Forget-Me-Not🌼03

Blue as the sky were
the simple flowers
We gather together that day:
Tho' dead and dry,
they recall the hours
Of a happiness pass'd away...
.....

-----C. A. Bernard

Lima tahun lalu menjadi bagian terpenting dalam hidupku sebagai manusia bernama Fujimura Mamoru selain telah dilahirkan di dunia ini.

Aku bertemu dengannya.

Ageha Shion.

Kami sekelas saat kelas dua SMA. Sejak awal kami tidak begitu akrab, satu sama lain menganggap sekedar teman sekelas. Bertatap muka tanpa rasa ketertarikan, saling menyapa di dalam atau pun di luar kelas, dan memiliki kelompok teman berbeda untuk diajak diskusi.

Suatu hari, aku sekedar menghabiskan waktu dengan berkeliling dalam gedung karena tak ada kegiatan klub. Saat itu aku melewati ruang musik di gedung khusus lantai dua. Bukan sebuah permainan yang bagus, hanya saja tempo permainannya menggelitik gendang telingaku. Karena penasaran aku pun sedikit menggeser pintu untuk mengintip ke dalam.

Mata kami saling beradu pandang!

Dengan gerakan terbata aku menutup pintu. Sedikit kasar hingga menimbulkan suara yang menggema di koridor. Dalam hati aku mericau akan keteledoranku lupa posisi piano di ruang musik itu berhadapan langsung ke pintu.

Aku ingin segera pergi. Namun sikapku barusan juga tidak sopan. Tanganku kembali menggeser pintu, hanya setengah saja, lalu senyum kaku yang aneh dan suaranya keluar dari mulut yang terbuka ganjil.

"Ma-maaf..., aku gak bermaksud menguping...."

Gadis itu ternyata sudah berada di balik pintu.

"Waa!" Aku meloncat kecil ke belakang saking terkejut akan kecepatan respon gadis itu.

"Fujimura-kun! Kebetulan kau ada di sini! Bisa bantu aku sebentar?"

"E-eh, bantuan?" tanyaku gelagapan.

Ia mengangguk bersamaan dengan kedua matanya membulat sempurna.

"Mii-chan pernah cerita, kamu hebat main piano!"

"Mii-chan?" Aku bingung siapa yang dimaksudnya.

"Mitake Mami-chan!"

"Aah, Mitake!" seruku agak berlebihan.

Kupikir siapa, rupanya teman sekelas yang juga temanku sejak SD. Ya, kami pernah beberapa kali sekelas, kemungkinan ia tahu akan hobiku menyelinap masuk ruang musik demi bermain piano. Karena itu aku sering ditegur guru dan menjadi bahan tertawaan teman-teman. Tapi kenapa harus repot-repot mengatakannya pada Ageha?

"Aku sama sekali tidak bisa baca not tangga."

Ia memperlihatkan sebuah buku partitur padaku. Judulnya tercetak tebal paling atas, Waltz (A minor). Lagu Chopin, kah?

"Tapi di mana harus ditekan aku sudah mulai mengerti, hanya saja masih belum bisa menentukan ketukan itu selama apa."

"Aah~ kalau itu--"

"Tunggu, tunggu! Aku tidak mengerti dengan teori, langsung praktek saja!"

Tanpa ragu ia menarik lenganku masuk. Aku sadar diri bahwa kami hanya berdua di ruangan musik. Degupan jantungku pun mulai terasa aneh. Ia mengambil kursi lipat lain dan merentangkannya di sebelah kursinya. Lalu memintaku duduk di sampingnya, menggerakkan kedua tangan isyarat mempersilakanku memainkan piano. Selanjutnya aku menekan tuts sembari mengajarkannya cara memainkan nada tersebut yang benar. Kami pun memulai percakapan dengan lancar.

"Omong-omong kenapa kamu belajar musik klasik?" tanyaku penasaran.

"Karena ingin belajar memainkan piano."

"Memang belajar piano lebih cepat dengan praktik. Tapi menurutku lagu yang kamu pilih cukup sulit untuk pemula."

Ia terkekeh seraya menutup mulut. "Habis aku tidak tahu pilih yang mana. Ini pun ketemu di perpustakaan, langsung saja kupinjam. Aku juga tidak punya kenalan yang ahli mengenai musik untuk mengajariku."

"Kenapa tidak les musik saja?"

"Pengin. Tapi orangtuaku tidak mengizinkannya. Jam enam nanti pun aku harus pergi kelas tambahan. Tidak ada waktu untuk les lain."

Aku bergumam, bersikap memahami kondisinya. Kedua tanganku bergerak dengan sendirinya mulai menekan tuts piano dengan naluri. Bukan lagu yang tertulis di buku, insting yang terngiang di kepala.

"Kecuali...."

Aku menoleh padanya yang jua melirik padaku.

"Kamu bersedia mengajariku bermain piano setelah pulang sekolah. Bagaimana?"

Kedua tanganku berhenti bermain piano. Tidak, tepatnya seluruh tubuhku langsung membatu mendengar permintaannya.

"Ta-ta-ta-tapi izin ruangan ini?"

"Sensei-nya baik kok. Tenang saja. Beliau juga percaya padaku, makanya aku punya kunci membuka ruangan ini."

"Be-begitukah?"

"Iya. Jadi bagaimana, Fujimura-kun? Mau tidak mengajariku bermain piano? Beberapa kali saja tidak apa. Tolong?"

Ia menundukkan kepala, memohon dengan tulus. Tanpa memikirkan hal jorok yang seharusnya dipikirkan remaja seusiaku diminta berdua dengan seorang gadis ... mulutku menganga begitu saja untuk beberapa saat, sebelum akhirnya mengeluarkan satu kata....

"Baiklah."

Kepalanya terangkat. "Benarkah?"

Aku mengangguk, kemudian menelan ludah susah payah seakan meneguk batu besar. Sisi lain diriku berkata akan merepotkan meladeni permintaan seorang gadis. Namun di satu sisi ada dorongan rasa yang tak bisa kutebak.

"Terima kasih, Fujimura-kun! Aku janji akan mempelajarinya dengan cepat hingga tidak merepotkanmu. Nah, mengenai jadwalnya...."

Ia pun berceloteh sendiri hari apa saja waktu luangnya, menanyakan apa di hari itu aku tidak ada kesibukan lain. Pada awalnya kegiatan di klubku cukup senggang. Aku pun mengangguk tanpa berkomentar. Ia terus-terusan mengucapkan terima kasih, bahkan setelah--pada akhirnya--aku pamit undur diri dari hadapannya.

Sejak hari itu perlahan jarak antara kami semakin dekat. Tidak hanya di ruang musik, di kelas Ageha pun mengajakku bicara, bahkan topik sepele sekali pun. Melihat kedekatan kami, tidak heran teman-teman sekelas menganggap kami berpacaran. Anehnya, tanpa kesepakatan kami menjawab tidak dengan santai dan tersenyum lebar seakan anggapan itu salah satu candaan yang lucu.

Meski begitu..., diam-diam aku menyimpan rasa padanya. Walau Ageha telah mahir bermain piano tanpa pengawasan pun aku tetap ke ruang musik dan bermain bersamanya.

Kini, kami berjalan bersama ke ruang musik. Ia berhenti sebelum kakiku menginjak anak tangga menuju lantai dua.

"Ada apa?" tanyaku heran menoleh padanya.

"Hari ini aku tidak ingin main piano. Fujimura-kun, mau tidak pulang bersamaku?"

Mulutku terbuka dengan ganjil setiap ia meminta tanpa beban padaku. Untung saja tidak ada siapapun di sekitar kami. Rasanya malu diajak seorang gadis terlebih dahulu.

"Ke-kenapa? Bosan sama piano?" Aku mencoba mengalihkan percakapan. "Atau lagunya mau diganti?"

Ia menggelengkan kepala. "Kalau dapat aku mau mendengarkan permainanmu terus. Tapi..., hari ini ibu menyuruhku cepat pulang."

"A-ah, begitukah...."

"Tapi..., aku ingin bersama Fujimura-kun sedikit lebih lama."

Aku mematung, berusaha mencerna kalimat yang diucapkannya.

Ia menatapku dengan kedua pipi bersemu. "Tidak boleh?"

Persendian di leherku terasa kaku, tapi aku yakin dapat mengangguk meski sedikit. Karena setelah itu ia tersenyum dengan riang. Senyuman terakhir yang tak akan pernah kulupakan.

Esoknya ia tidak hadir di kelas. Wali kelas pun memberi tahu bahwa ia pindah sekolah. Aku tertegun dalam keributan bisikan teman-teman sekelas. Aku menoleh pandangan pads kelompok Mitake yang menjadi teman akrab Ageha. Ia jua tampak terkejut atas kabar tersebut.

Rupanya ... Ageha sengaja merahasiakan kepergiannya di antara kami.

Aku pun terpukul atas sikapnya. Gadis itu begitu egois mendekatkan diri pada orang lain lalu pergi begitu saja.

Kugenggam pergelangan kiri yang tengah mengenakan gelang pemberian Ageha. Kemarin ia begitu banyak bicara dan tertawa. Walau waktu yang kami habiskan hanya sampai mengantarnya ke halte, menurutku saat itu momen yang paling berharga. Sebelum menaiki bus, ia sedikit bersikap aneh. Tidak, memang sejak awal mengajakku jalan pulang bersama sangatlah aneh.

Terakhir ia berkata....

"Hari ini menyenangkan. Hmm," ia bergumam seraya menggelengkan kepala, "waktu yang kuhabiskan denganmu di ruang musik lebih menyenangkan. Terima kasih sudah menjadi teman dan guru musikku, Fujimura-kun. Sebagai balasannya, terimalah hadiah dariku. Kuharap besok kamu pakai ke sekolah ya! Awas kalau tidak, aku akan marah!"

Ia tersenyum dengan ceria, melambaikan tangan, lalu menaiki bus bersama dengan calon penumpang lainnya. Eksistensinya menghilang dibawa angkutan umum itu.

"Sampai ketemu lagi, Fujimura-kun!"

Apanya yang sampai ketemu lagi? Kau malah pergi begitu saja tanpa sepatah janji kembali!

Sejak kecil hingga SMA impianku sering berubah-ubah. Ekonomi keluargaku pun tidak cukup membayar biaya kuliah kelak. Karena itu di lembar Rencana Masa Depan kuisi dengan 'bekerja'. Aku pun tak mengikuti ujian masuk perguruan tinggi. Setelah lulus, aku merantau dan berakhir di Kota Akiyama.

Aku bertemu dengan Sakuraba Ryouta-kun dan Erica-chan di saat terpelik dalam hidup. Mereka mengulurkan tangan, memberiku tempat tinggal, dan pekerjaan yang menyenangkan. Kebetulan juga di rumah aku selalu membantu ayah di perkebunan, mengurus bunga bukanlah pekerjaan sulit.

Namun siapa sangka, cinta pertama yang telah terkikis kembali hadir di depan mataku.

Ageha Shion, entah di mana, tinggal di kota ini.

Seseorang membuka pintu toko hingga belnya berdenting lembut. Aku pun menghampirinya.

"Selamat datang di toko bunga Sakuraba--"

Senyum yang kupahat sempurna sebagai karyawan toko nan ramah menghilang seketika. Wanita yang berdiri di hadapanku pun mematung. Pandangan kami terkunci sesaat.

"Fu..jimura-kun?"

"Ageha...."

Dengan suara gugup aku berhasil menyebut namanya.

"Aku ... tidak tahu kamu bekerja di sini."

"A-aah~ begitulah," jawabku singkat tak tahu harus membalas kebingungannya dengan apa.

Kami kembali terdiam. Suasana canggung pun tercipta. Sontak aku mencari topik agar menghilang rasa gugup karena bertemu dengannya kembali.

"Aah! Ternyata kamu pindah sekolah ... ke kota ini ya? Wah, kebetulan sekali aku tiba di sini! Malah bertemu lagi denganmu. Apa kabarmu? Sehat?"

Ia sempat tersenyum kikuk. "Begitulah. Senang bertemu denganmu lagi, Fujimura-kun."

"Lalu, apa yang menghantarmu ke toko bunga--aa! Bodoh sekali aku! Tentu saja untuk membeli bunga, bukan? Bunga dan untuk apa? Walau baru bekerja beberapa hari, aku sudah hapal banyak bunga dan memaketkannya! Percayakan saja pada teman lamamu ini."

Aku berpura-pura ceria, bermonolog panjang demi menutupi perasaan sesungguhnya. Selain itu jua banyak yang ingin kutanyakan padanya. Namun, rasanya pertemuan kali ini tidak tepat.

"Aku ... pesan...."

Aku menelengkan kepala, tersenyum bagai orang bodoh menunggu permintaannya sebagai pelanggan.

"Ke mana gelang yang kuberikan?" Ia melirik pergelangan tanganku. Pandangan mata penuh tanya itu membuatku tidak nyaman.

"Gelang..., ya?" Aku malah bergumam seakan tidak peduli.

"Tidak apa. Tidak usah dipikirkan." Ia berkata lirih seraya mengalihkan pandangan. "Aku tidak jadi beli. Maaf...."

Dengan cepat ia membalikkan badan, melangkah dengan tergesa meninggalkan toko. Ia pergi membiarkanku mematung di tempat tanpa sempat mengatakan apapun.

"Mamoru-kun ternyata bego ngadepin cewek ya!"

Aku tersentak mendengar suara cempreng Erica-chan di balik rak bunga. Aku sama sekali tidak menyadari kehadiran pemilik toko.

"Kejar sana! Minta maaf! Ajak makan siang bareng!"

"Ta-tapi...." Niat pun aku tidak berani lagi menyusul Ageha.

"Pengecut!"

Setelah menimpaliku, wanita itu keluar lewat pintu belakang, pergi me rumah kaca.

Aku kembali menatap pintu depan, di mana Ageha berlalu di hadapanku.

Sebenarnya ... Ageha memiliki perasaan seperti terhadapku? Kenapa ia begitu sedih saat aku tak mengenakan gelang pemberiannya?

Setelah hari itu, aku tidak pernah sekali pun bertemu dengan Ageha. Bahkan telah berkeliling sebagai pengantar bunga.

Satu hari aku berhasil membeli keyboard dambaan hasil gaji, aku pun membawanya pergi setiap malam sebagai pemusik jalanan. Dengan begitu juga kuharap bertemu dengan Ageha. Namun hasilnya nihil.

Temannya Ryo-kun, Kou-kun, menyarankanku mengikuti audisi. Untuk menenangkan pikiranku terhadap Ageha, aku menerima saran itu dan pergi sembari membawa keyboard tersebut. Malangnya nasibku tak berujung manis di sana. Sudah tidak lolos sampai semifinal, dompetku dicuri, keyboard-ku dibawa oleh entah-siapa.

Begitu berhasil kembali ke Akiyama, dari jauh aku memergoki Ageha membawa sebuah pot bunga, yang kemudian ditinggalkannya di depan toko. Ia pergi sebelum pot itu dipungut oleh seorang siswi SMA, Hina-chan.

Aku tak tahu harus memasang raut seperti apa pada Ryo-kun dan yang lain setelah semua yang kulalui. Namun begitu Ryo-kun menyadari keberadaanku dan memanggil namaku, sontak air mataku luluh. Aku menangis bagai anak kecil yang akhirnya berhasil pulang seorang diri.

Gelang pemberian itu ... ada hiasannya kan? Bukannya itu wasurenagusa?

Tidakkah gelang itu memiliki makna tersendiri?
.

.

.

>>bersambung
Forget-Me-Not🌼4

#NgabubuRead ✌
Berbukalah dengan yang
manis. Yaa, kayak ceritaku~.
Oiya, kali ini gak ada
manis-manisnya 😣

Publikasi: 2 Mei 2020

Catatan penulis:
Kali ini aku pakai POV-nya Mamoru. Dari awalannya aja udah beda. Semoga gak bingung ya!
POV bab selanjutnya akan kembali ke heroine, Hina-chan!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top