13. The Little Philantropis
By : loiruf
Bunga : Dafodil
Arti : Rasa Hormat
Genre : Science Fiction
"JANGAN PERNAH MEMASAK ITU!" Suara teriakan terdengar jelas menggema di dapur seseorang. Sepasang suami istri alien, tengah termakan dalam emosi serta perbedaan pendapat. Rasa putus asa terekspresikan dalam wajah dan tidakan sang istri. Sang istri yang ingin sekali lari dari kenyataan itu mendapat peringatan dari suaminya. Untuk sadar, untuk merelakan, untuk iklas akan hidup di bumi yang sekarat ini. Tak tahan akan penderitaan, sang istri alien itu pun memasak makanan dengan bahan tumbuhan, tumbuhan beracun. Memang beracun bagi manusia, tapi entahlah untuk alien yang kadar pertahanannya berbeda dengan makhluk asli bumi itu.
"Bunga ini telah susah payah ditanam oleh anak kita. Jika anak kita tidak ada di sini maka tidak ada yang menjaga bunga ini lagi. Aku tidak akan membiarkan bunga yang dia ditanam ini menjadi sia-sia," ucap si alien perempuan itu sambil menahan isakan tangis layaknya manusia.
"Jangan bertindak aneh-aneh, tindakanmu ini tidak bisa mengatasi apapun." Sang suami itu pun tak dapat menahan naik darahnya lagi. Apa yang ada telah dilakukan sang istri sedikit kelewatan menurutnya.
"Kau tak mengerti apapun!."
"Justru kau yang tak mengerti keadaan. Lihatlah kita sekarang, pertengkaran kita ini seperti sinetron saja. Kumohon istriku, tolonglah mengerti."
"Apa yang harus dimengerti di tahun 3018?"
"Jangan biarkan anak kita sedih karena kau telah mencabut bunganya. Bunga langka yang dia temukan, yang dia selama ini jaga dan rawat, yang mengenangnya pada seorang teman baiknya. Bunga itu sangat berharga baginya."
Deg
Sang istri itu mematung. Untuk sementara, dia menyadari sifatnya yang bagaikan pemain antagonis di sinetron lokal. Tapi, seberapa lamakah kesadaran dari sang istri itu dapat bertahan? Bagaimana keadaan suami istri alien ini setelahnya?
***
Mengapa kata-kata orang-orang terdahulu itu sulit dipercaya? Mengapa banyak yang mengira bahwa yang mereka katakan itu mitos? Dari sekian para tetua yang mengukir kisah, mengapa banyak di antara mereka yang salah sangka? Mayoritas para pendahulu berpikir bahwa yang namanya zaman sekarang, zaman 3018, zaman masa depan di mata mereka, yang harusnya dipenuhi kecanggihan IPTEK yang pesat, dipenuhi dengan metode-metode instan, dipenuhi dengan banyak benda yang mempermudah, tapi semua itu hanya dijadikan dongeng angin lalu yang melewati telinga saja. Hanyalah angan-angan. Tapi ... bagi yang memprediksikan zaman ini adalah zaman distopia, selamat. Mereka tidak salah.
Bumi ini sudah tertalalu rapuh. Bermilyar-milyaran tahun telah diusahakan untuk berjuang. Entah perjuangan apa sebutannya. Melindungi manusia dari perang atau melawan serangan-serangan manusia dari perang? Tapi sekarang, bumi tidak hanya ditinggali oleh manusia, hewan, tumbuhan dan makhluk astral khas bumi, tapi juga makhluk asing yang biasa disebut alien. Itu sebutan yang manusia tujukan untuk para imigran dari galaksi lain. Untuk yang dari dimensi lain, lain lagi ceritanya.
Lingkungan yang kumuh dan sekarat. Apa itu yang bisa didiskripsikan dari kata distopia? Apa karena lingkungan kumuh ini, rasa hormat yang harusnya ditujukan kepada pemerintah menipis? Jadi kepada siapakah sosok yang semestinya dihormati? Semua orang bebas menghormati siapa saja. Yang ini bisa menghormati yang itu, yang itu bisa menghormati yang ini, siapapun. Tapi, beberapa pengekangan mungkin akan didapat bila salah menghormati orang dan ...
salah menunjukan cara bagaimana menghormarmatinya.
***
"Bunda, seperti apa bunga dafodil itu?" Seorang anak kecil dengan raut wajah benar-benar penasaran ia tunjukkan di hadapan seseorang yang ia panggil sebagai bunda. Bisa dibilang bunga angkat. Jiwa polos yang masih ia miliki, tapi rasa keingintahuan yang besar membuat sesosok yang dia panggil bunda itu mau tidak mau harus menjelaskan semuanya. Ya ... Seorang gadis berusia 6 tahun yang tinggal di yayasan pemerintah. Yayasan yang sederhana, walau belum banyak teknologi yang dimiliki yayasan ini. Yayasan ini bisa juga disebut pengganti panti asuhan.
"Bunda Edel pokoknya harus ceritain semuanya ke Odil!"
"Hm ... Bunda gak tau harus mulai menjelaskannya dari mana. Bunda hanya tau kalau Bunda dan Odil satu keluarga."
"Hah ... kenapa bisa?"
"Karena kita sama-sama punya nama belakang yang sama. Huh, Odil ini." Sesosok yang dipanggil Bunda Edel itu pun mencubit ringan hidung anak yang ada di hadapannya itu.
"Jadi jika nama belakang orang lain ada yang Van Outten walau tidak tinggal di tempat ini, orang itu juga keluarga apa bukan?"
"Tidak harus orang dengan nama belakang Van Outten sebenarnya. Semua manusia di muka bumi ini adalah keluarga."
"Ooo ... jadi begitu?"
"Hooh. Bukan manusia saja sih. Semua makhluk hidup, hewan, tumbuhan, alien pun juga keluarga."
"Tunggu dulu ... Odil semakin tidak mengerti."
Bunda Edel mengela nafas,"Suatu saat kamu pasti mengerti apa maksud Bunda ini."
***
Yayasan Outten, suatu yayasan yang lebih umum dan universal dari pada panti asuhan. Semua orang yang tinggal di yayasan ini memiliki nama belakang yang sama yaitu Van Outten. Suasananya kadang benar-benar berisik tapi juga sekaligus terlarut dalam sunyi duka. Dipenuhi dengan anak-anak berlarian bermain kejar-kejaran, tapi sayang ... pasokan bahan makanan yayasan ini terlalu memprihatinkan. Hingga beberapa orang yang tinggal di dalamnya jatuh sakit akibat kekurangan gizi, bahkan ada pun yang sampai melayangkan nyawanya karena derita kelaparan yang tak kunjung membaik.
"Jadi, bunga dafodil itu berwarna kuning? Aku pikir warnanya ungu." Di malam yang sunyi, si gadis dan wanita itu belum juga melelapkan mata mereka. Di saat yang lainnya sudah mengarungi pulau kapuk di malam hari, dua manusia itu masih saja mengobrol panjang lebar. Apa rantaian bunga yang mengikat nama mereka begitu kuat? Suatu rasa keingintahuan yang dimiliki si gadis itu, membuat sesosok wanita yang jauh lebih tua, rela tidak terlelap demi menjawab berbagai pertanyaan yang terpancarkan dari binaran mata si gadis.
"Lalu siapa yang memberi nama kepadaku? Kenapa namaku Dafodil Van Outten?"
"Entahlah.Aku juga menanyakan hal yang sama pada diriku. Mengapa namaku Edelweis Van Outten?"
"Mungkin yang memberit nama suka meneliti bunga."
"Aku rasa bukan mungkin Odil, tapi memang."
"Benarkah?"
***
Tiga tahun kemudian ... suatu kamar yang selalu saja dipenuhi suara-suara canda. Empat Kasur yang didiami enam orang anak kecil ini tak lepas dari yang namanya berantakan. Walau gaduh, tapi tak ada pertengkaran. Sebab apa? Mereka semua berisik melontarkan pertanyaan-pertanyaan mereka kepada seorang gadis, Dafodil Van Outten.
"Entahlah, itu cerita orang-orang dulu loh ya. Lagi pula di internetkan ada banyak. Cari saja di sana."
"Aku pernah membaca di internet, bunga dafodil itu punya arti kegembiraan, harapan dan juga rasa optimis. Warnanya ternyata kuning, walau sebelumnya aku mengira warnanya ungu. Kuningnya itu seakan-akan bilang,' matahari akan selalu bersinar selama aku bersamamu.' Tapi ada yang unik di batangnya. Entah aku lupa apa maknanya."
"Wah ... kau membacanya dari blog apa, situs apa? Aku penasaran."
"Bukannya kau mengerti maknanya."
"Aku lupa, terakhir kali waktu itu aku bertanya pada Bunda Edel, 'mengapa bunga dafodil itu berwarna kuning?'" jawab Odil menirukan perkataannya dua tahun lalu.
"Lalu kau masih ingat?" tanya Hana, teman satu kamar Odil.
"Entahlah," jawaban Odil sambil mengangkat pundaknya.
"Lalu kau sendiri? Apa tau seperti apa bunga dafodil itu?" tanya seorang anak bernama Meeh.
"Aku hanya tau gambarnnya di internet."
"Lha padahal aku penasa-. Odil kau sepertinya dipanggil tuh!"
"Hah? Siapa?"
"Tante Cercy sepertinya."
"Huh ... okelah Meeh, jangan lupa bangunkan Milo nanti!"
Memang untuk hari ini Odil merasa kerepotan. Teman—saudara-saudaranya pagi-pagi sangat berisik padahal hanya untuk membahas si gadis dafodil itu. Tapi itu sepertinya hanya kali ini saja. Entahlah ... apakah itu terjadi di keesokan harinya?
***
Kerinduan akan embun pagi, tapi sayang yang mereka dapat adalah pemandangan gersang dan kotak-kotak. Kotak-kotak bangunan. Mereka, para penghuni paruh baya dari yayasan tersebut, menatap luar dengan wajah yang seakan-akan berbicara, 'tidak ada keuntungan dari beraktivitas di luar sana'. Beraktivitas di dalam, jauh lebih baik dari pada berkebun atau menanam di luar sana. "Dunia sudah tak ada harapan lagi rupanya." Keadaan luar sudah cukup rusak membuat para makhluk berakal justru lebih memilih menyerah. Seandainya mereka adalah penghuni abad 21, mereka akan lebih memilih berkebun sepertinya.
"Hei anak-anak, jangan lari-lirian di dalam!" Anak-anak yayasan seru berlari kesana kemari menikmati masa bahagia mereka di dalam gedung, di tengah-tengah ketandusan lingkungan, di tengah-tengah kebisingan gedung-gedung sekitar.
"Jadi Paman ingin kami bermain di mana?"
"Pokoknya jangan di sini anak-anak."
"Tapi di luar sana terlalu panas," balas salah satu anak.
"Iya, padahal masih pagi," sambung anak yang lain.
"Justru itu, kalian membuat udara semakin panas." Si paman sepertinya sudah merasa jengkel sekaligus geram. "Akan lebih baik bila kalian membantu masakan di dapur atau menyiapkan makanan di ruang tengah," lanjutnya.
"Haih ... baiklah Paman Juan," balas anak-anak tersebut dengan nada malas.
"Ayo Meeh, Mil, Mat, Dil." Anak-anak itu pun dengan rasa terpaksa, pergi menuju ruang dapur yang lumayan jauh. Jauh karena penuh dengan lorong dan tangga. Makhlum, yayasan cukup besar tapi tidak ada lift apalagi alat teleportasi. 'Anak-anak ini, bisa dikatakan beruntung. Karena mereka bisa jauh dari gadget, tidak seperti diriku ketika kecil. Ketika masih dalam asuhan orang tua,' guman Paman Juan dalam hati.
***
Gema demi gema terdengar di sepanjang lorong. Anak-anak itu terlalu berisik mengobrol satu sama lain. "Wah ada gema!" reaksi seorang anak yang bisa dibilang paling polos di antara anak-anak lain. Milu, seorang anak--alien kecil yang umurnya sekitar 6 bulan. Fisiknya memang lumayan kecil, sekitar dua kaki. Tapi perkembangan akalnya sudah sebaya dengan anak manusia berumur empat tahunan.
"Suaramu terlalu kecil tau sampai semua sudut lorong ini menggema," balas anak—manusia lain. Anak manusia bernama Odil. Si satu-satunya huruf 'O' dari tim anak-anak yang kebanyakan huruf 'M'. Suaranya terdengar jauh lebih nyaring dari pada Milu.
Cukup wajar, karena seluruh anak alien di muka bumi memakai suatu alat khusus untuk menyuplai oksigen agar sesuai dengan kapasitas hidung mereka yang kecil. Kepala mereka seakan-akan berada dalam gelembung saja.
"Huh ... ingin rasanya aku meluapkan rasa iriku pada kalian." Meeh, seorang anak—alien lain. Cukup kalem perawakannya. Kadang dia dipandang sebagai sosok pengganti kakak oleh orang lain. Tapi bagi Milu, sifatnya itu terlalu keibuan.
"Apa kalian bisa diam selama berjalan di lorong ini?" Mathew atau biasa dipanggil Mat dalam kesehariannya. Teman yang paling dewasa diantara yang lainnya.
"Memang benar kata Mat, nanti saja kalian berbicaranya. Tidak baik bicara keras-keras di lorong tangga." Dan terakhir, seorang bocah manusia yang sikapnya seharusnya tidak lebih dewasa dari Mat, Ully. Anak lain yang huruf nya selain 'M'. Tidak biasanya dia bersikap seperti itu. Justru Ully ini yang paling labil. Orang-orang di sekitarnya tak akan bisa menduga bagaimana perubahan sikap anak itu.
Menyusuri lorong tangga. Di setiap percabangan tangga ada lorong lagi, di setiap percabangan lorong ada lorong lagi dan di setiap percabangannya itu ada lorong lagi dan lagi. Begitu seterusnya. Sepanjang dinding lorong, terdapat pintu-pintu menuju berbagai ruangan. Kebanyakan adalah ruangan kamar ratusan penghuni yayasan. Tampak wajar. Juga tenang, apalagi ruangan kamar. Tapi ...
"Tunggu dulu, sepertinya aku mendengar orang menangis." Mat yang sikap sebelumnya dipenuhi candaan itu tiba-tiba berhenti lalu mengerutkan dahinya. "Ah sudahlah."
"Suara, sebenarnya aku tadi juga seperti mendengar orang menangis. Tapi aku tidak yakin." Odil pun tiba-tiba memasang raut wajah serius. "Jika memang menangis pun, kita akan sulit menemukan siapa orangnya," tambah Meeh. Meeh mulai menunjukkan sisi cerdiknya, walau bukan sisi dewasanya.
"Ya ... semoga yang kalian dengar itu bukanlah apa-apa. Atau jika memang ada orang yang menangis di pagi hari begini semoga dia merasa lebih baik," tambah dari ... seseorang yang kehadiraannya mengejutkan anak-anak.
"Bunda Edel!?" anak-anak terkejut dengan suara seorang wanita. Tersenyum dengan wajah cantiknya yang bersinar. "Kalian mau ke dapurkan? Ayo ikut bersama-sama!" ajak Bunda Edel kepada anak-anak cerewet tadi.
"Ngomong-ngomong Odil." Bunda Edel mengalihkan pandangannya menuju Odil.
"Iya Bunda?"
"Aku—Bunda ingin memastikan satu hal."
"Hah?"
"Apa kau merasa cerdas Odil?"
"Iya."
"Apa ingatanmu sangat kuat."
"Iya dong. Pasti."
"Apa kau ingat tentang kisahku tiga tahun lalu yang menimpa sepasang suami istri?"
"Kisah apa Bun?"
"Sepertinya kau tidak mengingatnya Odil."
"Memang cerita apa?"
"Bukan apa-apa. Aku harap kau malah tidak mengingatnya. Kau terlalu kecil untuk mengingat itu."
"Eh Bunda ... tolong jelaskan padaku."
"Lain kali bunda jelaskan."
***
Berkata lain kali. Mungkin sebagian orang akan berpikir bahwa itulah cara para makhluk berakal untuk menghindari pertanyaan demi pertanyaan. Demi menghindari rasa keingintahuan orang lain. Tapi ternyata di luar dugaan. Kata 'lain kali' untuk kali ini memiliki posisi yang semestinya. 'Lain kali' ini adalah kata-kata janji menurut Bunda Edel. Bunda Edel benar-benar menceritakan kisah ini sekali lagi kepada Odil. Tapi ... hanya Odil.
Odil ... tidak menunjukan perbedaan pada cara pandangnya terhadap orang lain. Bermain, cerewet dan membuat jengkel para orang tua. Tetap bersama-sama dengan teman-temannya. Dan membantu orang lain. Namun kali ini cara membantunya itu ... sudah tak bisa dibilang wajar lagi. Odil ... menunjukan perbedaan tapi bukan di sisi cara pandangnya kepada orang lain, tapi di sisi yang lain.
"Odil, apa kau tidak takut berbuat seperti itu?" Meeh menahan dengan menggenggam erat tangan Odil. Dia terlalu khawatir pada gadis manusia yang sudah mulai memberanikan diri, menuju sumber suara orang yang menangis beberapa hari lalu. "Jika kita tidak menengoknya, apa kita bisa menyebut diri kita makhluk hidup?" ucap Odil yang sama sekali tak mau mendengarkan ucapan Meeh.
Menyusuri lorong demi lorong. Sebenarnya Odil sudah melakukan ini diam-diam selama berhari-hari, mencari siapa yang selama ini menangis. Tapi dia belum menemukan pencerahan yang pasti. Selama berhari-hari dia mengawasi lorong pintu-pintu kamar. Dan alhasil, gadis itu pun mencurigai satu kamar. Tapi memang siapa dirinya? Tidak mungkin dia berani untuk tau apa yang di balik kamar itu. Petunjuk yang kurang dan akal seorang anak sepuluh tahun yang minim. Apa daya, anak itu harus menunggu waktu yang tepat. Namun ... suatu kisah yang diceritakan seorang telah membuatnya mendapatkan petunjuk lebih.
"Sebelah sini Meeh." Sambil membawa roti dan sup yang sudah disegel, Odil berlarian menelusuri lorong mencari kamar yang dia maksud. Si gadis manusia itu benar-benar merasa antusias walau hanya bisa mengajak Meeh seorang. Odil sepertinya akan hanya mau mengikuti jalam nuraninya saja. Sedangkan Meeh ... ekspresinya seakan-akan sedang mengumpulkan energi untuk mengeluarkan apa yang ada di dalam hatinya. Ekspresi kekhawatiran dan kepanikan.
"Ini dia ruangannya. Nah, di depan kita sudah ada pintu yang ... tunggu dulu ... tidak dikunci?" Odil sedikit bingung dan berusaha menerka-nerka apa yang ada di hadapan kedua anak itu.
"Hm ... ini satu-satunya pintu yang tidak menggunakan kode ataupun alat penyensor. Apa memang sudah rusak ya?"pikir Meeh yang berusaha bersikap masuk akal.
"Justru syukurlah Meeh. Kita bisa masuk ke dalam."
"Odil sudahlah, kita kembali saja." Meeh menarik tangan Odil untuk pergi. Tapi tarikan Meeh malah ditepis ringan oleh gadis manusia itu. "Odil ... jangan kegaba-."
Odil dan Meeh tiba-tiba dikejutkan dengan lemparan gelas besi oleh si penghuni kamar. Mereka membuat wanita manusia yang selama berhari-hari terbujur kaku itu, marah seketika. Odil dengan cepat angkat bicara.
"Nyonya tolong dengarkan kami!"
Tapi wanita itu tetap diam saja. Setelah itu, langsung berbicara, "Apa tujuan kalian datang ke sini!?"
"Nyonya kumohon makanlah! Walau hanya berbumbukan bumbu instan murahan."
"Jangan coba-coba menawariku dengan masakan micin murahan seperti itu!"
Si gadis keras kepala itu pun lalu terlihat mencari-cari sesuatu di kantong celananya.
"Aku ada roti nyonya, jika kau tak suka makan sup, kau bisa memakan roti ini.
"Sudah kubilang aku tidak mau anak kecil, jangan coba-coba menggangguku." Dilemparkannya sup dan roti itu hingga jatuh ke lantai. Odil yang berusaha keras menahan tangisnya itu memungut makanan-makanan tersebut. Lalu, pandangan Odil pun teralihkan dengan suatu benda di bawah rak besi di kamar itu.
'Astaga, dia sepertinya mulai lagi,'ucap dalam hati Meeh. Ekspresi Meeh seketika benar-benar ... berubah. Ekspresi yang lebih dari kekhawatiran.
***
Badan Odil lebih pucat dari biasanya. Namun raut wajahnya seakan-akan berkata, 'berhasil'. Dan untuk Meeh ...
"Aku tidak setuju dengan cara membujukmu itu Odil,"ucap Meeh dengan nada menyesal. Menyesal karena sudah gagal menperingatkan temannya itu kemarin.
"Hah ... apa maksudmu?" Odil hanya menunjukkan ekspresi tidak mengerti.
"Cara membujukmu kepada wanita itu. Kau terlalu ... nekat."
"Meeh, dengarkan aku. Seandainya bumi masih asri, dipenuhi tumbuhan, warna hijau di mana-mana, mungkin bisa dibilang tikus tanah saat itu mendapatkan makanan yang layak. Tapi bagi tikus tanah yang hidup di zaman sekarang, justru kesengsaraan yang mereka peroleh."
"Jadi kau selama ini melihat wanita itu seperti tikus tanah!?"
"Bukan seperti itu. Maksudku beda zaman beda pula bentuk sengsaranya."
"Lalu sebenarnya apa? Kau berpikir bahwa wanita itu depresi karena kekurangan makanan."
"Em ... iya."
Meeh berpikir bahwa sungguh bodoh Odil ini. Jelas-jelas kabar mengapa wanita itu depresi adalah karena makhluk adam. Cinta yang menyensarakan. Tapi apa daya Odil hanyalah manusia. Manusia yang umumnya lebih bodoh dari ras alien. Pasti akan sulit untuk menjelaskannya.
***
Seperti biasa, hari yang sangat panas. Tapi kali ini suatu jiwa nekat telah membara di dalam diri seorang gadis, gadis yang kemarin berhasil membujuk seorang wanita depresi. Kali ini... bisa dibilang dia berulah lagi.
Odil berlari ke arah mesin teleport umum. Mat dan Ully berusaha menyusulnya. Entah berusaha menyusul mendukungnya atau malah menghentikannya.
"Odil, berita itu bohong. Cepatlah kembali!" teriak Mat dengan terengah-engah. Karena terbiasa berdiam diri di dalam gedung, membuatnya tidak terbiasa berlarian.
'Ugh dasar, harusnya aku berlatih berlari dengan alat pencepat lari,' keluh Odil sambil berlari. Akhirnya dia dapat sampai ke tempat teleport. 'Seseorang harus segera menghentikan Kak Johan dan para pendemo lainnya.'
Sebelumnya, tadi pagi Odil mendapat berita yang membuatnya terkejut sekaligus senang. Beberapa penghuni yayasan yang menghilang, rupanya telah ditemukan. Mereka sedang melakukan demo mogok makan, mengengkang kebijakan pemerintah. Setelah sebelumnya hilang tanpa kabar selama beberapa hari. Selama ini, mereka menginap di gedung kumuh yang berada di pusat kota.
Mereka tidak akan pulang sebelum orang-orang pendemo itu merasa menang. Menang dari pemerintahan, yang di mata mereka telah berbuat kesewenang-wenangan. Menyalahkan pemerintah atas kehidupan yang miskin. Cara yang paling sering terlihat bila terpojokkan. Demo ini ... membuat sanak saudara dan sahabat pasti merasa khawatir.
'Ini dia gedungnya,' ucap dalam hati Odil. Gadis itu nekat memasuki ruangan tersebut, walaupun dirinya ini bertindak tanpa dibekali pengetahuan dan perlindungan diri.
Pintu luar gedung itu sepertinya sudah hancur. Dengan hati-hati, Odil melewati sisi pintu yang terdapat lubang menganga besar. Banyak sekali bekas pecahan logam dari pintu itu. Hingga tiba-tiba, lengan gadis itu tak sengaja tergores pinggiran yang tajam, lalu muncul rasa perih di pergelangan si gadis nekat itu.
Berusaha tak mempedulikan lukanya, Odil mencari-cari kemungkinan di mana para pendemo itu bersembunyi. Tapi, dirinya malah tersesat di dalam gedung tersebut. Inilah yang terjadi apabila seorang gadis berusia sepuluh tahun nekat sok-sokan menjadi penyelamat.
Mat, Ully dan ... beberapa aparat keamanan berlari dan masuk ke dalam gedung. Sebelumnya mereka mengendarai mobil listrik para penjunjung keamanan tersebut. Keadaannya memang malah bertambah merepotkan. Tapi yang aneh, bagaimana bisa anak-anak dari gedung yayasan Outten mengetahui lebih dulu bahwa tempat rahasia para pendemo itu berada pada gedung kumuh tersebut?
"Anak-anak, dari mana kalian bisa tau di sini tempatnya?" tanya salah satu aparat.
"Em ... ada informasi bocor," jawab Ully sedikit gugup.
"Mengapa kalian yang mengetahuinya?"tanya aparat lain.
"Jadi begini Tuan, berhubung ada beberapa orang yang asalnya dari yayasan Outten, kemungkinan bisa saja bocorkan?" jawab Mat menyakinkan. Anak berumur empat belas tahun itu masih saja pandai menyusun kata-kata di saat-saat seperti ini.
***
Gelap. "Dimana orang-orang?" Pandangan Odil mengarah ke sana ke mari. Tak tau harus bagaimana lagi setelah tersesat di dalam. "Memang dimana tombol lampu?" Dicarinya cara bagaimana memunculkan sumber penerangan. Tapi sayang, pandangan saja sangat gelap, apalagi menemukan tombol lampu.
Rasa penat telah menjalar di kedua kaki gadis itu. "Bau besi berkarat," kritiknya di waktu yang tidak tepat. Odil benar-benar kelelahan. Terduduknya dirinya dengan rasa perit di lengan dan rasa letih di kedua kakinya. Hanya terduduk hampir menyerah. Hampir? Walau kemungkinan kecil, tapi Odil yakin, dia berhasil menemukan sumber cahaya di celah bawah. 'Sepertinya itu celah pintu.'
"ODIL!" terbukanya pintu yang sebelumnya menjadi sandaran si gadis kecil itu. "Mat, Ully, kalian menemukanku," senyum polos muncul bibir anak itu. Para aparat menyalakan sinar otomatis pada baju mereka.
"Ayo, sekarang kita pulang!" ajak Ully.
"Kau berada di tempat penyimpanan robot bekas," jelas Mat sambil membantu berdiri gadis yang kelelahan itu.
"Pulang? Tunggu dulu? Aku akan pergi ke tempat para pendemo itu!" Odil benar-benar keras kepala.
"Odil, sudahlah! Kau itu hanya anak kecil."
"Tidak bisa, pokoknya aku harus pergi."
"Od-."
"Tunggu, jika kalian menganggapku anak kecil. Maka berikan aku kesempatan. Apakah aku akan berkesempatan melakukan ini sekali lagi?"
"Odil berhentilah berbicara yang tak kami mengerti."
"Lalu aku harus bagaimana?"
"Tapi Od-." Ully berusaha membujuk. Tapi niatnya tertepis setelah Mat memegangi pundaknya, seakan-akan anak laki-laki itu berbicara, 'Sudahlah.'
"Kau boleh pergi, tapi kau harus bersama mereka." Mat menunjukkan jari telunjuknya pada dua aparat yang sedang bersama mereka.
"Baiklah." Mereka berjalan keluar. Setelah itu, Odil bergabung dan mengikuti para aparat itu.
'Semoga semuanya baik-baik saja.'
***
Apakah semuanya baik-baik saja waktu itu? Aksi para pendemo itu pun bubar, Odil dan seorang pria bernama Johan itu kembali pulang ke yayasan. Sebenarnya ada 5 orang dari yayasan, tapi yang mau mendengarkan Odil hanyalah 1 orang saja. Yang penting semuanya baik-baik saja memang. Hari-hari pun berlalu seperti tidak terjadi apapun. Tapi ...
"Kau pasti berulah lagi, penyakitmu sepertinya sudah menggerogoti otakmu."
"Penyakit? Penyakit apa?" Odil sempat muntah (lagi).
"Ish, kau! Yang kau lakukan kemarin-kemarin ... aneh."
"Haha, ngomong-ngomong aku sudah sebelas tahun. Dan aku ... tidak tau harus senang atau sedih."
"Iya aku tau. Memang Bunda Edel cerita apa lagi kepada kau?" seorang anak alien, Meeh sepertinya sudah dapat berpikir abu-abu sekarang. Satu tahun setelah pertama kali dia terjebak suatu masalah bersama seorang gadis manusia muda.
'Aku sudah tahu perihal penyakitmu Odil.'
***
Milu berlari menghampiri Ully dan Mat. Raut wajahnya menunjukkan ekspresi senang.
"Kalian! Di mana yang lain?"
"Eh ... ada apa Milu?
"Anu ... akan ada para dermawan datang dari luar bumi!"
"Maksudmu para alien filantropis?"
"Iya. Dan ... Tuan Outten kembali. Aku tidak sabar ingin bertemu dengannya langsung." Rasa senang Milu sudah tidak bisa terkendali, perihal dirinya tidak pernah bertemu dengan Tuan Outten secara Langsung.
"Lha, rupanya." Mat menggeleng-geleng kepalanya. "Ada-ada saja kau ini."
"Lalu kapan dia datang ke sini?" tanya Ully.
"Besok! Tapi kita akan menjemput Tuan Outten terlebih dahulu!" balas Milu girang.
"Maksudmu?"
"Aku dengar Bandara Evergaan terkenal dengan kehijauannya. Walaupun bandara, tapi di sana banyak sekali tanaman-tanaman hijau. Aku benar-benar ingin ke sana."
"Kalau begitu, apa kau sudah memberitahu Meeh tentang ini."
"Belum. Justru aku malah sedang mencarinya."
"Yuk sini aku bantu," ucap Ully ikut tersenyum.
"Terima kasih Kak Ully." Anak alien itu menyunggingkan bibirnya yang semakin manis saja.
"Ngomong-ngomong teman-teman ...(.)" Mat tiba-tiba menyela.
"Ada apa?"
"Sepertinya aku tidak bisa ikut kalian mengunjungi Tuan Outten."
"Loh ... kenapa?"
"Aku ... hanya tidak tertarik ikut."
"Kenapa?"
"Ya ... aku hanya tidak suka berpergian. Tapi aku tetap bisa menemuinya jika dia sudah sampai ke sini."
"Oh ... hanya itu. Okelah tidak apa-apa," ucap Ully mengerti.
"Kak Mat melewatkan kesempatan ah." Berbeda dengan Ully, Milu malah menjulurkan lidah kecilnya itu kepada Mat. Sikapnya benar-benar sangat menggemaskan.
"Kau ini." Mat lalu mengejar anak alien itu dengan rasa sebal sekaligus gemas.
"Segeralah pergi ke halte teleport terdekat!"
***
"Terima kasih Tuan Outten." Milu benar-benar besemangat. Anak itu merasa sangat senang , walau keinginannya hanya untuk bertemu dengan seorang kakek tua. Tapi sebelumnya ... matanya sebam karena menangis.
"Ah ... terima kasih anak-anak," jawab Tuan Outten.
"Robot buatan Tuan Outten benar-benar keren," ucap kagum Ully sambil menggandeng suatu robot manis. Tapi sebelumnya ... apa yang terjadi pada Ully?
"Em ... maafkan aku anak-anak. Aku tidak bisa mengurusi yayasan dengan baik karena kesibukanku di luar bumi."
"Hah ... untuk apa Tuan meminta maaf?"
"Yayasan yang kubangun untuk kalian terlalu miskin. Aku pernah mendengar bahwa 5 penghuni yayasan rela sampai berdemo demi mendapat dana. Bahkan kalian tidak pernah memegang gadged sekalipun."
"Oh itu, aku harap kedepannya tidak terjadi lagi Tuan, hehe."
"Tunggu dulu nak mengapa nada bicaramu terdengar bergetar begitu?" tanya Tuan Outten setelah mendengar suara Ully yang tampak ragu.
"Em ... ketika perjalanan menuju kemari, suatu musibah datang."
"Suatu musibah? Di saat aku baru datang?"
"Namanya musibah tidak bisa diduga kapan datangnya Tuan, janganlah cemas begitu."
"Em ... sebenarnya ada banyak orang yang datang menjemput Tuan. Tapi sebagian memilih kembali menolong anak itu karena dia berbuat nekat lagi."
"Memang siapa nama anak itu?" tanya Tuan Outten penasaran.
"Namanya Dafodil, seorang anak yang ...
punya sindrom pica.
Dia membujuk seseorang untuk tetap hidup."
***
Curahan demi curahan dari hati ke hati. Tuan Outten benar-benar menanggapinnya Si Odil ini secara serius. Pak tua itu menanyai setiap orang yang mengenal gadis nekat pemakan kapur itu.
Meeh, teman terdekat Odil itu menjadi saksi pertama dari wanita yang depresi.
"Aku sudah memperingatkannya berkali-kali, tapi setiap kali aku berusaha menahanya dia ma-ma-malah berkata ... berkata ...(.)" Meeh mengambil jeda beberapa saat lalu melanjutkannya lagi.
"'Tenang, aku tidak akan apa-apa,'seperti itu jawabannya.
'Kau pasti terlibat dalam masalah bila seperti itu.' Aku selalu membalasnya seperti itu berkali-kali, ta-tapi dia... tidak mau mendengar.
Aku ingat, untuk pertama kalinya dia berbuat nekat ketika bertemu dengan seorang wanita. Wanita yang kesehariannya hanya menangisi cinta. Wanita yang tidak pernah turun untuk makan. Dan peran si gadis keras kepala itu benar-benar membantu. Sangat membantu. Ketika itu aku hanya terduduk mematung. Dan ketika mataku menyaksikan dirinya memungut makanan-makanan itu. Aku berkata...
'Odil kau tidak apa-apa?' tanyaku waktu itu. Dia tidak terlalu menggubris perkataanku waktu itu. Si gadis banyak akal itu lalu mengambil sesuatu di bawah rak besi kamar itu. Dia memperoleh sebongkah batu bata. Lalu... dia...
memakan batu tersebut.
Sampai habis.
Lalu setelah itu...
Dia sempat akan muntah. Tapi ia mencoba menahannya.
Setelah itu ia menjelaskan bahwa...
'Tolong makanlah nyonya. Aku hanyalah seorang gadis dengan selera makan yang cacat,' begitu katanya." Meeh langsung terdiam. Tidak ada lagi yang bisa ia jelaskan.
Tidak hanya kepada Meeh, Tuan Outten menanyai saksi mata yang terlibat pada demo waktu itu.
"Em ... Kak Johan, apa kau ingat tindakan Odil waktu itu? Waktu itu aku dan Ully pulang lebih dulu. Jadi aku tidak bisa mendiskripsikan apa yang dia lakukan waktu itu."
"Eee ... aku tidak tau harus menceritakannya seperti apa. Aku tidak suka bercerita, apalagi bila orangnya tidak ada disini lagi. Tapi yang jelas, jujur ... dia gagal. Dan mengingat itu rasanya ... pasti memalukan," jawab Kak Johan sedikit prihatin.
"Ah ... jadi begitu." Mat ingat ketika dirinya tega meninggalkan gadis itu waktu itu.
Pertanyaan demi pertanyaan tentang Odil semua dilontarkan. Termasuk kepada orang tua yang paling dekat dengannya, Bunda Edel.
"Yang aku ingat, waktu itu a-aku berkata seperti ini.
'Odil apa kau masih tidak mengingatnya?' Aku menanyakan hal itu lagi waktu itu.
'Em... maaf Bunda aku tidak ta—maksudku aku ragu,' begitu jawabannya.
'Kau ragu? Berarti kau ingat kan?' Aku memastikannya.
Lalu dia menjawab, 'Kisah tentang sepasang suami istri alien dan bunga dafodil yang anak mereka tanam itu kah?' nadanya terdengar ragu. Aku masih mengingatnya jelas.
'IYA YANG ITU!,' jawabku bersemangat waktu itu.
'Em... lalu... mengapa Bunda Edel menanyakan itu lagi?' Dia benar-benar terlihat bingung waktu itu.
'Kau ingin tau kelanjutan?'"
Bunda Edel masih belum selesai. "Jadi begini ceritanya Tuan. Waktu itu, aku ikut rombongan yang menjemput Tuan Outten. Dan di seberang jalan kami melihat seorang alien pria. Dia berjalan lunglai. Keadaannya begitu memprihatinkan. Seakan-akan habis jatuh terbanting jiwanya. Odil melihatnya lalu berkata seperti ini ... (.)" Sang Bunda itu menghela nafas sejenak lalu mulai bisa melanjutkan.
"'Bunda Edel? Sebentar.' Dia berkata seperti itu lalu. Aku tidak jadi mengantri alat teleportasi tapi malah mengejar lari anak itu.
'Odil, kau membuat Bunda terpaksa keluar dari antrian,' ucapku sebal waktu itu.
'Pria itu!' Lalu Odil mengacungkan jari telunjuknya pada seorang pria alien.
Aku benar-benar terkejut melihatnya. Pria alien yang pernah kukenal.
Lalu setelah itu Odil bicara seperti ini, 'Aku menduga sesuatu Bunda, jika Bunda Edel mengenal pria itu ... entah mengapa aku berpikir kalau aku harus menolongnya.'
'Odil sudahlah,' itulah reaksiku. Awalnya niatku memilih menghindar dari pada ikut campur masalah alien itu.
'Firasatku mengatakan bahwa aku tau apa yang terjadi pada pria itu. Mungkin hal yang akan aku lakukan ini kelewatan lagi ... dan lagi.' Begitu keras kepalanya anak itu.
Aku lalu membiarkan anak itu bertindak sesukanya. Lagi." Bunda Edel pun diam.
Orang-orang tampak sunyi menanggapi cerita milik Bunda Edel. Lalu ...
"Jadi selama in-," reka-reka Paman Juan setelah menyimak cerita Bunda Edel.
"Selama ini, anak itu suka memasak makanan dan membujuk orang-orang untuk makan. Dia memanfaatkan sindrom pica yang ia derita. Lalu menunjukkan keanehannya di hadapan orang-orang yang tidak mau makan. Memakan benda tak lazim. Terlihat seperti menakut-nakuti memang. Tapi kenyataan yang ada memang begitu." Bunda Edel berusaha membendung matanya setelah mengatakan inti dari kisah dibalik mengapa Odil bisa sampai sakit.
Lalu perempuan itu melanjutkan, 'Aku mengenal pria itu. Pria yang istrinya mati. Mati karena membuat sup instan dari batang-bantang bunga dafodil yang beracun. Dan kisahnya pernah kuceritakan kepada gadis malang itu."
"Aku mengerti, dan anak itu ... berhasil membujut pria alien itu untuk tidak menyengsarakan dirinya dengan tidak makan. Juga meneruskan hidupnya."
"Sekarang kita tau, apa yang dia lakukan ketika menemui wanita depresi dan para pendemo beberapa tahun lalu," simpulan Tante Cercy dengan raut wajah amat sedih.
"Dan kini ... anak itu sekarat di umur yang masih sangat muda. 12 tahun."
"Ketika kejadian pertemuanya dengan pria alien itu, untuk pertama kalinya ...
aku setuju dengan tindakan Odil."
"Aku juga."
"Aku juga."
Suasananya sempat mereda. Memang orang-orang tidak setuju tidakan gadis pemakan kapur itu kepada seorang wanita dan para pendemo itu. Wanita depresi yang berhasil dibujuk, tapi para pendemo yang hampir bisa dibilang gagal untuk dibujuk juga. Hanya 1 orang saja yang berhasil dibujuk untuk kembali. Kembali makan dan berhenti beraksi mogok makan.
Tapi entah mengapa, orang-orang setuju dengan yang dilakukan gadis kecil itu mengenai seorang pria. Pria alien yang tampak depresi kehilangan istri dan anaknya.
"Lalu Edel? Apa kau mengingat sesuatu setelah Odil membantu pria itu?" tanya Paman Juan.
"Yang aku ingat, waktu itu dia bicara seperti ini ...
'Nak, terima kasih atas makanannya. Makanan alien itu lebih mahal dari pada makanan manusia,' begitu ucapan pria tua itu.
'Aku tau itu Tuan,'jawab Odil singkat.
'Siapa namamu?' tanya pria alien itu.
'Dafodil, Dafodil Van Outten,'jawab Odil. Waktu itu aku hanya diam saja. Aku membiarkan Odil berinteraksi sesukanya.
'Dafodil? Nama yang bagus.'" Bunda Edel terhenti. Bendungan air matanya tak tertahankan lagi.
"Alien yang notebene-nya lebih cerdas otaknya dari pada manusia itu pun punya rasa putus asa juga. Rasa menyerah dan rasa ingin mengakhiri hidup bisa muncul kapan saja dimana saja siapa saja. Makhluk berakal memang begitu. Tapi kehadiran anak itu membantu semuanya."
***
"Harusnya sindrom tersebut bisa disembuhkan, tapi anak keras kepala itu tidak mau. Dia merasa dari pada hidup panjang tapi tidak berguna, lebih baik hidup jangka pendek tapi berguna. Apalagi memanfaatkan kekurangan yang ada demi membujuk rasa kasihan, simpati, sekaligus sadar diri orang lain. Aku masih ingat benar, dia membantah seperti itu. Benar-benar di luar dugaan anak itu," penjelasan Tante Cercy sambil memasak di dapur.
"Memang cara pandangnya terhadap orang lain tidak berubah. Mat,Meeh, dan Milu. Kalian tetap teman yang baik di mata Odil dan Nyonya Edelweis, kau tetap sesosok bunda di pandanganya. Walaupun tidak ada hubungan darah daging diantara kalian. Tapi kalian tidak keliru jika Odil berubah.Yang berubah dari diri gadis malang itu bukan pandangannya tapi... keberaniannya. Keberaniannya dalam bertindak, setelah mungkin selama ini dia pendam." Ully berkata panjang lebar sambil menyalakan robot pemasak.
"Kau juga sama Ully, memang kau sudah setua apa sih?" tanya Met yang tidak seperti biasanya. Nada bicaranya tidak terdengar dewasa. "Sudah 4 atau 5 tahun tentang ... itu.Entahlah aku lupa."
"Mungkin dan mungkin. Apa tidak ada hal yang pasti?" Meeh sepertinya belum bisa merasa benar-benar iklas. Padahal sudah bertahun-tahun dari kejadian sedih itu. Tapi mereka dikejutkan dengan suara seseorang.
"Ada yang ingin aku sampaikan lagi. Suatu filosofi micin abad dua puluh dua. Mungkin micin adalah hal biasa untuk masa sekarang, Tapi untuk abad dua puluh itu adalah penyedap rasa pengganti, bukan utama. Dulu masih ada berbagai macam rempah-rempah untuk dijadikan bumbu. Tapi sekarang, justru malah sangat sulit menemukan rempah-rempah alami. Dan apa hubungannya filosofi micin dengan kejadian ini? Bukan terletak pada micinnya tapi pada perbedaan zaman dulu dan sekarang.
Orang yang menderita perbedaan, baik itu cacat, penyakit, ataupun sindrom. Di zaman dahulu, obat untuk menyembuhkan perbedaan itu sangatlah langka dan sulit. Namun jarang orang yang menderitanya. Untuk zaman sekarang sebaliknya. Di zaman sekarang, cukup banyak orang yang menderita perbedaan itu. Namun pengobatannya sekarang lebih—maksudku sangat praktis. Tapi nasib dari si gadis malang itu, berbeda." Tuan Outten berhenti sebentar.
"Gadis itu adalah generasi zaman sekarang. Tapi dia kesulitan dalam penyembuhan sindromnya. Sebab dari dalam hatinya, dia tidak mau disembuhkan. Karena waktu itu ... dia benar-benar mendengarkan filosofi micin yang Bunda Edel pasti ceritakan padanya." Pandangan Tuan Outten itu lalu mengarah kepada Bunda Edel. Seakan-akan menyuruh untuk Bunda Edel yang meneruskan perkataannya.
Seorang wanita yang sangat suka bercerita. Walau kadang—sering salah sasaran siapa yang mendengarkan. Bunda Edel, wanita itu benar-benar masih kuat untuk bercerita melanjutkan perkataan Tuan Outten. "Lalu gadis itu berkata yakin, 'Aku menghormati orang-orang yang menghargai makanan.'" Nyonya Edelweis Van Outten. Wanita itu mengungkapkan semua yang ada di pikirannya walau susah dimengerti. Berusaha mengingat percakapan di dalam percakapan. Tapi ...
"Ugh dasar si kakek tua di hadapan kalian ini. Kurang pekaan,"potong Tuan Outten berusaha mengakhiri.
Prinsip yang selama ini di pengang Odil yaitu dia kurang bisa menghormati para tetua, para profesor para pemimpin bahkan presiden sekalipun. Tapi si gadis pemakan kapur itu sangat menghormati orang-orang yang tidak membuang-buang makanan, tidak mencela makanan, tidak membuat makanan itu menangis. Anak kecil yang baik.
Membiarkan orang lain menikmati makanan yang pantas, itulah yang di syukuri si gadis penderita sindrom pica. Si gadis yang pandai bersyukur. Karena dengan cara itu dia bisa menyadarkan orang-orang. Sadar akan pentingnya makan.
***
"Kau bahkan belum sempat mengerti apa saja kisah lain. Kau bahkan belum sempat mengerti kisah-kisah yang jauh memberatkan. Pemerintahan yang sewenang-wenang, kisah cinta antara manusia alien mungkin, kisah para hibrid yang terasingkan dan masih banyak kisah lainnya. Aku sudah salah menjelaskan bagaimana urutan dan memilah berbagai kisah. Aku merasa bersalah. Benar-benar bersalah. Aku sudah tidak tau, apakah aku ini dianggap sudah menyadarkan atau menghancurkan. Aku tidak tau. Aku hanya seorang wanita yang ingin mencurahkan, tapi aku sudah salah orang. Begitu bodohnya aku memilih anak kecil seperti dirimu. Dirimu mengaku sudah bisa menghormati. Tapi apa kamu tau apa arti menghormati itu?" Bunda Edel menangis mencurahkan semuanya pada guci besi berisikan abu Odil.
Wajar bila seorang anak berpenyakitan sudah tiada lebih dulu. Tapi abunya, masih dapat disimpan. Dan ...
Dulu Milu pernah meminta sedikit abu itu. Alasannya cukup lucu memang, tapi apa salahnya juga sih. Katanya ...
dia akan membawa abu Odil untuk di teliti. Hanya beberapa tahun saja sepertinya.
Milu, si alien paling bungsu itu, mendapat beasiswa hingga dirinya dapat menaiki UFO dan berkesempatan belajar di luar bumi. Di pemandangan luar angkasa. Milu membawa abu Odil waktu itu. Dan berharap ...
semoga bisa membuat suatu robot dengan memanfaatkan teknologi canggih yang ada.
Robot dari titisan DNA manusia.
TAMAT
Ceritanya sumvah gaje sangat -_- dan dikerjakan dengan rasa ngantuk yang amat sangat menggoda. Gengrenya nyasar juga beberapa berat sebelah.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top