1. Asagao

Tatapan tajam itu seolah menusuk jantungku tiap kali pandangan kita bertemu.
Kilau rambut hitammu yang tertiup angin musim semi, selalu membuat sensasi aneh dalam dadaku.

Senyum yang membuat napasku terhenti sesaat itu, aku ingin melindunginya.

Jatuh hati padamu, adalah dosa terbesar yang tak bisa ku tolak. Perasaan yang melemahkan hati semacam itu tak seharusnya dimiliki oleh seorang prajurit. Atau aku akan hancur.

Mengapa harus ada peperangan? Demi meraih dunia yang damai dan kebahagiaan? Katakan padaku, apakah kita bisa bahahagia dengan menyakiti satu samalain?

Setiap saat, hatiku gelisah menghitung hari-hari menuju perang. Sampai kapan kita bisa tetap tertawa bersama?
Bukan kematian yang kutakutkan, namun kehilangan. Jika bisa aku ingin waktu terhenti, saat kita bersama.

"Ayo bertemu kembali," itulah janji yang kita ucapkan. Namun saat janji itu terpenuhi, aku sadar bahwa segalanya telah berakhir.

____________________________________

"Bunga Morning glory / Asagao, bermakna janji yang akan dipenuhi."

Genre : Historical

Sub genre : romance, angst dikit banget tapi.

Author : alien ganteng mizu_hikari

Song : Himmel - Carnation (dengerin biar dapet feel)

- Shogun-sama : panggilan untuk orang berpangkat Jendral.

- Tenno-sama : panggilan untuk Kaisar.

- Joko-sama : panggilan untuk Kaisar yang harusnya sudah pensiun tapi masih memiliki kekuasaan memerintah.

____________________________________

Zaman Heian


Zaman Heian, yang berarti kedamaian serta keamanan. Aku tertawa masam, merasa kecewa dengan nama itu. Kedamaian, kemanan, itu semua hanya bualan yang membuatku muak. Karena kenyataannya, sudah hampir lima tahun perang antar klan tak ujung berhenti.

Saat terjadi konflik dalam klan Fujiwara yang merupakan penguasa kekaisaran, dua klan besar yang menguasai kemiliteran pun terpecah.

Kemiliteran Genji milik klan Minamoto, memihak pada Kaisar lama yang masih memimpin. Sedangkan kemiliteran Heishi milik klan Taira memihak pada kaisar yang baru diangkat.

Tak akan pernah kulupakan tragedi itu. Lima tahun lalu, saat usiaku genap limabelas tahun. Aku berdiri tegap sebagai salah satu prajurit dari klan Minamoto. Mengangkat pedangku demi Joko-sama, melawan pemberontakan klan Taira. Ingatanku tentang hari itu, dipenuhi oleh warna merah serta aroma anyir darah, khas peperangan.

Itu adalah perang pertamaku, yang harus kulewati dengan tangisan kekalahan. Pasukan Genji yang dipimpin oleh paman dan ayahku kalah telak. Sebagian besar klan Minamoto dibantai habis oleh klan Taira.

Aku dan beberapa klan Minamoto yang berhasil melarikan diri pergi ke pelosok negeri. Demi keselamatan diri sendiri, kami meninggalkan segalanya, bahkan jenazah kerabat kami.

Hingga saat ini, meski sudah hidup aman dalam pengasingan selama lima tahun, aku masih merasa tidak tenang. Mimpi buruk saat melihat paman dan ayahku dieksekusi selalu menghantuiku. Rasa bersalah karena tak bisa melakukan apapun, membuatku merasa tidak berguna. Aku bahkan tak bisa memberi penghormatan terakhir pada mereka yang gugur.

Lima tahun terakhir ini, klan Taira menguasai kekaisaran. Mereka mengendalikan Tenno-sama yang baru dari balik layar, membuat rakyat menderita karena harus membayar pajak ganda. Klan kecil lain yang bukan anggota dari klan Taira, dianggap bukan manusia dan tidak mendapat hak hidup bebas.

Ingin rasanya aku mengepung istana, menghabisi klan Taira dan Kaisar boneka yang tidak berguna itu. Klan Minamoto terus berusaha melakukan pemberontakan untuk mengalahkan klan Taira, hingga terjadi perang panjang yang disebut perang Genpei. Tapi, pemberontakan yang kami lakukan selama lima tahun lamanya selalu berujung kekalahan.

Bukan kekalahan yang membuatku kecewa, tapi karena aku tak membantu apapun. Setelah ayah, paman, dan saudaraku tewas, aku menjadi Shogun baru klan Minamoto. Karena aku satu-satunya penerus, selama ini aku selalu disembunyikan, tak boleh berperang demi keselamatanku.

Tapi tidak lagi. Aku lelah menjadi burung dalam sangkar. Tahun ini aku akan ikut berperang, untuk menebus rasa bersalah yang telah mengakar dihatiku. Tak akan ada lagi yang menolak keputusanku, karena usiaku telah cukup matang, begitupun kemampuanku. Lagipula lebih baik aku gugur di medan perang, daripada hidup dengan terus melarikan diri.

____________________________________

Aku mengayunkan katana ditanganku dengan gerakan mantab. Sesekali aku berputar dan menebaskan katanaku keudara.

Boneka-boneka jerami yang ku jadikan sebagai sasaran mulai hancur berserakan. Ingin ku berlatih tanding dengan prajurit yang lain. Namun siapapun yang kuajak berlatih bersama selalu memilih untuk menjauh, takut bernasib seperti boneka jerami. Dan saat aku mengajak berlatih orang yang lebih kuat, mereka selalu menahan diri karena posisiku, itu membuatku jengkel merasa diremehkan.

Lima boneka jerami seukuran manusia telah hancur semua. Namun, aku tetap melanjutkan latihan. Makin lama aku mempercepat gerakanku, masa bodoh dengan lelah. Aku menggabungkan semua gerakan berpedang yang telah kupelajari selama ini. Melompat, berputar, menghunuskan pedang, menebas, tubuhku telah mengingat semua gerakan itu dengan baik. Katana berharga peninggalan ayahku ini, sudah seperti bagian dari tubuhku.

"Shogun-sama.."

Aku menghentikan latihanku, mulai menatap Takashi pengawal setiaku.

"Ada apa?" tanyaku dengan napas terengah.

"Shin-sama, tolong jangan terlalu memaksakan diri saat latihan. Ini sudah saatnya makan siang."

Aku tertawa mendengar omelan paman Takashi, "apa kau ingin aku hanya menjadi beban saat perang nanti? Jika ingin mengakhiri rantai penderitaan ini, aku harus menjadi kuat dan segera menang paman."

Mendengar ucapanku paman Takashi tersenyum lembut. Aku segera memasukan katanaku dalam sarungnya, dan mengikuti paman Takashi menuju ruang makan.

"Apa ibu sudah diruang makan?"

Paman Takashi menatapku dan menunduk sedih," karena kesehatan beliau menurun, Sui-sama harus makan siang dikamarnya."

Ah.. Aku sedikit kecewa. Tapi aku bukan anak kecil lagi, sekarang bukan waktunya merengek. Setelah sebagian besar kepala klan Minamoto gugur, ibu harus mengatur segalanya sendirian. Peperangan ini telah memberi begitu banyak beban untuknya. Entah kapan, aku bisa menyingkirkan segala beban itu dari pundak ibuku.

"Jika bersedia, Sui-sama meminta anda mewakilinya berkunjung kekediaman klan Hojo seusai makan siang nanti," ucap Takashi halus.

Aku menaikan alisku bingung, "untuk apa?"

"Mendiskusikan penyatuan kedua klan Shin-sama."

Penyatuan ya, itu artinya membahas pernikahanku dengan putri dari klan Hojo. Ya, pernikahan politik demi menjalin persekutuan untuk melawan klan Taira. Hojo Kazumi, itulah nama calon istriku. Aku memang tak memiliki rasa apapun untuknya. Bahkan aku telah melupakan wajahnya karena sudah lama tak bertemu. Tapi kami adalah teman saat kecil, jadi kupikir mungkin dia juga bisa menjadi teman hidupku. Lagipula, seorang prajurit yang akan pergi ke medan perang tidak punya hak untuk mencintai. Yang terpenting adalah kemenangan.

"Baiklah, aku akan kesana nanti."

____________________________________

Hari ini tanggal pernikahanku telah ditentukan, yaitu sepekan sebelum perang. Lebih tepatnya dua bulan dari sekarang. Aku tidak memberi pendapat apapun saat diskusi dilakukan. Sebenarnya jauh dalam lubuk hatiku, aku ingin menolak pernikahan yang hanya mementingkan status ini. Namun, aku tak punya alasan untuk menolaknya. Karena yang ada di otakku hanyalah keinginan untuk memenangkan perang.

Setelah semua selesai, aku meninggalkan kediaman klan Hojo. Aku menaiki kudaku pelan sendirian, menolak dikawal karena merasa bisa menjaga diri sendiri.

Namun sepertinya keputusanku salah, kini aku bisa merasakan ada belasan pasang mata yang mengawasiku dari balik semak. Suara anak panah yang dilepaskan melesat menembus angin, menancap tepat di kaki kudaku.

Seketika kudaku mengamuk, membuatku terjatuh dengan punggung yang mendarat duluan.

"Argh sial," gumamku memegang punggungku yang mungkin sedikit memar atau bahkan cidera.

Sebelas, ah tidak... Mungkin lebih dari duapuluh orang berpakaian tertutup mengelilingiku. Siapa mereka? Suruhan klan Taira untuk melenyapkanku?

Dugaanku benar, aku bisa melihat lencana prajurit dengan lambang Heishi. Aku adalah seorang Shogun, jika mereka melenyapkanku sudah dipastikan mereka akan menang bahkan sebelum berperang. Dasar licik.

"Tch, aku muak dengan permainan kotor kalian."

Aku mulai bangkit, mengeluarkan katanaku dengan berani. "Maju kalian semua!"

Seiring dengan teriakanku, mereka pun mulai mengarahkan katananya untuk menusukku. Aku menepis setiap serangan mereka. Suara katana yang saling menghantam menghasilkan decitan yang menyakiti telinga. Ah... Suara yang sama seperti saat itu.

Tak kusangka, prajurit Heishi punya kemampuan yang hebat. Inikah tehnik pedang milik bangsawan klan Taira? Gerakannya begitu cepat, dan tak terlihat. Aku yakin mereka menggabungkan lebih dari sepuluh variasi gerakan. Bahkan prajurit biasa juga diajari tehnik rehasia para bangsawan, mereka benar-benar berbahaya. Pasukanku, bahkan diriku mungkin bukan apa-apa dimata mereka.

Terlebih lagi, jumlah mereka seolah tak habis-habis. Berapa kalipun aku membunuh, selalu datang prajurit baru yang membantu mereka. Tubuhku mulai kelelahan.

Sial aku lengah. Saat berusaha menyerang balik, seseorang muncul entah darimana menyergapku dari belakang. Aku berusaha sekuat tenaga menahan katana mereka, tapi tetap saja aku kalah jumlah. Salah satu dari mereka menendang punggunggu yang sakit hingga aku jatuh tersungkur.

Ah... Tamat sudah, selemah inikah diriku?

Aku memejamkan mata pasrah, menunggu mereka melenyapkanku. Benar-benar menyedihkan, bergerak saja aku kesulitan karena punggungku sakit.

Suara pedang yang ditepis, sontak membuat mataku terbuka. Apa prajuritku datang membantu?

Bukan sekumpul prajurit yang datang membantuku, tapi satu orang. Siapa dia?

Dengan gerakan tegas dia mengayunkan katananya, membuat posisi siap menyerang. Matanya yang tajam terlihat mengawasi pergerakan musuh. Layaknya seekor elang yang tengah berburu.

Dia mulai memutar tubuhnya, menyerang dengan gerakan cepat. Dalam sekejap empat orang prajurit berhasil dia kalahkan, sekali tebas.

"Hei, bantu aku."

Aku tersentak mendengar suaranya yang lembut namun tegas. Dengan segera aku memungut katanaku dan berlari kearahnya.

"Aku serahkan keamanan punggungku padamu tuan."

Aku mengangguk paham. Kami langsung mengambil posisi saling membelakangi.

Orang itu menyerang musuh dengan sangat cepat. Gerakannya sama bagusnya dengan musuh, tapi lebih sempurna. Bagaimana bisa dia membaca semua gerakan musuh? Apa dia juga menguasai gerakan yang secepat kilat itu?

Ini bukan saatnya bertanya-tanya atau merasa kagum, aku juga harus membantunya. Karena sudah tak menghawatirkan bagian belakang, aku makin fokus menyerang bagian depan. Dalam waktu singkat mereka semua berhasil kulumpuhkan.

Aku menoleh kebelakang, memastikan keadaan orang itu. Gawat ada yang akan memanahnya dari jauh!

"Awas!"

Aku segera menariknya dalam pelukanku, dan menangkis anak panah yang mengarah pada kami dengan katanaku. Nampaknya tarikanku terlalu kuat hingga membuat ikat rambutnya terlepas. Aku sempat menatap kagum pada rambut hitamnya yang bergerak pelan, warna hitam yang indah. Setelahnya aku berputar, menebas dua orang musuh didepan kami hingga tak bersisa.

"Sudah selesai." aku segera melepas pelukanku, "maaf... Ah terimakasih atas bantuannya."

Dia mendongak keatas, menatapku. Mata kami bertemu. Rasanya aneh, sorotan matanya seolah menusukku. Bibirnya terlihat manis berwarna merah ranum, serasi dengan hidung kecil serta wajah tirusnya.

Tunggu dulu....

"Apa anda wanita?" tanyaku kaget karena dia mengenakan pakaian pria.

Dia hanya membalas pertanyaanku dengan anggukan. Sesaat kemudian, wanita itu berjalan mendekati kudaku. Tanpa terlihat takut, dia mencabut panah dikaki kudaku. Dia merobek ujung lengan bajunya dan mengikatkan itu menutupi luka dikaki kudaku.

"Kau bisa membawanya pulang dengan menuntunnya tuan, dia akan baik-baik saja."

Wanita itu menunduk singkat kearahku, kemudian berbalik dan melangkah pergi.

"Tunggu!" seruku menghentikan langkahnya. "Terimakasih sudah menolongku. Namaku Minamoto Shin, kalau anda?"

Dia menatapku sesaat. "Anda bisa memanggil saya Chie, Shogun-sama."

Belum sempat aku bertanya lebih banyak, dia telah menjauh dari pandanganku. Entah kenapa, ada sedikit rasa kecewa dalam benakku. Nona Chie, bisakah kita berjumpa lagi? Saat itu tiba, aku pasti akan berterimakasih dengan benar kepadamu. Karena yang kau lakukan hari ini bukan hanya menyelamatkan seorang pria, namun masa depan klan Minamoto.

____________________________________

Sudah empat hari berlalu setelah kejadian penyerangan yang dilakukan klan Taira. Hari ini aku pergi ke kuil untuk berdo'a. Seperti biasa aku pergi sendirian. Sebenarnya sejak kejadian penyerangan itu, Takashi memperketat penjagaanku tapi aku memarahinya. Setelah berdebat panjang dengan Takashi akhirnya aku mendapat izin untuk pergi sendirian.

Aku membunyikan lonceng, dan menutup mataku mulai berdo'a. Hari ini aku memohon kesembuhan untuk ibuku, dan kemenagan untuk klanku. Itulah do'a yang selalu kupanjatkan selama ini.

Saat membuka mataku, tiba-tiba aku teringat akan sesuatu. Aku pun kembali menutup mata, ingin mengucapkan do'a tambahan. Ya, do'a agar aku bisa bertemu lagi dengan penyelamatku.

Setelah selesai berdo'a, aku melangkahkan kakiku menuju taman dibelakang kuil. Sudah lama aku tak berkunjung kesana karena sibuk berlatih pedang. Disaat musim semi seperti ini, pasti bunga sakura disana berbunga lebat dan indah.

Langkahku terhenti, mataku terpaku pada kehadiran seorang wanita asing yang tengah berdiri tenang ditengah taman. Dengan langkah pelan aku mendekatinya. Entah mengapa aku terus memandangnya yang tak menyadari keberadaanku. Rambut hitam panjangnya yang dibiarkan terurai mengingatkanku pada seseorang. Dengan ragu, aku menepuk pelan pundaknya. Dia menoleh pelan kearahku, menampilkan kilau mata yang tajam.

"Shogun-sama," ucapnya kaget dan langsung menunduk hormat.

"Nona Chie? Sedang apa kau disini?" tanyaku masih tak percaya, dia terlihat berbeda dengan pakaian wanita.

"Saya seorang penggembara. Dan sedang tinggal sementara dikuil ini, membantu para Miko."

"Ah.. Begitu rupanya, dari klan mana kau berasal?"

"Tidak ada, saya sebatangkara."

Kami saling menatap dalam diam, aku tak tahu harus bicara apalagi. Suasana pun menjadi canggung. Chie mempersilahkanku untuk duduk diteras belakang kuil. Dia menyeduh secangkir teh hijau untukku. Aku meminumnya, hangat.

"Shogun-sama, boleh saya bertanya sesuatu?"

Aku menoleh kearahnya dan tertawa pelan," jangan terlalu kaku Chie-san. Panggil Shin saja. Oh ya, apa yang ingin kau tanyakan?"

"Dari yang saya dengar, bukankah sebentar lagi akan terjadi perang besar antar klan?"

Aku mengangguk pelan dan tersenyum masam.

"Maafkan atas kelancangan saya Shin-sama, tapi musuh yang akan dihadapi klan Minamoto bukanlah musuh sembarangan. Klan Taira punya tehnik berpedang yang hebat."

Dia benar, jika diingat lagi bahkan aku saja kualahan saat melawan prajurit klan Taira. Mungkin prajuritku nanti akan lebih kesulitan.

"Aku akan menambah jumlah pasukan untuk menanganinya," ucapku singkat.

"Menambah jumlah pasukan tanpa strategi hanya akan menambah jumlah korban. Karena itu," ucapannya terhenti cukup lama.

"Saya adalah pengembara, dan dalam perjalanan saya sempat mempelajari tehnik berpedang mereka. Jika boleh, tolong izinkan saya membagi ilmu itu pada anda! Setelah itu anda bisa mengajarkannya ke pasukan anda, untuk mengalahkan klan Taira."

Aku terkejut mendengar pernyataannya. Sempat terbesit rasa curiga, namun saat melihat keyakina dalam matanya rasa curigaku sedikit hilang.

"Kenapa kau peduli? Kau bahkan tak punya ikatan dengan kami," tanyaku serius.

"Klan Taira sudah melewati batas, mereka berbuat semaunya pada rakyat. Aku yakin jika klan Minamoto menang, rakyat akan kembali makmur."

"Kenapa harus klan Minamoto?"

"Karena anda yang memimpinnya. Anda tidak terlihat seperti orang bengis yang akan bertindak semaunya pada rakyat atau musuh yang sudah anda kalahkan."

Tanpa sadar aku tertawa keras mendengar ucapannya yang sangat serius. Dia bahkan baru mengenalku, bagaimana bisa dia mempercayaiku secepat ini. Namun, aku justru merasa senang dengan niat tulusnya untuk membantu.

"Baiklah," jawabku setuju. Lagipula ini hanya sebatas berlatih pedang bukan.

____________________________________

Sudah lima minggu lebih aku selalu menyempatkan datang kekuil untuk latihan berpedang dengan Chie.

Hari ini dia kembali menunjukan gerakan-gerakan baru padaku. Mulai dari gerakan pelan yang halus, hingga gerakan cepat yang tajam. Dimataku, gerakan yang dilakukan Chie lebih mirip dengan tarian daripada tehnik perpedang. Begitu lentur dan indah.

Chie menghentikan gerakannya, dan menodongkan katananya kearahku.

Aku pun tersenyum. Kutarik katanaku, menjawab ajakan duel dari Chie. Katana kami beradu, menghasilka suara yang anehnya terdengar merdu di telingaku.

Sejak kapan ya aku jadi menyukai suara katana yang dulunya kuanggap berisik?

Seperti biasa gerakan Chie terkesan halus, namun cepat dan akurat. Aku benar-benar kagum, ada seorang wanita yang mampu menandingiku dalam berpedang. Dalam pertarungan ini, entah mengapa aku merasa kita telah bertukar pikiran. Beberapa kata yang tak bisa terucap, seolah tersampaikan dalam tiap gerakan kami.

Tanpa aku sadari, Chie telah berhasil menepis katanaku hingga terjatuh. "Jangan menahan diri Shin-sama, lebih seriuslah."

Aku tertawa, dia benar aku tak pernah serius ingin mengalahkannya. Karena jika aku menang, dia tak akan mengajariku lagi. Dan aku tak ingin kehilangan teman bermain pedang sepertinya.

"Tolong jadilah kuat, dan kalahkan aku sebelum aku pergi."

Tawaku terhenti seketika. Wajahnya terlihat serius, berbeda dari biasanya. Ah... Benar juga, cepat atau lambat dia pasti akan tetap pergi dari sini. Karena dia adalah seorang pengembara. Jadi setidaknya, aku harus mengalahkannya sekali. Supaya dia merasa telah berhasil mengajariku sebelum pergi.

"Shin-sama, mau istirahat dulu?" tawar Chie membuat lamunanku buyar.

Kami pun menghentikan latihan dan meminum teh sambil bersantai di teras kuil.

"Shin-sama, menurutmu untuk apa perang dilakukan?"

Suara Chie terdengar bergetar, aku tak tahu emosi apa yang sedang ia tahan sekarang. Tapi aku paham betul, bahwa semua orang pasti tak menyukai perang.

"Demi meraih kedamaian... Mungkin," jawabku ragu. "Menurutmu?"

"Entahlah... Jika hanya untuk kedamaian, bukankah akan lebih mudah untuk hidup saling berdampingan dan tidak mengganggu. Kurasa perang dilakukan hanya untuk memenuhi hasrat manusia yang tamak akan kekuasaan, harga diri, pembalasan dan kebebasan."

Dia benar. Jika sejak awal tidak terjadi perebutan kekuasaan, perang tak akan terjadi. Jika bukan karena harga diri dan ingin bebas, mungkin klan kami pun tak akan melawan. Jika tak ada rasa ingin membalas dendam, perang tak akan terjadi lagi.

"Karena itulah, jika klanmu menang nanti tolong bersikaplah dengan adil. Jangan biarkan perasaan serupa muncul lagi menyulut peperangan dimasa depan."

"Tentu," jawabku dengan yakin.

Chie pun beranjak, dia berjalan pelan dan berhenti ditengah taman. Berdiam diri dengan mata terpejam, membiarkan rambutnya berantakan tertiup angin. Entah sudah yang keberapakalinya, aku terpaku memandangnya. Terpesona.

"Jika terus terjadi peperangan, bukankah kita tak bisa menikmati indahnya dunia? Udara yang segar, bunga yang indah, semua akan hilang saat perang," ucap Chie mulai membuka matanya.

"Jadi kau menyukai bunga?"

Chie mengangguk dan tersenyum kearahku. Tak kusangka dibalik karakter kuatnya, dia masih memiliki sisi wanita yang anggun.

"Sakura, kurasa itu bunga yang cocok denganmu."

Chie terlihat bingung dengan ucapanku barusan. Aku pun berjalan mendekatinya. Kami berdiri berhadapan. Aku sedikit menundukan kepalaku, hingga tatapan kami bertemu.

"Dalam bahasa bunga, sakura melambagkan kekuatan dan kelembutan."

Dia menunduk dan tertawa mendengarkan ucapanku. Sesaat kemudian dia mendongak menatap mataku kembali. "Lalu anda?"

"Bunga matahari, yang artinya selalu melihat kearahmu."

Chie terlihat terkejut dengan pipi yang merona merah. Astaga apa yang kukatakan, aku tak sadar telah mengatakan hal memalukan.

"Ahahaha.. Lu-lupakan saja! Aku hanya bercanda," ucapku gelagapan. "Y-yang penting, aku berjanji akan segera mengakhiri perang. Agar kau bisa melihat bunga-bunga yang kau suka itu dengan tenang!" sial aku jadi berkata tak jelas karena ingin mengalihkan pembicaraan.

Tanpa kuduga, dia tersenyum. Senyum paling tulus yang pernah kulihat dibibirnya. Ah... Kenapa ya, napasku terhenti sesaat. Apa aku sakit? Rasanya aku ingin waktu berhenti saja.

Rasa kagumku telah berubah menjadi rasa tertarik rupanya. Entah sejak kapan, perasaan aneh ini menguasaiku. Seolah anak kecil yang melihat kupu-kupu, rasanya menyenangkan melihat dirinya, namun juga menyesakan saat berpikir dia akan terbang jauh.

Apa ini cinta? Jika iya, maka aku telah berdosa. Karena aku telah menjual kebebasanku untuk mencintai, demi kemenangan. Sebentar lagi aku akan menikah dengan putri keluarga Hojo, jika aku jatuh cinta pada Chie aku akan menyakitinya. Lagipula, apa orang yang akan mencabut banyak nyawa di medan peperangan punya hak untuk jatuh cinta dan bahagia?

"Hei Chie-san... Sampai kapan kau akan tinggal disini?"

"Empat hari lagi aku akan pergi, pastikan kau akan mengalahkanku sebelum aku pergi ya."

"Hm..."

Aku dan Chie pun kembali duduk diteras. Kami hanya saling diam dalam waktu yang lama menciptakan suasana hening.

Keheningan ini membuatku memikirkan banyak hal egois. Meski aku sadar tak mungkin diriku bisa bersanding dengannya, namun aku tidak kuasa untuk melepasnya pergi.

"Chie-san, tak bisakah kau tetap tinggal disini? Aku tak mau mengalahkanmu, tetaplah disini untuk mengajariku."

Tak ada sahutan dari Chie. Apa dia marah? Tentu saja dia marah dengan kata-kataku yang egois dan kekanak kanakan tadi kan?

"Maaf," ucapku sambil menoleh kearahnya.

Chie terlihat diam bersandar ditiang kuil. Aku menepuk-nepuk pelan pundaknya namun tak ada respon. Dengan gerakan kaku aku menyibakan poninya, dia terlelap rupanya. Untunglah dia tak mendengar ucapanku tadi.

Aku pun memindahkan kepala Chie ke dadaku dengan lembut.

Jika dibiarkan tidur bersandarkan tiang yang keras tubuhnya bisa sakit semua kan?

Ah... itu semua hanya alasanku. Karena yang sebenarnya, aku hanya ingin memeluknya.


____________________________________

Hari ini akhirnya aku mengalahlan Chie. Aku mengunci pergerakannya dari belakang dan menempelkan katanaku kelehernya.

"Aku menang," ucapku yang entah mengapa merasa tak senang.

Kami pun duduk beristirahat diteras kuil, hingga tak terasa cahaya bulan telah muncul menggantikan matahari.

"Aku akan pergi sebentar lagi, terimakasih karena sudah mau mendengarkan permintaanku."

Aku tak menanggapi ucapan Chie. Tanganku bergerak, mengambil setangkai bunga asagao dari kantungku. Aku memetiknya saat dijalan tadi. Kuserahkan bunga itu pada Chie.

"Ayo bertemu lagi suatu saat nanti," ucapku sambil tersenyum.

"Janji yang harus ditepati ya..." Chie nampak memutar-mutar bunga asagao yang ada ditangannya. Rupanya Chie telah belajar soal bahasa bunga ya.

"Shin-sama mungkin tak akan mau melihatku lagi setelah ini."

Aku tersentak mendengar ucapannya. Mana mungkin aku tak mau melihatnya?! Karena tiap hari pasti aku akan merindukan senyumannya. Taukah dia, bahkan aku takut jika hari ini adalah hari terakhir kami bisa bertemu.

Inikah kesempatan terakhirku?

"Itu tidak mungkin Chie... Karena aku menyukaimu," tanpa diperintah kata-kata itupun meluncur dari mulutku.

Mata Chie seketika melebar karena terkejut oleh ucapanku, "tidak boleh!" serunya kemudian.

"Ah... Kau sudah tahu ya... Aku mengerti, aku memang tidak boleh menyukai wanita lain karena aku akan segera menikah dengan Hojo Kazumi demi menjalin persekutuan. Tapi tetap saja, aku ingin mengatakannya padamu sebelum kau pergi....."

Aku menunduk diam setelah mengatakannya. Nampaknya aku telah keterlaluan. Tapi mau bagaimana lagi? Aku tak bisa menahan kata-kata yang membuat dadaku sesak itu.

"Bukan begitu..."

Aku mendongak, menatap mata Chie yang kini dipenuhi air mata. Apa aku telah begitu menyakitinya?

"Minamoto Shin Shogun, aku adalah orang yang seharusnya kau benci."

Aku diam terpaku mendengar ucapan Chie. Apa maksudnya?

Chie terlihat mengeluarkan sebuah lencana dari kantung bajunya dan menunjukan benda itu padaku. Mataku terbelalak tak percaya melihat lambang lencana itu.

"Taira Chie, salah satu Shogun klan Taira. Aku adalah musuh yang harus kau bunuh dimedan perang untuk meraih kemenangan."

Aku langsung menampik lencana itu hingga terjatuh dari tangan Chie. Dengan emosi aku menarik katanaku dan menghunuskannya keleher Chie.

"Apa maksudnya ha?!"

Dengan mata yang tenang, Chie memegang katanaku hingga tangannya terluka mengeluarkan darah.

"Aku, dikirim oleh klanku untuk mematai-matai klanmu. Meski begitu, aku sadar klanku lah yang bersalah atas perang panjang ini. Oleh karena itu, aku menyelamatkanmu dan mengajarimu tehnik pedang kami."

Tanganku bergetar hebat, jika Chie mata-mata aku harus segera melenyapkannya. Tapi... Mengapa aku ragu begini? Air mataku mengalir begitu saja, meluapkan segala perasaan tak menentu yang menumpuk dihatiku.

Tangan Chie bergerak, menarik katanaku makin dekat kelehernya. "Bunuhlah aku. Aku memang ingin klanmulah yang menang. Tapi jika hari ini kau melepasku, aku pasti akan membeberkan semua informasi tentang klanmu. Karena aku adalah Shogun, aku tak bisa menghianati klanku meski mereka tak sejalan denganku sekalipun."

Pada akhirnya aku menjatuhkan katanaku, aku tak sanggup membunuhnya. Bahkan aku masih sulit menerima semua ini. Dengan tangannya yang penuh darah, Chie menyentuh pelan pipiku.

"Sudah kuduga kau sangat baik," ucapnya dengan air mata yang berlinang.

"Dengarkan aku, setelah ini aku akan membeberkan rencanamu untuk bersekutu dengan klan Hojo. Klan Taira sudah pasti akan menambah pasukan, karena itu mulai dari sekarang ajarkan ilmu berpedangku pada seluruh pasukanmu. Percayalah, tehnik itu bahkan lebih sempurna dari milik prajuritku."

Aku mencengkram erat tangan Chie, "apa tujuanmu?"

"Jika klanku yang menang, klan mu pasti akan dibantai habis dan rakyat akan menderita. Tapi jika klanmu yang menang, aku yakin kau tak akan menghabisi anggota klan Taira yang menyerah kalah."

Aku melepas tangan Chie dengan kasar. "Pergi."

"Shin-sama.. Berjanjilah saat kita bertemu lagi, kau tak boleh ragu untuk menusukan katanamu kejantungku. Karena saat itu, aku dan katanaku adalah milik klan Taira. Aku tak akan ragu membunuhmu, dan klanmu akan kalah seperti dulu," ucap Chie dengan ekspresi dingin yang asing bagiku.

Chie pun berjalan menjauh dariku, makin jauh hingga aku tak dapat melihatnya lagi.

Ah... Bodohnya aku. Kenapa aku melepasnya. Jika saja aku tak pernah jatuh cinta, hal seperti ini tak akan terjadi. Kini aku hancur, oleh rasa dihianati dan kecewa pada diri sendiri. Mereka benar, cinta hanya akan membuatku lemah.

"Aarrrrrggghhhh!!" teriakku frustasi sambil memukul tiang kuil.

____________________________________

Entah apa yang aku pikirkan, kini aku justru berlari sekuat tenaga hanya untuk mengejar Chie. Wanita yang jelas-jelas adalah musuhku. Orang yang memberiku luka penghianatan.

"Chie!"

Chie yang hendak menaiki kuda langsung terlonjak kaget saat melihatku. Aku segera berjalan mendekatinya sebelum dia pergi.

"Apa kau berubah pikiran Shin? Kau ingin membunuhku sekarang?"

Aku tak menggubris Chie dan justru menghambur memeluknya. Ah... Aku sudah gila.

"Jika kau ingin klanku yang menang, maka tetaplah disini. Bertarunglah disisiku bodoh!"

Aku bisa mendengar isak tangis Chie. "Selamatkan aku," gumamnya membuatku bingung.

"Aku lelah, tapi aku tidak bisa berhenti. Sumpah setiaku pada klan telah mengikatku sejak kecil. Aku tidak ingin menambah dosaku lagi, tapi aku harus tetap berperang. Karena itu... Kumohon kalahkan aku!"

Tangisan Chie semakin kencang, membuat hatiku pilu mendengarnya. Sebenarnya berapa banyak penderitaan yang telah kau terima selama ini?

"Berjanjilah untuk mengalahkanku, dan buatlah negeri ini menjadi damai," ucap Chie melepas pelukan kami.

Dia mengulurkan tangannya, dan kami pun mengikat janji.


"Saat kita bertemu lagi, aku berjanji akan membebaskanmu Chie. Dan akan kuraih negeri yang damai itu."

Chie tersenyum. "Aku menyukaimu Shin," ucapnya singkat.

Chie pun beranjak pergi, menaiki kudanya. Aku menatap punggung Chie yang mulai menjauh. Ternyata perasaanku tak bertepuk sebelah tangan, namun aku tidak merasa senang.

Karena aku tahu, saat kami bertemu lagi rasa yang akan tersisa hanyalah ambisi untuk saling mengalahkan.

____________________________________

Aku kembali kekediamanku dan langsung mencari paman Takashi dengan gusar.

"Ada apa Shin-sama?"

"Beritahu klan Hojo untuk mempercepat pernikahanku dengan putri mereka. Kita harus segera mengumpulkan prajurit!" seruku membuat semua orang terkejut.

Tak lama setelah itu, pernikahanku dengan Kazumi dilangsungkan. Aku mendapatkan kekuasaan penuh atas pasukan milik klan Hojo. Seluruh waktuku kuhabiskan untuk mengatur strategi dan melatih pasukan. Aku bahkan tak pernah menemui istriku. Semua kulakukan untuk membuang Chie dari pikiranku.

Dalam waktu singkat, aku telah berhasil membentuk blok-blok pasukan tangguh, dengan berbagai macam formasi perang. Mungkin aku juga harus berterimakasih pada orang itu. Karena luka yang dia torehkan telah membuatku lebih kuat. Kini, klan Minamoto siap untuk menyerang balik. Akan kuakhiri perang panjang ini dengan kemenangan ditangan klan Minamoto.

Sebelum berangkat berperang esok hari, seperti saran Takashi aku mengunjungi istriku untuk berpamitan. Saat aku tiba, Kazumi telah berdiri menungguku.

"Besok aku akan berperang."

"Semoga kau meraih kemenangan."

Kami hanya saling diam, canggung. Ah.. Benar juga, mungkin saja aku tak bisa kembali hidup-hidup. Aku harus meminta maaf padanya.

"Kazumi maafkan aku. Karena telah menikahimu hanya demi kekuatan. Aku tak bisa berjanji untuk mencintaimu, karena aku sudah menutup hatiku. Tapi, sebagai rasa terimakasihku kau boleh meminta apapun dariku."

Kazumi berjalan kearahku, wajahnya terlihat kesal. "Sama sepertimu aku juga ingin kebebasan bagi klan Hojo. Akan kulakukan apapun untuk itu, sekalipun aku harus menjadi bidakmu untuk meraih kemenagan. Dan jika kau ingin berterimakasih padaku, maka pulanglah dengan selamat," ucap Kazumi lembut sambil memegang tanganku.

Ucapan Kazumi membuatku sadar. Sama seperti Kazumi, diluar sana banyak orang yang mengharapkan kemenangan dan kebebasan. Hanya karena perasaan yang tak berguna, aku tidak boleh menjadi lemah dan memupuskan harapan semua orang.

Aku mengangguk, melempar senyum pada Kazumi. Aku pasti akan membawa kemenangan bagi kita semua. Sekalipun aku harus membuang sisi kemanusiaanku untuk itu.

____________________________________

Tepat sebelum matahari terbit, pasukan tentara Genji telah tiba di lokasi peperangan. Di tanah lapang perbatasan wilayan klan Minamoto dan klan Taira. Tak berselang lama, barisan pasukan musuh terlihat dari kejauhan.

Aku menggerakan tangan, mengisyaratkan pasukan untuk membentuk formasi sayap kanan dan kiri. Lebih dari tigapuluh ribu pasukan berkuda, dan empatpuluh ribu pasukan pemanah, dan bertameng yang ku pimpin bersama mertua dan orang-orang kepercayaanku.

Sedangkan dari pihak musuh, aku yakin mereka membawa ratusan ribu pasukan. Mengingat mereka punya tiga Shogun utama.

Tepat saat matahari terbit, terompet dibunyikan sebagai tanda mulainya perang besar.

"Seraaaaaaang!!!!!"

Terdengar seruan dari berbagai arah, diiringi suara derap kuda dan dentingan senjata yang saling berbenturan. Aroma anyir darah mulai menyeruak dari berbagai arah, menandakan korban telah berjatuhan.

Aku memacu kudaku cepat, sambil menebas siapa saja yang menghalangiku. Sejumlah besar pasukan bersenjata mengikuti jalan yang telah kubuka dan masuk ke formasi musuh.

Saat pasukan musuh mulai menyerang formasi kami, pasukan pemanah yang bersembunyi diatas tebing meluncurkan anak panahnya sesua komando mertuaku. Jutaan anak panah yang melesat dari berbagai arah itu berhasil membuat musuh kalang kabut.

Rupanya musuh juga menyiapkan pasukan memanah, namun kami berhasil menaganinya dengan formasi kokoh pasukan bertameng. Sehingga kami bisa terus maju memporak porandakan formasi musuh. Kami mungkin kalah jumlah, tapi tidak strategi.

Dari kejauhan, akhirnya aku bisa melihatnya. Chie, wanita itu tengah bertarung dengan gagah ditengah pertempuran sebagai seorang Shogun.

Aku tersenyum getir melihatnya. Sepicik itukah pikiran klan Taira, hingga membiarkan seorang wanita menyamar menjadi pria dan memimpin peperangan. Hanya karena dia satu-satunya penerus, bukan berarti mereka bisa menyuruh seorang wanita terjun kemedan perang yang serupa neraka ini. Tenanglah Chie, akan kutepati janjiku. Tunggulah, akan segera kuakhiri semua kegilaan ini.

Pasukanku makin maju, kini dua kubu saling bertarung dengan katana. Ah... Chie benar, tehnik yang dia ajarkan padaku jauh lebih baik daripada tehnik milik klan Taira.

Ku ayunkan katanaku, menebas semua musuh didepanku. Seluruh belas kasian yang kumiliki telah hilang. Aku tak peduli lagi nasib keluarga para prajurit yang telah kubunuh. Yang kupikirkan hanya membalas kematian rekan-rekanku. Di medan peperangan yang serupa neraka ini, tak aneh jika manusia pun berubah menjadi iblis bukan?

"Taira Chie Shogun!" seruku sambil mengelap kasar cipratan darah musuh yang mengotori wajahku.

Chie menoleh dan tersenyum. Sedetik kemudian dia berlari kearahku sambil mengarahkan katananya tepat kejantungku. Dengan cepat aku menangkisnya hingga tubuh Chie sempat terhuyung kebelakang.

Dua katana kembali beradu. Berbeda dengan saat itu, suaranya tak lagi terdengar merdu namun menyayat hati. Kami hanya saling diam, namun seluruh perasaan kami seolah tercurah dalam pertarungan ini. Reuni yang menyedihkan.

Katana kami berbenturan. Kami saling mengadu kekuatan tangan. Dengan gerakan cepat aku menggeser katanaku, hingga berhasil menggores perut dan kaki Chie. Aku segera menampik katana Chie hingga terjatuh.

Dia tak bersenjata, ini kesempatanku. Kudorong tubuh Chie hingga dia jatuh tepat dibawahku. Katanaku terangkat tinggi, siap menusuk lehernya. Namun aku meleset. Lagi-lagi tanganku bergetar hebat.

"Hei... Kau ingat janjimu kan? Aku tak akan mengalah, jadi berjuanglah Shin."

Setelah mengatakannya Chie menendang tubuhku hingga terpental. Dengan tubuh yang penuh luka dan darah, wanita itu kembali berdiri mengangkat katananya. Tangan kirinya bergerak, menyentuh dada kirinya. Mengisyaratkan agar aku menusuk jantungnya.

Aku pun bangkit, kembali berlari menyerangnya. Kutebas katananya hingga patah menjadi dua. "Maaf membuatmu menunggu lama," ucapku sambil menusuk tepat di jantungnya.

Darah keluar deras dari mulut dan dada Chie. Tubuhnya ambruk, jatuh tepat dalam pelukanku. Aku masih bisa mendengar napas pelannya yang terengah.

"Shin....Te-terimakasih," ucapnya lemah.

"Chie, mari bertemu lagi. Jika reinkarnasi memang ada, ayo bertemu lagi. Bukan sebagai musuh, tapi sepasang kekasih," ucapku sambil menggenggam tangannya yang dingin. Membuat Chie tersenyum.

Mata Chie mulai tertutup, tangannya jatuh dari genggamanku. Ah... berakhir sudah.

Aku meletakan tubuh Chie, dan berdiri tegap mengangkat katanaku. "Kita menang!" seruku keras diiringi sorakan para prajurit.

Tak berselang lama salah seorang prajurit berkuda membawa pesan bahwa Shogun lain dari pihak musuh telah dikalahkan oleh iparku. Setelah sekian lama suka cita akhirnya dirasakan oleh klanku.

Hujan turun, menyapu area pertempuran yang merah oleh darah. Aku mendongak keatas, membiarkan derasnya hujan membasuh tubuhku yang ternoda oleh darah dan dosa. Dinginnya air hujan mulai mendinginkan kepalaku yang memanas akibat ambisi untuk menang.

Aku menang... Perjuaangan klanku selama ini tak sia-sia. Tapi kenapa aku tak bahagia? Kemenangan yang kudapat dengan mengorbankan senyumanmu, sanggupkah aku mensyukurinya? Air mataku meluncur dengan bebas tersapu air hujan. Tubuhku seketika melemas dan jatuh terduduk tepat didepan jasat Chie.

Aku meremas dadaku sesak, rasanya sangat sulit untuk sekedar mengambil napas. Inikah rasa penyesalan? Saat melihatmu tak bernapas lagi, seoalah aku telah kehilangan hak untuk menghirup oksigen.

Untuk apa peperangan ini? Meraih dunia yang damai? Tapi apa artinya aku membuat dunia yang damai? jika kau tidak ada disini untuk menikmatinya bersamaku.

Ah... Inikah hukuman yang harus kuterima karena telah melenyapkan banyak nyawa? Aku meraih kemenangan, tapi kehilangan alasan untuk bahagia.

"Shin-sama!"

Suara Takashi membuatku tersentak, dia tengah berlari kearahku. "Selamat atas kemanangan anda. Sekarang apa yang harus kita lakukan pada prajurit musuh yang masih hidup?"

Seketika aku tersadar, masih ada satu janji yang harus kutepati. Sekarang bukan saatnya meratapi kepergian Chie. Aku harus bangkit, dan memenuhi harapannya.

"Aku akan menerima mereka, dan melindunginya dibawah kekuasaanku. Dengan begitu, rantai permusuhan ini akan terputus," ucapku dengan mantap.

____________________________________

Setelah perang usai, klan Minamoto menguasai kekaisaran dan membentuk zaman baru. Sebagian besar klan Taira yang tersisa mengubah marga mereka, dan hidup dibawah naunganku.

Aku duduk termenung menikmati hembusan angin pagi yang sejuk. Tatapanku terpaku pada bunga asagao yang tumbuh subur dihalamanku.

"Ayo bertemu lagi....." gumamku sambil ternyum.

End


____________________________________


Alhamdulillah kelar juga. Bodo amat cerita ngaco, gaada feel, aneh dll 😂

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top