20. Dusk til dawn

Bunga : sweet pea
Arti : ucapkan selamat tinggal
Genre : romance
Id wattpad: Just_Psychopath

🌸

"Jadi, kau sungguh ingin mengetahui hal apa yang paling kutakutkan di dunia ini?"

"tentu saja, apa itu?"

Pria itu tersenyum kecut. Sepasang iris birunya menatap menerawang pada langit yang tengah bersemu oranye. Awan lembutnya seakan mengisyaratkan jikalau ia pasti akan kembali esok.

"Perpisahan."

🌸🌸🌸🌸🌸

Senja tak pernah salah. Hanya kenangan yang kadang membuatnya basah. Dan pada senja, akhirnya kita mengaku kalah.
----------------------------

"Apa yang dikatakannya, Ayah? katakan padaku. Aku baik-baik saja, Yah," pria yang disebut Ayah hanya menggeleng pasrah. Tak tahu harus mengatakan apa.

"Sudah, jangan kau pikirkan, nak. Semua yang dokter diagnosis pastilah tidak benar--"

PRANK! 

"Ayah berbohong!" suara gelas yang pecah jatuh berdentingan bersamaan dengan teriakan miris yang membuat sang Ayah kian meringis meratapi nasib. Tak kuasa menahan kesedihannya, sang Ayah memeluk erat anaknya yang tengah mematung di atas ranjang rumah sakit dengan seluruh alat penunjang hidupnya.

"Tidak, dokter mengatakan kau sudah bisa pulang. Kau hanya kelelahan saja, ayo kita pulang. Jangan pikirkan hal yang aneh-aneh, nak, kau sehat," ujar sang Ayah menenangkan sang anak yang masih saja mematung. 

🌸🌸🌸🌸🌸

"Vale!" seorang gadis berambut pirang nampak melambaikan tangannya dari ujung koridor pada seorang pria jangkung yang tengah sibuk berkutat dengan buku bacaannya. 

Sang pria menoleh sejenak untuk sekedar menunjukkan ekspresi bosannya sebelum kembali fokus pada tujuan awalnya.

"Hei, bisakah kau tidak bersikap sok dingin begitu? kalau begini caranya bagaimana mungkin para gadis bisa melirikmu, huh?" maki gadis itu yang sudah duduk tepat di sebelah Vale, entah sejak kapan. 

"Tak perlu repot-repot memikirkannya, aku bisa mengatasi semuanya," mendongak, Vale tersenyum tipis pada sekumpulan gadis yang sedari tadi tengah mencuri pandang padanya. Mereka pun mulai bersorak heboh dan jadi salah tingkah.

Gadis itu pun mendengus kesal seraya terus berdiam di samping Vale tanpa berkutik sedikit pun.

"Kau hanya sanggup memikat para gadis alay seperti mereka, sayang. Bukan sepertiku," goda gadis itu dengan nada genit yang sebenarnya menyimpan banyak hinaan dan ejekan di dalamnya.

"Apa tadi kau bilang? sayang? opo koe kungfu?" peleset Vale yang sungguh receh. Lihat saja, dia sendiri yang membuat lelucon dan dia sendiri pula yang kini tertawa lepas, kelewat senang.

"Pria ini mungkin harus segera kubawa ke rumah sakit jiwa agar segera ditangani dokter," gumam gadis itu yang masih dapat sang pria dengar.

"Ke mana saja kau seminggu ini? kau tidak berangkat tanpa keterangan sedikit pun. Bahkan tidak mengabariku sekalipun," tanya Vale memulai pembicaraan yang terdengar lebih 'waras'.

"A-aku ... aku harus pergi menjenguk nenekku yang sakit keras. Dia tidak ingin kutinggalkan jadi terpaksa aku harus menemaninya di sana sebelum sempat meninggalkan surat izin atau bahkan mengabarimu," jawab sang gadis dengan gugup. Ia meremas-remas kencang jari-jemarinya. Ia makin gugup saat lawan bicaranya hanya diam menatapnya dengan tatapan yang seakan dapan menerawang hingga ke dalam jiwa.

"Sudah kuputuskan. kau tetap saja bersalah dan sebagai gantinya kau harus mentraktirku sepuasnya di kantin wahai Alshafaq!" ucapnya kemudian dengan nada tingginya yang tak karuan. Sang gadis yang sedari tadi diam kini justru berdiri tiba-tiba sembari berkacak pinggang, menolak.

"Heh, baiklah. Beruntung kau karena hari ini aku memang berniat untuk mentraktirmu. Jika tidak, sudah jadi sambal iwak peyek kau," ejek Shafa penuh nada ejekan tulus dari hati terdalam.

"Oh, kalau begitu, betapa beruntungnya diriku karena bisa mendapat traktiran dari seorang gadis yang dikenal paling pelit dan perhitungan masalah uang," balas Vale tak kalah sengitnya. Kedua alisnya sengaja dimainkannya atas-bawah untuk memperkuat hawa-hawa ejekan pada Shafa.

"Sialan! kau masih ingin duduk tenang di sini dan berkicau terus hal yang tidak penting sepanjang hari, atau ikut aku dan makan?" Shafa memasang wajah kesalnya. Meski hanya dibuat-buat, itu sudah cukup untuk membuat pria mengesalkan itu mengunci rapat mulutnya dan ikut mengekor di belakangnya.

"Dasar bodoh," bisik Shafa entah pada siapa seraya cekikian sendiri. Abaikan Vale yang tengah memasang wajah bodohnya saat ini.

🌸🌸🌸🌸🌸

Saat separuh bumi gelap, langit menyisakan sedikit cahaya jingga untuk kita. Kita bisa memandanginya bersama, berdua, sendiri atau malah berlalu begitu saja tanpa pernah tau artinya.
----------------------------

"

Dok, kira-kira, sampai kapan anak saya bisa bertahan?" terdengar suara parau dari lelaki paruh baya yang seakan telah kehilangan harapan satu-satunya.

"Maafkan saya, pak. Tapi penyakit yang anak anda derita sudah sangat parah hingga menyebar ke seluruh tubuhnya. Operasi pun juga tidak akan memperbaiki semuanya pak. Kerusakan pada organnya sudah terlalu parah. Saya sangat menyesal," ucap sang dokter. 

"B-bisakah anakku dapat melihat fajar esok hari?"

"Itu semua tergantung kuasa yang di atas dan juga anak anda sendiri, apakah ia masih ingin bertahan atau tidak."

🌸🌸🌸🌸🌸

"

Vale, apa menurutmu aku cantik?" seketika, bakso yang sedang bersarang di mulut pria itu melompat dan mendarat dengan mulus di tanah. 

Terdiam. Vale mengumpat kasar atas kepergian sang bakso gratisnya. 

"Kau ini, lihat hasil perbuatanmu! kau sudah menyakitinya!" seru Vale layaknya anak kecil yang meraung meminta dibelikan mainan baru. 

"Apa? sejak kapan kau menjadi makin tidak sehat, hah?" sambar Shafa dengan ekspresi sedikit jijik. 

"Kau yang tidak waras, sudah tahu kalau kau itu sangat cantik, tapi kau masih saja menanyakan hal itu berulang kali," balas Vale spontan. Shafa yang sebelumnya hendak membalasnya dengan amukan kini terdiam dan justru tertawa kecil. 

"Baiklah-baiklah, maafkan aku, sayang. Aku tidak akan bertanya hal itu lagi padamu," bujuk Shafa, masih dengan tawa disela-selanya. 

"Kalau begitu, biarkan aku memberimu hukuman yang kedua. Buka mulutmu,"

"Apa?"

"Kubilang, buka mulutmu sayangku," Shafa membuka mulutnya dan nyaris tersedak saat Vale menyuapinya bakso dengan ukuran yang lebih besar dari kapasitas mulutnya. 

"Apua ku builang huah, juangan monyuapiku dungun ukurun yung subusar ini!" keluh Shafa dengan mulut yang kelewat penuh. Abaikan Vale yang kini tengah tertawa jahat melihat pipi gadis itu berbentuk bulat-bulat. 

"Dengan ini, kuanggap semuanya sudah impas," ucap Vale kemudian sebelum menyodorkan Shafa sebotol minuman dan kembali melahap makanannya.

"Cepat habiskan, bel sebentar lagi akan ber--"

DING DONG DING DONG! 

"Sebenarnya itu lonceng atau bel?" tanya Vale setelah melahap bakso terakhirnya. 

"Itu bel yang menikah dengan lonceng, jadi anaknya berbentuk bel tapi bersuara lonceng. Sudahlah, ayo cepat ke kelas. Aku tidak mau menjadi santapan guru killer," Vale pun ber-oh ria saat Shafa berdiri dan menyeretnya ikut masuk ke dalam kelas.

🌸🌸🌸🌸🌸

Senja adalah semangkuk bubur kerinduan yang berharap menjadi nasi.
----------------------

S

esampainya di kelas, mereka segera duduk di kursi mereka masing-masing. Shafa di depan dan Vale di belakangnya.

Dengan santai, Vale menaruh tasnya di atas kursi mejanya, menepuk-tepuknya dan meletakkan kepalanya di atas. Tidur yang pulas.

"Hei, dasar bodoh. Cepat bangun pemalas!" bisik Shafa geram pada lawan bicaranya. 

"Hm, biarkan aku tidur sebentar,"

"Aku tahu meski kau tidak memerhatikan materi, kau tetap bisa mengerjakan semua tugas, tapi setidaknya hargailah dosen saat di dalam kelas!" bisiknya lagi saat dosen masuk ke dalan kelas.

"Baiklah-baiklah," bangun, Vale mengudak-udak isi tasnya, tampak mencari sesuatu. Setelah kiranya menemukan apa yang ia cari, ia menyambungkannya dengan hp dan menggunakannya pada volume terkeras. 

"Dasar bodoh," umpat Shafa.

"Aku masih mendengarmu," sindir Vale. 

"Dan aku tidak peduli."
.
.
.

Sesaat setelah dosen keluar, Vale mengajak Shafa untuk pergi ke sebuah taman di dekat sana. Mereka duduk berhadapan punggung di pohon itu. 

"Sha, aku ingin mengatakan sesuatu padamu," Shafa hendak menoleh ke belakang saat pria itu tanpa sengaja menyentaknya. 

"Maaf, tapi kumohon jangan menoleh, bisakah kau melakukannya?" pinta pria itu lebih pelan. Mengangguk, gadis itu kembali pada posisi semulanya.

"Ada apa? tumben sekali kau bisa serius," sindir Shafa berusaha mencairkan suasana.

Tapi itu sepertinya tidak berhasil. 

"Kau ingat? sebentar lagi adalah hari besar kita?" Shafa terdiam. Namun Vale masih dapat mengetahui jika gadis itu tengah tersenyum seraya memainkan sebuah cincin berlian kecil yang disematkan di jari manisnya yang lentik. 

"Apa kau benar-benar yakin?"

"Tentu saja. Kenapa aku harus ragu untuk hidup bersamamu?"

Hening. Tak berselang lama terdengar alunan lagu dari telepon genggam Vale. 

I know
Where you stand
Silent
In the trees
And that's
Where I am
Silent
In the trees

Why won't you speak?
Where I happen to be
Silent
In the trees
Standing cowardly

I can feel your breath
I can feel my death
I want to know you
I want to see
I want to say
Hello

*Tress-twenty one pilots*

"

I can feel your breath like i can feel my death," Vale bergumam yang mungkin hanya samar-samar gadis itu dengar.

"Aku ingat, dulu kau pernah bertanya padaku apa hal yang paling kutakutkan di dunia ini. Apa kau masih ingin mengetahuinya?" 

"Aku sudah menunggu sangat lama untuk mengetahuinya,"

"Jadi, kau sungguh ingin mengetahui hal apa yang paling kutakutkan di dunia ini?"

"tentu saja, apa itu?"

Pria itu tersenyum kecut. Sepasang iris birunya menatap menerawang pada langit yang tengah bersemu oranye. Awan lembutnya seakan mengisyaratkan jikalau ia pasti akan kembali esok.

"Perpisahan."

Sesaat setelah mengatakannya, ia segera berdiri dan berlari secepat mungkin.

Pergi dari sana. 

Tanpa sepatah kata pun. 

Meninggalkan Shafa dengan ribuan pertanyaan yang membumbung dipikirannya. 

"Ada apa dengannya?" gumam gadis itu. Ia bermaksud untuk mengejar pria itu saat ia melihat di balik pohon tempat Vale bersandar tadi, terdapat bercak darah. 

"Apa ini?" mendekat, Shafa menorehkan darah itu pada jarinya. "Apa mungkin ia pergi karena ini?"

🌸🌸🌸🌸🌸

Mungkin senja hanya sebuah cerita yang simpang siur di sekitaran api unggun.
------------------------------

"

Oh, baiklah. Terimakasih," sudah seminggu lebih lamanya Shafa mencari keberadaan kekasihnya. Ia sudah mencari ke sana kemari namun tak membuahkan hasil apa pun. Bahkan keluarga Vale sendiri tidak mengetahuinya.

Atau mungkin mereka sengaja menyembunyikan Vale darinya?

Kalau memang benar begitu, kenapa?

Shafaa masih sibuk memikirkan tentang Vale saat tiba-tiba kepalanya terasa sangat sakit. Pandangannya perlahan mengabur. Dan hal terakhir yang dilihatnya adalah beberapa orang yang mulai bergerombol membantunya.

🌸🌸🌸🌸🌸

Senja melarutkanku di batas waktu
Ketika ada dan tiada sejenak menyatu
Ada yang beringsut menjauh
Ada yang perlahan merengkuh

Bayanganku mengais sisa terang
Sebelum terkubur malam panjang
----------------------------

"

Aku minta maaf, Sha. Kemarin aku sangat terburu," sesal Vale pada Shafa. Dengan ragu, pria itu duduk disamping sang gadis yang tengah duduk diam di atas gedung tua tak terpakai. Menikmati pemandangan kota Jombang yang asri dan teduh. 

"Hm," berdiri, Shafa tersenyum lembut seraya melambaikan tangannya. Vale pikir, gadis itu telah memaafkannya.

Namun ia salah.

Gadis itu berlari sekuat tenaga dan melompat dari atas gedung empat lantai itu.

Dengan senyum yang masih merekah.

Dan Vale? pria itu hanya sanggup menatap kepergian rembulannya yang telah tenggelam bersama ribuan bintang.

🌸🌸🌸🌸🌸

"

Shafa ...." gumam pria itu lirih. Ia mengerjap matanya yang belum terbiasa dengan cahaya yang masuk.

"Apa yang terjadi?" gumamnya lagi. 

"Selamat pagi, Vale. Bagaimana kabarmu?" sapa seorang gadis bertubuh kecil dengan jas putih khas dokter.

"Kapan aku akan mati?" tanya Vale tanpa mengindahkan basa-basi dari sang dokter.

"Hei, bicara apa kau? kami pasti akan merawatmu sebaik mungkin. Kau tidak boleh mengatakan hal yang tidak-tidak. "

"Sudahlah, hentikan basa-basimu itu, dok. Aku bukanlah bocah yang bisa dengan mudahnya kau bohongi."

Menghela napas kasar, dokter itu  mengambil catatan kesehatan Vale dan membacanya sekilas sebelum kembali menatap sapphire yang tengah menatapnya dengan tajam. 

"Baiklah. Kau sudah terlalu banyak mengkonsumsi obat-obatan terlarang. Dan hal itu membuat tubuhmu kian lama kian rusak dan rapuh," dokter itu menghela napas sejenak. "Saat ini rahangmu telah mengeropos, gigi-gigimu telah rusak layaknya milik orang tua. Lalu, lambungmu, sudah bocor dan sulit untuk bekerja. Saraf-sarafmu telah bekerja dua kali lebih lambat dari yang seharusnya. Otakmu juga telah mengalami kerusakan, otot jantungmu sudah terinfeksi akut dan peredaran darahmu juga sudah tersumbat" setelah selesai mengatakan semuanya, dokter itu tersenyum kecut.

"Lagi."

"Maaf?"

"Kau belum mengatakan semuanya, lanjutkan sampai selesai. Aku masih punya cukup waktu sebelum mati," Vale meletakkan kedua tangannya di belakang kepalanya dengan santai.

"Aku sungguh menyesal, tapi mungkin hanya itu saja yang bisa kukatakan padamu, itu sudah cukup untukmu,"

"Heh, kau jahat juga ya, dok. Kau mau saja menyebutkan penyakit yang pasienmu idap. Bukankah itu hanya akan memperburuk kondisi pasienmu?" cecar Vale kemudian yang dibalas dengan senyuman samar sang dokter.

"Oh, maafkan aku, tapi aku memang tidak akan pernah sudi untuk berlaku baik padamu, Vale," jawabnya.

"Sialan kau dasar. Kemarilah kau, sahabatku Luthfa," merentangkan tangannya lebar-lebar, Vale menyambut pelukan erat dari sang dokter yang ternyata adalah temannya dahulu saat masih SMA. 

"Dasar bodoh. Lihat dirimu saat ini, kau sudah hampir mati. Apa yang pernah kukatakan dulu tentang narkoba, hah? kenapa kau tidak pernah mengerti juga. Lihat apa akibatnya sekarang!" maki gadis itu yang kini tengah menangis sesegukan. 

"Oh, sayang. Jika aku tidak mengkonsumsi obat penenang, kau pasti tidak akan bisa mendiagnosis kematianku saat ini."

"Sudahlah, tidak ada gunanya aku menangisi orang bodoh sepertimu. Sekarang, cepat seret bokongmu dan segera temui tunangan malangmu itu. Ia juga sedang sekarat."

"Apa?! apa yang terjadi padanya?!" raung Vale seketika.

"Gadismu itu, dia sama sepertimu. Ia juga menyembunyikan penyakitnya. Ia memiliki kanker ganas stadium akhir yang telah menyebar ke seluruh tubuhnya. Kemungkinan untuk hidup masih ada, tapi sedikit," jelas Luthfa. Setelahnya ia membantu sahabatnya untuk bangkit dan segera menemui Shafaa. 

🌸🌸🌸🌸🌸

Barangkali itulah mengapa kematian ada, aku menduga. Mengapa kita mengenal konsep berpisah dan bersua. Terkadang kita memang harus berpisah dengan diri kita sendiri; dengan proyeksi. Diri yang telah menjelma menjadi manusia yang kita cinta.
-----------------------------

"Hei," sapa Vale pada kekasihnya yang tengah terbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan seluruh alat penunjang hidupnya yang terlihat mengganggu sekaligus mengerikan.

"Oh, hei," balas Shafaa, canggung.

Hening. 

"Uh, sebaiknya aku pergi. Masih ada beberapa pasien lain yang harus kuperiksa," pamit Luthfa meninggalkan pasangan itu. 

"Jadi--"

"Jika kau ingin menjelaskan tentang kejadian seminggu lalu atau pakaian rumah sakit yang tengah kau kenakan saat ini, itu tidak perlu. Aku sudah mengetahui semuanya, beserta alasannya dan aku tidak marah ataupun kecewa sedikit pun padamu," potong gadis itu, tak lupa dengan rekahan senyum tulusnya. 

"Kalau begitu, kita impas. Aku juga sudah tahu tentang penyakitmu ... ralat, kencanmu dengan semua alat ini," balas Vale dengan senyum kikuknya. 

"Jadi, bagaimana?"

"Yah ...."

🌸🌸🌸🌸🌸

Laksana setitik embun
napas melekat di daun
Daun itulah jasad engkau
------------------------

H

ujan lebat mengiringi pertemuan Vale dan Shafaa. Dengan kursi roda dan payung kecilnya, Shafaa mendekati tempat pertemuan itu.

Tersenyum, Shafaa mendekati Vale yang sedari tadi tengah menunggunya dengan tenang. 

"Hai," sapanya pada kekasihnya. "Aku sudah di sini, sesuai dengan  apa yang sudah kita sepakati. Sekarang, mana hadiahku?"

Seseorang tampak menghampiri Shafaa dan mengulurkan secarik kertas yang tersemat di antara rangkaian bungan sweet pea yang cantik, dan juga sebuah  kotak kecil berwarna putih bersih.

Shafaa kembali tersenyum lembut. "Jadi ini yang ingin kau berikan padaku?" dengan perlahan gadis itu membaca secarik kertas itu.

"Hingga detik ini..
Ku rasakan senyummu mengiringi..
Tawamu lepas dinanti hatii..
Teduh tatapanmu, selalu ingin ku arungi..

Ku titipkan rindu ini pada palung terdalam lautan..
Kan ku kenang tiap waktu bersamamu yang ku habiskan...
Ku bagi crita dengan kapas yang berjalan..

Hening malam, menjadi saksi rindu yg telah lama mengeram..
Teriakku, memanggilmu dalam renungan diam..

Bahagiaku ada bersamamu..
Sedihmu, jadi pelengkap laraku..
Sanggup, tangismu memecahku..
Menjadi serpihan kecil yang kaku..

Sekalipun tak bisa ku rasa kau dalam genggamku..
Cerita ini, kan jadi pelipur laraku..
Tak lagi dapat ku melihatmu..
Cerita ini, mengikatmu dalam setiap embusan napasku.  .

Kenangan ini...cerita ini...
Terimakasih telah suguhkan mozaik terbaik..
Rangkaian puzzle yg menarik..

Terimakasih untuk waktu yang menyenangkan ini..
Untukmu sayang, di duniamu yang sekarang..."

Hai, Shafaa. Bagaimana pendapatmu tentang puisi buatanku? yah... meski aku mendapat sedikit bantuan dari si dokter menyebalkan Luthfa, tapi aku membuatnya dengan sepenuh hati, pikiran, dan emosi. Kuharap kau menyukainya. 

Kuharap aku bisa menemanimu untuk membaca ini, tapi sepertinya takdir berkata lain, aku hanya bisa menemanimu dalam diam, atau mungkin telah menjadi satu dengan tanah. Tapi satu yang pasti, aku akan selalu bersamamu meski tidak dalam wujud yang nyata.

Sebagai permintaan maafku karena tidak bisa menemanimu, aku sudah menyiapkan sebuah hadiah untukmu. Yah, memang tidak terlalu bagus sih, hanya seonggok organ tubuhku

Tidakkkk, aku hanya bercanda. Kau buka saja sendiri

Salam manis perpisahan dari orang cogan dunia akherat
Vale

S

etelah selesai membaca, Shafaa menatap sekilas pada gundukan tanah yang tertancap batu nisan. Ya, itu adalah batu nisan milik Vale. 

"Sekarang, coba kita lihat apa yang kau berikan padaku," gumamnya. Tanpa sadar air mata mengalir dari pelupuk matanya. 

Membukanya, gadis itu kembali tersenyum sembari menangis.

"Terimakasih, Vale. Aku akan setia menunggumu sampai kapan pun itu. 

Hari itu, semua orang terdekat turut mengantarkan Vale pada peristirahatan terakhirnya di akhir senja yang cerah selepas hujan.

🌸

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top