6. Sorry, I'm Late
Genre: Romance
Bunga Sweet Pea, saatnya mengucapkan selamat tinggal🍁
By : PecanduWifi
____________________________________
Daun-daun maple berjatuhan menandakan musim gugur yang tiba, membawa serta kesenduan pagi yang turut hadir menemani luka.
Gadis itu duduk terdiam di depan batu nisan dua insan yang telah melukis sebuah cerita, kembali memutar kotak kenangan yang terpendam dalam tiap bait memori.
🍁🍁🍁
Elis terbangun dari tidurnya yang terasa sangat panjang, menyingkap gorden, menyambut hangatnya mentari yang akhirnya kembali ia rasakan.
Seperti biasa gadis itu duduk di pinggir kasur dan mengambil stick-note miliknya, menulis kata-kata yang tak akan pernah sampai meski ia menulis hingga mentari tak terbit lagi.
Memanggilku, suara dari masa lalu. Memanduku kepada kenangan baruku.
Pagi ini juga sama seperti pagi-pagi sebelumnya, duka yang tak kunjung reda tetap terasa di ruang waktu yang tak lagi bergulir maju.
Kalimat singkat ini, air mata yang jatuh ini ... adalah semua kenanganku.
Elis menangis, kembali menangis untuk kesekian kalinya. Tidak apa, tak akan ada yang mendengar tangisannya, karena di tempatnya saat ini hanya tersisa rindu.
Elis menidurkan kepalanya pada bantal di sampingnya, ingatan itu tak pernah lekang.
"Pagi, Elis."
Suara itu, suara yang selalu membuat Elis merasa tentram setiap pagi.
"Elis kamu kenapa? Cemberut mulu mukanya, itu muka nggak capek ditekuk mulu?"
Pertanyaan yang membuat Elis tertawa kecil meskipun ia tahu tak selucu itu.
"Kok aku dicuekin, jawab dong kamu kenapa?" tanyanya menirukan wajah cemberut Elis.
Namun Elis mulai tersenyum. "Nggak, aku nggak kenapa-napa."
Elis terisak, ingatan itu menyakitkan. Ia benci ingatan itu tapi ia terjebak di dalamnya.
"Elis, nih makan dulu."
Elis mengangguk, waktu itu paginya selalu penuh warna. Walau di rumahnya tetap sama, setidaknya di sekolah ia merasa bahagia karena kehadiran sosok itu.
"Nah pinter, nanti mau langsung pulang atau mau nemenin aku main game dulu? Nanti aku anterin pulang deh."
Elis kembali mengangguk tanpa mengucap sepatah kata pun, waktu itu ia terlalu naif harusnya ia bisa menutupi kesedihannya sama seperti sosok itu.
Kadang ia benci sosok itu karena sosok itu selalu tersenyum meskipun Elis tahu laki-laki itu menyimpan kepedihan dalam hatinya. Elis selalu tahu lelaki itu sakit, tapi sosok itu tetap tersenyum.
Harusnya Elis juga bisa seperti itu.
"Aku benci kamu, Noval..." lirih Elis dalam isaknya.
Noval, nama lelaki itu Noval. Sosok yang tak pernah letih menyebarkan bahagia dalam dukanya.
Elis harusnya mampu kuat seperti lelaki itu, tapi Elis tetap lemah.
"Semua pergi, termasuk kamu..."
Hanya Noval yang mampu membuat Elis melukis senyum di wajahnya, hanya Noval yang sanggup membuat Elis tertawa meski Elis tetap berdiam dalam masalahnya, hanya Noval yang mengerti semua tentang Elis. Hanya Noval...
"Tapi kamu pergi, harusnya aku tahu kalau semua orang di dunia ini jahat. Terutama kamu."
Hari itu... Noval mengatakan yang sejujurnya.
Menyatakan perasaannya pada Elis.
Kalimat yang membuat Elis bungkam seribu bahasa, tak dapat berkata apa-apa selain menatap bingung sosok di hadapannya.
Noval tersenyum kecut. Ia tahu bahwa Elis belum siap, persahabatan yang ia bangun sejak ia dan Elis masuk Taman Kanak-Kanak mungkin akan runtuh seketika.
Saat itu, kenaifan Elis membawa gadis itu pergi menjauh dari Noval.
Elis belum siap untuk itu, gadis biasa yang tak pernah tahu arti cinta bisa apa?
Elis masih menganggap Noval seperti biasanya, sahabat sejak kecilnya. Elis menyayangi Noval, namun rasa sayang Elis hanyalah sebatas rasa sayangnya ke keluarga. Rasa sayang yang telah lama hilang dari hidup Elis sejak kedua orang tuanya meninggal.
Rasa sesal terus datang menghantui Elis. Seharusnya waktu itu ia mengangguk bahagia, bukannya ragu dengan sejuta rasa yang berputar-putar dalam benaknya.
Elis merasa bodoh, langkah yang ia ambil saat itu sudah cukup untuk membuat Noval meruntuhkan senyum manisnya.
"Kamu emang jahat, tapi aku tahu aku lebih jahat."
Elis menempelkan stick-notenya tadi pada dinding kamarnya dan tersenyum pahit. Dinding kamarnya kini sudah penuh dengan stick-note yang ia tulis setiap pagi selama beberapa bulan, waktu yang cukup bagi Elis untuk menghias kamar kecilnya itu. Mengurung diri dalam kamar demi menepati janji yang telah ia ucapkan.
Ini sudah cukup, janjinya sudah ditepati. Elis ingin menemui rindunya.
Dan hari ini, Elis memutuskan akan kembali padanya.
🍁🍁🍁
Hanya hoodie abu-abu yang Elis punya untuk menutupi luka tubuhnya. Sayatan yang Elis ukir demi memenuhi janjinya.
Bukan, bukan Elis tak punya alasan. Gadis itu bilang ia hanya rindu.
Angin yang berhembus menerpa poni Elis, memberi sesuatu yang sudah lama tak ia dapatkan. Sejuk, Elis juga rindu rasa itu. Karena penyejuk raga bagi Elis hanyalah Noval.
"Val, muka kamu kenapa?"
Saat itu Elis cemas, lukisan bahagia pada wajah Noval memudar. Ia tak ingin kehilangan itu.
Noval menggeleng. "Muka aku kenapa? Ganteng ya? Kamu naksir?"
Bahkan Noval sempat-sempatnya bercanda disaat firasat Elis mulai memburuk.
"Jangan bercanda mulu ah, kamu ke rumah sakit gih. Aku anterin," ucap Elis dengan senyum tulusnya. Memberi kesejukan tersendiri dalam hati Noval.
"Sa-sakit."
"Noval, kenapa? Mana yang sakit?"
Tangan dingin Noval menyentuh telapak tangan Elis yang terasa hangat, membawa tangan hangat itu menuju dadanya. "Aku sakit, jantung aku deg-degan. Tuh, tambah kenceng. Gara-gara kamu."
Elis bisa merasakan pipinya memanas, kenapa Noval tak pernah serius?
Tunggu, Noval pernah serius hanya saat itu Elis yang belum siap untuk menanggapinya.
"Aku sakit, Val. Kamu tahu 'kan?"
Entah sudah berapa kali Elis bergumam sendiri sepanjang perjalanan, Elis sadar mungkin ia sudah gila.
Fokusnya kembali menyusuri jalanan sepi yang terasa kosong, sama seperti jiwanya sekarang.
🍁🍁🍁
Elis sampai namun bukan pada tujuan sebenarnya, ia hanya singgah sebentar di tempat ini.
Di sini, Elis dan Noval memulai kisah persahabatannya. Di tempat ini mereka bertemu.
"Eh, kamu."
Merasa ada yang memanggilnya, anak perempuan itu menoleh pada sumber suara.
"Kamu, kamu ngapain di sini?" tanya anak lelaki itu.
Anak perempuan itu terlihat takut-takut untuk menjawab, matanya beralih pada sesuatu yang anak lelaki itu gendong.
"Ini kan rumah kosong, emang kamu nggak takut ke sini?"
"I-itu..." Anak perempuan itu menunjuk kucing di gendongan anak lelaki itu.
"Ohh, ini kucing kamu? Tadi aku liat kucing ini jalan-jalan sendirian, karena bulu kucingnya bagus pasti kucing ini ada yang rawat jadinya aku bawa aja dulu," jelas anak lelaki itu lalu menyerahkan si kucing pada pemiliknya.
Anak perempuan tadi segera mengambil kucingnya kesayangannya itu.
"Tadinya pengen aku adopsi, taunya udah ketemu sama pemiliknya." Anak lelaki itu kembali mengoceh.
"Oya, namaku Noval Alvian," ucap anak lelaki bernama Noval itu memperkenalkan diri. "Kalo kamu?"
"Celistia, Celistia Afrilina," jawab anak perempuan tadi dengan nada bicara takut.
Noval menopang dagu seakan sedang berpikir sesuatu. "Nama kamu susah banget, aku panggil kamu Elis aja ya? Biar gampang."
Elis mengangguk kecil.
"Oke, mulai sekarang kita teman." Noval mengulurkan tangannya, menunggu Elis membalas uluran tangannya.
Elis tersenyum tipis lalu menatap kucing yang ia gendong.
"Oya, 'kan kamu lagi gendong kucing."
Noval tertawa mencairkan suasana baru yang ia dapat saat itu, membuat Elis juga ikut tertawa kecil menanggapinya.
Bangunan putih di hadapannya ini yang juga menjadi saksi bisu janji antara Elis dan Noval.
"Nanti kalo aku pergi kamu sering-sering main ke sini ya, kalo kamu kangen aku datengin aja tempat ini."
Elis menoleh pada Noval yang hanya menatap sendu bangunan putih itu. "Kenapa? Kamu mau pergi kemana?"
Noval terkekeh. "Aku mau pergi ke tempat yang indah banget, kamu nggak boleh ikut."
"Loh? Ih, mau ikut," rengek Elis manja.
Noval mengusap puncak kepala Elis. "Nggak boleh, nanti juga kamu nyusul aku pada waktunya," ucapnya dengan suara menenangkan. "Udah-udah jangan dipikirin dulu, aku perginya masih lama kok."
Elis tersenyum kecut. "Kamu bohong, Val. Kamu ninggalin aku tanpa izin dari aku, emangnya aku udah bolehin kamu pergi?"
Kembali kepada masa lalu, sepulang sekolah, Elis dan Noval selalu menyempatkan untuk bermain di bangunan kosong itu.
"Elis, mau main TOD nggak?"
"Nggak ah, mainan anak kecil."
Noval terkekeh lalu menempelkan telunjuknya di pipi Elis. "Ayolah, aku kangen kita main TOD kayak dulu."
Elis hanya mengiyakan keinginan sahabatnya itu. Memulai permainan dan hasilnya tentu saja Elis yang selalu kalah karena menyerah.
"Karena kamu kalah kamu harus menuhin satu permintaan aku."
Elis mengernyit ragu. "Permintaan apa?"
"Kamu kan pinter bikin kayak puisi-puisi gitu, gimana kalo kamu bikinin aku kata-kata puitis yang banyak lalu kamu tempel di dinding kamar kamu."
"Permintaan macam apa itu?"
Noval memicingkan matanya dan mendekat pada Elis. "Kalo kamu nggak mau, kamu harus nerima aku jadi pacar kamu."
Wajah Elis memerah malu. "Iya nanti aku lakuin," ucapnya sambil mendorong wajah Noval menjauh.
"Janji ya?"
"Janji." Elis mengaitkan kelingkingnya pada kelingking Noval, keduanya tertawa menikmati hari-hari mereka sebelum semuanya berakhir.
"Aku udah tepatin janji aku, kamu tadi liat sendiri 'kan? Aku janji nggak bakal telat nepatin janji lagi, takut nanti kamu malah lupa." Elis tertawa hambar lalu berjalan pelan menuju pintu keluar bangunan kosong itu.
"Kenapa aku nggak bisa lupain kamu, Val." Elis menyenderkan diri ke tembok dan menangis menatap lukisan-lukisan miliknya dan Noval.
"Elis, kamu suka gambar kan? Gimana kalo tempat ini kita jadiin tempat buat berkarya."
Elis menatap bingung Noval. "Maksudnya?"
"Anggap aja ini kayak museum, museum tersembunyi dan cuma kita yang tau."
"Tapi rumah kosong ini..."
Noval menoleh pada Elis. "Kenapa? Kamu takut?"
"Nggak kok, lagian kita udah sering kesini."
"Terus?"
Elis berpikir sejenak. "Apa kamu yakin?"
"Apa kamu nggak yakin?" Noval melempar balik pertanyaan Elis, membuat Elis terpaksa mengiyakan.
"Oke, mulai sekarang tempat ini jadi milik kita."
Sejak kesepakatan kecil itu, Elis dan Noval sering berkunjung ke tempat ini. Berbagi cerita, berkarya dan menhias tempat sepi ini.
Rumah kosong ini sudah lama ditinggalkan pemiliknya dan letaknya yang cukup dekat dengan rumah Noval dan Elis membuat mereka menjadikan rumah itu sebagai rumah kedua mereka.
Elis menyentuh salah satu lukisan, lukisan yang paling berarti baginya.
"Val, kamu lagi lukis apaan?"
"Ini lukisan alam, kamu suka lukisan alam 'kan?"
Elis mengangguk. "Tapi maksud dari lukisan kamu ini apa?"
"Ini lukisan alam yang aku beri nama Kebahagiaan Yang Gugur, di lukisan ini daun-daun maple itu kayak kebahagiaan tapi perlahan mereka gugur."
Elis manggut-manggut mendengar penjelasan Noval, sampai manik matanya menangkap sesuatu di ujung lukisan. "Itu kok ada bunga? Bukannya latar lukisan ini musim gugur?"
Noval tersenyum, senyuman yang tak pernah dapat diartikan. "Itu bunga sweet pea."
"Hah? Swipi?"
"Sweet Pea, bunganya bagus 'kan?"
Lagi-lagi Elis mengangguk. "Walaupun aku nggak tahu itu bunga apa tapi bunganya bagus, apalagi kamu yang gambar."
Tanpa Elis sadari kalimatnya barusan membuat Noval sempat tersenyum pahit.
"Oiya, aku lupa ada urusan sebentar." Noval menggendong tasnya lalu menghampiri Elis. "Aku tinggal duluan nggak apa-apa?"
"Iya, nggak apa-apa."
Elis mengepalkan tangannya. "Nggak, aku nggak pernah nggak apa-apa sejak kamu tinggal."
Terkadang Elis berpikir, mengapa ia harus merasa tersiksa seperti ini? Dunia begitu kejam pada Elis, setelah kedua orang tuanya, neneknya, dan kucingnya lalu harus sahabatnya yang pergi meninggalkannya.
Kenapa semua harus pergi dari sisi Elis? Apa dunia belum puas mengambil semua yang disayanginya? Lalu kenapa bukan dirinya saja yang pergi?
Elis memutuskan untuk segera pergi dari bangunan itu, sejak Noval meninggalkannya ia tak pernah ingin lagi mengunjungi rumah tua ini.
Tujuan Elis sekarang hanya satu, menemui Noval.
🍁🍁🍁
Sudah seminggu penuh Noval tidak masuk sekolah, hal itu membuat Elis cemas.
Dan pulang sekolah nanti Elis berniat untuk menjenguk Noval.
"Permisi, Noval."
Seorang perempuan cantik kemudian membukakan pintu. "Oh, Elis, mau jenguk Noval ya?" tanya perempuan cantik itu lembut, perempuan itu adalah Luna, Ibunda Noval.
"Iya, Bun. Sekalian mau antar catatan buat Noval." Elis menunjuk catatan yang ia pegang sambil menunjukkan senyum kecilnya, ia sudah cukup akrab dengan Luna.
"Ya sudah, Noval ada di kamarnya, Bunda tinggal dulu ya," ucap Luna mempersilahkan yang Elis balas dengan anggukan sopan.
Elis segera masuk ke dalam dan mengetuk pelan pintu kamar Noval. "Val, aku masuk ya."
Noval yang sedang menonton TV langsung menoleh pada pintu yang terbuka oleh Elis. "Eliiiiiiis," teriak Noval lalu menghampiri Elis yang sempat kaget karena Noval langsung memeluknya.
"Apa sih, Val? Katanya sakit, kok kayak sehat-sehat aja," cibir Elis risih karena dipeluk lalu melepas pelukan Noval.
"Aku kan kangen, setelah seminggu kamu baru jenguk aku. Aku beneran sakit kalo nggak percaya pegang aja nih," kata Noval dan mengambil tangan kanan Elis lalu menempelkan telapak tangan Elis ke keningnya.
"Panas..." gumam Elis pelan.
"Nah bener kan, aku nggak bohong."
Elis tersenyum tipis lalu meminta Noval kembali berbaring di kasur untuk mengistirahatkan tubuhnya. Noval menurut karena Elis yang meminta.
"Minum obatnya ya," ucap Elis yang sudah mengambil obat di meja.
"Iya, Ma." Noval meledek Elis dengan panggilan 'Mama' karena perhatian Elis sudah sepertinya Mamanya sendiri.
Elis terkekeh kecil setelah melihat Noval menunjukkan ekspresi aneh ketika meminum obatnya. "Pahit ya?"
"Nggak kok, manis, soalnya aku liat kamu."
Pipi Elis memerah mendengar ucapan Noval barusan, entah mengapa ia merasa sangat senang.
"Cie yang seneng digombalin, mau aku gombalin lagi?" tanya Noval meledek Elis yang salah tingkah.
Tawa mereka membuat keduanya lupa akan masalah mereka masing-masing, terutama Noval yang bahagia ketika ia bisa melihat tawa Elis meski itu adalah tawa yang bisa ia lihat untuk terakhir kalinya.
Elis sampai di tujuan yang sebenarnya, rumah terakhir Noval.
Elis tak sanggup lagi membendung tangisnya, ia ingin menumpahkan semuanya di tempat ini.
Ia marah, ia kesal, ia kecewa, ia sedih, ia terpuruk, ia menyesal, semua perasaan Elis bercampur aduk melihat nama Noval terukir pada batu nisan di hadapannya.
"Kenapa ... kenapa harus kamu?" gumam Elis terisak.
Sudah satu bulan Noval tidak masuk sekolah dan Elis terbiasa pulang sendiri. Elis juga selalu menyempatkan waktunya untuk mengunjungi Noval di rumah sakit.
Hari itu, pulang sekolah Elis berniat untuk menjenguk Noval sambil membawakannya beberapa buah-buahan.
Elis mengetuk pintu kamar ruang rawat Noval. "Permisi..."
Suara isak tangis langsung menyambut kedatangan Elis.
"Bunda, ini ada apa? Kenapa Om sama Bunda nangis?" tanya Elis bingung lalu menghampiri ranjang Noval.
"Elis, Noval..." Luna menggantung ucapannya ketika melihat tatapan Elis.
"Noval? Noval kamu masih tidur?" Elis mencoba menggerak-gerakkan tangan Noval. "Noval bangun, aku udah dateng."
"Elis..."
"Nggak, Bun. Noval pasti ngantuk banget, tapi ini udah siang, waktunya makan. Bangunin Noval dulu," suara Elis berubah parau seakan menahan tangis. "Bangunin Noval, Bun."
Luna mengelus bahu Elis seolah ingin memberikan kekuatan pada Elis, tangisan Elis pun pecah.
"Jangan bilang, jangan bilang kalau Noval udah meninggal." Elis meninggikan suaranya, membuat semua orang yang ada di ruangan itu membisu.
"Bun, Noval cuma tidur 'kan? Iya 'kan? Bunda cepetan bangunin Noval," ucap Elis disela tangisnya. Kepergian Noval begitu mendadak, Elis belum siap untuk kehilangan Noval.
"Elis, ikhlaskan Noval supaya dia tenang." Suara Alvin--Ayah Noval-- berusaha menenangkan Elis.
"Nggak mungkin, aku nggak percaya. Noval itu kuat, dia pasti masih hidup."
Alvin dan Luna hanya menatap Elis miris, sama seperti mereka yang kehilangan anaknya, Elis juga kehilangan sahabat baiknya.
Seminggu setelah Noval dimakamkan kedua orang tua Noval memutuskan untuk pindah, kenangan tentang Noval di sini terlalu banyak sehingga membuat Luna tak kuat menyadari kenyataan bahwa Noval benar-benar sudah pergi untuk selamanya.
Elis pun diajak oleh Luna untuk pindah dan tinggal bersama mereka karena Luna tau Elis tidak mempunyai siapa-siapa lagi selain keluarga Noval yang sangat baik padanya, awalnya Elis menolak namun akhirnya ia setuju dengan keputusan Alvin dan Luna.
Elis mengusap pipinya yang kini basah oleh air mata, ia mengeluarkan secarik kertas dan sebuah bunga yang tampak layu.
Sebuah surat dan bunga yang ditinggalkan Noval untuk Elis beberapa hari sebelum kepergiannya, Elis menguatkan dirinya untuk kembali membaca surat itu.
Halo Elis, apa kabar? Mungkin waktu kamu baca surat ini aku udah nggak bisa buat ada di samping kamu lagi kayak biasanya.
Aku mohon maafin aku yang nggak bisa lagi nemenin kamu, aku tahu kamu kuat, kamu pasti bisa tanpa aku.
"Tapi aku nggak bisa tanpa kamu, Val. Kamu salah," gumam Elis kecil ketika membaca kembali surat itu.
Udah dong nangisnya, muka kamu jadi tambah jelek kalo nangis mulu.
Apa? Kamu nggak nangisin aku? Ohh maaf aku kepedean, hehe.
Oya, aku juga ninggalin sesuatu buat kamu. Bunga yang aku taruh di samping kertas ini, itu buat kamu.
Kalau kamu masih penasaran soal bunga sweet pea yang pernah aku bilang mungkin kamu akhirnya jadi tahu, bunga yang aku kasih itu namanya bunga sweet pea. Cantik 'kan? Tapi nggak ada yang lebih cantik dari Mama dan kamu.
Cie, aku gombalin lagi tuh. Hehe.
Jaga baik-baik bunga dari aku itu ya? Nyarinya susah lho, kamu nggak tau perjuangan aku cari bunga itu buat kamu. Hehe kok aku curhat?
Kamu juga jaga kesehatan, jangan jaga bunganya doang. Kamu itu kan susah makan kalau aku nggak ingetin kamu makan, mulai sekarang pokoknya kamu harus mandiri.
Maaf karena aku terlalu cepat pergi...
I'll miss you...
And I love you, Elis.
Salam sayang,
dari sahabatmu yang selalu menunggumu.
Entah sudah berapa tetes air mata yang Elis keluarkan untuk Noval, memandang kembali makam Noval sama saja seperti membuka kotak kenangan yang telah lama ia pendam.
Elis sadar betapa bodohnya ia tak menyadari kode yang Noval berikan padanya. Ketika Noval bilang ada urusan, itu artinya ia harus melakukan check up kesehatannya, ketika Noval bilang ia akan pergi itu artinya pergi untuk selama-lamanya, dan bunga sweet pea pemberian Noval yang berarti sebuah perpisahan.
Elis menyesali semua kesalahannya, ia tak pernah menyadari keseriusan Noval. Bahkan disaat Noval sakit, Noval dapat tersenyum dengan mudahnya agar Elis tak ikut bersedih.
"Noval, I love you too, Sorry I'm late... Aku akan kembali bersamamu."
Elis mengeluarkan sebilah pisau lalu memotong nadinya dengan pisau yang sedari tadi ia simpan itu. Pergelangan tangan gadis itu mengeluarkan banyak darah, perlahan Elis mulai kesulitan bernapas tapi Elis kembali menyunggingkan sebuah senyum pada makam Noval sebelum ia jatuh tersungkur ke tanah.
Elis pergi untuk selamanya, meninggalkan seberkas kenangan yang hampir sirna tak tersisa demi memenuhi janjinya untuk kembali bersama dengannya.
🍁🍁🍁
Gadis itu melantunkan sebuah syair, sajak abadi yang terukir dalam nurani insan dua sejoli.
Goodbye Juliet, melodi yang telah kau tinggalkan itu masih terdengar di telingaku. Goodnight Romeo, setelah sekian lama, jika kita selalu bersama kita tak akan pernah terpisah lagi.
Tamat.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top