3. Sang Pengucap Janji
Janji. Satu kata yang sangat sering kita dengar di telinga kita. Tapi, sebenarnya apa arti dari janji yang sebenarnya?
Janji adalah kesanggupan. Oleh karena itu, janganlah sekali-kali mengumbar janji jika pada akhirnya tidak bisa menepatinya.
Banyak orang yang mengumbar janji tanpa menepatinya, seakan mereka tidak mengetahui apa arti dari janji yang sebenarnya. Memberi harapan kepada orang lain dan tidak pernah melaksanakannya.
Dan inilah suatu kisah tentang janji. Kisah tentang sang pengucap janji yang indah. Suatu janji yang akan dipenuhi seperti bunga Morning Glory yang tumbuh dan mekar.
***
Bunga Morning Glory memiliki arti janji yang akan dipenuhi
SANG PENGUCAP JANJI
Ditulis oleh : Naori17
Genre : Historical
Sub-genre : Romance, Action, Angst, Comedy (iya tapi dikit dan hampir tidak berasa)
*Earl : Salah satu tingkatan bangsawan yang ada di Inggris.
*Countess : Gelar bangsawan yang ada di Inggris dan setingkat dengan Earl. Gelar ini diberikan untuk perempuan.
--- Selamat Membaca ---
***
"Apa?! Aku harus ke New York?!" aku terkejut setengah mati saat kedua orang tuaku menyatakan bahwa besok aku harus pergi ke Amerika Serikat. Ini adalah hal yang mengejutkan karena sangat mendadak. Aku belum menyiapkan apa pun untuk pergi. Memang mereka keterlaluan.
"Benar, jadi apa kau bisa?" tanya laki-laki berambut pirang yang tak lain adalah ayahku sendiri.
"Aku tidak bisa," ucapku tegas. Jujur saja aku sedang malas pergi dari rumah untuk saat ini. Jangankan pergi ke New York, melangkahkan kaki untuk berkeliling London saja tidak mau.
"Tapi kau harus tetap pergi. Dengar Alex, kau nantinya akan menjadi Earl menggantikan aku. Kau harus terbiasa pergi jauh. Anggap saja ini latihan."
"Bukankah itu masih lama? Untuk apa aku harus melakukan itu sekarang?" tanyaku sambil menyilangkan kedua tanganku dengan malas.
"Kau harus belajar mulai sekarang!"
"Tidak mau!"
Ayahku menghela nafas panjang menghadapi sifatku yang pemberontak ini. Wajahnya sudah tampak bingung akan berkata apa lagi. Kalau dilihat, aku menjadi kasihan dengannya.
"Kita tidak tahu apa yang akan terjadi di esok hari. Bisa saja-"
"Baik Ayah, aku akan pergi jika itu maumu," aku memotong perkataannya.
"Bagus, itu baru anakku. Lagipula kau ini harapan satu-satunya bagiku," ucap ayahku.
Tiba-tiba aku dapat melihat kesedihan di wajahnya. Mata hijaunya menatapku dengan sendu. Entah apa yang ia pikirkan saat ini. Aku yakin pikirannya sudah melayang kemana-mana. Pikirannya sudah tidak terpusat di aku, tapi terbang jauh melintasi awan. Pergi ke tempat yang tidak terhitung jaraknya. Aku hanya dapat memakluminya.
"Baik, aku akan berusaha untuk tidak mengecewakanmu, Ayah."
"Bagus jika begitu. Besok kau akan pergi pada pagi hari. Bawalah Shamus bersamamu," ucap ayahku sambil menunjuk orang yang ada di sebelahnya.
Aku menatap orang yang ditunjuk ayahku dengan tatapan bosan. Setiap hari aku selalu melihat pemandangan yang membosankan. Laki-laki tinggi dengan rambut coklat tua dan mata yang senada dengan ekspresi datar. Menggunakan jas hitam dan kemeja putih. Dasi kupu-kupu putih yang dipakai secara asal adalah ciri khasnya. Ia tak lain dan tak bukan adalah Shamus, pelayan setia keluargaku.
"Tapi Ayah, jika Shamus ikut pergi bersamaku, siapa yang akan mengurus kepentingan di sini? Lebih baik aku pergi sendiri saja," ucapku menolak.
"Itu urusan mudah. Kau tak perlu memikirkan itu. Pergi sendirian itu berbahaya. Lagipula jika kau tersesat di jalan, kau tidak akan tersesat sendirian jika bersama Shamus."
"Tapi Ayah-"
"Tidak ada kata tapi. Pesiapkan dirimu untuk besok. Shamus akan pergi bersamamu dan itu tidak dapat dibantah," ucap Ayah sambil pergi berjalan meninggalkanku yang tanpa sengaja mematung.
Baiklah, untuk kali ini saja aku akan menerima orang menyebalkan itu pergi bersamaku. Kata-kata Ayah tidak bisa dibantah kali ini.
"Baik Shamus, kau akan pergi besamaku," ucapku sambil menghadap si pelayan.
"Ya," jawabnya singkat, padat, dan jelas seperti biasa. Ia orang yang dingin. Itulah yang membuatku malas jika pergi dengannya. Pasti perjalanan akan menjadi sangat membosankan.
"Baiklah, kalau begitu besok tolong kau siapkan apa saja keperluanku," ucapku sambil berlalu dengan tatapan sinisku ke arahnya.
"Ya." Hanya kata ini yang kudengar setelah itu. Sungguh membosankan.
***
Suara desiran ombak yang memecah batu karang terdengar sangat jelas di telingaku. Bau amis ikan menyeruak di hidungku. Orang-orang sibuk berlalu lalang. Kini aku sedang berada di dermaga Southampton bersama si pelayan menyebalkan itu.
Shamus sedang menitipkan barang-barang bawaan. Sementara itu, aku langsung masuk ke dalam kapal, tidak peduli aku meninggalkannya. Untuk apa aku peduli pada Shamus yang menyebalkan itu?
Aku melihat bagian dalam kapal. Mataku terbelalak saat melihatnya. Sangat mewah dan menakjubkan. Ini pertama kalinya aku akan melakukan perjalanan jauh dengan kapal.
Aku terdiam beberapa detik. Mencerna apa yang ada di hadapanku. Baru pertama kalinya aku melihat pemandangan seperti ini.
"Akhirnya ketemu, Tuan Muda," ucap seseorang dari belakangku yang membuatku berhenti untuk mengagumi keindahan kapal ini.
Aku membalikkan badanku dan menjumpai sosok yang sudah tidak asing di mataku. Sepertinya aku tidak perlu menjelaskan siapa orang itu. Ia tak lain adalah Shamus.
"Hn."
"Aku mencari Anda, Tuan Muda."
"Oh, jadi kau peduli kepadaku?" tanyaku sinis.
"Hamba ini pelayan Willson paling setia, Tuan Muda. Sudah tugas hamba adalah untuk selalu berada di samping Earl dan seluruh anggota keluarganya. Hamba tidak akan membiarkan Anda yang tidak berpengalaman ini gagal dalam latihan ini," ucapnya sambil tersenyum ke arahku. Mengingat ia adalah orang yang dingin, melihatnya tersenyum adalah suatu keajaiban.
"Ah, baru saja kau bilang kau tugasmu adalah berada di samping Earl. Aku ini bukan Earl. Earl of Willson adalah ayahku. Jadi pulanglah!" usirku dengan kasar sambil menunjuk pintu keluar.
Orang-orang menatapku dengan tajam. Aku menundukkan kepalaku menahan malu. Aku yakin ini terjadi karena ucapanku yang terlalu keras dan kasar. Aku tidak tahu jika akibatnya akan seperti ini.
Mereka mulai berbisik-bisik. Aku yakin mereka membicarakan aku. Astaga, aku sudah mempermalukan keluargaku, bahkan saat pertama kali aku akan pergi jauh. Rasanya aku akan menyerah untuk menjadi Earl selanjutnya.
"Para Tuan dan Nyonya, saya mohon maaf atas ucapan tuan saya. Sepertinya kepalanya pusing karena baru pertama kali berdiri di dalam kapal. Silakan melanjutkan kegiatan masing-masing. Maaf jika mengganggu."
Hal tak terduga dilakukan oleh orang yang kuanggap menyebalkan. Orang-orang mulai berhenti berbisik dan melanjutkan kegiatannya masing-masing. Shamus telah berhasil menjaga kehormatan keluargaku.
"Terima kasih, Shamus. Aku menarik ucapanku. Pergilah bersamaku."
"Sudah kewajiban hamba, Tuan Muda."
Sirine panjang berbunyi, menandakan kapal akan segera berangkat. Aku dan Shamus naik ke geladak utama kapal yang sudah dipenuhi oleh puluhan orang.
Kapal mulai berangkat meninggalkan dermaga. Aku menikmati detik-detik terakhirku melihat daratan Britania Raya dengan mataku. Aku hanya tersenyum dalam diam.
"Selamat tinggal Britania Raya, selamat datang Amerika Serikat. Pastikan dan nantikan aku kembali dengan selamat."
***
Aku menghabiskan waktu seminggu di New York City. Tidak banyak yang aku lakukan di kota yang mendapat julukan "Big Apple" ini. Aku hanya berkeliling. Mengamati megahnya Patung Liberty yang baru tiga belas tahun diresmikan. Melewati Brooklyn Bridge yang juga belum lama selesai diresmikan. Sungguh pemandangan yang menakjubkan yang tak pernah kulihat di Britania Raya. Aku sedikit menyesal saat menolak perintah ke New York sebelumnya.
Tidak serasa waktuku bersenang-senang sudah habis. Kini saatnya aku kembali ke Britania Raya bersama Shamus. Aku menaiki kapal yang sama dengan kemarin. Aku menghabiskan waktu berjam-jam di kapal hanya untuk tidur. Aku sangat lelah.
Aku membuka mataku. Bangkit dengan Shamus yang setia di sisiku.
"Apa kita sampai di tengah laut, Shamus?"
"Kita sudah sampai di dermaga, Tuan Muda."
"Apa?!"
Aku langsung berlari ke luar kapal. Melompat turun dan berteriak, "Aku kembali Britania Raya!"
Aku mengamati dermaga dengan bahagia. Suara ombak dan bau yang khas ini sangat kurindukan. Baru seminggu aku pergi, tapi rasanya aku sudah pergi bertahun-tahun dari Britania Raya.
Shamus turun dari kapal dan menyusulku. Ia juga tampak bahagia saat kembali walau ekspresinya masih juga datar.
"Mari kita pulang, Tuan Muda. Tuan dan Nyonya pasti sudah menunggu kepulangan Anda," ucapnya kepadaku.
"Tentu saja," balasku.
Aku dan Shamus berjalan pulang. Kami berjalan ke arah jalan raya dan menunggu kereta kuda menjemput. Tapi, kereta kuda tidak kunjung datang. Padahal biasanya jika aku atau siapa saja di keluarga pergi, pasti pulangnya akan dijemput oleh kereta kuda. Mungkin itu tidak berlaku hari ini.
Aku memikirkan bagaimana caranya aku dan Shamus bisa sampai ke rumah dengan cepat. Kita ada Southampton dan rumahku ada di London. Artinya untuk sampai ke rumah, aku dan Shamus harus menempuh jarak 121 km. Jarak yang terlalu jauh jika ditempuh dengan berjalan kaki.
"Sepertinya tidak akan ada kereta kuda untuk kali ini Tuan Muda."
"Kita akan menggunakan kereta. Kita akan membeli tiket secara mendadak. Jika tidak dapat kita harus merampas tiket milik orang lain," ucapku menanggapi perkataannya yang baru saja ia lontarkan.
"Baiklah jika itu yang Anda inginkan, Tuan Muda," ucap Shamus kepadaku.
Aku melangkahkan kakiku bersamanya menuju stasiun. Setibanya di stasiun, Shamus memaksa petugas stasiun untuk mengizinkan kami naik walau tiketnya sudah habis.
"Tolong berikan kami tiket perjalanan menuju London yang paling cepat."
"Tidak bisa Tuan. Tiketnya sudah habis."
"Aku tidak peduli. Berikan kami tiket!"
"Tapi apa yang harus kuberikan jika tiketnya habis?!"
Aku memegang keningku sambil menundukkan kepalaku. Di dalam hati aku sudah merutuki kejadian ini. Ini sangat memalukan bagiku.
"Kami akan membayar lima kali lipat dari harga tiket. Jadi berikan kami tiket!"
"Sekali tidak bisa tetap tidak bisa Tuan."
"Bagaimana dengan sepuluh kali lipat? Kau pasti mau bukan?"
"Baiklah Tuan."
Si petugas memberikan dua tiket kereta api yang lima belas menit lagi akan berangkat ke London. Shamus langsung membayar dua tiket dengan harga masing-masing sepuluh kali lipat. Memang miris orang zaman sekarang, kebanyakan dari mereka hanya mementingkan harta.
Aku dan Shamus langsung menaiki kereta api. Kereta api berangkat dan aku menikmati perjalananku dengan melihat pemandangan yang sudah lama tidak kulihat, pemandangan Britania Raya. Pemandangan yang indah.
Kami melewati hutan dan ladang. Pohon-pohon pinus yang menjulang tinggi melambaikan daunnya. Burung kenari terbang tinggi sambil berkicau mengiri kereta yang melaju. Mereka seakan-akan menyambut kepulangan kami.
***
"Aku pulang!" seruku sambil membuka pintu rumahku yang tidak dikunci.
Hening. Tidak ada jawaban. Hanya suara hembusan angin yang dapat terdengar.
Aku melangkahkan kakiku masuk diiringi Shamus yang setia berada di sisiku. Tidak ada yang menyambut kepulanganku. Ini sungguh aneh mengingat rumahku tidak hanya ditinggali keluargaku, tapi juga ada juru masak dan tukang kebun. Jadi kemana semua orang?
"Sepi sekali. Aneh."
"Ya Tuan Muda. Mungkin Tuan dan Nyonya bersama yang lainnya sedang pergi."
"Rasanya itu mustahil. Pasti ada sesuatu yang terjadi di sini."
Aku memeriksa rumah dan tidak menemukan siapa pun di sini. Rumah ini benar-benar kosong.
Aku mencoba memeriksa taman yang ada di belakang rumah. Hanya tempat itu yang belum kuperiksa. Bau yang asing menyeruak di hidungku saat aku mendekati taman. Rasanya aku ingin muntah ketika menciumnya. Seketika perasaanku menjadi buruk.
"Shamus, kau juga mencium bau itu?"
"Tentu saja Tuan Muda, mari kita periksa."
Aku langsung berlari menuju asal dari bau itu. Semakin dekat semakin kuat baunya. Semakin kuat maka aku semakin menyangkal firasat burukku.
"Semoga dugaanku salah."
Aku menghentikan lariku. Mataku terbelalak dengan apa yang ada di hadapakanku. Aku terdiam, rasanya seluruh badanku kaku secara tiba-tiba. Mati rasa.
"Aku tidak percaya ini!"
Bunga Morning Glory yang mekar telah berubah warna menjadi merah. Mahkota ungunya ternoda oleh darah yang sudah mengering. Dua orang tergeletak di tanah dengan mata terbuka. Tubuhnya dipenuhi oleh luka tusukan dengan tebasan. Sebuah pedang yang tertancap di tanah turut menghiasi pemandangan pilu itu.
Air mataku jatuh ke tanah tak tertahankan. Menangis dalam keheningan. Tubuhku melemas, membuatku duduk di tanah dengan tangan menyangga badanku. Aku masih tidak percaya dengan apa yang ada di depan mataku. Ingin aku menyangkal kenyataan, memberontak kepada takdir. Dua mayat itu tak lain adalah ayah dan ibuku.
"Keterlaluan! Siapa yang sudah melakukan ini semua?! Sialan!"
Aku mengambil sebilah pedang yang tertancap di tanah itu dengan penuh emosi. Mengusapnya dengan tangis.
"Jadi ini yang kau tinggalkan, pembunuh. Keterlaluan kau! Aku berjanji akan mencari siapa kau dan menghabisimu jika perlu!"
Aku menyabetkan pedang itu ke arah Bunga Morning Glory, membuat mahkota bunga yang ternoda itu hancur dan terbawa angin. Sebuah janji sudah terucap dilandasi emosi yang meluap. Spontan terucap, tanpa memikirkan resiko. Aku tidak peduli, aku pasti bisa memenuhinya.
Aku menatap pedang itu dari inchi ke inchi. Pedang ini akan kusimpan sebagai pengingat janji. Janji yang akan kubawa sampai mati. Aku tidak boleh mati sebelum menepatinya atau aku tidak akan tenang selamanya.
"Tuan Muda..." Shamus memandangku sedih. Rupanya ia baru saja tiba dan terkejut setengah mati dengan apa yang ada di hadapannya.
"Apa?!"
"Apa kau yakin dengan janjimu itu?"
"Kau meragukanku? Tentu saja aku yakin!"
"Kalau begitu aku akan mencoba memban-"
"Tidak! Aku yang akan menghabisinya sendirian!"
Tiba-tiba saja keadaan menjadi hening. Hanya suara hembusan angin saja yang dapat kudengar.
"Shamus," panggilku padanya untuk memecah keheningan.
"Ada apa Tuan Muda?"
"Urus pemakaman kedua orang tuaku."
"Baik Tuan Muda."
Dengan cepat hari berganti hari. Hari ini adalah hari pemakaman kedua orang tuaku. Banyak orang yang datang untuk melayat termasuk orang paling disegani di Britania Raya, Yang Mulia Ratu Victoria.
Aku tidak menyangka seorang ratu sudi untuk meluangkan waktunya untuk melayat. Sungguh hal yang jarang mengingat ia jarang keluar dari istana.
Air mataku jatuh tak terbendung ketika kedua peti itu dimasukkan ke liang lahat. Aku gagal ketika mencoba untuk tegar. Memori-memori erpuar di otakku, membuatku semakin sedih. Rasanya baru kemarin aku bercanda bersama mereka berdua.
"Andai saja aku tidak pergi ke New York. Pasti tidak akan seperti ini. Andai aku benar-benar menolak perintah mereka! Pasti ini tidak terjadi!"
Ratu Victoria memegang pundakku. Sungguh hal yang tidak diduga. Sepertinya ia ingin menenangkanku. Aku menatap Ratu Victoria dengan sendu.
"Aku akan berbicara pribadi denganmu setelah acara pemakaman selesai. Ada hal penting yang akan kusampaikan padamu."
"Baik, Yang Mulia."
Penguburan selesai. Orang-orang pergi meninggalkan makam. Hanya aku dan Shamus yang tetap tinggal.
"Ayah, Ibu. Aku sudah membuat janji tepat di depan jasad kalian. Tunggulah aku sampai aku menepatinya."
Aku berbalik dan berkata, "Ayo Shamus, kita kembali."
Aku dan Shamus berjalan pulang. Rasanya langkahku berat. Di rumahku, Willson Manor, tampak Ratu Victoria sudah menungguku.
Aku mempersilakan sang ratu untuk duduk dan meminum teh bersamaku. Mencoba melupakan apa yang baru saja terjadi.
"Jadi apa yang akan Anda bicarakan, Yang Mulia?"
"Earl Willson sudah meninggal. Padahal Willson adalah kunci untuk memenangkan Boer War. Aku ingin menunjukmu sebagai pengganti mengingat kau adalah pewaris satu-satunya dari keluarga ini," jelas Ratu Victoria panjang lebar.
"Baik Yang Mulia."
"Jadi, Alexis Willson. Mulai hari kau kuangkat menjadi Earl of Willson ke tujuh belas menggantikan Robert Willson. Apa kau bersedia?"
"Hamba bersedia," ucapku mantap.
"Bagus. Untuk membuktikannya, kau akan kuberi tugas pertama," ucapnya serius.
"Tugas apa Yang Mulia?"
Aku memasang telingaku baik-baik. Bersiap mendengarkan titah ya akan keluar dari mulutnya.
"Seperti kau tahu, Boer War baru saja meletus belum lama ini. Diduga ada seorang bangsawan yang memberontak dan membela pihak lawan. Aku sudah tahu di mana ia berada tapi aku tidak tahu siapa ia. Aku ingin kau membereskannya."
"Baik Yang Mulia."
"Ia juga orang yang diduga telah membunuh kedua orang tuaku."
Aku terdiam sejenak. Rasanya kalimat ini memberikan secercah cahaya bagiku. Ini adalah suatu jembatan untuk menepati janji.
"Baik Yang Mulia. Hamba akan membereskannya. Hamba berjanji," ucapku yakin.
"Bagus. Ini adalah lokasi tempat tinggalnya. Pergilah ke sana dan berhati-hatilah! Kudengar ia memiliki banyak orang yang menjaga rumahnya," kata sang ratu sambil memberikan sebuah peta kepadaku.
Aku menerima peta itu dengan hormat. Aku sangat bahagia dan merasa terhormat menerima misi pertama ini.
"Oh ya, satu lagi. Jangan lupa untuk mengajak ia denganmu."
"Apa?!" aku terkejut. Yang benar saja ucapannya itu.
"Ia pasti akan banyak membantumu."
"Baik jika itu keinginan Yang Mulia."
"Baiklah, aku pamit untuk pergi dari sini."
Ratu Victoria bangkit dari duduknya. Aku mencium tangannya dengan hormat dan mengantarkannya ke depan rumah. Tampak kereta kencana yang sudah menunggunya.
Sang ratu memasuki kereta kencana dan pergi. Aku masuk ke dalam manor dan bersiap bertemu dengannya.
Terkadang petaka datang secara tidak terduga. Kita harus bersiap dan tetap tegar saat menghadapinya. Tapi, bukan artinya tidak boleh melepaskan tangis. Menangislah jika itu membuatmu tenang.
***
Kakiku berpijak di halaman Floyd Manor. Hari ini aku akan menemuinya sesuai titah sang ratu.
Di depan sana tampak gadis berambut putih panjang sedang menodongkan sebuah pistol ke arahku. Tampak matanya yang tajam menatapku dengan serius. Ia menggunakan pakaian yang berbeda dari bangsawan pada umumnya. Rok pendek dan sepatu boots menunjukkan sifat tomboinya.
DOR!
Peluru melesat di samping kepalaku, membuatku sedikit terkejut. Tapi memang beginilah caranya untuk menyambut tamu. Jika ia tidak menginginkan tamu itu, peluru pasti akan menghancurkan kepala.
"Kau tidak berubah, Elita Floyd," ucapku sambil menyeringai.
Ia berjalan mendekatiku dengan anggun. Sangat khas dan menawan. Ia adalah cermin dari perempuan anggun tapi kuat.
"Ada apa kau ke sini, Alex?" tanyanya kepadaku.
"Apa ratu tidak memberi tahumu sesuatu?" tanyaku masih dengan seringaian.
"Oh soal ratu? Oh perintah soal mendampingimu menyusup itu?"
"Tentu."
"Mari kita bicarakan itu di dalam."
Ucapnya sambil berbalik, membuat rambut panjangnya berkibar tertiup angin. Aku terpana sejenak lalu mengikutinya memasuki manor. Rupanya hatiku tidak membiarkanku menghilangkan perasaan itu begitu saja.
"Sadarlah Alex. Ia sudah mempunyai tunangan. Kau ini hanya teman masa kecilnya."
Aku memasuki manor yang sepi dan sedikit berantakan, berbeda sekali dengan tampatku. Ini mungkin karena Elita tinggal seorang diri setelah kedua orang tuanya meninggal karena dibunuh, sama sepertiku. Ia sudah menjadi Countess sejak berusia sepuluh tahun, sangat menyedihkan. Berbeda denganku, ia tidak mengangkat satu pun orang untuk menjadi pelayannya.
"Sepi sekali. Apa tunanganmu itu jarang datang?" Aku mencoba memecah keheningan dengan menanyakan tunangannya yang sudah bertunangan dengannya sejak usia lima tahun.
"Ia sibuk dan aku tidak peduli dengan itu," jawabnya dingin.
Ia mempersilakanku untuk duduk bersamanya di sebuah sofa panjang. Tentu saja aku langsung duduk. Sementara Shamus berdiri di belakang sofa mendampingiku.
"Jadi aku mendapat perintah untuk membereskan pemberontak kerajaan bersamamu, Elita." Aku angkat bicara.
"Aku tahu itu, tapi mengapa tidak Paman saja yang mengatasinya?" ucapnya dengan polos. Apa ia tidak tahu apa yang baru saja kualami?
"Earl dari Willson sekarang aku, Elita. Orang tuaku sudah mati dibunuh-"
"Apa?! Kapan?! Mengapa aku tidak tahu?! Aku turut berduka cita, Alex."
"Beberapa hari yang lalu, Elita. Aneh sekali kau baru tahu sekarang. Baik, kembali ke topik awal. Kita akan menyusup dan kau harus membantuku," ucapku sambil menyerahkan peta yang diberikan Ratu Victoria.
Ia menerima peta itu. Membaca dan memahaminya dengan cepat. Tidak heran karena ia ini sangat cerdas, hampir sama denganku.
"Oh ya, aku paham. Jadi kapan kita ke sana?" ucapnya sambil menggulung peta itu.
"Bagaimana jika besok? Apa kau siap?"
"Tentu saja. Elita Floyd akan selalu siap."
"Bagus. Kalau begitu aku pamit."
"Ya. Hati-hati di jalan."
Aku bangkit dan mulai melangkah keluar. Rasanya langkahku sangat berat. Aku tidak ingin membiarkannya sendirian. Tapi, aku ini bukan siapa-siapanya. Elita bisa risih jika aku terus berada di sebelahnya.
***
"Shamus, kau jangan ikut ke dalam. Tunggulah aku di sini."
"Baik Tuan Muda."
Aku dan Elita tengah berdiri di belakang manor yang sangat megah. Misi penyusupan akan segera dimulai.
Aku dan Elita melompati pagar yang membatasi manor dengan hutan. Elita sangatlah terampil sampai ia harus membantuku.
Kami sudah berada di zona wilayah musuh. Meningkatkan kewaspadaan adalah hal yang utama. Berhati-hati agar tidak ketahuan atau berada dalam bahaya.
Kami memasuki pintu belakang manor walau harus menghancurkanya terlebih dahulu. Dan benar saja, sekumpulan anjing penjaga sudah menyambut kami. Mereka pasti disewa khusus untuk melindungi sang pemberontak.
"Ada penyusup!"
Mereka langsung menyerang kami. Aku mulai bermain dengan pistolku. Menembak mereka sampai mati dengan cepat sebelum mereka menembakku. Sungguh permainan yang indah.
DOR! DOR! DOR!
Suara-suara tembakan mericuhkan suasana. Adu tembak dimulai. Aku dan Elita menghindari tembakan dan membunuh mereka dengan cekatan. Ini tak kunjung berakhir karena jumlah mereka sangat banyak.
Punggungku dan Elita saling bertemu. Kami sudah dihadang dari segala arah.
"Mari kita sudahi ini, Elita," ucapku sambil mengisi peluru dengan cepat dan mengeluarkan pistolku yang satu lagi.
"Tentu saja."
Kami menyerang mereka semua dengan tembakan dan tendangan. Membuat mereka semua mati bersimbah darah.
Aku dan Elita langsung berlari ke dalam manor. Di sana sudah ada anjing-anjing lain yang menghadang kami. Tidak, ini bukanlah anjing lagi, tapi harimau yang beringas.
"Rupanya hanya ada sepasang kekasih muda yang mampu menghabisi para penjaga di sana. Memangnya sekuat apa mereka berdua?"
Mukaku langsung merah padam saat salah satu harimau itu menyebut kami sebagai kekasih. Tapi, ini bukanlah saat yang tepat untuk itu. Aku harus fokus.
"Jangan remehkan kami, sialan. Kami hanya ingin bertemu dengan tuanmu," ucap Elita sinis.
"Jika kalian ingin bertemu tuan kami, langkahi dulu mayat kami."
"Siapa takut."
Permainan kembali dimulai. Kali ini aku dan Elita sedikit kewalahan menghadapi mereka. Mereka jauh lebih uat dibanding para penjaga yang sebelumnya. Berbagai macam serangan kami lakukan untuk menghadapi mereka, baik itu tembakan, tendangan, dan pukulan.
"Hosh... hosh... hosh..." Aku berusaha untuk mengatur nafasku.
"Mari kita bekerja sama, Alex," ucap Elita sambil mengeluarkan pedang yang dibawanya.
"Tentu," ucapku sambil mengisi ulang kedua pistolku.
Kali ini Elita bertugas untuk menahan serangan karena kebetulan para harimau beringas ini menggunakan pedang. Aku adalah penyerang, orang yang menghabisi mereka. Saat Elita menahan serangan, aku langsung menembak orang yang menyerangnya. Terkadang Elita juga menyerang untuk melindungiku.
Berselang beberapa waktu, kami sudah membuat ruangan ini dipenuhi genangan darah. Mereka semua mati di tangan kami.
PLOK! PLOK! PLOK!
Kami berdua terkejut. Terdengar suara tepuk tangan, membuat aku dan Elita terkejut dan menoleh ke arah suara itu berasal.
Di pojok ruangan sana, tengah berdiri laki-laki menggunakan baju bangsawan. Rambutnya pirang berantakan. Wajahnya terlihat asing, ditambah ia mengenakan kacamata hitam yang menutupi matanya. Sebuah cangklong turut menghiasi wajahnya. Ia membawa pedang yang serupa dengan pedang yang ditinggalkan di taman. Aku yakin ialah pemberontak itu.
"Bagus. Dua anak muda berani masuk ke kandang singa, ya 'kan Alex?"
Tunggu sebentar, rasanya suara ini sangat familiar di telingaku. Aku pernah mendengar suara ini, tapi dari siapa? Dari mana pula ia mengetahui namaku?
"Siapa kau sebenarnya?!"
"Kau tidak mengenaliku? Kau memang jahat, Alex."
Laki-laki itu melemparkan kacamata hitamnya, membuat matanya yang berwarna hijau itu terlihat. Tidak lupa pula untuk menjatuhkan cangklongnya. Sekarang wajah dari pemberontak itu sudah jelas. Seringaian dan tatapan yang khas. Aku sangat mengenalinya dan aku tidak percaya dengan ini.
"Kakak?!"
"Kau sudah ingat? Akhirnya. Baru pertama kalinya aku membuka topengku."
Ternyata benar ia kakakku yang kusayangi. Dulu kakakku diusir dari rumah saat masih remaja. Ayah dan Ibuku juga berusaha melupakannya. Sungguh mengejutkan. Sekarang aku harus menghapinya. Apa aku bisa?
"Jadi kau pemberontak itu, Kak?! Kau yang membunuh Ayah dan Ibu?!"
"Kalau ya kenapa?" ucapnya santai.
"Tapi kenapa?! Apa alasanmu melakukan semua ini?!"
"Karena aku kecewa kepada Britania Raya. Dengan kejam sang ratu memerintahkan para bangsawan untuk membereskan masalahnya, tidak mau mengotori tangannya. Bodohnya kalian hanya menurutinya bagaikan anjing. Itu juga mendasari alasanku diusir dari rumah, aku menolak menjadi Earl saat Ayah yang bodoh itu akan menjadikanku Earl selanjutnya," jelasnya panjang lebar.
"Itu juga alasanmu menjadi anak durhaka? Keterlaluan sekali kau!"
"Aku tidak peduli. Inilah pilihanku untuk menjadi musuh dalam selimut jika Earl dari Willson tidak dihabisi, pasti akan merepotkan. Aku juga sebenarnya ingin membunuhmu, tapi saat itu kau pergi. Mungkin kepergianmu memang sudah direncanakan Ayah untuk menghindarkanmu dariku."
"Tch..."
Muncul rasa gentar di hatiku. Elita memegang pundakku dengan lembut. Mungkin ia mencoba mencegahku dari tindakan gegabah sekaligus meyakinkanku.
"Tahan emosimu dan kuatkan hatimu, Alex. Untuk menghadapi Kak Edward kita harus menggunakan kepala dingin."
"Ya ya ya, benar yang kau katakan Elita Floyd. Jadi apa yang akan kalian lakukan?"
"Kami akan membereskanmu!"
"Kalian yang membereskan aku atau..."
Kakakku menghilang dengan cepat. Gawat, aku baru ingat jika kakakku memiliki kecepatan yang tidak wajar untuk manusia. Aku masih ingat saat ia bertarung di depan mataku, seperti cheetah yang haus darah. Serangannya juga laksana sambaran elang.
"Aku yang akan menghabisi kalian? Terutama kau Alex," bisiknya di telingaku yang membuatku terkejut. Ini sangat tidak terduga.
BUAGH!
Ia menendangku sampai terjatuh. Membuat tulang-tulang di badanku rasanya patah. Memang kakakku ini terlalu hebat, ia dapat menghancurkan tulang lawannya dalam sekali serang.
"Alex!" teriak Elita khawatir.
"Aku akan membunuhmu sekarang, adikku yang payah."
Ia kembali menghilang dalam kecepatan. Aku tidak sempat untuk berdiri dan lari karena aku tidak sanggup.
CPRAT!
Darah bercipratan keluar. Apa yang baru saja terjadi?
"Ups, salah sasaran."
"Alex..."
Tubuh Elita jatuh tepat di pahaku. Aku dapat melihat darah yang keluar dari perutnya yang terkena serangan dan dari mulutnya. Rupanya ia melindungiku dengan menerima serangan mendadak dari kakakku.
"Elita! Bertahanlah! Aku-"
"Ti-tidak... Alex. Sudah... waktunya untuk pergi."
"Tidak! Kau pasti bisa bertahan! Aku ingin kau di sini!"
"Wak-waktuku... sudah ha-habis. Selamat tinggal, Alex. Aku ingin menyampaikan bah-bahwa... sebenarnya aku tidak menyukainya, tapi... aku hanya..."
Mulutku terkatup. Telingaku bersiap mendengarkan kata yang selanjutnya.
"Mencintaimu."
Jleb!
Rasanya baru saja ada petir yang menyambar tubuhku. Aku tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar.
Tubuhnya berubah menjadi kaku dan dingin. Ia sudah pergi. Aku menutup kedua bola matanya dan tangisanku mulai keluar. Tubuhku bergetar hebat. Tidak percaya dengan yang baru saja terjadi. Ia meninggalkanku setelah aku merasa perasaan ini terbalas.
"Sialan!" Aku menatap tajam pada kakakku yang tengah menertawakanku.
"Hahaha, gagal satu Earl, satu Countess pun jadi. Apa yang akan kau lakukan selanjutnya adikku yang bodoh?"
"Untuk kedua kalinya kau membunuh orang berharga bagiku! Aku akan menghabisimu!" ucapku dingin dirasuki amarah yang mulai berkorbar.
Aku meletakkan tubuh Elita di lantai dan aku mencoba untuk bangkit. Memaksakan diriku untuk berdiri dan melawan. Tidak peduli sesakit apa rasa yang kurasakan. Ini tidak sebanding dengan apa yang telah ia lakukan.
"Kau tidak mungkin bisa menghabisiku jika kau seperti itu. Tunggulah kesempatan lain. Eh, bukankah ini hari terakhirmu untuk hidup?"
Aku berdiri dan mulai melangkah. Kakakku langsung memukulku dengan kecepatan luar biasa. Membuatku terpental ke tembok dan memuntahkan darah segar. Kesadaranku perlahan hilang.
"Tidak, jangan sekarang. Aku mohon."
"Selamat tinggal adikku yang bodoh."
Entah apa yang terjadi selanjutnya. Yang terakhir kulihat hanyalah nyala api yang berkobar.
Katakan apa yang ingin kau katakan sebelum semuanya terlambat.
***
"Elita!"
Aku langsung berteriak ketika aku sadar. Rasanya yang baru saja terjadi adalah mimpi.
"Akhirnya kau sadar, Earl of Willson."
Aku menghadap ke asal suara. Tampak Ratu Victoria duduk di sebelah ranjangku.
Aku mencoba untuk menggerakkan badanku. Sakit dan kaku. Aku melihat badanku yang ternyata sudah dipenuhi oleh lilitan perban.
"Apa yang terjadi pada hamba Yang Mulia?"
"Tubuhmu hampir terbakar di tempat itu. Kau tidak sadar selama satu minggu. Kau melewatkan pergantian tahun, sekarang sudah tahun 1900."
Aku terdiam. Mengingat bahwa aku telah gagal menunaikan janjiku. Sungguh aku malu melihat diriku ini.
"Bagaimana dengan Elita?"
"Countess of Floyd sudah pergi. Ia sudah dimakamkan."
Ratu berdiri dan berjalan pergi. Mungkin ia kecewa.
"Jika aku tahu pemberontak itu adalah Edward, tentunya aku akan menyuruh orang lain. Maafkan aku sudah memberimu tugas ini. Aku akan membatalkan tugas-"
"Tidak! Hamba mohon berilah hamba kesempatan kedua Yang Mulia." Aku memotong ucapannya.
Ia menghentikan langkahnya. Ia berbalik dengan wajah penuh keraguan.
"Hmm? Apa kau yakin akan berhadapan dengan kakakmu sendiri?"
"Justru karena ia kakak hamba, hamba menjadi lebih yakin," ucapku. Padahal di dalam hati aku sudah tersayat oleh ucapanku ini.
"Apa kau memiliki dendam tersendiri dengan kakakmu karena ia membunuh orang-orang yang kau sayangi? Tapi bukankah kau sayang dengannya?" tanyanya.
"Dendam pasti ada, tapi bukan itu yang utama. Hamba sudah berjanji di depan jasad kedua orang tua hamba untuk ini. Hamba juga sudah berjanji kepada Anda. Hamba bukanlah pengumbar janji. Hamba harus menepatinya walaupun itu artinya harus menghabisi kakak hamba sendiri!"
Terukirlah senyuman di wajah sang ratu. Rupanya ia sangat puas dengan ucapanku.
"Aku kagum dengan tekad dan ketetapan hatimu, Earl of Willson. Kau sangat teguh pada pendirianmu walau musuhmu adalah kakakmu sendiri. Aku akan memberimu kesempatan kedua untuk janjimu itu. Tepatilah janjimu."
Senyum mengembang di wajahku. Jembatan yang sudah putus terhubung kembali. Jalan lurus sudah menantiku.
"Tentu saja, Yang Mulia."
***
Aku berjalan mendekati makam yang belum juga mengering. Berjongkok dan meletakkan berbagai bunga yang salah satunya adalah bunga Morning Glory. Ini akan mengingatkanku pada janjiku.
Aku mengucap berbagai doa. Harapan agar ia tenang di alam sana.
"Hai Elita. Ini pertama kalinya aku mengunjungimu. Maafkan aku tidak datang di pemakamanmu," ucapku sambil memegang batu nisannya.
"Kau tahu Elita? Aku juga sangat mencintaimu. Aku tidak bisa mengungkapkannya dari dulu karena kau mempunyai tunangan. Karena itu aku hanya berani muncul sebagai temanmu. Saat kau mengucapkan kalimat pada hari itu, aku senang sekaligus sedih."
"Aku tahu kepergianmu adalah takdir. Tapi kenapa rasanya begitu berat? Ah, aku berjanji aku akan membereskannya. Baru aku bisa tenang."
"Tuan Muda."
Seseorang memanggilku, membuatku memalingkan muka. Aku bangkit dan mendekati sang pemanggil, Shamus. Nampaknya ia membawa kabar baru.
"Apa kau membawa info terbaru, Shamus?"
"Hamba mendapat kabar bahwa Edward Willson akan melakukan perjalanan ke Belanda beberapa hari lagi. Itu akan menjadi kesempatan kita, Tuan Muda."
"Bagus, aku sudah menyiapkan rencana. Tentunya tanpa kekerasan."
"Hamba akan membantu semampu hamba, Tuan Muda."
***
Aku mengamati cermin yang berdiri tegak. Tampak di sana perempuan dengan surai kecoklatan. Matanya hijau berkilau indah. Ia mengenakan gaun laksana seorang putri. Pita-pita rambut berbentuk bunga turut menghiasi kepalanya, menambah keindahan. Sarung tangan panjang turut menutupi tangan, menghilangkan kesan laki-laki.
"Rencana akan segera dimulai. Janji akan segera ditepati," ucapku dengan nada puas saat melihat penampilan baruku di cermin. Walau sepertinya aku senang kalau janji akan ditepati, tapi sebenarnya ada sedikit keraguan di benakku.
"Tuan Muda, sudah saatnya kita berangkat."
Aku dan Shamus menaiki kereta kuda. Sepanjang perjalanan menuju dermaga Shamus terus saja menertawakanku. Dari menggoda sampai menghina.
"Hamba tidak menyangka Tuan Muda yang tangguh ini bisa menghilangkan semua sifat laki-lakinya. Kalau Tuan Muda benar-benar perempuan aku tidak akan segan untuk menikah dengan Anda."
"Tutup mulutmu Shamus. Aku terpaksa melakukan ini. Oh ya, apa itu susah siap?"
"Tentu saja," ucapnya sambil menyodorkan botol kecil kepadaku.
Aku menerimanya dan menyembunyikannya di celah yang ada di gaunku. Ini adalah kunci rencana ini.
"Tuan Muda. Bagaimana nanti dengan suaramu?"
"Jangan meragukanku urusan seperti ini."
"Ehem... Hai, salam kenal. Ayo kita berdansa," lanjutku sambil menirukan suara perempuan.
Tawa Shamus meledak kemudian. Hal yang sangat jarang. Ternyata hal seperti ini bisa mengubah sifatnya.
Kami segera sampai di dermaga. Aku segera memasuki kapal yang sama dengan saat itu, ya kapal ini lagi yang akan berangkat. Ini akan membuat rencanaku semakin mulus.
Aku masuk ke dalam kapal yang mewah, tidak berubah sejak hari itu. Aku langsung menarik perhatian banyak kaum adam, mereka menatapku seakan melihat setan. Itu membuat beberapa dari mereka dipukul istrinya.
Aku hanya tersenyum tipis, membuat mereka meleleh ketika melihatnya. Sebenarnya ini sungguh memalukan karena kenyataannya aku ini laki-laki.
"Sepertinya kau menarik perhatian banyak orang, Tuan Muda."
"Biarlah seperti itu. Memang itu tujuanku. Memancing Kak Edward keluar."
Tiba-tiba musik klasik berputar memenuhi ruangan, menambah kesan mewah di kapal itu. Orang-orang mulai menari. Pesta dansa dimulai.
Aku menyapu pandanganku ke seluruh ruangan. Mengamati setiap sudut dan detail yang ada. Tapi, sayangnya aku tidak menemukan apa yang aku cari.
Secara mendadak ada yang menepuk pundakku. Aku menoleh ke belakang dan menemukan hal yang membuatku sangat gugup.
Laki-laki tampan berambut pirang berantakan dan mata hijau. Ia mengenakan baju layaknya pangeran, sangat mempesona jika dilihat oleh perempuan. Terlebih lirikan mata dan seringaian itu dapat membuat wanita mana pun meleleh dibuatnya. Ia tak lain dan tak bukan adalah kakakku.
"A-ada apa Tuan?" tanyaku dengan suara yang kubuat seimut mungkin. Semoga saja ini berhasil.
"Apa kau mau berdansa denganku, Nona?" ucapnya sambil mengulurkan tangannya.
"Tentu Tuan," ucapku sambil menerima uluran tangannya.
Kami berdua mulai menari. Tarian kami menarik perhatian banyak orang. Mungkin kebanyakan dari mereka akan menganggap kita serasi karena ada beberapa kemiripan, tapi tentunya aku akan menyangkal itu.
"Jadi siapa namamu, Nona?" tanyanya di tengah gerakan dansa kita.
"Alexia Underwood Tuan," ucapku spontan.
Beberapa detik kemudian, aku memikirkan jawabanku. Aku baru sadar atas ucapanku. Aku menyesal menjawab seperti itu.
"Bodoh! Penulisan Alexia dan Alexis itu hampir sama! Terlebih huruf a dan huruf s di dalam mesin ketik itu bersebelahan! Mengapa aku bisa sebodoh ini?! Bagaimana jika ia sadar?!"
"Alexia. Bagaimana aku harus memanggilmu?" tanyanya lagi. Mungkin ia tidak sadar dengan apa yang ada di pikiranku.
"Lexia, Tuan," jawabku. Tentu saja aku tidak akan menjawab dengan Alex. Aku tidak sebodoh itu.
Musik tiba-tiba berhenti. Semua penari menghentikan gerakannya. Pesta dansa sudah usai.
"Baik Lexia, datanglah makan malam bersamaku. Tunggulah aku di sana," ucapnya sambil berlalu.
"Baiklah Tuan."
"Sepertinya rencana berjalan mulus."
***
Aku berada di dalam dapur saat ini. Sekarang aku memakai pakaian seperti pelayan bersama dengan Shamus. Invasi dapur akan segera dimulai.
"Tuan, di mana makanan untuk Tuan Edward? Biarkan saya untuk memeriksanya," ucap Shamus kepada kepala koki yang terlihat garang.
Kepala koki itu terlihat sangat menyeramkan, menunjukkan sifat kerasnya. Ia menatap Shamus dengan sinis, tapi itu tidak akan membuat Shamus takut.
"Akan kau apakan makanan itu?"
"Akan saya periksa, Tuan. Memastikan sudah layak dihidangkan atau belum."
"Baiklah, itu makanannya," ucap kepala koki sambil menunjuk sebuah masakan dan berlalu.
Shamus mendekati masakan dan memberiku isyarat untuk mendekat. Aku segera berjalan ke arahnya, meraba botol kecil yang sudah kusiapkan jauh-jauh hari.
"Wah, bubble and squeak. Sungguh hidangan yang berkelas."
"Waktu kita tidak banyak Tuan Muda."
"Iya cerewet. Aku hanya berkomentar sedikit."
Aku membuka tutup botol kecil, menuangkan isinya ke makanan itu. Sebenarnya aku merasa berdosa melakukan ini, tapi aku sudah terlanjur mengucap janji.
"Maafkan aku, Kak. Tapi bukankah kau pantas untuk ini?"
***
Sang surya memudar, sinarnya perlahan menghilang di balik lautan. Hari berganti malam. Inilah saat yang kutunggu.
Aku sudah menyiapkan semuanya. Gaun indah, hiasan rambut, sepatu mewah, dan tidak lupa pula rambut palsu yang sudah bertengger di kepalaku. Sekarang aku hanya harus menunggunya datang di sini, di pesta makan malam.
Setelah beberapa waktu, munculah sosok yang kutunggu. Laki-laki berambut pirang dengan pakaian laksana raja, seolah ialah penguasa malam ini. Sungguh penampilan yang sangat elegan untuk menemui seorang gadis, tapi pada kenyataannya aku ini laki-laki.
Ia langsung duduk di kursi, berhadapan denganku. Mata kita saling bertemu, membuatku semakin yakin untuk menghabisinya.
"Bagaimana harimu? Menyenangkan?"
"Tentu saja Tuan."
"Semoga malam ini juga menyenangkan."
"Ah, tentunya. Hariku akan menjadi lebih menyenangkan denganmu, Tuan."
"Kau ini bisa saja. Tak heran mau ini sangat manis."
"Ah, Tuan ini pandai merayu," ucapku dengan nada pura-pura malu yang terdengar memalukan.
Pelayan menghidangkan makanannya. Sang pemberontak mulai menyantap makanan tanpa curiga.
"Kau tidak makan?" tanyanya kepadaku.
"Ah, Tuan duluan saja. Aku menyusul."
"Ayo sebentar lagi! Janji akan segera ditepati walau itu menyakitkan."
Beberapa menit kemudian, tiba-tiba muncul gelagat tak beres dari dirinya. Ia terlihat gelisah dan mulai sesak nafas. Aku hanya tersenyum getir melihatnya. Antara senang atau sedih.
"Bagaimana rasa dari sianida itu, Tuan?"
"K-kau berhasil me-meracuniku, Alexis Wi-Willson."
Apa aku tidak salah dengar dengan apa yang diucapkannya baru saja? Ia mengenaliku? Ah sial, penyamaranku sudah gagal.
"A-apa yang kau bicarakan Tuan?"
"Ja-jangan berpura-pura. A-asal kau tahu, aku ini su-sudah mengenalimu dari awal. Kakak ma-mana yang tidak mengenali adiknya? A-aku hanya membiarkanmu bermain dan a-aku mengikuti permainanmu. A-aku membiarkanmu menunaikan janjimu. Lagipula... memang aku su-sudah merencanakan untuk mati di sini," ucapnya terbata-bata di saat jiwanya hampir meninggalkan raganya.
"Apa maksudmu?!"
"Ka-kapal ini... adalah kapal yang dikirimkan Britania untuk keperluan luar negeri. Ba-banyak pengatur negeri yang kotor itu di si-sini. Ka-kapal ini akan di tenggelamkan di lautan," ucapnya lalu menutup matanya untuk selama-lamanya.
Aku terdiam saat mencerna ucapan terakhirnya. Mulutku terkunci. Terkejut itu pasti, sekaligus tidak percaya.
Menyadarinya aku segera berlari, tapi aku terlambat. Air mulai memasuki kapal dan aku tidak bisa kabur dari petaka ini. Tidak ada kesempatan untuk menyelamatkan diri. Banyak orang yang mulai panik. Kedaan menjadi tidak terkendali. Kapal ini mulai tenggelam.
Badanku terhempas air, keluar dari kapal yang mulai hancur melalui jendela, dan mulai tenggelam di tengah lautan secara perlahan. Gawatnya, aku tidak bisa berenang. Tamatlah riwayatku.
Aku melihat cahaya bulan dan bintang yang memantul di dalam gelapnya malam. Hal yang sangat indah. Entah mengapa itu membuatku bahagia. Tapi, cahaya itu semakin lama semakin memudar. Lalu hilang sepenuhnya.
Hai Ayah, Ibu. Aku sedang melihat bayangan kalian. Aku sudah menunaikan janjiku yang ternyata lebih susah dari yang aku kira. Itu karena aku harus membereskan Kak Edward yang tangguh, sangat berbeda denganku. Aku tak menyangka di akhir hidupku aku masih sempat bertemu dirinya.
Aku sudah sempat menjadi seorang Earl dan ternyata itu berat. Sekarang aku mengerti apa yang Ayah rasakan. Rasanya aku tidak mau hidup lagi untuk itu.
Ah, sekarang aku merasa pengalaman hidupku cukup sampai di sini. Ini sudah cukup untukku. Mungkin ini saja dariku.
Oh ya, untuk Elita. Aku juga melihatmu dari sini. Aku bahagia karena kau ternyata mencintaiku. Aku sangat tidak menyangka akan hal itu. Aku juga sangat mencintaimu walau aku tidak sanggup mengutarakannya selama kau hidup. Aku sedikit menyesal.
Kita akan segera bersatu. Aku sudah tenang dan tidak memiliki beban hidup lagi. Semua janji yang kubuat sudah kutepati. Sekarang tunggulah aku kembali.
Perlahan tapi pasti kedua bola mataku tertutup. Nafasku terasa berat dan kemudian aku sudah tidak bisa bernafas. Kesadaranku mulai menghilang. Inilah kisah akhir dari sang pengucap janji.
TAMAT
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top