Cherry Blossoms🌼01

Sakuraba-kun tidak akan lagi berada di toko bunga. Hari ini adalah hari terakhirnya di sana. Mungkin terdengar agak melankolis, tapi aku secara spontan menyarankan makan nabe bersama di toko tersebut.

Bagiku salah satu yang menyenangkan bekerja di sana adalah makan malam bersama dua pemuda tersebut. Tahu sendiri aku telah ditinggal kedua orangtuaku dan selalu makan sendirian. Hanya di toko bunga saat malam bisa makan dengan orang lain meski makan pesanan yang sebagian besar dari kedainya Yaegashi-kun.

Pagi-pagi aku ke supermarket yang buka dua puluh empat jam, membeli bahan-bahan nabe; daging sapi, tahu, jamur enoki, jamur shiitake, sawi putih, tauge, konyaku, serta misoshiro yang akan menambah rasa masakan berkuah tersebut. Agar tidak terlihat telah repot—sengaja berbelanja pagi sekali demi 'perpisahan' Sakuraba-kun dengan toko, aku menukar kantong bermerek nama supermarket tersebut dengan totebag hitam khusus membawa barang belanjaan di halte. Setelah itu aku melangkah menuju toko.

Rasanya sangat gugup jika dipikirkan akan kembali menemui Sakuraba-kun langsung. Setelah ciuman dan pernyataan cinta itu? Apa wajahku kini memerah? Ah, kenapa baru sekarang baru kepikiran?

Otakku mungkin sibuk memikirkan apa yang harus kulakukan saat berhadapan wajah dengan pemuda itu—apa aku bisa bersikap normal di hadapannya? Harus bisa dan tidak boleh diam-diaman. Takutnya Fujimura-san menganggap kami bertengkar lagi. Meski demikian kedua kakiku sudah disetel melangkah menuju toko tanpa perlu navigasi otak. Dan jam setengah delapan aku sudah ada di depan toko bunga yang tengah tutup.

Sakuraba-kun tinggal di lantai dua. Menuju ke sana tidak hanya lewat tangga di dalam toko, tapi juga ada di luar, tepatnya di samping kanan toko di mana jenjang dari besi melekat ke dinding. Aku hendak melangkah ke sana saat terdengar suara langkah seseorang dari tangga tersebut. Sosoknya segera menyambutku membuat wajahku terasa memanas.

"Pa-pagi...," sapaku berusaha bersikap senormal mungkin.

Pemuda itu mengenakan baju hangat rajutan berwarna krem, harmonis dengan kulit putihnya yang sangat mulus. Satu tangannya memegang tengkuk, gerakannya agak kikuk tapi tetap terlihat santai. "Pagi."

"A-apa aku datang kepagian, ya?" Aku terkekeh ganjil, awalnya berusaha menetralkan kecanggungan tapi malah terlihat demikian.

Sakuraba-kun menggeleng dengan seulas senyum. "Tepat waktu. Aku dan Mamoru sudah menyiapkan peralatan masak nabe-nya. Ayo masuk," ujarnya kemudian menunjuk ke arah tangga.

Aku mengangguk. Selangkah kaki mengekorinya, sebuah taksi berhenti tepat di depan toko. Kami berdua sama-sama menghentikan langkah, menoleh pada seorang wanita yang keluar dari mobil kuning itu. Wanita cantik dengan kulitnya terlihat agak terbakar, rambut hitamnya yang panjang diikat kuda, dan yang membuatku terpana adalah pakaiannya super ketat—di musim dingin seperti ini? Ya, walau dia memakai baju hangat yang dipenuhi bulu-bulu menggemaskan.

Sakuraba-kun menghela napas. "Hah, akhirnya pulang juga."

"Eh?" Aku menoleh, melihat ekspresinya yang tampak lemas.

Wanita itu menarik koper dari bagasi, lalu berdiri layaknya seorang model, lalu menaikkan satu tangan. Ia menatap ke arah kami berdua. "Tadaima, Ryo-chan!"

Sakuraba-kun kembali berdesah lelah. "Dia pemilik asli toko bunga ini. Kakak sepupuku. Erica."

Erica, katanya?

Taksi pun pergi. Wanita bernama Erica itu menghampiri kami seraya menarik kopernya. Matanya melirik ke tas yang kujinjing. "Apa itu?"

Tampaknya ia mencurigai apa yang tengah kubawa, tapi nada pertanyaannya tidak terdengar mengintimidasi. Kujawab, "Bahan nabe."

"Nabe?" Ia menepuk tangan sekali dengan kedua mata berkaca-kaca. "Kebetulan aku lapar sekali! Ayo, masuk! jangan sungkan!" Ia mengambil alih totebag, menggendongnya ke perut. "Ryo-chan, tolong koperku."

"Hah?" Sakuraba-kun ingin protes, tapi ia tetap menuruti permintaan kakak sepupunya.

Aku berjalan di belakang Erica-san saat wanita itu berbalik badan dan menggerakkan kepala ke atas, memintaku mengikutinya. Di belakangku, Sakuraba-kun menggerutu seraya mengangkat koper besar selangkah demi selangkah anak tangga hingga ke atas.

.

.

.

Aku pikir suasana akan sangat canggung. Namun semua di luar perkiraanku!

Sakuraba Erica. Pemilik asli toko bunga yang diurus Sakuraba-kun selama lebih setahun ini. Perawakannya sangat menawan jika ditelaah dari sisi positif. Orangnya begitu ceria dan bersahabat. Tanpa basa-basi ia ikut pesta nabe kami—tentu saja, karena kami makan di rumahnya—dan sama sekali tidak risi akan kehadiranku.

Kini, di ruang tengah rumah kecil seadanya, kami berempat duduk mengelilingi meja yang di atasnya sudah ada nabe hangat. Di samping kiriku ada Erica-san, di sebelah kanan ada Sakuraba-kun, kemudian di hadapanku duduk Fujimura-san yang telah memasang mata anak-anak yang tidak sabaran makan nabe.

"Wah, enaknya!" ujarnya dengan suara agak melengking. Ia meneguk kuah nabe beserta isi selayaknya makan nasi dengan lahap. "Enaaak! Nabe salah satu masakan Jepang yang sangat kurindukan!"

"Kami sesekali masak nabe berdua, tapi tidak seenak buatan Hinaka-chan!" Fujimura-san memuji seraya ikut makan dengan lahap.

"Silakan tambah." Aku berbasa-basi menyendok nabe. Erica-san segera mendekatkan mangkuknya dekat pot nabe. Aku pun mengisi mangkuk tersebut dengan berbagai macam isi nabe beserta kuahnya.

"Terima kasih, adik ipar."

Tanganku membatu di tempat. Sakuraba-kun malah tersedak dan terbatuk-batuk.

Erica-san menatapku terheran-heran dengan ujung sumpit masih di bibir. "Benar, kan? Dari situasi saja terlihat begitu. Tidak mungkin gadis muda ini pacarnya Mamoru? Hahaha!" Ia tertawa begitu keras bahkan menepuk-nepuk meja. "Mamoru kan pemuda ngenes," kalimatnya berlanjut hingga membuat Fujimura-san ingin menangis—walau kesannya pura-pura.

"Erica-san baru pulang sudah merisakku. Huhu..., Ryo-chan~ belain Abang Mamoru-mu ini~."

Sakuraba-kun berdeham-deham keras sebelum bicara. "Kesampingkan hal itu, kamu kenapa tidak kasih kabar akan pulang? Untung saja toko belum kututup selamanya!"

"Eh, jahatnya! Ruko ini hasil jerih payahku selama ini, tahu! Mau dijual aja!"

"KUTUTUP! BUKAN KUJUAL!" Sakuraba-kun naik pitam.

Dari samping kiri lengan bajuku ditarik. "Adik ipar, suamimu galak sekali!"

Aku terkekeh pelan. "Status kami baru pacaran, bukan suami-istri," jawabku dengan suara pelan.

"Kalian berdua juga jahat!" Fujimura-san menunjukku dan Sakuraba-kun dengan sumpit. Alisnya hampir bertemu. "Datang di akhir-akhir pertunjukanku, tidak sesuai janji! Tahu-tahunya sudah pacaran! Ukh! Abang Mamoru ini sangat kecewa sudah tidak dianggap lagi!"

"Memangnya kami pacarana harus minta izin darimu, hah?" Sakuraba-kun memberengut. Nabe di mangkuknya masih jua belum dimakan, hanya kuah diteguk sedikit. Ia lebih sibuk mengurus situasi.

"Takut terlihat ngenes, makanya kamu cari pacar sana, Mamoru!" timpal Erica-san.

"Aku gak mau dengar dari wanita perawan tua!" gerutu Fujimura-san. Satu pukulan keras mendarat sempurna di puncak kepalanya. "Wadaow!"

"Bilang sekali lagi aku perawan tua, kutendang pantatmu dari rukoku!" ancam Erica-san dengan nada tidak main-main.

"A-ampun Erica-oujo sama...." Fujimura-san menyatukan telapak tangan, mengusap-usapnya di depan kepala yang tertunduk, persis seperti seorang pelayan yang meminta kebaikan hati sang majikan. "Hamba tidak memiliki tempat tinggal selain toko bunga tersayang ini. Jangan usir hamba..., hamba masih belum bisa menyewa apartemen."

Penasaran, spontan aku bertanya, "Memang umurnya Erica-san berapa?" Seingatku Fujimura-san usianya lima tahun di atasku. Kira-kira dua puluh dua tahun. Seusia dengan bibiku, adik ibu paling bungsu.

"Tiga puluh," jawab Sakuraba-kun berbisik.

"Tahun ini dua-delapan! Tahun depan baru dua-sembilan! Enak saja membuatku lebih tua dua tahun! Di luar aku masih dianggap masih dua puluh, tahu!" Erica-san sangat terlihat tidak terima akan kenyataan usianya. Tangannya menyambar gelas, menegak air putih hingga habis, lalu meletakkannya kembali di atas meja agak kasar. "Gegara usia ini aku dipaksa ayah pulang." Ia menggerutu, sangat.

"Dijodohkan?" Nada pertanyaan Sakuraba-kun terdengar prihatin.

Erica-san mengibas-ngibas telapak tangan kirinya. "Apalagi? Lulus kuliah aku pergi dari rumah, pergi ke sana-sini agar lepas dari perjodohan. Di usia seperti ini, rasanya aku mulai menyerah."

"Wanita secantik Erica-san masa tidak ada pria yang melirik? Pertama kali aku bekerja di sini saja, Erica-san setiap hari dihampiri banyak pria tampan," ujar Fujimura-san. "Tidak ada yang membuatmu tertarik?"

Erica-san malah memonyongkan bibir. "Mereka hanya melirik tubuh montokku dan harta ayah saja! Mana mungkin aku menerima orang seperti itu dalam kehidupanku!" Ia menolehkan pandangan ke arahku. "Ryo-chan setuju sama pendapat kakakmu yang cantik ini, kan?"

Aku melirik ke arah pemuda itu. Ia hanya membalas dengan tatapan hambar, lalu mengalihkannya dengan memakan nabe di mangkuk yang kurasa tidak lagi hangat.

"Adik ipar," panggil Erica-san hingga aku menoleh dengan bulu kuduk merinding—masih geli dipanggil begituan, "apa yang kamu sukai dari Ryo-chan?"

"Eh?" Wajahku seketika memanas.

Ditanya tiba-tiba begitu, tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulutku yang kini menganga dan membeku. Sayup-sayup kudengar Sakuraba-kun bersuara 'jangan diladeni' diselingi dengan suara seruputan kuah Fujimura-san. Entah kenapa tatapan jahil Erica-san membuatku ingin tertawa.

Aku pun bertanya-tanya dalam hati. "Benar juga ya? Padahal jelas-jelas pemuda di sampingku ini sangat ketus, selalu marah-marah tidak jelas padaku, suka menyuruh, sama sekali tidak ada manis-manisnya! Tidak sesuai sama wajahnya yang cantik."

"Hei!"

Aku terkekeh lepas begitu mendengar harikan di sebelah kananku.

Erica-san terenyak sesaat dengan mata membola. Beberapa detik kemudian ia tertawa. Terbahak-bahak hingga memegang perut. Sementara Fujimura-san memanfaatkan kesempatan mengambil irisan daging dalam pot nabe. Pipiku dicubit dari samping, dan aku tetap terkekeh meski Sakuraba-kun benar-benar kesal akan pernyataanku barusan.

Tawa Erica-san terhenti. Matanya kini menatap lebih teduh, terasa bersahaja, dan senyumannya lebih manis dari sebelumnya. "Begitu ya? Ya, kalau begitu aku jadi mengerti mengapa Ryo-kun memilihmu."

Aku tidak mengerti maksudnya, tapi saat melirik ke arah Sakuraba-kun lagi..., tidak hanya pipi, telinganya pun ikut memerah. Aku memalingkan wajah ke nabe, menambahkan beberapa potong jamur dan seiris daging ke mangkukku.

"Na, adik ipar—"

"Eto ne, Erica-san," kupotong kalimatnya dahulu, "aku punya nama, jangan panggil adik ipar. Rasanya... aneh."

Matanya kembali membola. "Ya Tuhan! aku lupa menanyakan namamu dari awal!" Fujimura-san di hadapanku terkekeh geli. Sedangkan helaan napas terdengar di samping kananku. "Jadi namamu siapa, adik ipar?"

"Fuusawa Hinaka."

Erica-san mengerjapkan mata beberapa kali. "Fuusawa? Jangan-jangan kamu anaknya Profesor Fuusawa? Fuusawa Tatsuhiro? Wah sudah besar, ya!"

"Kakak kenal dengan ayahku?" Tunggu dulu, aku berpikir, yang memanggil ayah dengan sebutan profesor jika bukan rekan kerja, pasti....

"Aku dulu mahasiswa didikannya."

Benar terkaanku.

"Hee? Tidak disangka dunia itu sempit," ujar Fujimura-san tercengang-cengang.

"Bagaimana kabar profesor? Sehat?"

Sekujur tubuhku membeku. Sudah lama tidak ada yang menanyakan orangtuaku, rasanya... kali ini terasa menusuk dada, begitu sakit.

"Ano...," Fujimura-san bergumam.

Erica-san menatapnya heran.

"Kau tidak tahu kabarnya?" Sakuraba-kun bersuara. Entah sejak kapan lenganku digenggamnya. "Dari reaksimu tampaknya kau tidak tahu apa-apa, ya, Erica."

"Apa?" Ia melirikku, pada Sakuraba-kun, juga Fujimura-san bergantian. "Kenapa wajah kalian tegang begitu?"

Aku tersenyum kecut. "Dengan penuh penyesalan, kuutarakan fakta... orangtuaku... telah meninggal...."

Wanita itu terlihat sangat shok. Kedua tangan menutup mulut yang menganga. Dengan begitu saja air mata mengalir di kedua sudut matanya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top