2. The Promised Day

Bunga : " Bunga Sweet pea bermakna, saatnya mengucapkan selamat tinggal".

Genre : Romance

Sub genre : angst

By: natsumealter

____________________________________

Gadis itu terbangun dari tidur panjangnya. Ia menyapu seisi ruangan dan menyadari kalau itu bukanlah ruangan yang ia kenal. Bau obat-obatan yang sangat menusuk hidung, sudah dapat membuatnya menyimpulkan kalau ia sekarang ada di rumah sakit.

Ia menoleh ke arah kanan, berusaha melihat ke arah luar jendela. Berniat melihat seperti apa lingkungan sekitarnya sejak terakhir kali ia mengingatnya.

Ia menolehkan kepalanya ke arah kiri tak kala pintu kamar tempatnya di rawat terbuka. Disana, ia melihat seorang pemuda yang sedang terkejut bukan main, sedang berdiri di depan pintu dan menatapnya tak percaya. Ia membuka mulutnya, hendak berbicara. Namun pemuda itu sudah mengeluarkan suaranya terlebih dahulu.

"Karen! Kau sudah bangun!?" Tanya pemuda itu.

Gadis yang bernama Karen itu terdiam. Tak lama ia bertanya. "Maaf, kau siapa?"

Pemuda tadi terdiam. Kelihatannya ia terkejut. Tak lama, pemuda itu berjalan mendekati Karen dan tersenyum lembut ke arahnya. "Maaf kalau aku lancang. Aku Tio." Ucap pemuda itu.

"Tio.."

Pemuda itu tersenyum dan menuangkan air ke dalam vas bunga yang ada di samping kasurnya. Lalu pemuda itu memasukkan seikat bunga mawar biru ke dalam vas bunga. "Kau suka bunga, bukan, Karen?" Tanya Tio.

Karen mengangguk dalam diam.

Kemudian Tio duduk di bangku yang ada di samping kasur dan mengeluarkan buku dari tasnya. "Hey, kau mau lihat ini tidak?"

"Apa itu?" Tanya Karen.

"Album foto." Jawab Tio singkat dengan senyuman yang terukir jelas diwajahnya. Senyuman yang menggambarkan ke rinduannya akan seseorang yang sangat mendalam.

Karen tidak menjawabnya. Melainkan ia memajukan sedikit kepalanya tanda ia tertarik untuk melihat Isi album foto itu. Tio membuka sampul bukunya. Karen melihat ada kata pengantar di awal lembar buku itu.

Dari tempatnya duduk sekarang, ia dapat melihat seorang gadis bersurai hitam lekat dan iris hijau yang menenangkan yang berada di foto itu. Sekilas, ia bertanya siapa gadis yang ada di foto itu. Mengapa hampir seisi buku itu dipenuhi oleh gadis itu. Berbagai pertanyaan yang ada di kepala Karen membuatnya pening tak karuan. Tak lama, ia merasa ada cairan hangat yang mengalir dari hidungnya.

"Oh.." Gumamnya ketika ia menyentuh hidungnya.

Tio yang tadinya sedang fokus membalik-balikkan lembaran kertas itu, terkejut melihat Karen. Ia berdiri dan segera mengeluarkan tissue dari tasnya. Ia mengambil selembar tissue dan membersihkan darah yang mengalir dari hidung Karen tersebut.

"Kau kenapa, Karen?" Tanya Tio.

"..Aku, aku tidak apa-apa. Sungguh." Jawab Karen berbohong.

"Hei, kau tahu tidak? Kalau orang sakit berbohong, katanya penyakitnya akan semakin parah dan tidak bisa sembuh loh." Ucap Tio.

Karen tersenyum. Tak lama ia tertawa parau. "Benarkah?"

Tio menganggukkan kepalanya mantap. "Ya."

Karen berhenti tertawa dan menoleh ke arah jendela. "Tio, kau tahu sekarang hari dan tanggal berapa?"

"Sekarang hari Rabu, tanggal 20 Desember. Ada apa?"

Karen tidak menjawab. "Kau tahu? Aku ingin sekali ke luar pada malam tahun baru.." Ucap Karen dengan Nada yang sangat pelan.

Tio terdiam. Ia tersenyum sedih sesaat. "Biar aku coba bicara dengan dokter nanti."

Karen tersenyum. "Terima kasih, Tio."

Tak lama, hening melanda kamar rawat tersebut. Tidak ada yang berbicara dan tidak ada yang mau memulainya. Yang terdengar hanyalah suara nafas kedua orang yang ada disana dan detik jam yang berbunyi. Sekilas tersirat rawut kebahagiaan di wajah Karen. Namun sesaat kemudian, rawut kebahagiaan itu digantikan dengan rawut ke khawatiran.

Ia khawatir kalau ia akan menyusahkan Tio nantinya. Ia khawatir kalau ia hanya akan menjadi beban untuknya. Di lain sisi, Tio terlihat sedikit bimbang. Bimbang apakah ia bisa meminta izin kepada dokter yang merawat Karen selama ini. Bimbang apakah keputusannya untuk mengajak Karen keluar ruangan adalah pilihan yang tepat atau tidak.

Beberapa saat kemudian, pintu geser itu terbuka dan menampilkan seorang pemuda berusia sekitar 35 tahun, mengenakan jas putih panjang sedang berdiri di depan pintu. "Oh, kau sudah sadar rupanya." Ucapnya.

Tak lama, ia melangkah masuk dan diikuti oleh beberapa suster dibelakangnya. "Selamat siang, Karen. Bagaimana kabarmu?" Tanya sang dokter.

Karen tidak menjawabnya. Melainkan, ia hanya menolehkan kepalanya ke arah jendela dan bergumam. "Aku ingin keluar."

Sang dokter tertawa kecil dan mulai bertanya-tanya keadaan Karen. "Kau ingin keluar, ya?" Tanya sang dokter.

Karen mengangguk.

"Namun, sebelum kau bisa keluar dengan bebas, apakah kau keberatan jika kau menuliskan apa yang kau rasakan selama dirawat disini? Tuliskan semua yang kau rasakan di buku besar ini. Supaya aku bisa memantau kondisimu." Ucap sang dokter sambil memberikan Karen buku besar.

"Apakah ini dapat membantu penyembuhanku, dokter?" Tanya Karen.

Seisi ruangan terdiam. Tak lama, sang dokter-pun tersenyum sedih. "Bisa. Semua yang harus kau lakukan adalah menuliskan apa yang kau rasakan selama kau dirawat disini. Dengan begitu, Aku bisa memantau kondisimu lewat buku ini." Jawab dokter.

"Begitu rupanya. Lalu, kapan aku harus menulis buku ini, dok?" Tanya Karen.

"Secepatnya. Namun sebelumnya, kau harus ikut aku dulu untuk menjalani kemoterapi." Ucap sang dokter. Setelah mengatakan itu, beberapa suster yang tadi masuk mengambil kursi roda di pojok ruangan dan membantu Karen untuk duduk di kursi itu. Lalu mereka keluar ruangan dan pergi menuju ruang kemoterapi.

Sementara Tio, ia masih terdiam di posisi awal. Menunduk dan menunduk. Tak lama, ponselnya berbunyi, tanda telepon masuk. Ia membaca nama pemanggil itu dan tatapannya berubah menjadi kosong. Ia mengangkatnya.

"Halo?"

"Halo, Tio?"

"Mau apa kau menelfonku?"

"Oh, dinginnya. Aku hanya ingin tahu kabar Karen saja. Kudengar ia sudah sadar dari koma-nya?" Tanya orang di sebrang sana.

Untuk beberapa saat, Tio tidak menjawab pertanyaan itu. Bukannya menjawabnya, Tio malah memaki orang di sebrang sana. "Tidak usah sok peduli padanya, Karin. Aku tahu kau tidak pernah serius menganggapnya sebagai saudara. Dan tidak akan pernah."

Orang disebrang sana terdiam. Tak lama, ia tertawa. "Oh? AHAHAHAHA. Kau lucu sekali, Tio. Kau tahu aku memang tidak menganggapnya sebagai saudara. Karena aku memang tidak pernah mau menganggapnya. Tapi ingat, kau sudah aku beri kebebasan untuk menjenguknya dan merawatnya. Kalau bukan karena aku–"

"Ah, iya iya. Aku sudah tahu." Potong Tio. "Aku juga sudah tahu apa yang akan kau lakukan padaku nanti."

"Bagus. Itu mempersingkat waktuku. Jadi, aku akan langsung saja pada intinya. Kalau kau masih sayang dengan Karen, jangan ajak dia keluar pada malam tahun baru nanti." Ucap orang disebrang sana yang bernama Karin.

"Apa!? Mengapa kau melarangku!? Itu hak Karen kalau ia mau ke luar pada tahun baru nanti. Lagi juga, apa yang membuatmu mengatakan itu?"

"Yah, sebut saja insting si kembar. Instingku mengatakan kalau kau nekat membawanya keluar ruangan, sesuatu yang buruk akan menimpanya dan kau akan menyesali itu seumur hidupmu."

"Lucu sekali kau, Karin. Kau bilang kau tidak peduli dan tidak menganggapnya sebagai saudara. Namun sekarang kau bersikeras untuk tidak membuatku membawanya ke luar pada malam tahun baru nanti. Kau tidak waras."

"Aku tidak suka mendengar kalimat itu yang keluar dari mulut konyolmu itu, Tio. Tapi asal kau tahu. Udara dingin itu sangat buruk bagi orang sakit. Terlebih lagi Karen. Kau mengerti?"

"Yayaya. Kau menyebalkan. Aku akan memutus telfonnya." Ucap Tio. Tak lama, ia memantikan telfon yang sedang berlangsung itu.

Ia terdiam lagi. Ia menenggelamkan wajahnya di kedua telapak tangannya dan merasa frustasi. Kalau saja, 3 tahun lalu ia cepat menyadari kalau ada yang aneh dari tubuh orang yang sangat ia kagumi itu, ia pasti langsung akan membawanya ke rumah sakit. Tidak menunggu penyakitnya hingga parah seperti ini.

Tak lama, terdengar suara Karen dari luar. Ia datang di antar oleh dokter yang selama ini merawatnya dan beberapa suster yang tadi. Ia di dudukkan kembali ke kasur secara perlahan.

"Baiklah, Karen. Mulai sekarang, tulislah apapun yang kau rasakan, yang kau impikan dan yang kau inginkan di buku itu." Ucap sang dokter. "Aku akan kembali mengecekmu lagi besok. Lalu kau akan menjalani kemoterapi lagi. Aku tinggal dulu, kurasa kau butuh istirahat. Selamat malam, Karen."

Tak lama sang dokter-pun pergi meninggalkan Karen dan Tio yang terdiam di ruangan itu.

"Jadi.. Bagaimana kemoterapimu, Karen?" Tanya Tio berusaha membuka pembicaraan.

"Tidak ada yang spesial dari kemoterapi tadi, Tio. Tapi terima kasih. Aku senang kau menanyakan kabarku. Nah, kau pasti lelah bukan? Kau pulang dan istirahat! Pasti ada banyak hal yang akan kau lakukan besok, kan? Datanglah kesini kapanpun kau punya waktu, Tio. Aku akan menyambutmu dengan hangat." Ucap Karen panjang lebar sambil memberikan senyuman terbaiknya.

"..ya, kurasa aku akan pulang. Lekas lah sembuh, Karen. Supaya kau bisa tersenyum lagi seperti 3 tahun lalu." Ucap Tio yang semakin lama suaranya menghilang.

Karen-pun menatap buku besar itu dengan tatapan kosong. 'Harus aku tulis apa buku ini?' Tanyanya dalam hati.

-oOo-

23 Desember

Aku baru saja menjalankan kemoterapi untuk yang ke sekian kalinya. Jujur saja, aku sudah lelah. Kalau bisa tuhan percepat saja umurku. Supaya aku tidak merasakan rasa sakit ini lagi.

24 Desember

Ketika aku selesai menjalankan kemoterapi hari ini, aku melihat seorang anak kecil sedang bermain-main dengan hewan peliharaannya di luar rumah sakit. Wajahnya sangat bahagia. Aku penasaran, apakah aku punya energi sebanyak itu untuk bahagia? Tersenyum saja aku sulit.

Tapi aku yakin. Tuhan itu adil. Aku pasti bisa bahagia. Aku pasti akan melawan penyakit ini. Aku yakin.

Ohya, hari ini aku ingin mengisi air di vas bunga sebelum Tio datang, namun Tio datang terlalu awal dan melihatku berjalan sambil membawa vas bunga ke kamar mandi. Jadi ia melarangku dan membiarkan dirinya yang mengambilkan airnya.

____________________________________

25 Desember

Hari ini hari natal. Aku tidak bisa merayakannya karena kondisi tubuhku yang tidak mendukungku. Dari dalam kamar ini, aku melihat ke arah jendela. Banyak sekali orang yang lalu lalang dengan hadiah di tangannya.

Aku melihat ke arah pohon besar di samping jendela, melihat keluarga burung sedang berkumpul dirumah mereka. Ah, aku iri dengan burung-burung itu. Andai saja aku masih sehat.. Oh iya. Tadi ketika aku melewati lorong, banyak bau obat-obatan yang menusuk hidungku. Aku tidak suka bau obat.

27 Desember

Aku sedih. Dokter bilang aku tidak boleh ke luar pada malam tahun baru nanti. Padahal dia sendiri yang mengizinkanku pergi kalau aku menuliskan apa yang aku rasakan. Dokter, kau pembohong.

Oh, coba tebak! Hari ini aku mendahului Tio dalam mengisi air di vas bunga. Ketika ia datang, aku memberikan seringaiku dan mengatakan kalau air di vasnya sudah aku ganti. Ia terkejut bukan main! Haha. Aku menang! Ohya, bunga yang Tio bawa hari ini juga sangat indah.

31 Desember, 12 AM

Aku ingin cepat sembuh.. Dan aku ingin keluar pada malam tahun baru nanti. Kumohon, izinkan aku keluar dari ruangan ini, dokter.

Dan untuk Tio.. Terima kasih karena kau telah sangat baik kepadaku. Aku berharap dapat membalas budimu suatu hari nanti. Ohya, kau berjanji untuk membawaku keluar pada malam tahun baru nanti, kan? Ku tunggu janjimu, Tio. Hehe

Dan Tio, air di vas bunga sudah aku ganti! Hehehe aku menang lagi~ selamat tahun baru, Tio!

-oOo-

1 tahun telah berlalu semenjak kepergian Karen dari dunia ini. Semua sangat terpukul, terlebih lagi Tio. Hal yang ia takuti akhirnya telah datang. Hari dimana ia tidak lagi dapat melihat mata hijau yang menenangkan milik Karen lagi.

Flashback.

Waktu itu, ketika ia datang ke rumah sakit, untuk menjenguk orang yang sangat ia kagumi, ia menemukan seorang suster sedang merapihkan kasur tempat Karen tidur.

"Gadis itu adalah gadis yang baik." Ucap sang suster.

Tio terdiam. Ia masuk kedalam ruangan dan meletakkan bunga mawar biru di dalam vas bunga.

"Ia yang menggantikan airnya tadi pagi. Kami semua tidak akan melupakannya." Lanjut suster itu. Lalu ia beranjak pergi dari kamar tempat Karen di rawat.

Tio terdiam. 'Tidak akan melupakannya?' Tanyanya dalam hati. Lalu ia berlari dan mencari dokter yang biasa merawat Karen. Namun ia hanya mendapati Karin yang sedang menangis sejadi-jadinya disana.

Dan pada saat itu juga, ia mengetahui satu kabar. Kalau ia terlambat datang menjenguk dan Karen sudah..

End of flashback.

Tio tersadar dari lamunannya dan menggelengkan kepalanya pelan. Ia sudah berdiri di depan batu nisan itu untuk waktu yang cukup lama. Tak lama, ia meletakkan seikat bunga sweet pea di depan makam itu. Hampir setiap hari ia datang dan memberikannya bunga sweet pea.

Tio tahu ia harus merelakannya. Namun itu bukanlah perkara yang mudah. Jadi, setiap hari ia datang ke makam Karen dan memberinya bunga sweet pea. Bunga yang melambangkan perpisahan.

End.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top