11. Life On Perfect

Sub Judul : Give me a Little Pride

Bunga : Hydragea yang memiliki arti "kebanggaan"

Genre : Adventure

Subgenre : Fantasy

Author : Fadila_AP

***

Suara gemuruh pedang itu masih saja menyulitkanku untuk mendengarnya. Suara panggilan itu. Atau itu yang mungkinku dengar dari ribuan suara yang memekakkan telingaku ini.

"Huaaa !" teriakku refleks dengan posisi tubuhku sudah berdiri di atas ranjangku yang berukuran kecil.

"Hah~ cuma mimpi," gumamku sambil mengurut dadaku setelah kududukan pantatku kembali ke ranjang keras yang masih saja terasa nyaman itu.

"Engh ? Joo ? Kau terbangun ?" tanya seorang lelaki yang seumuran denganku. Sepertinya dia terbangun dari tidurnya. Dia tertidur di meja kerjanya lagi rupanya.

Oh... Aku belum memperkenalkan diriku. Namaku Jooshua. Hanya cukup panggil aku Joo. Aku adalah seorang petualang dunia. Di mana dunia ini telah berubah setelah terjadi hujan meteor 3 tahun yang lalu. Karena semua elektronik di sini telah mati dan tidak bisa digunakan, kami, para manusia yang telah berevolusi kembali hidup dengan cara tradisional.

Kami dibagi menjadi 3 golongan. Pertama golongan petualang. Mereka disanjung oleh kedua golongan dibawah mereka. Seperti sistem kasta, golongan petualang adalah tertinggi karena hanya para manusia dengan kemampuan spesial yang dapat menjadi petualang dan mereka sangat penting dalam roda kehidupan sekarang ini.

Dan golongan kedua adalah para pemikir. Seperti teman sekamarku sekaligus sahabatku ini, dia bernama Yashae. Dia adalah seorang pemikir. Mereka diberi anugrah kepintaran dan kebijaksanaan. Dan memang setiap etualang biasanya punya 1 pemikir. Bahkan beberapa petualang punya beberapa pemikir.

Dan golongan terakhir adalah golongan budak. Di mana mereka hanya akan dijadikan budak dan melakukan pekerjaan rumahan. Mungkin karena fisik mereka yang lebih lemah dari para pemikir dan kemampuan mereka yang rendah itu.

"Maafm, aku membangunkanmu lagi," ujarku tak enak pada lelaki berkacamata yang masih sibuk membetulkan wajahnya yang terlihat sangat buruk karena begadang tiap malam.

"Hm.. Tak apa. Kau mungkin harus konsultasi pada Lady Gaum," saran Yash yang kembali sibuk dengan tugas-tugasnya.

Oh.. Ngomong-ngomong kami berada di sebuah mansion milik seorang pemikir yang tengah membutuhkan bantuan kami. Setahun lalu aku bergabung kesebuah guild dan mendapatkan partner Yash. Dan ini misi entah ke berapa yang kami lakukan.

"Engh.. Sepertinya tidak perlu," timpalku debgan ragu-ragu. Memang sarannya sangat membantu. Namun untuk konsultasi dengan wanita itu. Katakan tidak. Karena dia hanya akan berusaha menciumku jika aku bertemu dengan wanita itu.

"Kau sedang memikirkan strategi lagi ?" tanyaku mengalihkan pembicaraan tentang mimpi tak bergunaku itu.

"Kau tahu dengan tepat sedang apa aku ini. Dan kenapa kau bertanya ?" jawab Yash dengan wajah cemberut. Tentu aku suka saat melihat wajah cemberutnya. Karena dengan wajah yang serius dan penuh dengan kantong mata dan mata merah membuatnya perpaduan yang pas dan mantap untuk membuat candaan.

"Apa kau sudah tahu siapa pelaku pencurian dan pembunuhan ini ?" tanyaku mencoba membuat suasana berganti. Memang aku cukup sering menggagalkan moment serius namun itu tidak membuatku tidak bisa serius juga bukan ?

"Hm... menurut analisisku... lelaki tua itu yang melakukannya sendiri," gumam Yash dengan wajah serius dan banyak kerutan di dahinya.

"Ok... Ok... aku percaya semua kata-katamu. Lalu bagaimana kita bisa menguaknya ?" tanyaku mencoba menyelesaikan misi kami yang sebenarnya hanya perlu para pemikir saja. Namun mengingat bahwa seorang pemikir kesulitan dalam memecahkan masalah yang begitu sepele ini.

***&&&***

Aku mencoba meraih angsel pintu yang mengunci pintu itu dari dalam. Jujur saja tanganku ini sudah paling panjang dari pada Yash atau client kami.

Cklek

"Akhirnya bisa juga," keluhku lega setelah pintu itu berhasil terbuka dan memperlihatkan barang-barang berdebu yang dapat ku simpulkan bahwa ini adalah gudang.

"Jadi ? Bagaimana ?" tanyaku pada Yash yang hanya mengangkat bahunya singkat dan melangkah tak peduli menuju gudang itu.

"Hey ! Tunggu aku !" pekikku saat mengetahui Yash yang memang suka berjalan cepat tidak sepertiku ini sudah duluan masuk dan meninggalkanku sendirian di pintu masuk.

Mataku menjelajahi setiap detail ruangan oenuh dengan barang-barang itu. Mataku tak lama terhenti pada sebuah benda yang terselimuti oleh selimut. Terlihat janggal melihat benda itu berukuran lebih besar dari benda lain.

Ku dekati benda itu dan tak lama tanganku sudah bergerak menarik selimut itu dan segera saja benda itu memperlihatkan bentuk aslinya. Mataku membelalak saat benda itu memperlihatkan wujud aslinya.

"Yash," panggillku dengan suara lirih.

"Hm ?" sahutnya dengan malas-malasan. Maunya ku tarik dia namun mataku dan tubuhku serasa membeku dan terpaku pada pemandangan itu.

"Yash !" panggilku lebih keras dan berhasil menbuatnya menoleh. Kurasa.

Dan benar saja derap langkah mendekat itu semakin lama semakin nyaring dan kurasa dia telah berada di sampingku. Menonton sebuah tabung kaca besar berisi sosok manusia dengan kulit dan wajah pucat.

"Joo, potong dia," perintah Yash tiba-tiba. Namun seperti yang pernahku katakan sebelumnya, aku sangat percaya pada kata-katanya. Entah karena dia pernah menolongku atau karena aku sudah merasa seperti saudara kandung saja.

Aku hanya menanggapinya dengan anggukan. Segera saja dua buah pedang yang sejak tadi berada dipunggungku sekarang telah berganti kedudukan di kedua tanganku. Aku memang pengguna aliran 2 pedang dan karena itu juga aku bisa menggunakan dua pistol atau senjata apa pun dengan kedua tanganku.

Segera saja ku gunakan kedua pedangku untuk memotong tabung kaca dengan tubuh mayat yang berada di sana. Dengan sekali serang kedua benda itu telah terpotong-potong. Aku tak yakin bahwa ini benar namun kata-kata para pemikir mempunyai ketelitian hampir 100% dan para petualang cenderung sangat percaya dengan kata-kata para pemikir.

"Hm... coba lihat ini," ujar Yash yang telah mengotak atik jasad itu setelah aku memotongnya.bk

Aku yang sebelumnya tengah sibuk membersihkan pedangku akhirnya menengokkan kepalaku dan lagi-lagi aku terkejut dengan hasil penemuan kami.

Darah yang mengucur dari tubuh mayat yang bisa ku ketahui adalah seorang petualang itu berubah menjadi butiran berlian. Mataku tak bisa membulat lagi kali ini. Tentu karena mataku ini sebenarnya sipit.

"Kurang ajar !" makiku tak terima. Darahku mulai mendidih melihat mayat itu mengeluarkan berlian bukan darah.

Ya, ini adalah sebuah temuan para pemikir yang telah dilarang. Membuat darah para petualang untuk memperkaya diri mereka. Konon para petualang yang masih muda akan menghasilkan berlian namun penelitian ini dihentikan karena memakan korban yang tidak terkira.

"Lelaki tua itu !" makiku dengan mata berkilat karena marah.

Tentu aku marah. Bagaimana tidak, bagi para petualang, kami mempunyai rasa kebanggan dan kesetiaan paling tinggi. Kami bahkan rela mati hanya demi menyelematkan teman kami. Dan karena itu aku marah. Kami para petualang walau tidak mempunyai hubungan apa-apa tetap saling terhubung dan saling setia. Tentu saja aku tidak terima dengan perlakuan si tua bangka itu pada salah satu petulang yang telah menjadi mayat itu.

"Tunggu, Joo !" teriak Yash mencoba menahan kepergianku.

Namun percuma saja. Tangan dan kakiku sudah tidak mengizinkanku untuk berdiam diri lagi. Aku sudah muak. Sejujurnya aku sudah tahu bahwa pelakunya adalah si kakek berengsek itu. Walau aku seorang petualang namun darah pemikir masih mengalir di nadiku membuatku dikenal sebagai petualang pemikir sejati karena kecerdasanku melebihi para pemikir namun karena sifat petualangku membuatku lebih suka menggunakan otot ketimbang otakku.

Brak !!

***&&&***

Tak... tak... Tak...

Suara ketukan jari yang ku mainkan masih terdengar jelas di kedua telingaku. Mataku yang tertutup dengan kain hitam itu masih saja ku penjamkan.

"Apa kau tahu kesalahanmu ?" tanya suara bass itu menggema ke seluruh ruangan menghentikan aktivitas jari-jariku yang bergerak mengetuk kursi yang membuatku tak bisa bergerak karena dirantai.

Aku hanya bisa meringis kecil saat sebuah cambuk kembali menghujam kaki-kakiku yang sudah beberapa kali di cambukm karena aksi bungkamku.

Sekarang karena perbuatanku beberapa jam yang lalu aku akhirnya berakhir di sini. Di sebuah pengadilan. Di mana mereka yang melanggar peraturan akan dihukum sesuai ketentuan. Dan aku melanggar peraturan yang cukup penting.

"Kau telah membunuh seorang pemikir dengan menggunakan kedua tanganmu. Maka hukumanku adalah kematian," putus hakim yang telah lelah menghakimiku.

Ada sebuah hukum. Di mana para pemikir di larang dibunuh. Mereka boleh saja di siksa atau pun di lukai namun sangat dilarang membuat mereka terbunuh. Itu karena populasi mereka yang sedikit membuat para petinggi kesulitan. Dan hukuman bagi yang melanggar adalah kematian.

***&&&***

Suara itu semakin lama semakin jelas. Yah, paling tidak aku tahu apa maksud dari suara itu. Dentingan banyak pedang menbuatku hampir kehilangan suara itu.

Ini bukan mimpi. Bukan dan sekarang aku tahu itu bukan sepernuhnya mimpi. Sudah dua bulan aku memimpikan ini dan sekarang terjadi ?

"Joo ! Jooshua !" panggil suara itu menggema di seluruh ruangan saat kurasakan leherku terpotong.

***&&&***

Makam itu semakin lama semakin sepi. Hingga tertanggal seorang lelaki berkacamata yang hanya bisa menunduk karena merasa bahwa dia bersalah. Bersalah akan kematian temannya itu.

"Kau memang teman yang baik," bisik sebuah suara yang cukup dekat dengan telinganya. Namun saat pria berkacamata itu melihat sekitarnya, suara itu lenyap.

"Bagaimana kalau ku beri tahu satu rahasia," bisik suara itu namun sekarang terlihat jelas sosok dengan tubuh terselimuti tudung merah maroon itu.

Lelaki itu berjalan mendekat menuju lelaki berkacamata yang sekarang telah berdiri tegak. Otak cerdasnya tengah berpikir keras mencoba mengingat-ingat sosok itu yang sepertinya pernah dia temui.

"Sebelum itu lihat ini," tunjuk sosok itu pada tangannya yang putih pucat seperti tak pernah tersentuh sinar matahati.

"Kelopak bunga ?" gumam lelaki berkacamata itu heran. Bagaimana dia tidak bingung. Seseorang memperlihatkan sebuah kelopak bunga.

"Ya, Yash. Memang ini hanya kelopaknya. Namun jika ini biji maka dia akan tumbuh bukan ?" tanya sosok misterius itu dengan senyum seringaian yang tertutup oleh tudung yang dia kenakan.

Tak lama setelan sosok itu menutup tangannya, bunga mulai tumbuh di sekelilingnya. Bunga itu menutupi setiap makam dengan warna berbeda-beda dan menbuat tempat pemakaman khusus para petualang itu berubah menjadi hamparan bunga.

"Kau tahu ini bukan ?" tanya sosok itu debgan terkekeh karena ekspresi wajah Yash yang tampak lucu.

"Hydragea ?" jawab Yash ragu-ragu.

"Ya, Yash. Lambang kebanggaan. Seperti mereka yang telah mati sebagai petualang. Mereka mati karena kebanggaan mereka. Bodoh memang, namun apalah hidup jika tidak bisa kita gunakan untuk menjadi kebanggaan bukan ?" ujar sosok misterius itu bertepatan dengan angin yang berhembus tiba-tiba.

Lelaki dengan kaca mata itu tentu tahu siapa yang sering menucapkan kata-kata itu. Lelaki yang bertarung karena kebanggannya sebagai petualang dari pada menjadi seorang pemikir. Kata-kata itu hampir setiap waktu dia dengar dari lelaki yang pernah dia tolong itu.

"Kau tahu, aku telah kembali," bisik sebuah suara yang mulai menggema dan menbuat Yash refleks menegokkan kepalanya pada suara bisikan itu berasal.

Berdiri di sana. Lelaki dengan jubah maroonnya. Sekarang dengan jelas Yash dapat melihat wajah sosok misterius itu. Dengan luka sobekan di lehernya walau tidak terlalu parah dan terlihat sudah mengering. Mata Yash membelalak saat mengetahui siapa sosok itu.

"Kau tahu, Yash. Aku sedikit kesulitan dengan leherku ini," ujar sosok itu dengan wajah konyolnya.

"Joo ? Jooshua bodoh !" teriak Yash membuat sosok itu terkekeh karena berhasil membuat sahabatnya itu kembali memasang wajah kesalnya.

"Haha... Tapi akhirnya aku bisa mengalami mimpi itu, Yash," ulas sosok itu dengan wajah seriusnya.

"Yah, akhirnya... Dan sepertinya kau berhasil mewujudkan mempimu," gumam Yash dengan wajah masih kesal.

"Kalau begitu, mau berpetualang bersamaku. Bukan dengan nama Jooshua lagi. Namun dengan nama asliku," ajak Sosok itu membuat Yash kembali membelakakkan matanya.

"Nama asli ?" ulang Yash bingung.

"Ya... aku sudah mati berkali-kali dengan mengorbankan banyak nama. Dan sekarang aku akan mengakhiri kisah ini jadi aku akan memakai nama asliku yang tak pernah terpakai," jalas sosok berjubah itu dengan wajah serius yang tidak cocok dengan wajahnya yang berkesan konyol itu.

"Hydra. Ya... Nama itu cocok untukku bukan ?" ujar sosok itu dengan senyum lebar seperti biasa.

"Hydra ?" ulang Yash dan hanya ditanggapi dengan anggukan.

"Kalau begitu, ayo kita pergi dari kota ini dan melakukan beberapa petualangan," ajak Hydra dengan senyum mengembang. Langkah kakinya mantap melangkah menuju pintu keluar makam itu.

"Yah, aku lupa kalau kau pernah bilang bahwa kau sangat menyukai nama Hydra. Entahlah itu benar dirimu atau bukan namun aku percaya pada kata-katamu juga, Joo," gumam Yash dengan lirih dan dengan cepat kakinya ia langkahkan untuk mengejar sosok itu.

Makam itu. Tersisa satu. Bertuliskan nama Hydra di pahatan batu yang merupakan sebuah nisan dari makam tersisa itu. Bertuliskan tanggal kematian yang baru saja terjadi 3 tahun yang lalu. Makam di atas puncak bukit yang merupakan makam para petualang. Dengan payung pohon besar nan lebat itu dan tentu saja selimut bunga yang mempunyai nama sama dengan nisan itu.

Yash berbalik sambil memandang pada makam yang barada di puncak bukit itu. Matanya menangkap nisan itu. Dengan mata tajamnya dia tahu bahwa makam itu mempunyai nama "Hydra"

"Hey, Hydra ! Di nisan atas sana ada namamu," bisik Yash tepat ditelinga Hydra.

"Oh.. Ah... Itu... itu makam pertamaku. Pertama kalinya aku tahu aku bisa hidup kembali," jelas Hydra dengan wajah masih pias karena terkejut dengan biskan Yash yang tiba-tiba.

"Tak apa. Aku akan percaya kata-katamu. Seperti sebelumnya, ini kebanggaanku," timpal Yash dengan senyuman hangatnya. Mau tak mau, Hydra ikut tersenyum.

"Kau memcuri kata-kataku !" pekik Hydra kesal karena menyadari bahwa kata-kata favoritnya telah dicopy oleh sahabat berkacamatanya itu.

Keduanya. Mempunyai rahasia. Namun kebanggaan keduanya menyatukan mereka. Menyadarkan mereka dan mengajari mereka. Tentang hidup. Tentang sendiran. Tentang bersama. Tentang segala peraturan di dunia ini. Dan juga tentang kebanggan itu sendiri. Seperti bunga Hydragea. Mereka mekar dengan cantik pada akhirnya. Berdiri bersama-sama namun mekar dengan cantik secara individu.

***&&&***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top