4. Lathyrus Odoratus
Bunga : Sweat Pea - bermakna, saatnya mengucapkan "selamat tinggal"
Writen by : lirazwadec
Date : January, 09 2018
Sub. Genre : Supranatural - School life.
Genre : Romance.
LATHYRUS ODORATUS
Welkam readers! This is story credit by lirazwadec B-) enjoy and be careful for typo, kegajean, keanehan, kebacotan dan segala yang tidak mengenakkan di hati. Intinya, ENJOY!
.
.
.
Bunga sweat pea bermekaran di sebuah rumah berpapan tuliskan 'DIJUAL'. Yah, rumah besar yang terkesan megah itu baru saja ditinggal oleh penghuninya. Taman kecil di halaman depan rumah tersebut masih bermekaran dan terlihat tumbuh tak beraturan namun tetap cantik.
"Kau terus memandanginya, mau kuambilkan?" tawar Alex pada Fione.
Fione tersadar dari lamunannya, ia menggeleng "Yang benar saja, itu kan bunga orang, gak boleh di cabut." Fiona mengibas-ngibas tangannya.
"Tapi serius kamu suka bunga itu ya?" tanya Alex.
"Bukan suka sih, bunga itu mengingatkanku dengan almarhum ibuku." Fione tersenyum miris.
"Oh, maaf." Alex merasa sangat menyesal.
"Ahaha, tidak apa-apa!" Fione meninju kecil bahu Alex dan mereka pun melanjutkan perjalan pulang.
Keesokan harinya, seperti biasa, Fione selalu datang paling awal. Ia sendiri tak tahu mengapa ia berangkat ke sekolah selalu lebih awal, padahal di rumah ia merasa sudah sangat terlambat. Seseorang membuka pintu kelas tak lama setelah Fione.
"R-Ryan..!" sapa Fione gugup.
"Kukira aku terlambat, bahkan belum ada siapa-siapa disini." Gerutu Ryan begitu memasuki kelas. "Hari ini ada pr?"
Fione jarang berbicara pada Ryan, teman sekelasnya sendiri karena Fione memang dikenal sebagai gadis kalem. Ia selalu bersama Thalia atau Alex yang sudah bersamanya sejak SD. "Enggak, tapi jam pertama ada tes sejarah."
"Oh, bagus." Ryan langsung mengeluarkan bukunya, "kau sudah belajar?"
"Yah, sedikit tadi malam."
BRAK!
Beberapa orang mulai memasuki kelas dan mendadak ramai. Lalu yang terakhir datang adalah Alex. Fione sebenarnya sudah lama menyukai Ryan, cowok berkacamata dan populer. Sikapnya agak dingin. Benar-benar tipe Fione! Namun Fione cukup sadar diri bahwa dirinya tidak mungkin bisa akrab dengan seorang Ryan. Ryan dikelilingi teman-temannya yang juga eksis, dan tak sedikit cewek yang juga jatuh hati padanya, jadi bisa dibilang Ryan hanya mimpi untuk Fione. Begitulah anggapan Fione, sehingga saat Ryan bicara padanya, ia kelewat gugup.
"Fi? Kamu sakit?" tanya Alex menyikut lengan Fione yang sedang memperhatikan papan tulis.
"Heh?" lagi-lagi Fione melamun.
"Kamu keringat dingin. Udah sarapan?"
"Udah, aku ga kenapa-napa kok." Kata Fione meyakinkan, sementara Alex hanya mengangguk.
Alex tahu Fione suka dengan Ryan.
Hari itu Alex mendadak tidak bisa pulang bareng Fione karena Alex ada janji dengan teman futsalnya, Alex sempat mengajak Fione ikut bersamanya tapi Fione menolak karena menonton futsal itu membosankan. Meskipun Alex adalah tontonan yang paling di nanti-nanti para cewek sekalipun.
Alex berpisah dengan Fione. Fione pun pulang sendirian, ia menunggu di halte bus. Beberapa anak yang satu sekolahnya juga menunggu bersama teman-teman mereka.
"Tumben sendiri?" sebuah suara mengejutkan Fione.
"RYAN!" Fione menutup mulutnya segera saat menyadari suaranya kelewat besar sehingga beberapa orang melihat ke arahnya. "Kamu juga tumben naik bus?"
"Yah, motorku lagi di bengkel, jadi harus naik bus." Jelas Ryan terus terang. "Mana Alex?"
"Dia pergi main futsal, biasanya sih hari Rabu, tapi kali ini dia mendadak harus hari ini." jelas Fione. Ryan mengangguk-angguk.
Tak lama kemudian bus pun datang. Ryan duluan masuk ke bus diikuti Fione di belakangnya. Hanya ada satu kursi yang kosong, Ryan mengabaikan kursi tersebut dan meraih pegangan bus, mau tak mau Fione duduk di kursi kosong tersebut.
Fione baru menyadari bahwa dari tadi jantungnya berdegup kencang. Fione berusaha agar tidak salah tingkah di depan Ryan, ia tak ingin orang-orang melihat Ryan bersama dirinya, bisa-bisa ia kena bahan gosip sekolah, karena setiap cewek yang mendekati Ryan selalu menjadi sasaran empuk para penggosip di sekolah.
Lamunan Fione terbuyarkan saat Ryan menarik tangannya cepat dan hantaman kuat memutar-balikkan bus. Suara teriakan dan decitan serta klakson mobil yang nyaring memekakkan telinga. Fione bisa merasakan kepalanya terbentur benda tumpul dan kepalanya berputar lalu semuanya gelap.[]
Ryan membuka matanya. Pandangannya kabur namun perlahan kembali normal. Hal terakhir yang diingatnya adalah saat sebuah truk tiba-tiba muncul di depan bus yang ia tumpangi, bus berbelok hilang kendali dan ia sempat menarik tangan Fione menghindari hantaman bus pada tiang listrik dan sesuatu berdentum di dadanya lalu, di sinilah ia terbangun.
"Fione!" tiba-tiba Ryan terduduk dan menyadari dirinya berada di rumah sakit. Ia langsung keluar ruangan dan mencari meja informasi untuk mencari Fione.
"Permisi, saya ingin mencari teman saya..." para petugas terlihat sibuk sehingga mengabaikan Ryan. Lalu Ryan melihat Alex baru saja memasuki rumah sakit dan langsung berlari menuju ruangan yang hanya berjarak 3 kamar dari kamar Ryan, Ryan langsung mengejarnya dan melihat Fione terbaring di kamar tersebut.
Keadaan Fione terlihat parah. Perban terlilit di kepalanya dan selang tergantung dari hidungnya. Ryan mengetuk pintu dan memasuki ruangan. Alex mengabaikan Ryan, Alex hanya duduk sambil meletakkan beberapa buah di samping ranjang Fione.
"Alex." Panggil Ryan. Alex tak bergeming. "Alex!"ulang Ryan, "Al-" Ryan tercengang saat tangannya hendak mengguncang tubuh Alex, tangannya menembus tubuh Alex. Ryan menatap jemarinya dan mencoba sekali lagi menyentuh Alex dan benar-benar tembus. Ryan bergidik ngeri dan mundur beberapa langkah. Ia sangat ketakutan dan mencoba berteriak, namun tentu saja tak ada yang mendengar.
Ryan berlutut di samping ranjang miliknya. Kakinya tak sanggup menahan tubuhnya yang sebenarnya ringan saat melihat dirinya sendiri terbaring koma di kamar rumah sakitnya. Ia nyaris gila melihat tubuhnya ditembus orang-orang, Ryan berpikir dirinya telah mati.
Ini sudah masuk hari kedua. Orangtuanya menjenguknya setiap hari, Ryan bisa melihat ibunya terus mengusap-usap kepalanya-kepala tubuhnya yang asli-sambil berdoa dan menahan tangis. Sementara ia hanya duduk di pojok ruangan menyaksikan ibunya menangis sampai matahari terbenam memisahkannya.
Ryan berjalan ke koridor rumah sakit yang mulai sepi. Ia berdiri di depan pintu kamar Fione. Di dalam telihat seorang pria berjenggot dan Alex. Mereka sedang bersiap-siap hendak pulang. Tak lama setalah itu dokter datang memeriksa dan setelah itu mereka pun pulang. Ryan menyelinap masuk dan duduk di kursi yang diduduki Ryan sebelumnya.
Ryan tak tahu harus melakukan apa dengan tubuh gentayangannya ini, ia hanya duduk lesu tak melakukan apa-apa. "Padahal aku berharap kau baik-baik saja." gumam Ryan. "Aku memang payah."
Fione tak memberi respon apapun. Gadis itu masih terbaring tak sadarkan diri, nafasnya terdengar mulai stabil.
"Apa semua orang yang dalam keadaan koma terlepas dari tubuhnya?" tanya Ryan pada dirinya sendiri. "Apa kau juga sedang meratapi dirimu sendiri dan bertanya-tanya apakah kau sudah mati?" Ryan menujukan pertanyaan pada Fione. "Terus terang, aku masih belum ingin mati." Suara Ryan semakin bergetar, "tadi itu pertama kalinya aku melihat ibuku sangat khawatir sampai ia menangis."
Fione bergumam. Ryan ragu namun akhirnya ia benar-benar mendengar Fione bergumam mengakatan 'ibu'. Gadis itu mulai memberikan tanda-tanda bahwa ia akan sadar. Dokter kembali memeriksa keadaan Fione. Fione akan sadarkan diri.
Matanya perlahan terbuka, nafasnya sedikit sesak lalu matanya mulai melirik ke sekeliling. Ryan berharap Fione bisa melihatnya.
"Fione!" panggil Ryan. "Kau bisa melihatku?" tanyanya.
Tak ada jawaban, Fione menatap lurus ke depan. Ia tak melihat Ryan.
"Fione?" Ryan tahu Fione tak bisa melihatnya, namun Ryan terus memanggilnya. "Fione, bagaimana perasaanmu?"
Dokter memeriksa mata Fione dengan senter, lalu mengatakan bahwa Fione akan segera pulih. Beberapa suster merapikan tempat tidur Fione, namun Fione terlihat berusaha bangkit.
"Jangan dulu Nak, kamu belum sembuh sepenuhnya." Tahan salah satu suster.
"Teman saya..." kata Fione terbata-bata dengan suaranya yang serak. "Bagaimana dengan teman saya?" tanya Fione.
"Tenang, dia juga di rawat di sini, kamu belum sepenuhnya sembuh, istirahat lah dulu." Suster kembali menidurkan Fione dan menaikkan selimutnya. Lalu mereka pun berlalu.
Ryan hanya diam, sejujurnya ia kaget karena Fione langsung menanyakan dirinya. Ryan melihat Fione tepat di sampingnya kini berusaha mencoba turun dari ranjangnya. Fione terhuyung sehingga Ryan reflek hendak menahan tubuh lemah gadis itu namun Fione kembali stabil dan berjalan keluar kamar.
Kepala Fione pusing, sangat-sangat pusing, namun ia harus memastikan Ryan baik-baik saja. Dengan berpegangan dengan dinding, Fione berjalan memeriksa setiap jendela pintu kamar. Tak perlu ia jauh-jauh, ia menemukan kamar Ryan.
Fione membuka pintu kamar Ryan dan melihat Ryan terbaring lemah tak sadarkan diri. Banyak perban di tubuhnya seolah keadaannya begitu parah. Fione menutup mulutnya, ia kaget dan juga sangat menyesal. Tentu saja Ryan seperti ini karena usahanya menyelamatkan Fione.
Ryan tak berani memasuki kamarnya sendiri. Melihat dirinya dan Fione yang ia yakin sedang menangis di dalam. Apa keadaannya begitu buruk? Ryan tetap tak berani masuk, ia hanya melihat Fione melewati jendela kaca pintu kamar.[]
"Hei, bagaimana keadaanmu?" tanya Alex duduk di samping ranjang Fione.
"Sedikit pusing." Jawab Fione.
"Mau kusuapkan apel? Atau pir?" tawar Alex.
"Bagaimana keadaan Ryan?" Fione mengabaikan pertanyaan Alex.
"Masih sama, belum sadarkan diri." Jawab Alex, suaranya terdengar sedih.
Ryan duduk di sofa kamar Fione. Tentu saja ia bosan duduk di kamarnya sendiri sementara ibunya belum datang menjenguknya, meskipun datang, ia tak bisa melakukan apa-apa.
"Itu terjadi dalam sekejap," kata Fione. "aku baru sadar bahwa Ryan menarikku menghindari tiang listrik, jika tidak, mungkin kepalaku sudah remuk."
"Kalau begitu kau beruntung Ryan menyelamatkanmu. Seandainya aku juga berada di sana, aku juga pasti melakukan hal yang sama lho," Alex menepuk-nepuk kepala Fione, "kau harus berterima kasih padanya nanti, mungkin mentraktirnya es krim atau kebab. Jangan lupakan untukku satu."
Fione tersenyum menghargai Alex yang berusaha terus menghiburnya. Namun sebenarnya Fione sangat takut jika karena dirinya, Ryan tak terselamatkan.
"Baru kutinggal sebentar, kau sudah seperti ini." kata Alex. "Untung saja ada Ryan, lain kali aku takkan membiarkanmu pulang sendirian. Aku janji."
"Sudah cukup orang-orang berpikir kau itu ibuku, Alex." Kata Fione.
"Apa? Mereka bilang begitu?" Alex terlihat kaget. Fione hanya menangguk. "Ngomong-ngomong," Alex mengubah topik pembicaraan. "Bukannya kau suka Ryan, ya?"
Ryan tersentak, ia ingin kalimat barusan di ulang, berpikir bahwa pendengarannya bermasalah. Fione? Suka padanya? Pikir Ryan.
"Kelihatan sekali ya?" tanya Fione.
"Tidak," kata Alex. "Hanya aku seorang yang menyadarinya." Ucap Alex bangga. "Padahal kukira kau suka aku."
"Yang benar saja."
Alex tertawa.
Ryan melotot pada Fione. Ia baru saja mengatakan hal yang seharusnya tak boleh ia dengar. Tapi Ryan tetap tidak percaya Fione ternyata selama ini menyukai dirinya. Padahal Ryan yakin ia tidak terlalu baik di hadapan Fione, ia bahkan baru berbicara pada Fione akhir-akhir ini sekedar basa-basi karena bertemu dengannya di kelas pagi-pagi.
Dari sekian banyak cewek yang suka padanya, terus saja berusaha mencari perhatian Ryan dengan cara tak lepas dari pandangan Ryan sehingga Ryan memiliki sikap agak kasar pada cewek, bukan kasar fisik, tapi kata-kata yang dingin. Tapi Fione berbeda, ia menyukai Ryan bukan berarti ia menuntut Ryan agar juga suka padanya. Lalu di sisi lain, Ryan melihat Alex yang sepertinya berusaha menutupi perasaannya yang sebenarnya.
Ryan keluar kamar dan kembali ke kamarnya. Jangan bilang melihat diri sendiri itu mudah, Ryan sejujurnya takut melihat dirinya sendiri terbaring lemah di ranjang seperti mayat. Dan saat seseorang menembus dirinya adalah hal yang paling mengerikan seumur hidupnya, ia tak ingin siapapun menembus tubuhnya lagi.
"Kapan kau akan bangun, dasar payah." Kata Ryan pada dirinya sendiri.
Pintu kamar Ryan terbuka, Alex masuk sambil mendorong Fione di atas kursi roda. Fione terlihat pucat dan rambutnya agak berantakan.
"Alex, menurutmu kapan dia akan bangun?" tanya Fione.
"Tenang saja, dia akan bangun secepatnya." Ucap Alex menenangkan.
"Kata dokter, jantungnya melemah sejak dadanya menghantam trotoar, apa jantung bisa di transplantasi?" tanya Fione.
"Bicara apa kau, bodoh." Alex menjitak kepala gadis itu, "Aku lupa nilai biologimu jelek, yang jelas, yang bisa kau lakukan sekarang adalah mendoakannya agar cepat sembuh dan segera sadar."
Fione hanya dia meratapi Ryan yang masih dalam keadaan koma. Hening beberapa saat, Alex tak tahu lelucon apa yang cocok untuk suasana yang rumit saat ini. Jika dia berada di posisi Fione saat ini, dan orang yang terbaring koma adalah Fione sendiri, mungkin Alex akan mengatakan hal yang sama.
Tapi kenyataannya Fione rela menyerahkan nyawanya demi Ryan, bukan dirinya. Selama ini Alex terlalu percaya diri bahwa Fione menyukainya dan selalu bergantung padanya. Namun meskipun kenyataan pahit itu harus diterimanya, kenyataannya Alex tetap menyukai Fione.
"Ryan, kau beruntung sekali." Gumam Alex.
"Hm, apa?" Fione tak mendengarnya.
"Lupakan, mau kuajak ke taman?" tawar Alex.
Taman rumah sakit cukup menyenangkan dan enak dipandang. Hijau dan segar. Beberapa anak-anak bermain di depan kolam ikan dengan air mancur. Alex membawa Fione ke dekat sebuah pohon rindang yang dibawahnya ada kursi taman dan meja, menyuruh Fione menunggu di sana sementara ia akan membeli minuman.
Fione menatap ke sekeliling taman, mulai dari anak-anak sampai lansia menikmati suasana taman. Lalu pandangan Fione tertuju pada salah seorang anak kecil yang berdiri di pinggir kolam, tanpa pikir panjang Fione berlari dan sedetik sebelum anak itu tergelincir dan masuk ke kolam, Fione menariknya dan mereka jatuh terduduk di tanah.
"Hampir saja!" kata Fione. "Kamu baik-baik saja?" tanyanya. Anak itu mengangguk dengan ekspresi ketakutan dan lega lalu berlari ke dalam rumah sakit. Fione menghela nafas dan berusaha bangkit namun pantatnya berdengung karena tiba-tiba menghantam tanah dan kakinya gemetaran. Ia celingak-celinguk mencari sosok untuk meminta pertolongan lalu melihat Alex kebingungan melihat Fione menghilang dari kursi rodanya.
Fione melambai seolah mengatakan aku disini! Dan Alex pun menghampirinya.
"Aku bahkan tak sampai meninggalkanmu semenit." Kata Alex.
"Bantu aku berdiri." Fione mengangkat kedua tangannya menunggu Alex menariknya untuk berdiri.
Alex membantunya berdiri, namun tak sampai sedetik kaki Fione oleng dan alhasil Alex terpaksa menggendong Fione di punggungnya.
"Kamu baru saja berguling di jalan raya dan menghantam aspal, dan sekarang kamu nekat berlari dan menggendong anak kecil yang memegang gelas saja gemetaran, kamu pikir kamu pulih secepat itu?" omel Alex lalu membantu Fione kembali duduk di kursi rodanya.
"Sehari ini saja Alex, jangan bawel seperti ibuku, oke?" kata Fione.
Fione melihat beberapa suster dan dokter berlari memasuki kamar Ryan. Fione langsung menyuruh Alex mengantarkannya ke sana. Ryan terlihat semakin kritis, ibunya terus saja menangis sambil memanggil nama anaknya, tapi Ryan tak memberikan tanda-tanda. Fione gemetaran hebat menyaksikan hal tersebut dari kaca pintu karena ia tak diperbolehkan masuk, lalu Alex menggenggam kedua tangannya agar Fione tetap tegar. Ibu Ryan terus berteriak memanggil nama Ryan dan sang ibu berhasil. Ryan sadarkan diri.[]
"Fione, tenanglah!" kata Alex menenangkan. Siapapun takkan sanggup menyaksikan seorang ibu menangis histeris memanggil-manggil anaknya yang diambang maut. Apalagi Fione menyalahkan dirinya atas keadaan Ryan saat ini. Fione mengigil ketakutan sampai akhrinya gadis itu pingsan.
Alex memanggil dokter dan Fione langsung ditangani. Untuk sementara Alex dilarang mengajaknya keluar karena keadaannya belum sepenuhnya pulih. Kali ini Alex tak akan meninggalkan Fione, ia berjanji ia akan selalu berada disisinya dan akan melindunginya.
Disisi lain, Ryan sadarkan diri namun bukan berarti keadaannya membaik. Ryan bisa merasakan tubuhnya yang sekarang sangat lemah, pusing yang hebat memberatkan kepalanya, matanya berkunang, beberapa bagian tubuhnya berdenyut. Ibunya masih setia menggenggam tangannya dengan erat. Ryan tak sanggup untuk berbicara, nafasnya tinggal hitungan jari. Ia menoleh ke samping, ke arah Fione terbaring sekarang.
Ryan takut jika ia menutup matanya kali ini, ia tak akan membukanya lagi. Lalu di dalam lubuk hatinya yang paling dalam, ia ingin sekali bertemu dengan Fione untuk terakhir kalinya. Namun, tentu saja ia tak bisa.[]
Fione berdiri di depan sebuah rumah berpapan-tuliskan 'DIJUAL'. Di halaman depannya terdapat bunga sweat pea dengan berbagai warna yang indah. Fione tak mau mengakui bahwa bunga itu sangat cantik, karena mengingatkan ia pada ibunya.
"Kau terus memandanginya, mau kuambilkan?" ucap sebuah suara. Fione menoleh dan melihat Ryan dengan seragam sekolah dalam keadaan sehat.
Fione tersadar dan berusaha agar tidak terkejut saat Ryan bicara padanya. "T-tidak."
Namun Fione terlambat, Ryan sudah melompati pagar dan mencabut beberapa tangkai bunga tersebut dan kembali ke luar pagar.
"Ini, untukmu." Ryan menyerahkan bunga itu pada Fione.
Fione senang begitu melihat bunga itu kini di depannya, bahkan diberi oleh orang yang ia sukai, saat ia hendak menerima bunga tersebut, Fione tersadar.
"Nggak..." kata Fione, wajahnya tiba-tiba takut dan pucat. "Enggak mungkin..." Fione mulai menangis dan mundur beberapa langkah, Fione sadar bahwa kini ia sedang bermimpi, mimpi yang sangat menyakitkan, ia ingin segera bangun. Sweat pea bermakna ucapan selamat tinggal.
Ryan menarik tengan Fione dengan lembut dan menyerahkan bunga tersebut pada Fione. Lalu tersenyum untuk terakhir kalinya.
"Selamat tinggal, Fione."
Kata terakhir Ryan sebelum Fione akhirnya terjatuh berlutut dan Ryan berjalan semakin menjauh darinya. Lalu Fione pun terbangun. Fione berusaha bangkit dan hendak menemui Ryan di dunia nyata, namun pintu kamarnya terbuka dan Alex tiba-tiba masuk dengan wajah khawatir, ia langsung memeluk Fione dengan erat sambil berkata;
"Maafkan aku Fione, dia sudah pergi."
[TAMAT]
Yak, anda baru saja membaca kisah Fione by author gaje ini, liraz! Cewe kacamata yang baru saja dapat hobi baru yaitu mabar mobile legends user odette :v akun ig nya dilelang menjadi akun jual diamond ml, miris sekali! Ngeship banget sama Piper McLean dan Jason Grace si demigod couple kece! Dan sekarang dia bingung ngomong apaan disini! Intinya, THANKS FOR READING! Don't forget to vote+coment+follow my acc @lirazwadec on wattpad ;)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top