Forget-Me-Not🌼05



Aku telah melakukan kesalahan.

Meski begitu, setelah keluar dari toilet, bersamaan dengan kedatangan Yaegashi-kun membawa pesanan, Fujimura-san keluar dengan senyuman seperti biasa. Mendengar suara lengkingnya Yaegashi-kun, Sakuraba-kun pun turun dan menemui kami.

Walau makan malam saat itu berjalan seperti biasa, aku rasa kediamanku yang tak sanggup mengikuti candaan Fujimura-san dicurigai Sakuraba-kun yang terlalu peka terhadap gerak-gerik mataku. Aku menyadarinya, dia tahu tapi tetap tidak berkata apa-apa, tetap membalas cerita Fujimura-san seperti biasa.

Seharusnya aku minta maaf, tapi jika dipikir ulang aku sama sekali tidak bersalah. Hanya telah tidak sadar--tidak, sebenarnya aku sengaja menyentuh titik sensitif perasaannya Fujimura-san karena keingintahuanku akan reaksinya. Jahatnya aku. Padahal aku belum mengenal Fujimura-san tapi sudah bersikap sekehendak hati memainkan perasaannya.

Daripada menemui pria itu, sepulang sekolah aku malah ke rumah sakit. Hendaknya ingin membawa bunga sebagai penghibur, tapi aku tidak tahu bunga apa yang disukai wanita itu maupun bunga apa yang pantas diberikan padanya. Dan lagi, toko bunga terdekat hanya toko bunga Sakuraba, itu berarti aku harus ke sana dan bertemu Fujimura-san, bukan?

Aku memasuki gedung rumah sakit itu dengan sikap setenang mungkin. Jantungku berdegup aneh seakan ingin membuat kejahatan. Meski begitu, jujur saat ini aku sangat gugup. Ini bukan kali pertama menjenguk seseorang di rumah sakit, hanya saja orang yang kutemui baru kekenal kemarin--berkenalan pun tidak.

Sampai di depan koridor bangsal penyakit dalam degup jantungku perlahan kembali normal. Aku bernapas lega karena tidak dicurigai. Saat kaki melangkah, pandanganku bertemu dengan perawat yang kemarin. Ia melirikku dengan kerutan di kening. Kupikir ia akan mengabaikanku, ternyata malah menghampiriku dengan langkah tergesa.

"Jangan bilang kalau kamu ingin menjenguk Ageha-san?"

Aku mengangguk gugup. "Tidak boleh ya?"

"Tentu saja boleh." Ia pun tersenyum dengan ramah. "Maaf soal kemarin ya? Kami begitu cemas. Aku juga tidak sempat mengucapkan terima kasih padamu sudah mengantar Ageha-san kembali. Mari kuantar ke kamarnya."

Ia berjalan terlebih dahulu. Aku pun mengikutinya.

"Apa Ageha-san menerima kedatanganku? Aku tiba-tiba saja menjenguk tanpa janji," tanyaku cemas.

"Menurutku ia akan senang. Apalagi selama ini sudah tidak ada lagi yang menjenguknya."

Sudah tidak ada yang menjenguk? Aku tertegun dengan perasaan iba. Sudah berapa lama Ageha-san dirawat? Penyakit apa yang diderita sampai harus dirawat?

Kami keluar dari koridor bangsal, terus menaiki tangga ke lantai atas.

"Ageha-san tidak dirawat di bangsal?" heranku.

"Tidak. Ageha-san dirawat di kamar khusus. Lewat sini lebih dekat ke kamarnya."

Ternyata benar ucapan perawat itu. Setelah tiba di lantai dua, melewati tiga pintu kami tiba di depan pintu kamar dengan papan nama 'Ageha Shion'. Aku pun jadi tahu nama panjang kakak itu.

Perawatan mengetuk pintu dua kali. "Permisi." Lalu menggeser pintu perlahan.

"Tachibana-san? Apa ada yang tertinggal?" Suara yang menyapa adalah suara wanita yang agak berusia.

"Bukan. Saya mengantar tamu untuk Ageha-chan."

Seorang wanita kira-kira usianya empat puluhan ke atas menghampiri kami. Ia menatapku kebingungan.

"Adik ini yang mengantar Ageha-chan kemarin." Perawat itu pun menjelaskan kehadiranku untuk berkunjung.

"Hajimemashite. Saya Fuusawa Hinaka." Untuk sementara aku memperkenalkan diri dengan sederhana, membungkukkan badan dengan sopan padanya.

"Ah, iya, salam kenal. Saya ibunya Shion. Terima kasih atas bantuan Fuusawa-chan kemarin. Silakan masuk." Tidak kusangka ibunya Ageha-san menyambut kehadiranku dengan ramah.

"Kalau begitu saya undur diri," ucap perawat.

"Terima kasih," ujarku padanya.

Perawat itu pun pergi, aku dipersilakan masuk oleh ibunya Ageha-san. Di balik layar ada suara Ageha-san menanyakan keadaan dengan suara lemah.

"Ada apa, Bu?"

Aku menundukkan badan sebagai salam sopan padanya. Ia membalas dengan senyum. Wanita dengan paras yang anggun dan tatapan mata yang teduh. Sayang, ia terbaring dengan impus terpasang di pergelangan tangan. Kepalanya menoleh pelan ke arahku.

"Kamu ya?"

"Konnichiwa, oneesan. Bagaimana keadaan kakak saat ini?" tanyaku berbasa-basi.

"Berkat dirimu, lebih baik dari sebelumnya."

Meski dijawab begitu aku tahu kondisinya berbeda dari ucapannya.

"Ibu, bisa tinggalkan kami berdua?"

"Aduh, pembicaraan apa sampai ibu tidak boleh ikutan?"

Ageha-san terkekeh pelan.

Ibu Ageha-san memegang pundakku dengan lembut. "Kalau begitu bibi keluar dulu ya."

Aku menganggukkan kepala. Setelah ibunya Ageha-san keluar, aku menghampiri kursi yang ada di sisi ranjang.

"Maaf menjenguk tanpa bawa apapun," ungkapku kembali berbasa-basi.

"Tidak apa. Silakan duduk... itu... maaf, aku lupa namamu."

"Fuusawa Hinaka."

"Hinaka-chan." Ia mengulangi namaku. "Katanya kamu bekerja di toko bunga itu, ya?"

Aku mengangguk. "Kerja paruh waktu. Kebetulan rumahku juga tidak jauh dari sana."

"Begitu ya?" Kepalanya bergerak ke arah berlawanan, matanya menoleh pada meja dekat jendela. Di atasnya ada sebuah pot dengan berbagai macam bunga dan warna. "Bunga itu juga dari sana."

"Benarkah?" Aku agak terkejut, tapi seharusnya juga tidak lagi mengingat toko bunga Sakuraba telah sering menerima pesanan ke rumah sakit ini maupun pelanggan untuk menjenguk.

"Kakak suka bunga apa?" tanyaku.

"Entahlah. Di mataku semua bunga sama saja."

"Meski nama kecil kakak shion?"

Ia menoleh padaku dengan mata sedikit melebar, lalu tertawa kecil. "Benar juga ya? Aku juga tidak mengerti kenapa orangtuaku memberi nama bunga padaku?"

Saat pertama kali bekerja, Sakuraba-kun menyuguhkanku buku kumpulan hanakotoba, bahasa bunga. Tidak semua bunga mendapatkan padanan bahasa Jepang. Meski begitu hanakotoba yang dimilik masing-masing bunga begitu romantis. Shion, salah satu jenis bunga aster, bahasa Inggrisnya Tartarian Aster. Bentuknya sama dengan aster lain, hanya saja warnanya ungu. Sangat anggun. Shion sendiri ditulis dengan dua kanji--紫苑--, 'murasaki' ungu, dan 'sono' taman.

"Kakak tahu artinya bunga shion?" tanyaku.

"Hm, entahlah.... Apa artinya bagus?"

"Semua bunga memiliki makna yang indah. Hanya sedikit saja yang sedih," ungkapku malah teringat buket bunga di bawah hujan kelabu. Aku memasang senyum untuk mengusir perasaan sedihku. "Artinya sama dengan bunga yang ada dalam kalung kakak. Forget-me-not."

Kedua matanya melebar. Kurasa selama ini ia tidak tahu arti namanya sendiri. Aduh, kenapa ibunya tidak memberi tahu? Bukannya sebagai orangtua harusnya menceritakan alasan memberikan nama pada anaknya? Anggap saja sudah, tapi Ageha-san melupakannya, atau orangtuanya yang lupa memberi tahu.

Ageha-san tersenyum sembari mengelus anak kalungnya dengan jari telunjuk kiri. "Bodohnya aku selama ini tidak menyadarinya." Ia menaikkan sedikit anak kalungnya itu, memperlihatkannya padaku.

"Saat itu teman-teman di kelas membicarakan kalung keberuntungan percintaan yang tengah populer. Mereka sepakat membelinya sepulang sekolah. Sayangnya aku tak bisa ikut karena harus pulang.

"Sejak kecil jantungku sudah kemah. Beranjak remaja, kondisiku pun membaik, aku bisa bersekolah dengan normal. Tapi saat SMA kondisi jantungku kembali lemah. Dokter bilang aku terlalu kelelahan. Orangtua memintaku pulang begitu sekolah selesai. Aku tidak ingin, bisa-bisa dianggap anak yang membosankan.

"Untuk menutupi kondisiku pada teman-teman, aku menghindari ajakan mereka dengan alasan les atau kegiatan klub. Padahal klub itu hanya aku anggotanya. Untuk menutupi kebohongan pada orangtua, aku tak ingin pulang sebelum jam lima dengan menetap di ruang musik seorang diri.

"Namun karena itu aku bertemu dengan seseorang.... Ia sangat hebat memainkan piano. Saat itu hatiku sudah direnggutnya. Padahal hanya keisengan belaka.

"Kondisi jantungku tida semakin membaik. Orangtuaku mendapat tawaran dari kenalan agar aku bisa dirawat lebih intensif. Aku pun pindah sekolah. Berakhir di kota ini...."

Setetes air turun dari pelupuk mata Ageha-san. Selama ia bercerita, aku mematung di tempatku duduk.

"Untuk pertama kalinya aku merasakan masa-masa remaja yang kuharapkan, malah kutinggal begitu saja. Di saat hatiku tengah berbunga-bunga."

Aku mengalihkan pandangan di saat setetes demi setetes air merembes di mata Ageha-san. Tatapanku pada bunga yang disusun tidak rapi di pot. Kurasa orang yang membeli bunga itu membawanya dengan bungkusan kertas, lalu meletakkannya di pot yang mulutnya agak kebesaran. Karena itu bunga-bunganya tidak tertata rapi, berjejer dengan arah kelopak berbeda-beda karena mudah tergeser.

Aku pun beranjak, menghampiri pot tersebut, lalu menatanya agar seluruh bunga 'menghadap' ke arah Ageha-san. Di belakang tangkai-tangkai tersebut kusumpal dengan kertas bungkusan yang ada di tong sampah. Masih kering, untungnya. Kuusahakan kertas itu tidak mencapai air agar tidak basah.

"Tidak semahir Fujimura-san, tapi lumayan tertata lebih baik dari sebelumnya. Ah, maaf ya, aku sudah seenaknya menata bunga kakak."

Ageha-san menyunggingkan sedikit senyuman, bibirnya kembali datar kemudian.

"Kakak ... sebenarnya ingin bercerita tentang Fujimura-san, kan?"

Tatapannya menjadi sayu.

"Bukannya ingin bertindak sekena, tapi.... Sepertinya aku sudah tidak sengaja ikut campur. Aku terlanjur berkata pada Fujimura-san, bertemu dengan wanita yang sama mengenakan kalung dengannya."

Ageha-san mendongakkan pandangan padaku dengan tatapan terkejut. "Kalung?"

Aku mengangguk. "Tabung kecil berisi wasurenagusa."

"Dijadikan kalung?" ujarnya terdengar terperangah. "Pantas saja tidak ada di pergelangan tangannya.... Aku memberikannya sebagai gelang tangan. Kalung keberuntungan itu punya pasangan. Kalung untuk perempuan, gelang untuk laki-laki. Kupikir mana mungkin laki-laki mau mengenakannya, pasti malu...."

Ageha-san menutup mata, tersenyum seakan menikmati kenyataan yang kuungkap. Melihat itu hatiku ikut lega. Aneh sekali.

"Aitai, mou ichido...."
("Sekali lagi aku ingin bertemu dengannya.")

Bibirku mengulas senyum. "Jika kakak berkehendak, kuusahakan membujuk Fujimura-san menemui kakak."

Kedua matanya terbuka, melirikku dengan pipi memerah. "Benarkah?"

Aku mengangguk penuh keyakinan.

Kali ini, untuk pertama kali Ageha-san tersenyum dengan suka cita. "Kalau begitu aku berharap padamu, Hinaka-chan!"

Walau telah terlanjur berjanji, begitu tiba di toko bunga, menyapa Fujimura-san begitu sulit. Pria itu seperti biasa mengubar senyum dengan mudah, tapi bagiku senyuman itu tampak menakutkan. Bahkan sampai jam tutup toko, aku tak bicara apapun padanya.

"Aku pulang dulu," pamitku setelah berbenah.

"Omong-omong Hina-chan selalu pulang sendirian. Tidak takut? Sudah gelap lho!"

Aku melirik heran pada Fujimura-san. Baru kali ini dia terlihat 'peduli' pada anak gadis ini pulang malam hari.

"Tidak apa, rumahku juga dekat." Aku menjawab dengan nada penuh keyakinan.

"Oniisan cemas...." Ia memperlihatkan tatapan iba berlebihan.

"Maksudmu apa, Mamoru? Ingin mengantarnya pulang?" Sakuraba-kun menimpali dengan nada penuh penekanan. Dilihat lebih jelas lagi ia malah terlihat jengkel.

Fujimura-san menggelengkan kepala. Aku hampir terseleok saking kesal atas perhatian yang dangkal itu.

"Kalau begitu jangan sok perhatian!" timpalku.

"Yah, maksudku ... kenapa tidak Ryo-kun yang mengantar sampai rumah? Kan kamu bilang sendiri Ryo-kun yang memintamu bekerja di sini. Sudah jadi tanggung jawab Ryo-kun mengantar Hina-chan pulang~!"

"Haa?" Reaksi Sakuraba-kun ternyata lebih jengkel. Segitu tidak peduli terhadap satu-satunya karyawan perempuan yang manis ini? Sebalnya!

"Tak apa! Aku bisa pulang sendiri. Selamat malam!"

Aku meninggalkan suara helaan keras Sakuraba-kun di belakang. Membuka pintu agak kasar hingga dentingan bel terdengar lebih keras, kemudian sengaja membantingnya agar dua laki-laki itu tahu bagaimana kesal aku dianggap sepele.

Benar. Rumahku tidak jauh dari toko bunga ini. Tapi jika berjalan di malam hari, dengan penerangan di sepanjang jalan agak jarang cukup mengkhawatirkan. Bahkan sebelum bekerja, aku lebih memilih pulang sebelum gelap. Menutup pintu dan seluruh jendela karena sudah terbiasa tinggal di rumah sendirian. Tingkat kewaspadaanku sudah diasah sejak dini. Jadi aku tak begitu takut pulang malam karena toko bunga ini jaraknya kurang dari lima menit berjalan kaki.

"Fuu~sawa!"

Seseorang memanggilku. Suara yang tidak lagi asing. Bahkan aku menoleh dengan bingung melihatnya berjalan ke arahku. Kaosnya telah tertutup oleh baju hangat warna merah hambar polos. Sedari tadi rasanya aku tak pernah melihat baju itu dikenakannya. Apa ia sengaja repot-repot ke kamarnya lalu menyusulku?

Langkahnya tak ada jeda meski telah menghampiriku. Otomatis aku melanjutkan langkah di sampingnya.

"Tidak usah mengantarku hanya karena digoda Fujimura-san."

"Seharusnya kau mengucapkan 'terima kasih, Sakuraba-sama!' dengan tatapan berkaca-kaca, terharu akan kebaikan hati pemuda tampan mengantar seorang gadis pulang."

Aku terkekeh. "Sakuraba-kun terlalu kebanyakan baca novel. Kalimatmu terlalu novel sekali." Dan lagi kamu bukannya tampan, tapi manis!

"Kau kira aku terlalu baik hati sampai mau mengantarmu pulang? Aku ada urusan."

"Ke rumah Yaegashi-kun?"

"Denganmu."

Aku mengerjapkan mata beberapa, tidak mengerti. "Aku... sudah salah mengembalikan uang pelanggan?"

"Bukan. Kau ada masalah dengan Mamoru?"

Mulutku terbungkam. Mataku tak lagi mampu menoleh padanya, menatap ke depan dengan senyuman kecut.

"Ketahuan ya?" Kucoba mengolah kata dalam benak sebelum menjawab. "Aku sudah terlalu ikut campur.... Sepertinya."

"Tidak ingin cerita?"

Ah! Begitulah responku dalam hati akan respon Sakuraba-kun. Diam-diam aku mengulum senyum. Entah apa tujuannya, tapi ia memberikan telinganya padaku.

"Aku terlanjur berjanji pada Ageha-san. Mempertemukannya dengan Fujimura-san. Padahal aku tidak tahu masa lali mereka berdua seperti apa, tapi... entah kenapa aku ingin membantu. Membantu ... entah apa! Semuanya hampir terhubung, tapi itu seharusnya bukan urusanku. Meski begitu ... aku ingin menjadi jembatan keduanya."

Aku pun terdiam. Sakuraba-kun jua tak langsung membalas ceritaku.

"Ageha, ya? Nama yang belum pernah kudengar. Memang selama ini aku tidak pernah bertanya masa lalu Mamoru. Padahal ia sudah hampir dua tahun bekerja di tokoku. Tapi... sekali ia pernah bercerita tentang gadis yang sampai sekarang masih disukainya. Meski saat itu dipaksa cerita sama Erica-nee."

Aku menelengkan kepala. "Erica-nee? Kakakmu?"

"Pembantu," jawab Sakuraba-kun ketus. "Bercanda. Dia kakakku. Sepupu."

"Oh."

Rasa penasaranku menghilang seketika, tapi jua ditambah dengan penasaran lain. Siapa Erica-nee itu? Kalau ditanya, topik mengenai Fujimura-san teralihkan. Untuk sementara aku tak menyimpan pertanyaan tersebut di kemudian hari.

"Mungkinkah maksudnya ... wanita bernama Ageha itu?"

Sakuraba-kun bergumam dengan senyuman aneh. Bagaimana cara mendeskripsikannya ya? Seakan ia mendapat sesuatu yang sudah lama diinginkan? Atau... rasa tertarik pada satu informasi yang barusan diterimanya.

"Kemungkinan besar," jawabku menghiraukan ekspresi Sakuraba-kun. "Kalung yang mereka kenakan sama."

Mulut Sakuraba-kun terbuka sedikit, matanya malah terlihat berbinar-binar. "Menarik." Namun kemudian tatapannya sendu. "Ah, benar juga...."

"Kalung mereka sama-sama wasurenagusa. Artinya mereka sama-sama tidak ingin dilupakan, kan?"

"Kau ingat pot bunga tiba-tiba di depan toko?"

"Wasurenagusa?"

Sakuraba-kun mengangguk seraya ibu jari dan telunjuk kanannya ditempel ke dagu. Tangan kanannya mengepal, lalu turun dengan lemas.

"Kau tidak sadar di dalam pot itu ada kertas. Isinya pesan atas nama inisial SA, di sana tertulis 'Aku senang bertemu lagi denganmu. Namun takdir begitu kejam. Aku terikat dengan kehidupan baru. Meski begitu aku akan tetap mengingat hari-hari kita bersama. Masa lalu, kenangan yang menyenangkan. Forget me not.'."

Aku menganga. "Tidak kusangka kamu hapal isi suratnya!"

Spontan tangan kirinya naik untuk menarik pipiku. "Maaf saja ingatanku begitu tajam!"

Ia melepas hukumannya, langsung kuelus pipi yang malang. "Apa jangan-jangan dari surat itu kamu menganggap Ageha-san menikah dengan orang lain? 'Terikat dengan kehidupan baru'?"

"Itu pendapat Mamoru setelah kuberikan pesan itu."

Aku tercenung. Tak disangka kami sudah sampai di depan rumahku.

"Sakuraba-kun, mau tidak membantuku untuk mempertemukan mereka berdua?"

Ia tak langsung menjawab. "Akan kupikirkan. Sekarang masuklah. Hangatkan diri dan tidurlah tanpa memikirkan apapun!" Tangan kanannya menepuk-nepuk pelan puncak kepalaku. "Oyasumi."

Ia pun berbalik badan, kembali melangkah di jalan yang kami lalui tadi. Tanganku memegang puncak kepala, desiran aneh mengusik hatiku. Seketika aku tersadar dari untuk segera masuk ke rumah. Di genkan aku baru sadar, menyesal tidak membalas 'oyasumi' kembali padanya.

Malam ini aku tidur tidak memikirkan permasalahan Fujimura-san dan Ageha-san, dialihkan dengan sikap Sakuraba-kun yang sesekali manis padaku.

>>>bersambung
Forget-Me-Not🌼06

#NgabubuRead ✌
4 Mei 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top