Forget-Me-Not🌼01


Toko bunga Sakuraba.

Kamu akan menemukannya di perempatan jalan menuju Rumah Sakit Umum Akiyama.

Sebagai penduduk asli kota Akiyama, aku tahu betul rumah berlantai dua itu dulu sebuah kafe kopi kecil yang sangat disukai ayah untuk berbincang dengan koleganya.

Saat duduk di kelas dua SMP, rumah itu memiliki pemilik baru. Kafe dengan aroma kopi yang menguar setiap hari berubah menjadi toko bunga dengan semerbak aroma tak kalah memancing perhatian. Berbagai warna bunga yang terpajang turut mengundang senyum siapa saja yang melewatinya.

Dulu yang membuka toko ini seorang wanita muda. Rambut hitam panjangnya selalu diikat kuda. Kulitnya agak kecokelatan, kemungkinan karena sering berladang di balik rumah mungil itu. Aku hanya menerka, karena saat SMP aku jarang mengambil jalan ke depan toko itu.

Entah sejak kapan toko itu dikelola seorang diri oleh seorang pemuda seusiaku. Sakuraba Ryota. Perawakannya jelas berbeda jika dibandingkan dengan kakak cantik itu.

Sakuraba-kun memiliki kulit putih yang mulus--yang bahkan para gadis di kelasku selalu membicarakannya. Wajahnya begitu manis. Memiliki tinggi rata-rata anak laki-laki kebanyakan, dengan tubuh kurus--atau bisa kuanggap langsing? Dan lagi rambutnya tipe ikal bergelombang, tidak pernah tampak berantakan, garis-garisnya juga terlihat halus. Karena keindahan yanh dimilikinya itu para siswi di sekolah memberinya gelar ouji--pangeran.

"Kau kupekerjakan!"

Aku tak mengerti maksudnya 'dipekerjakan'. Awalnya. Tentu saja ada hubungannya dengan toko bunga tersebut.

Ia menyerahkan sebuah penyemprot, pot plastik kecil, dan sepasang sarung tangan plastik begitu aku tiba.

"Ini apa?"

"Kau tidak bisa baca, apa?"

Pertanyaan dijawab dengan pertanyaan. Selama ini aku tidak memperhatikan sikap Sakuraba-kun. Menurut teman-temanku pemuda ini selalu bersikap manis dan sopan pada siapa pun. Tapi kenapa ia bicara dengan nada ketus padaku? Hanya karena tidak membaca tulisan di botol semprotan membuatku disemprot ulang olehnya? Baiklah. Aku mengakui kesalahanku.

"Semprot serangga." Aku membaca tulisan tangan dengan spidol hitam di badan semprot itu.

Serangga apa yang akan kubasmi? Ah, hampir saja aku bertanya hal sepele. Aku harus berpikir lebih cerdas lagi menghadapi pemuda ini sebelum wajahku yang disemprot olehnya.

"Di mana harus kusemprot?"

Telunjuk kanannya naik, mengarah ke satu-satunya pintu masuk ke sebuah bagian dalam rumah toko ini. "Kamar kecil."

Aku mendelik curiga padanya. "Kau akan mengurungku?"

Di toko ini tidak ada siapa-siapa kecuali kami berdua. Untuk apa ia menyuruhku menyemprotkan racun serangga ke kamar kecil jika ia sendiri bisa melakukannya? Kenapa harus aku? Karena aku dipekerjakannya? Lagi pula aku belum menjawab 'iya' sebagai tawarannya. Ah! Tapi kenapa aku malah datang ke toko bunganya ini?

"Kau menatapku seperti menemukan penjahat kelamin incaran polisi?" Ia bersedekap, mengembuskan napas dengan gusar. "Biasanya tidak ada kecoa di tokoku ini! Kehadiran mereka benar-benar menyebalkan! Harusnya ada seseorang yang membasmi para serangga terkutuk itu. Tapi orang tua tak berguna itu belum juga kembali!"

"Yaa, tapi kamu bisa melakukannya sendiri," sanggahku yang akhirnya mengungkapkan isi hati.

Wajahnya berubah mengeras. Mulutnya tertutup rapat, bergemam seakan ingin mengerang. Ia pun memalingkan muka.

"Cepat saja lakukan. Aku tak bisa membuka toko jika mereka masih berkeliaran." Bola matanya bergerak, mengarah padaku lalu ke arah yang tadi ditunjuknya. "Kumohon...."

"Sakuraba-kun," aku bisa menebak sikapmu itu, "kau takut kecoa ya?"

Ia menoleh dengan wajah memerah. "Cepat lakukan!"

Timbul ide mengerjainya. "Satu ekor seratus yen!"

"Hah?" Ia benar-benar mengerang. Ke mana sikap ouji yang dipuja-puja para gadis itu?

Aku tidak peduli. Kulipat lengan kardigan sedikit ke atas, kemudian mengenakan sarung tangan. Aku siap berperang dengan para tamu tak diundang itu. Kuharap ada sepuluh ekor. Dengan begitu aku bisa membeli bekal praktis di konbini untuk makan malam nanti.

Saat aku melangkah masuk, sesaat kulirik Sakuraba-kun membuka pintu toko lebar-lebar--sebelumnya hanya setengah saja, cukup untuk kami masuk. Ia memang membuka toko ini menjelang sore.

Perlahan kubuka satu pintu yang kuyakini sebagai kamar kecil. Dengan lambat kuputar kenop pintu, mendorongnya agar tidak membuat suara ribut. Benar saja, ada sekelompok kecoa di sudut dinding. Kuhitung ... tujuh, tujuh ratus yen. Kurang dari sepuluh tapi masih lumayan bisa membeli jus tomat dan camilan. Kecoa besar dan kecil, jangan-jangan mereka keluarga bahagia yang tidak sengaja menumpang kehidupan di bangunan ini? Aduh, kasihan. Tapi maaf ya, keluarga kecoa, aku terpaksa menindaki kehadiranmu demi perut.

Yaa, meski aku tidak memiliki kesulitan mengenai uang.

Semprotan di tangan kanan, pot untuk membawa mereka ke tempat peristirahatan terakhir. Tidak mengulur waktu aku pun beraksi.


Sejak hari itu dan kini, aku sudah dua minggu bekerja di toko bunga Sakuraba. Pekerjaan tetapku: kasir, mengangkat telepon, mencatat permintaan pelanggan, dan mengusir serangga.

Selain kecoa, ternyata Sakuraba-kun takut serangga apapun. Kecuali kupu-kupu. Aku sudah mengkonfirmasi dengan penglihatanku sendiri. Dan satu lagi, ia jua tidak tahan dengan ulat, walau begitu ia masih bisa bertahan dan mengambil benda terdekat untuk membuang makhluk hijau kecil itu ke halaman belakang.

"Kamu seorang florist tapi takut serangga," gumamku di balik meja kasir. Kedua sikuku bertumpu di atas meja, dan dagu menompang di atas kedua telapak tangan yang mengatup pipi.

"Jangan banyak komentar! Lanjutkan belajarmu." Ia protes dengan nada ketus. Seperti biasa sikap yang tidak manis itu hanya bekerja di toko ini--tidak, lebih tepatnya hanya di depan batang hidungku.

"Ha~i!" Aku berseru layaknya anak SD yang mendapat tugas dari guru di kelas.

Di atas meja, di hadapanku ada sebuah buku botani. Halamannya membentang, memperlihatkan dua halaman dengan masing-masingnya membahas satu bunga; nama latinnya, sebutan bahasa Inggrisnya, kapan mereka berkecambah, berbunga, musimnya, dan artinya.


Salah satunya bunga Morning Glory. Bentuknya seperti terompet, kelopak mengembang dengan segi lima--seperti gambar bintang anak SD. Warna umumnya biru-keunguan, ada juga warna putih, merah muda, putih campur merah muda, bahkan merah darah. Merupakan tumbuhan monokotil yang cabangnya merambat. Jika menanam di luar atau pun di pot perlu menancapkan kayu kecil agar cabangnya tidak berkeliaran. Jika di luar lebih bagus dijadikan tanaman pagar.

Lalu artinya bunga Morning Glory ini ... cinta, kasih sayang, perhatian, dan keabadian.

Berbicara soal Morning Glory, hari ini bunga itu menjadi bagian favorit dalan setiap pesanan. Tidak hanya bunganya, daunnya juga ikut menghiasi sebuah buket.

Di tengah waktuku membaca buku botani, sesekali aku mencuri pandangan pada Sakuraba-kun yang sibuk menata bunga di atas pot. Tidak hanya itu jua membuat beberapa buket yang diisi dengan berbagai macam bunga. Ia sibuk sendiri. Bergerak dengan lincah di ruang sempit--karena ruangan ini lebih dipenuhi dengan rak-rak bunga, padahal telihat cukup luas dianggap sebagai toko.

Jari-jari jenjangnya jua tak kalah gesit memotong tangkai bunga, tetap dengan ketelitian tinggi, memilah-milah, lalu mengikat mereka semua di atas alas kertas cokelat, disimpul kerucut, kembali diikat bagian bawahnya dengan pita yang warna sesuai pilihan pelanggan.

Oh iya, aku lupa memberi tahu. Hari Minggu ini pesanan masuk dua bahkan tiga kali lipat dari hari biasa sejak pagi hari. Hampir saja aku kewalahan mencatat berbagai macam permintaan lewat telepon yang selalu berdering sebelum tanganku beristirahat sesaat.

Yang lebih kewalahan itu Sakuraba-kun. Semua permintaan ia seorang diri mengerjakannya. Lalu....

Decitan sepeda terdengar lumayan keras. Seorang pemuda memarkir kendaraan praktis itu di depan rak bunga di luar. Sang pengendara tidak lelah mengumbar senyum setiap memasuki toko.

"Hina-chan, kau hampir salah tulis pesanan atas nama Hidaka-sama. Apartemen tujuan bukan 5-1 (go-ichi), tapi 51 (gojuu-ichi). Hiyaa, untung saja aku ketemu orang yang kenal Hidaka-sama dan orang yang tinggal di 51 itu."

Dia Yaegashi Kensuke-kun. Sahabat Sakuraba-kun dan juga orang yang bersedia menjadi pengantar pesanan bunga di hari libur.

Spontan Sakuraba-kun menatapku dengan mata tajamnya. Pasti raut wajahku kini memucat karena salah menuliskan alamat penerima pesanan.

"Fuusawa-san?" Ia menyebut nama keluargaku dengan penuh penekanan.

Yaegashi-kun menepuk pundak Sakuraba-kun dari balik punggungnya. "Kupikir bukan salah Hina-chan. Hidaka-san yang dengan cepat menyebut alamat yang seharusnya gojuu-ichi jadi go-ichi saja. Siapa pun pasti menyebutnya jika terdesak."

Sakuraba-kun tampak tidak puas dengan pembelaan Yaegashi-kun terhadap kesalahanku.

"Kata orang yang membantuku, Hidaka-san melupakan hari ulang tahun pacarnya. Karena itu sebelum terjadi peperangan, ia segera memesan bunga sebagai permintaan maaf selagi ia memesan kue untuk perayaan ulang tahun dadakan."

Barulah Sakuraba-kun menghela napas pertanda menerima penjelasan sahabatnya. "Aku mengerti." Ia menoleh padaku. "Lain kali konfirmasi sekali lagi alamat penerima sebelum menutup telepon." Setelah menasihatiku, ia kembali sibuk membungkus buket lain sebelum diberikan pada Yaegashi-kun.

Yaegashi-kun pun kembali mengayuh sepeda beserta membawa beberapa pesanan yang diletakkan di kotak yang terpasang di tempat duduk belakang.

Sakuraba-kun kembali berkutat dengan bunga-bunganya. Aku tetap duduk manis di balik meja kasir.

"Ano..., apa ada yang bisa kubantu?" Melihatnya bekerja lebih keras dari hari biasa membuatku tidak enak hati sebagai karyawan.

"Tanganmu belum terlatih. Menghambat pekerjaanku saja. Lebih baik kau pelajari baik-baik buku di hadapanmu sebelum menawarkan bantuan." Seperti biasa ia menolak bantuan, tapi kali ini nadanya lebih ramah.

"Karyawan sebelumnya bisa merangkai dan membungkus?" tanyaku penasaran.

"Iya. Dia terlihat tidak berguna, tapi tangannya begitu lihai terhadap tanaman."

Ah-ha? Sangat jarang seorang ouji memuji seseorang. Selama mengenalnya--baru dalam dua minggu ini--yang dipujinya hanya Yaegashi-kun atas tindakan heroiknya membunuh kecoa dengan tangan kosong. Lalu membandingkannya denganku.

Uh, aku juga bisa, tapi takut terkena bakteri di perut kecoa yang kabarnya ribuan bertebaran jika dibunuh hingga badannya hancur. Saat itu aku ingin memberi tahu Yaegashi-kun, tapi sudah terlanjur nasib kecoa itu rapuh dengan mudah di tangan pemuda yang tak tahu apa-apa soal bakteri kecoa. Mudah-mudahan ia mencuci tangan sebelum makan.

"Kau mau makan apa siang ini?"

Aku tersentak dari lamunan kecoa dan bakterinya yang mengerikan.

"Terserah bos besar," jawabku enteng.

"Kalau begitu aku pesan chow mein* dua porsi." Ia memutuskan memesan masakan Cina?

Aku mengerjapkan mata, berharap salah dengar. Dia memesan dua porsi sementara karyawannya, hari ini, ada dua?

"Untuk Yaegashi-kun?"

"Ah, aku tidak bilang memesan untukku dan Ken?"

"Bagaimana denganku?"

Ia melenggang ringan ke kamar mandi sembari berujar, "Beli saja sana bento konbini!"

Hanya karena salah menulis alamat, bosku mulai pilih kasih terhadap karyawannya! Diam-diam aku menggerutu atas perlakuan tidak adil itu.

Kepalanya menyembul di balik pintu kamar mandi. "Bercanda. Pesan tiga porsi! Nomor rumah makannya ada di buku kontak."

Bibirnya menyunggingkan senyuman sebelum menghilangkan diri ke dalam kamar kecil. Kedua kelopak mataku kembali naik-turun dengan cepat.

Hatiku bertanya.

Apa barusan ia bersikap manis terhadapku?

Sebuah pot kecil lebat dengan bunga biru kecil terletak begitu saja di depan toko bunga Sakuraba yang belum buka.

Siapa pengirim bunga manis ini?
.

.

.

>>bersambung:
Forget-Me-Not🌼02

(30 April 2020)
#NgabubuRead ✌
Berbukalah dengan
(Ryo-kun)
yang manis XD

Catatan kaki
*) Chow Mein = masakan, mi Cina yang di goreng hingga kering lalu di campur dengan udang, ayam, sayur, dan bumbu. (Sumber: gotravelly.com)
kaki
Perlu... gambar gak? 😂 gak usah deh. Entar puasa kita tergoda. Perutku gak menjerit, yang menjerit kantong tiap lihat shopee penerbit haru diskonnya gede amet, vouchernya ya Allah.... Iman gak kegoncang, kantong yang terkocok syudah!! 😭
/curhat lo, ALana!/

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top