalangi jalanku masuk. Aku menatapnya seraya mengerutkan kening, bersyarat bertanya "apa maumu, anak muda!".

Pemuda itu menundukkan badan, menepuk kedua pundakku agak keras, dan sedikit meremasnya. "Naa, Hina-chan... jelaskan padaku...," suaranya di berat-berat seakan ingin menakutiku. Tiba-tiba raut marah itu berubah drastis menjadi wajah kehilangan harapan. "Kenapa Ryo dekat dengan Aya-chan! Kenapa? Ke-na-pa! Huweee!" Ia bertanya berkali-kali seraya menggoyangkan pundakku. Duh, kalian berdua pasangan serasi, suka sekali menguncang badan orang lain ya?

"Te-tenanglah dulu...."

"Kenapaaaaa...."

"Oi, dengarkan penjelasanku dulu!" Terpaksa aku menghariknya. Pemuda itu mencicit bagai anak kucing tersesat. Aku merapikan seragam dan berbatuk kecil agar murid-murid di sekitar membubarkan diri, menyatakan diri bahwa kami tidak tengah melakukan pertunjukan parodi.

"Anak muda, aku tahu kamu sedang cemburu," ujarku mengawali percakapan. Yaegashi-kun mengangguk cepat seraya mengepalkan kedua tangan di depan dada. Apa dia anak kecil yang tengah mendengar perkataan ibunya dengan seksama? "Itu artinya kamu menyayangi kekasihmu."

Dibilang begitu wajahnya langsung memerah dan mulut terbuka-tutup tidak jelas.

"Kamu tahu dengan baik keduanya, bukan?" tanyaku kemudian bersedekap. Ia kembali mengangguk dengan mantap. "Melihat mereka bicara berdua saja itu... apa pantas kau dicurigai?"

Pertanyaanku didiamkan, tepatnya ia tengah melumat petunjuk yang kuberikan. "Harusnya... tidak. Soalnya aku tahu Ryou sekarang suka dengan---" Ia segera menutup mulut dengan tangan, kedua matanya membulat sempurna.

Eh, eh? Tadi dia... mau membongkar rahasia? Tanpa sengaja aku mengerjapkan mata berkali-kali. "Eh, siapa, siapa?" Aku malah antuasias dengan topik lain, bermaksud melupakan kegelisahan pemuda itu.

Yaegashi-kun malah membuang muka, menjawab dengan mulut masih ditutup telapak tangan, "Rahasia!"

Aku mundur selangkah, menghela napas dengan gusar. Ini yang kukesali, yang namanya sahabat pasti tidak akan pernah membongkar rahasia jasmani dan rohani sohibnya! Yaa, tindakannya benar sih, tapi aku jadi penasaran, kan?

"Baiklah, aku tidak akan bertanya lebih lanjut," ujarku kemudian menarik lengannya agar menjauh dari pintu kelas.

"Hina-chan tidak penasaran?"

Aku menoleh padanya. "Penasaran, tapi tidak baik juga membahasnya tanpa adanya orang bersangkutan." Kukibas tangan kanan di depan wajah. "Lupakan, lupakan! Lalu kamu sendiri bagaimana? Tentang Ayame bicara dengan Sakuraba-kun?"

Pemuda itu mengantongi tangannya dalam saku celana, berpura-pura tidak lagi peduli. "Biar kutanyakan saja langsung."

"Lebih baik tunggu saja," aku memberinya saran.

"Langsung bicara pada Ryou, apa ia memang sudah beralih hati!" Yaegashi-kun malah melangkah pergi dengan cepat begitu saja.

Oi, oi, oi! Apa kamu mau mengajak sahabatmu sendiri berkelahi? Gawat! Bagaimana pun aku harus menengahi keduanya---

Tepat sebelum pergi, seorang murid yang baru saja tiba di lantai dua ini berjalan di depanku. Dia orang yang tepat menengahi keduanya.

"Eto-kun!" panggilku segera sebelum ia masuk kelas.

Lantas pemuda blonde itu melirik kebingungan. "Ya?" jawabnya ringan tanpa curiga.

"Aku tidak bisa menjelaskannya sekarang, tapi kamu harus mengejar Yaegashi-kun! Aku takut dia berkelahi dengan Sakuraba-kun!" Yang namanya cemburu, biar laki-laki maupun perempuan, meski saingannya sahabat maupun saudara kandung sendiri, pasti akan bertengkar!

Tanpa bertanya lebih jelas, Eto-kun mengangguk dan menerima permintaanku. Pemuda itu pun berbalik, melangkah dengan cepat menyusul Yaegashi-kun. Ia tadi juga sempat melihat teman akrabnya itu lewat tanpa membalas sapaan. Kurasa pertemanan mereka lebih berguna dalam kesalahpahaman ini daripada kehadiranku.

Ah, Ayame-chan, rencana manismu ini malah menimbulkan perkara!

Setelah meninggalkan tas di kelas, menitipkannya pada teman akrabku, segera aku menyusul dua pemuda itu walau tidak tahu harus mencarinya ke mana. Kelasku dengan Sakuraba-kun maupun Ayame memang berdekatan, tapi dilihat dari arah pergi Yaegashi-kun kutebak ia melihat kekasihnya bersama pemuda lain di koridor bawah, tidak jauh dari loker yang menjadi titik pertama siswa menukar alas kaki sebelum masuk gedung, dan agak sepi dari bisikan kerisihan siswa yang pasti akan iri melihat keakraban keduanya.

Aku mengerti kenapa Yaegashi-kun bisa cemburu pada sahabatnya sendiri. Sudah menjadi buah bibir sejak kelas satu bahwa keduanya termasuk siswa populer di sekolah. Sakuraba-kun yang dijuluki sebagai pangeran ideal, lalu Ayame ialah sosok nona muda enerjik nan manja. Keduanya pun sudah bergabung dengan seitokai, dielu-elukan sebagai pasangan sempurna. Namun, warga sekolah dibuat tercengang akan kabar Ayame berkencan dengan ace player dari klub baseball sekolah, Yaegashi-kun.

Suatu hari aku pernah bertanya pada Yaegashi-kun saat anak itu singgah ke toko untuk bersangai: siapa yang mulai melakukan pendekatan, siapa yang duluan menyatakan perasaan?

Dengan malu-malu ia menjawab, "Dibilang siapa yang duluan... kayaknya kita sama-sama saling melakukan pendekatan."

Dan Sakuraba-kun menyahut tanpa diminta. "Mereka berdua menjadikanku media perantara. 'Ryou~ kau kan seitokai, kenal itu... siswi... namanya Fujita Ayame-chan. Kenalkan aku padanya!'"

"Ryou! Cara bicaraku gak seperti itu!"

"Sakuraba-kun... pintar sekali meniru, ya?" ujarku takjub. "Sampai-sampai aku bisa membayangkan ekspresi Yaegashi-kun memohon padamu."

"Hina-chan jangan ikutan mengejekku, dong~!"

"Justru aku yang tersinggung!" Sakuraba-kun memelototiku yang hampir berseringai jahil.

Inti cerita, Yaegashi-kun meminta bantuan Sakuraba-kun untuk memperkenalkannya dengan Ayame. Sementara Ayame melakukan hal demikian, meminta Sakuraba-kun sebagai sahabat Yaegashi-kun agar mencari celah pendekatan. Selain menjadi seorang florist, ternyata Sakuraba-kun cocok jadi mak comblang.

Tinggalkan dulu cerita lama, sekarang aku tengah mencari mereka. Setelah berbelok, melewati sekumpulan anak kelas satu yang sibuk bergunjing---akhirnya aku tahu di mana mereka berada. Aku menelusuri koridor menuju belakang gedung. Dari dalam aku sudah mendengar keributan dari suara familier.

Benar saja! Sakuraba-kun adu mulut dengan Yaegashi-kun! Sementara Eto-kun kewalahan menengahi keduanya. Ayame-chan mana? Apa gadis itu sudah pergi sebelum Yaegashi-kun menghampiri.

"Tenanglah, Ken! Dinginkan kepalamu sebelum menuduh temanmu sendiri!"

"Kou! Sejak awal aku percaya pada Ryou! Mana mungkin sahabatku sendiri menusuk dari belakang! Tapi kamu, Ryou! Jawabanmu tadi sudah membuatku sakit hati!"

"Memangnya apa yang kamu katakan pada Yaegashi-kun?" tanyaku langsung memelototi Sakuraba-kun begitu tiba.

"Fuusawa?" Eto-kun terkejut akan kehadiranku. Dua pemuda itu juga berekspresi sama. Hanya yang kulihat Sakuraba-kun sempat berdecak sebal lalu membuang muka dariku.

"Naa, Ryou, jawab pertanyaanku kali ini: kau masih temanku atau tidak?" Yaegashi-kun melepaskan tangan Eto-kun yang menahan pundaknya.

"Ken, kalau sudah ada keraguan dalam hatimu mengenai pertemanan kita, lebih baik kau tidak usah lagi menyapaku."

Mulutku menganga lebar. Ternyata anak ini bisa dingin pada kawan karibnya sendiri! Seharusnya Sakuraba-kun bisa bersikap lebih dewasa, tidak terbawa arus emosi, tapi kali ini ia seakan tidak ingin mengalah pada Yaegashi-kun.

"Ryou, barusan kamu tidak sungguh-sungguh mengungkapkannya, kan?" Eto-kun bertanya dengan nada tenang. Meski begitu tatapan matanya teduh tersirat kepedihan. Sebagai teman ia pasti merasa kecewa dengan pernyataan tersebut.

Tanpa menjawab, Sakuraba-kun malah beranjak pergi, masuk ke gedung dengan langkah seperti biasa.

"Ryou!" pekik Yaegashi-kun. Ia lagi-lagi ditahan Eto-kun agar tidak maju menambah permasalahan.

"Biar aku yang bicara padanya," usulku seraya memberi tatapan serius. "Satu hal yang bisa kukatakan, semua ini hanya salah paham. Aku yakin Sakuraba-kun tidak akan mengkhianatimu sebagai teman."

Yaegashi-kun terlihat lebih tenang. Ia mengangguk, memberiku kepercayaan. Sebagai basa-basi aku tersenyum sebelum berbalik badan meninggalkan keduanya untuk bicara sebagai sahabat. Aku yakin Eto-kun akan mendengarkan keluhan Yaegashi-kun dan mengingatkan bahwa ikatan persahabatan mereka tidaklah dangkal.

Ya, aku yakin itu.

"Sakuraba-kun!"

Aku berhasil menyusulnya. Ia tidak terlihat berusaha menghindari dengan melangkah lebih cepat ataupun mengacuhkan panggilanku, padahal tadi aku sempat menyangka ia akan bersikap dingin. Ia berhenti, tapi enggan memperlihatkan raut wajahnya.

"Kamu mau menerima saran dariku atau tidak?"

"Hah?" Ia merespon dengan nada gerah.

"Soalnya aku tahu kamu akan menyemprotku dengan kata-kata sedingin es, karena itu aku bertanya terlebih dahulu sebelum mengungkapkan pendapat."

Ia tidak langsung menjawab. Aku malah baru sadar ini pertama kalinya aku mengajak pemuda ini bicara secara langsung di sekolah. Jangankan bercakap-cakap dan saling melempar ejekan seperti di toko, menyapanya saja aku tidak sanggup. Penggemarnya akan menagetkanku sebagai bahan gunjingan! Karena itu, kediaman di antara kami membuatku gugup sendiri.

Ia akhirnya menatapku. "Saranmu apa?"

"Beritahu Yaegashi-kun yang sebenarnya."

"Ditolak."

"Aku tahu! Kejutan tidak lagi menyenangkan jika diberi tahu. Tapi... mau sampai kapan kesalahpahamanmu dengan Yaegashi-kun berlanjut? Kita tanyakan saja langsung pada Ayame, meluruskan permasalahan dan---"

Aku terdiam sesaat. Aa shimatta! Aku udah banyak omong! Dia kembali membuang muka, diam seakan menahan diri memarahiku karena sudah mengguruinya.

"Kau pun tak mempercayaiku?"

"Ini bukan masalah percaya atau tidak," ungkapku tegas. "Ini mengenai keputusanmu sebagai sahabat Yaegashi-kun dan pemilik toko bunga!"

"Jawabanku tetap sama." Ia kembali melangkah, yang bagiku terlihat tengah melarikan diri dari tatapan heranku.

"Lain halnya jika kamu diam-diam punya rasa terhadap Ayame-chan!"

Kalimatku membuat langkahnya berhenti. Ia sedikit menggerakkan badan, menoleh ke belakang. "Kau tahu apa mengenai isi hatiku?"

Seketika tubuhku membeku, pertanyaan ganjil itu terdengar pilu dan menghujam langsung ke dadaku. Benar juga. Selama ini aku selalu ikut campur tanpa peduli isi hati orang lain---atau malah aku telah berpura-pura tidak tahu menahu perasaan orang lain.

Sakuraba-kun mendengus. "Uh, tak tahu, bukan? Lebih baik kau diam saja."

Ia melangkah, meninggalkan jejak kepedihan. Kenapa sih sikapnya dingin seperti itu?! Bisa tidak untuk berkata terus-terang tanpa menyelipkan teka-teki?

"Mana aku tahu! Kau tak pernah bilang!" Tanpa sadar aku sudah berteriak dan tidak peduli akan tatapan murid yang ada di koridor ini. "Yaegashi-kun pun begitu, meski dia teman dekatmu, ia tidak akan tahu isi hatimu kecuali kamu yang bilang! Kamu ingin orang lain peka terhadap perasaanmu, sementara kamu sendiri bersikap egois untuk tidak peduli terhadap perasaan orang lain!"

Aku tahu kalimatku sudah keterlaluan. Tidak pantas aku menuduhnya sepihak, pasti ia memiliki alasan mengapa bersikap dingin pada sahabatnya sendiri. Akan tetapi, aku sendiri sudah gerah dengan sikap egoisnya itu!

Ia malah berbalik, melangkah, dan berdiri di depanku. Tanpa menundukkan kepala, kedua matanya yang kontras melihatku bagaikan seonggok serangga yang dibencinya.

"Kau tidak usah lagi datang ke tokoku."

Isi dadaku serasa diremas hanya dengan tatapan intimidasi dan kalimat dingin itu. Ia melangkah pergi tanpa menjelaskan kalimat tersebut.

Apa maksudnya... barusan itu?

Apa itu tandanya... aku dipecat?

"Ne, Sakuraba-kun... hontou wa atashi no koto... kirai ka?"

Jika sejak awal aku hanya menyusahkanmu, kenapa baru sekarang kamu mendorongku pergi dengan cara seperti ini?

Kau tahu... satu-satunya cara agar aku bisa dekat denganmu hanya di toko bunga itu. Kini aku tidak tahu harus bagaimana.... Menyusul lalu meminta maaf padamu? Memohon agar tetap dipekerjakan di toko itu?

Tidak. Sebenarnya bukan itu yang aku inginkan. Aku sendiri tahu sebenarnya ada satu bibit rasa yang entah sejak kapan tertanam dalam dada, mulai berkembang dan meletup-letup dengan sendirinya. Sayang, saat bibit itu mulai berbunga, perlahan layu dan menguncup.

Terlambat kah?

Sesungguhnya 'peduli' bukan berarti ia memiliki rasa padaku. Harusnya aku sadar diri, tidak langsung besar kepala seakan bisa tetap selamanya di sisinya. Tentu saja ia memiliki orang yang disukai, kenapa aku malah kecewa seperti ini?


Writer's corner

Kayaknya aku berbakat nulis drama mewek wwwwww
Mungkin ke depannya aku bisa jadi penulis skenario sinetron Indosiar, SCTV, ataupun RCTI :v wwwww

//nilai sendiri, belum tentu pembaca ikutan mewek 😂

7 Agustus 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top