Forget-Me-Not🌼06

If you wish to left
just go wherever you want to
But, if you want to know
that me
The one who never
forget anything of you

Minggu menjadi hari bebas dari tugas sekolah, tapi juga hari kerja penuhku. Hari ini tidak ada yang spesial, berjalan seperti biasa. Tapi dengan kemurahan hati Sakuraba-sama, kami merencanakan sebuah tipuan sederhana untuk Fujimura-san. Meski tidak ada jamin kesuksesan.

Target baru saja pulang sehabis mengantar bunga. Ia meletakkan sepedanya di samping toko, lalu masuk dengan senyuman riang menghampiri Sakuraba-kun yang tengah menata bunga di pot.

"Pesanan baru?" tanyanya bersemangat untuk mengantar.

Sakuraba-kun mengangguk. "Tepat sekali hampir selesai." Setelah semua bunga tertata cantik, bingkisan itu dibungkus dengan plastik tipis agar tatanannya tidak rusak saat diantar. Terakhir diberi pita warna merah hati. "Ini antarkan."

Fujimura-san membaca alamat di selembar kertas yang diberikan Sakuraba-kun. Biasanya alamat penerima ditulis olehku, tapi kali ini dengan tulisan tangan Sakuraba-kun. Karena jika ia tahu aku yang menulis pasti ia curiga. Walau begitu raut wajahnya langsung mengeras, senyum di bibirnya menghilang. Alamat yang tertera tidak lain nama rumah sakit, nomor ruangannya, dan nama menerima, 'Ageha-sama'.

"Kenapa mematung begitu? Cepat antar!" Sakuraba-kun ketus seperti biasa, entah ia bisa berakting atau tidak merasa deg-degan mengikuti rencana.

Fujimura-san melirikku. "Hina-chan membicarakan dia pada Ryo-kun?"

Iya, kan? Ia langsung menebak akulah pelaku dibalik buket bunga itu. Karena tak pandai berkilah, aku hanya diam di tempat dudukku.

"Membicarakan apa? Cepat antarkan. Nanti pelanggan kita menunggu kelamaan."

Fujimura-san mengalihkan pandangan, lalu menatap Sakuraba-kun agak lama, seakan mencari kebenaran di balik pandangan Sakuraba-kun yang ketus.

"Aku... tidak bisa mengantarkan pesanan ini." Ia menolak, mundur selangkah, tampak enggan mendekati buket bunga tersebut. "Tidak akan."

"Apa masalahmu, Mamoru?" Sakuraba-kun bersedekap dengan ekspresi heran. "Sebagai pegawai, baru kali ini kamu menolak mengantar pesanan."

"Kalian bersekongkol atau tidak, aku tetap tidak akan mengantar bunga ini."

"Fujimura-san, tidakkah ingin sekali saja menemui Ageha-san? Dia dirawat di rumah sakit, tidak ada rasa ingin menjenguk?"

"Hina-chan jangan sengaja menyuruhku dengan mengantar bunga. Tindakanmu ini... sungguh picik!"

"Mamoru, aku tidak tahu masalahmu, tapi kini posisimu adalah pegawaiku, dan kau harus mengantar pesanan. Cukup. Setelah itu kembalilah dengan segera."

"Ryo-kun juga? Ayolah! Meski aku menyukai kalian seperti adik yang manis, tapi aku tidak suka disudutkan oleh orang yang lebih muda! Kalian...."

Fujimura-san menahan emosinya. Meski ia telah kami dorong pada suatu kondisi, ia tetap tidak menaikkan desibel suara demi melampiaskan perasaannya. Ia terlihat dewasa, meski begitu tetap keras kepala tidak ingin menemui Ageha-san. Sebenarnya bagaimana perasaan Fujimura-san terhadap Ageha-san? Sampai-sampai tidak ingin bertemu.

"Lalu pesanan ini bagaimana?" tanya Sakuraba-kun dengan nada kesal.

"Biar aku saja yang mengantarnya," ujarku kemudian. Aku meninggalkan meja kasir, menghampiri Sakuraba-kun. "Jika kamu izinkan."

Sakuraba-kun mengehela napas. "Terserah." Ia pun berlalu, ke ruang belakang.

Aku pun mengambil parsel bunga itu. Berjalan melewati Fujimura-san yang terdiam di tempat, enggan melihatku. "Titip kasir," ujarku pengganti kata pamit. Dengan hati berat aku pergi ke rumah sakit berjalan kaki. Rencana kali ini tidak berhasil, sudah diduga sebelumnya.

Aku mengetuk pintu kamar inap Ageha-san. Yang ada di balik pintu itu bukan ibunya Ageha-san seperti sebelumnya, tapi seorang pria dengan jas putih melekat di badannya. Kemungkinan ia adalah dokter.

Aku menganggukkan kepala padanya. "Permisi--"

"Rasanya kami tidak memesan bunga." Ia langsung memotong kalimatku dengan tatapan curiga. Tadi apa katanya? 'Kami'?

"Ah, memang bukan pesanan," jawabku agak gelagapan.

"Bukan pesanan lalu kenapa kau ke sini? Kau karyawan toko bunga itu, kan?"

Keningku agak berkerut. Kalimatnya itu... berarti ia salah satu pelanggan toko bunga Sakuraba. Uuh, aku tidak ingat. Sekali-dua kali saja aku tidak bisa mengingat wajah pelanggan.

"Saya datang untuk menjenguk," ujarku sebelum ia semakin salah paham akan kehadiranku.

"Menjenguk?" Pria di hadapanku semakin mencurigai kehadiranku. Tatapannya begitu tajam bagai menemukan pencopet kelas teri yang hendak beraksi. Lalu tatapannya yang menakutkan itu perlahan melunak. "Ah, benar juga. Kamu yang membawa Shion-chan beberapa waktu lalu. Kemarin kau pakai seragam, sekarang baju bebas. Maaf sudah salah sangka."

Aku bernapas lega. Hebat juga orang ini ingat wajahku walau sekali bertemu. Ah, benar juga, dokter ini yang saat itu tergesa menyusul begitu Ageha-san dibawa para perawat.

"Masuklah. Urusanku juga sudah siap." Ia permisi dan berlalu begitu saja.

Aku pun masuk, mengucapkan 'permisi' dengan suara pelan. Kutengok Ageha-san dari balik tirai hijau muda, seperti biasa wanita muda itu terbaring lemah di ranjang.

"Selamat siang, kakak," sapaku.

"Hinaka-chan!" Aku bersyukur melihat wajahnya ceria menyapa. "Kamu bawa bunga?"

Aku mengangguk. "Untuk kakak!"

Tangan kirinya bergerak menyuruhku duduk di samping ranjangnya. Aku pun duduk, memperlihatkan buket bunga padanya.

"Apa saja nama bunga dalam pot ini?"

Aku menunjuk satu per satu dan menyebut namanya. "Ini bunga mawar putih, yang ini kuning, lalu ini gerbera, ini lili, ini wasurenagusa...." Saat kusebut bunga forget-me-not yang sama di dalam bundel kalungnya matanya terlihat teduh. "Lalu ini bunga shion! Aster warna ungu."

"Aku mau memegangnya."

Aku ambil satu tangkai aster ungu, kuserahkan padanya.

"Cantiknya.... Bunga ini jadi favoritku juga!"

"Bunga yang lain boleh kutaruh di meja itu?" tanyaku menunjuk ke meja di mana sudah ada pot bunga lain di sana.

Ageha-san mengangguk, memberi persetujuan. Aku pun meletakkannya di sana lalu kembali ke tempat dudukku.

"Maaf ya kak, sampai sekarang aku belum bisa membujuk Fujimura-san menjenguk kakak...."

"Tidak apa."

Walau ia berkata begitu, aku bisa melihat makna dibalik kata 'tidak apa'. Aku yakin sebenarnya ia sangat ingin bertemu dengan Fujimura-san.

"Jangan dipaksakan ya, Hinaka-chan. Aku takut Fujimura-kun membenciku maupun Hinaka-chan. Jika ia tidak hendak menemui, tidak apa. Lagi pula sejak awal kami tidak memiliki hubungan khusus. Hanya teman."

"Tapi... jika Fujimura-san tidak punya perasaan apapun pada kakak, kenapa ia masih mengenakan kalung pemberian kakak? Jika sudah dari dulu ia menyerah pada perasaannya, seharusnya ia menyimpan kalung itu."

"Bisa saja kan, Fujimura-kun memakainya karena menghargai pemberian orang lain?" Ageha-san tertawa, tampak dipaksakan. "Sejak dulu dia memang orang yang baik pada siapa pun."

"Shion-chan masih memiliki rasa terhadap laki-laki itu?"

Aku dan Ageha-san dikagetkan dengan suara berat yang tak disangka. Aku menoleh, mendapati dokter tadi berdiri di belakangku. Tatapannya lekat pada Ageha-san seakan meminta jawaban pasti. Ageha-san sendiri langsung mengalihkan pandangan.

"Aku memang tidak tahu siapa laki-laki di masa lalumu, tapi kau sudah berjanji padaku untuk melupakannya kan? Itu semua juga demi kesehatanmu. Jangan membebani pikiranmu hanya karena pria lain."

Aku terperangah, baru sadar situasinya tidak semudah yang kukira. Aku memegang lengan Ageha-san pelan, "Aku... pamit dulu, kak."

Tidak ada alasan bagiku di tengah hubungan orang lain. Karena itu aku memilih mundur.

"Kamu tahu siapa pria itu?" tanya dokter itu saat aku melewatinya.

Aku hanya terdiam di tempat, bingung harus menjawab bagaimana.

"Sudahlah. Aku juga tidak peduli. Pulanglah. Jika kau bertemu dengannya, katakan saja bahwa ia tidak perlu khawatir akan Shion-chan dan bisa melupakan seutuhnya."

Aku menoleh sedikit padanya, menganggukkan kepala sedikit, lalu beranjak dari ruangan inap itu. Dari balik pintu aku masih mendengar samar-samar suara ketidakterimaannya dokter itu pada perasaan Ageha-san. Aku semakin merasa bersalah karena sudah terlalu ikut campur urusan orang lain tanpa tahu permasalahan dan kondisi latar mereka.

Bunkasai tinggal menghitung hari. Ramalan cuaca mengatakan dalam dua hari acara tersebut akan cerah. Semoga saja. Karena sebagai murid biasa, bunkasai merupakan acara yang paling kutunggu. Namun... kali ini aku pergi ke sekolah dengan semangat rendah.

Kenapa? Mungkin karena kejadian lalu di ruang inap Ageha-san. Perasaan bersalahku bertambah karena tidak mempertimbangkan kehadiran orang ketiga. Karena itu Ageha-san pun bertengkar dengan dokter itu.

Bus yang biasa kutumpangi pergi ke sekolah telah meninggalkan halte. Aku hanya termangu melihatnya pergi. Salah sendiri jalan lambat dengan kepala menunduk. Aku benar-benar melupakan waktu keberangkatan bus tersebut.

Pandanganku berhenti pada seseorang yang mengenakan seragam yang sama denganku. Ia duduk dengan tenang sambil bersedekap. Aku menghampirinya dengan keheranan. "Sakuraba-kun, kenapa tidak naik bus tadi?"

"Ah, Fuusawa ya?" Ia menoleh seakan baru menyadari keberadaanku. "Terlalu ramai," jawabnya sederhana.

Bohong. Entah kenapa aku berpikir demikian. Yang jelas bus keberangkatan jam tujuh ini tidak terlalu ramai penumpang. Dari jauh saja aku cukup yakin menerawang jendelanya yang berdiri hanya dua-tiga orang. Atau...?

"Sudah tidak ada tempat duduk ya?" terkaku dengan suara pelan. Tanpa permisi aku duduk di sampingnya. "Kupikir Sakuraba-sama pergi ke sekolah dengan limusin."

"Mau parkir di mana? Ruko-ku sempit."

"Jadi benar punya limusin?" kagetku berlebihan.

"Kenapa kau berpikir demikian?" Ia menimpaliku dengan seulas senyuman.

"Soalnya... selama ini aku tidak pernah melihatmu naik bus ke sekolah. Jika pernah, pasti sesekali bertemu."

"Naik bus, kok. Mungkin jadwal pergi kita berbeda."

Aku menjawab dengan gumaman.

"Kemarin apa yang terjadi? Sekembali dari rumah sakit, kau tidak banyak bicara."

Aku meliriknya sebentar, lalu mata kembali menatap ke depan. Tidak ada objek yang menarik, hanya para pejalan kaki di seberang sana yang mempergegas langkah. Lalu toko sepatu yang baru saja menaikkan rolling door.

"Aku ... tidak akan lagi ikut campur. Aku akan minta maaf pada Fujimura-san."

Sakuraba-kun tidak merespon cepat. Beberapa detik setelah keheningan ia bergumam. "Jika itu keputusanmu, lebih baik jangan mengungkit hal-hal yang tidak perlu."

Aku mengangguk, mencoba menanamkan saran itu dalam otak agar tidak melupakannya.

Kami tidak banyak bicara. Setiap menit berlalu, calon penumpang pun semakin bertambah di halte ini. Sepuluh menit kemudian bus lain pun tiba. Kami bersegera mengambil tempat agar tidak ketinggalan.

Ada beberapa siswi dari sekolah kami yang sudah ada di dalam. Mereka melirik Sakuraba-kun dan saling berbicara pelan membicarakan eksistensinya. Sebagai gadis yang tahu malu, aku selangkah menjauhinya. Seakan tahu tindakanku, tangannya dengan cepat menarik pergelangan tanganku.

"Duduklah."

Aku melirik pada satu kursi single kosong. Kupikir ia sengaja berdiri di sana, menghalangi penumpang lain untuk menempatinya.

"Untukku?" tanyaku sembari menempelkan jari telunjuk ke hidung.

Ia mengangguk. Aku malah tersipu dengan sikapnya memberiku tempat duduk. Padahal kupikir ia tidak akan ingin berdiri sampai tiba di sekolah. Aku masih tidak percaya dan tetap berdiri di tempat sampai bus berjalan.

"Kelamaan." Ia malah menghamburkan diri ke kursi tersebut.

Mataku melirik dengan tatapan protes.

"Kau sendiri yang terlambat mengambil kesempatan. Dan lagi, kau cukup kegirangan dipersilakan duduk oleh seorang laki-laki ya?"

"Uuukh, mukatsuku...," lirihku geram ingin sekali mengacak rambut ikalnya itu.

Saat hendak beranjak mencari tempat berdiri yang lebih nyaman dari bisikan para siswi, pergelangan tanganku ditahannya.

"Jadilah tameng," titahnya dengan suara pelan tapi tegas, tanpa ada niat melonggarkan genggamannya.

Oi, Sakuraba-kun! Kamu tidak sadar bahwa nyawaku kini tengah terancam?!

Tengkukku berdiri kala merasa tatapan dingin di balik punggung. Begitu kutolehkan pandangan para mereka, tatapan tajam dengan hasrat permusuhan dihujam padaku. Buru-buru aku kembali menatap ke depan, berdoa dalam hati semoga tidak jadi bahan gosip di sekolah nanti!

>>bersambung
Forget-Me-Not🌼07
#NgabubuRead ✌

Publikasi:
5 Mei 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top