UwU Series: Sakusa Kiyoomi
Nada dering telepon terdengar. Sakusa merogoh saku celananya untuk mengambil ponselnya. Ia baru saja masuk ke kamarnya yang ada di asrama MSBY Black Jackals selepas latihan rutinan bersama tim. Pintu kamar ditutup lalu dikunci. Iris obsidian menatap nama yang tertera di layar ponsel.
(Name)
Tombol jawab ditekan seraya kakinya melangkah ke meja yang ada di sebelah ranjang lalu meletakkan tas ranselnya di atas sana.
"Oi, ada apa menelepon?"
"Omi-kun ..."
Dahi mengernyit kala mendengar suara feminim itu terdengar beda dari biasanya. Terdengar serak dan lemah.
"Kau sakit?"
"Hu'um. Jadi ... besok tidak usah datang berkunjung, aku takut kamu tertular."
"..."
"Omi-kun?"
"Hm, istirahatlah."
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Telepon ditutup. (Name) mengerjap seraya perlahan menurunkan ponselnya. Maniknya menatap layar ponsel yang menunjukkan panggilan telah selesai. Wanita muda itu menghela napas.
Memiliki kekasih pengidap mysophobia itu ... agak menyebalkan. Jawaban dua kata dari Sakusa tadi mengindikasikan bahwa pria itu sudah merasa jijik duluan. Wanita itu sedang sakit. Otomatis kuman dan bakteri sedang hinggap di tubuhnya. Pria itu pastinya sudah berpikir betapa menjijikannya (Name) sekarang sampai-sampai memutus sambungan telepon dengan cepat. Mungkin saja pria itu berpikir jika ia teleponan dengan (Name) lama-lama, bakteri dan kuman yang ada di tubuh (Name) berpindah ke Sakusa lewat ponsel.
Juga kata 'istirahatlah' yang diucapkan Sakusa itu terdengar cuek sekali. Seperti mengatakan 'Oh, cepat sembuh ya' dengan nada datar. Basa-basi.
Sakusa Kiyoomi itu orangnya cuek, sarkas, dan mysophobia yang menyebalkan. Sebagai kekasih dari Sakusa, sudah seharusnya (Name) menerima kekurangan Sakusa dan mentolerirnya. Tapi, tetap saja ... gadis itu sakit hati dengan respon Sakusa tadi yang terlampau cuek. Ia seorang perempuan, sensitif dengan hal-hal sepele semacam ini. Ditambah ia sedang sakit sehingga mudah sekali perasaannya terbawa.
"Sial! Kenapa aku menangis, sih?!"
(Name) dengan kasar menghapus jejak air mata di pipinya. Ponsel ia letakkan di meja nakas. Tubuh ia baringkan di kasur, selimut ditarik. Pukul sembilan malam. Lebih baik ia tidur sebagai langkah memulihkan diri.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Rasa nyeri di tenggorokan memberikan impuls ke otak untuk terbangun dan segera minum. (Name) mendudukkan diri secara perlahan-lahan. Pening luar biasa hinggap di kepalanya. Wanita itu juga merasa napasnya begitu panas. Selimut disibakkan dan (Name) tersentak seketika saat suhu dingin menyengatnya.
'Apa tengah malam memang sedingin ini? Eh, tunggu, sekarang jam—'
(Name) meraih ponsel di meja nakas lalu menyalakannya. Matanya sedikit mengernyit kala melihat sinar layar ponsel yang terlalu terang. Dilihatnya jam yang ada di layar utama.
Pukul dua pagi. Masih dini hari rupanya.
(Name) meletakkan kembali ponselnya ke meja nakas. Ia pun mencoba menurunkan kakinya dari kasur. Lantai yang dingin menyentakkan kembali sekujur tubuhnya. Wanita itu terheran, apa suhu tengah malam memang sedingin ini? Atau hanya karena efek sistem imunitas tubuhnya?
(Name) pun mencoba berdiri. Agak terhuyung awalnya. Kaki pun dilangkahkan, seketika (Name) merasakan dengungan di dalam kepalanya. Ia menarik napas dan terkejut ketika mendengar suara cairan dari hidungnya. Bagus, gejala flu memang menyebalkan.
(Name) melangkah pelan keluar kamar. Pusing di kepalanya benar-benar mengganggu keseimbangan tubuhnya. Tangan gadis itu pun mencari dinding sebagai tumpuan.
Setelah memakan waktu yang lama, wanita itu akhirnya sampai di dapur apartemennya. Gelas plastik ia ambil dari rak lalu menuju dispenser, menekan keran air panas. Suara gemuruh air terdengar dari dalam galon. Air panas telah memenuhi setengah gelasnya. Gelas beralih ke keran air dingin, mengisinya sedikit guna menurunkan suhu air panas menjadi air hangat. Tepat saat suara keran dispenser yang dimatikan bergema, terdengar suara pintu apartemen yang dibuka lalu saklar lampu ruang tengah yang dinyalakan.
(Name) menegang seketika. Tangannya masih memegang gelas berisi air di bawah keran dispenser. Jam dua dini hari. Ada yang memasuki apartemennya dengan mudah. Siapa lagi kalau bukan orang jahat?!
Wanita itu menoleh ke belakang perlahan. Dapurnya ini menyatu dengan ruang tengah sehingga pemandangan di belakangnya terpampang ruang tengah yang lampunya menyala. Di samping gadis ini terdapat dinding yang dibaliknya merupakan lorong pendek dari pintu apartemen.
Suara langkah mendekat ke ruang tengah dari balik dinding sebelahnya membuat jantung (Name) semakin berdebar. Wanita muda itu benar-benar panik. Irisnya menatap awas ke ruang tengah.
Semakin mendekat hingga akhirnya entitas itu muncul dari balik dinding.
"(Name)? Belum tidur?"
Pria muda perawakan tinggi dengan surai hitam bergelombang. Separuh paras putihnya tertutupi masker berwarna hitam. Jaket berwarna emas dengan logo MSBY di dada kanan serta celana hitam katun panjang melekat di tubuhnya. Tas plastik berukuran sedang berwarna putih ia tenteng di tangan kanannya.
Sakusa Kiyoomi berhasil membuat (Name) hampir jantungan.
"Astaga ... Omi-kun ... kukira orang jahat .."
Tangan (Name) kini bertumpu pada galon dispenser. Helaan napas lega terdengar, hal buruk yang ia perkirakan tidak akan terjadi rupanya. Di sisi lain wanita itu sedikit heran dengan kedatangan Sakusa di jam dua pagi. Eh?
"Omi-kun kenapa kamu datang di jam segini?!"
'Tunggu ... apa jangan-jangan ini cuma halunya orang yang sedang sakit?! Bisa saja Omi yang di depanku ini bukan orang beneran kan?!'
Sakusa mendekat ke arah (Name) seraya menurunkan maskernya, memperlihatkan parasnya yang tampan memasang ekspresi datar. Tarikan pelan di bahu (Name) agar wanita itu menghadap Sakusa sepenuhnya membuat (Name) tersadar bahwa Sakusa di depannya ini memang nyata.
Punggung tangan besar itu diletakkan di dahi sang gadis. Pria muda langsung tersentak kala suhu tinggi menerpa kulit punggung tangannya.
"Kau panas sekali. Sudah dicek suhu tubuhmu berapa?"
Sang wanita mengerjap, masih tenggelam dalam keterkejutannya akan kedatangan Sakusa.
"Oi, jawab."
Satu colekan di hidung menggunakan jari telunjuk langsung menyadarkan (Name). Iris gelap itu menatap (Name) bulat-bulat kala jarak wajah mereka yang terlampau dekat.
"Be-Belum ... semalam aku langsung tidur .."
"Belum minum obat berarti?"
Satu gelengan pelan sebagai balasan. Hening beberapa saat hingga akhirnya Sakusa menghela napas lalu menjauh dari gadisnya. Tas plastik yang ditentengnya ia letakkan di atas meja makan yang ada di belakangnya.
"Omi-kun ... kenapa ke sini? Aku ... sedang sakit, lho, banyak kumannya ..."
"Kalau itu kamu, aku tidak masalah. Duduk. Cepat diminum."
Sakusa menarik salah satu kursi makan lalu menuntun (Name) untuk duduk di sana. Gelas yang digenggam wanita itu dinaikkan oleh Sakusa, didekatkan ke bibir sang gadis agar segera diminum.
(Name) mengerjap berkali-kali. Wanita itu berusaha mencerna perkataan Sakusa sebelumnya sambil menenggak segelas air hangat digenggamannya.
"Sudah mendingan tenggorokannya?"
(Name) meletakkan gelas di meja lalu mendongak dan mendapati Sakusa yang berdiri di sampingnya. Wanita itu hanya mengangguk sebagai jawaban. Kepalanya saat ini benar-benar pening dan tubuhnya lemas. Suhu dingin ruangan lagi-lagi menyentak tubuhnya membuat ia merinding seketika. Dalam keadaannya yang seperti ini, (Name) jadi meragukan keaslian Sakusa yang ada di depannya ini.
"Sekarang kembali tidur. Ayo ..."
Dua tangan meraih bahu dan lekukan belakang lutut lalu tubuh (Name) diangkat. Sakusa menggendong (Name) ala bridal style. Wanita itu hanya diam, pasrah dengan perlakuan Sakusa.
Kaki pria muda dilangkahkan menuju kamar. (Name) diam-diam menyandarkan kepalanya di bahu sang pria. Parfum beraroma menyegarkan menguar dari tubuh Sakusa membuat hidung (Name) yang terasa mampet menjadi nyaman. Wanita itu menggerakkan kepalanya, mendekat ke arah leher sang pria seraya mengalungkan kedua tangannya di sana guna menikmati aromanya secara lebih. Aroma Sakusa itu candu. (Name) tidak peduli yang dia alami ini mimpi, halusinasi, atau kejadian mistis. Ya, dia masih tak percaya bahwa Sakusa yang menggendongnya ini nyata. Yang jelas wanita muda itu ingin menikmati aroma Sakusa lebih lama.
Sakusa yang melihat pergerakan manja (Name) hanya mengulas senyum kecil. Tangan yang merangkul bahu (Name) digerakkan sehingga wajah wanita itu lebih dekat dengan lehernya. Alhasil, kini (Name) menggesek-gesekkan hidung mancungnya ke leher Sakusa dan menyamankan wajahnya di sana.
Sakusa suda berdiri di tepi kasur. Tubuh (Name) ia turunkan dengan pelan. Satu tangannya menyangga bahu (Name) agar tidak berbaring sebelumnya karena tangan satunya sedang merapikan bantal, membuatnya menjadi dua tumpukan. Setelah itu, ia pun membaringkan kepala (Name) di atasnya. Tangannya merapikan helaian rambut yang ada di sisi wajah sang wanita lalu membelai pipinya singkat.
"Tidur dengan dua bantal bisa membuat hidung mampet reda. Kau seharusnya tahu itu. Tunggu sebentar ..."
Sakusa beranjak keluar kamar, sedangkan (Name) hanya mengerjap menatap punggung kekasihnya hingga menghilang dari balik pintu. Setelah beberapa saat, pria itu kembali membawa tas plastik berwarna putih yang ia letakkan di atas meja makan tadi.
Sakusa menarik kursi meja rias ke sisi ranjang lalu duduk di atasnya. Tangannya merogoh isi tas plastik yang dibawanya. Plester kompres demam dikeluarkan. Bungkusnya dirobek dengan pelan lalu ia mengeluarkan satu buah plester. (Name) hanya mengawasi pergerakan kekasihnya dalam diam.
Sakusa pun mendekat, menempelkan plester kompres di dahi (Name) secara lembut. Kedua tangannya mengelus dahi kekasihnya lalu memijitnya pelan. Setelah itu, kedua ibu jari Sakusa menutup kelopak mata (Name) secara paksa.
"Tidur," perintahnya singkat seraya menarik selimut untuk membungkus tubuh kekasihnya. (Name) hanya mengangguk menurut. Tak lama ia pun merasakan elusan lembut di pucuk kepalanya. Elusan itu terjadi terus-menerus membuat gelombang kesadarannya perlahan-lahan menurun. Kantuk menyerangnya. Sang wanita muda terbawa dalam kegelapan ketidaksadaran. Ia terlelap dalam kelembutan sikap Sakusa.
'Kuharap bukan mimpi ...'
.
.
.
.
.
Tentu saja yang semalam itu bukan mimpi. Sakusa memang datang ke apartemennya pada jam dua pagi.
"Kututup teleponnya dengan cepat karena aku ingin langsung ke sini, tapi kapten tidak mengizinkan. Ia mengizinkanku pergi besok. Ya, sudah, aku datang tadi pagi."
'Tapi, datangnya tidak usah sepagi itu, bisa kan?'
(Name) sedikit meringis saat mendengar penuturan kekasihnya tadi. Ia pun sedikit menyesal karena telah memberikan akses apartemen ke Sakusa.
(Name) kini duduk bersandar di kepala ranjang dialasi bantal yang tadi ditata Sakusa. Baru saja Sakusa membersihkan muka bangun tidurnya menggunakan kain seka dan air hangat sebaskom. (Name) masih ingat sensasi tangan Sakusa yang berbalut kain seka membersihkan wajahnya, terutama kotoran mata dan sudut bibir. Sebenarnya di awal (Name) protes bahwa ia bisa membersihkan wajahnya di wastafel kamar mandi. Tapi ...
"Selama kau sakit, takkan ku biarkan kau menyentuh lantai semili pun. Itu peraturanku, menurutlah!"
Ya, (Name) menurut. Tapi, ia sama sekali tak habis pikir. Sakusa tadi membersihkan kotoran matanya bahkan membantunya menarik ingus dari hidungnya! Kemana perginya fobia yang menyebalkan itu?! Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan rasa jijik, malah biasa saja!
(Name) benar-benar kehabisan kata-kata. Ia tidak akan mengomentari Sakusa yang terlampau perhatian untuk hari ini. Wanita muda itu pun memutuskan untuk menuruti segala perintah Sakusa layaknya pasien dan perawatnya. Tidak, perlakuan Sakusa ini melebihi perhatian yang diberikan oleh perawat. Orang cuek jika perhatian terlalu manis.
"Waktunya sarapan."
Sakusa datang membawa nampan yang di atasnya terdapat mangkuk dengan asap mengepul dan segelas air putih. Nampan diletakkan di atas meja nakas lalu Sakusa melangkah ke arah meja rias, mencari-cari sesuatu di atas sana.
"Mencari apa, Omi?" tanya (Name) dengan suara serak seraya mengawasi Sakusa yang masih mencari. Tak ada jawaban hingga Sakusa berbalik dengan tangan memegang karet rambut.
"Huh?"
Sakusa kini berdiri di sisi ranjang, tepat di sebelah (Name). Tangannya terulur meraih helaian (Name). Pria itu mengikat rambut wanitanya dari depan. (Name) mendongak dan iris kecoklatannya bersibobrok dengan iris obsidian. Dari jarak sedekat ini, (Name) bisa mencium aroma Sakusa yang menyegarkan menandakan pria itu sudah mandi sebelumnya. (Name) mengernyit. Sepenglihatannya semalam, Sakusa datang hanya membawa tas plastik berisi obat-obatan untuknya (Sakusa membelinya di apotek 24 jam sebelum datang ke sini). Wanita itu tidak melihat tas atau wadah apapun yang dibawa Sakusa untuk menampung baju.
"Omi-kun bawa baju ganti?"
"Tidak. Kan ada beberapa baju yang sengaja kutinggal di sini, (Name)."
"Eh?"
(Name) baru tahu soal itu. Sakusa memang beberapa kali menginap di apartemennya. Tapi, wanita itu tidak tahu jika Sakusa sengaja meninggalkan beberapa baju di sini. Tunggu ... bajunya diletakkan di mana? (Name) tidak ingat jika ia menyimpan kaus pendek berwarna biru dongker dan celana pendek selutut warna hitam yang sedang dikenakan Sakusa sekarang.
"Di lemari kamar tamu, sayang. Aku letakkan di sana. Aku selalu bilang kepadamu kalau aku meninggalkan baju di lemari kamar tamu, tapi sepertinya kamu tidak mendengarkan," ujar Sakusa sambil menoyor pelan dahi wanitanya menggunakan telunjuk diiringi tawa kecil, seolah-olah bisa membaca isi pikiran (Name). Wanita itu langsung memasang tampang 😳 kala mendengar tawa kecil Sakusa. Tawa dan Sakusa adalah hal yang sangat jarang sekali terjadi. Ingat! Sangat. Jarang. Sekali.
Paling maksimum adalah tersenyum lebar dan mampu membuat (Name) doki-doki tidak karuan. Percayalah, Sakusa yang tersenyum itu 100x lipat jauh lebih tampan dari yang biasanya. Apalagi ditambah dengan tawa kecil yang singkat. (Name) sudah tidak karuan.
"Sarapannya bubur dan aku membuatnya sendiri. Tenang saja, buburnya memiliki rasa. Tadi aku sudah mencicipinya."
Sakusa kini mendudukkan diri di kursi yang ada di sisi ranjang setelah selesai mengikat rambut (Name). Tangannya meraih mangkuk yang ada di atas meja nakas.
"Ah, sebelumnya minum dulu."
Sakusa memegang mangkuk menggunakan tangan kanannya, tangan kirinya meraih segelas air putih lalu memberikannya kepada (Name). Wanita itu pun menerimanya lalu meminumnya satu tegukan. Rasa perih menjalar di tenggorokannya kala air bersuhu netral itu mengalir di dalamnya. (Name) mengernyit seraya mengembalikan gelas ke Sakusa yang langsung diletakkan di atas meja nakas oleh pria itu.
Kini kedua tangan Sakusa fokus terhadap semangkuk bubur yang ada di pegangannya. Tangannya mulai menyendok bubur lalu meniupnya pelan. Setelah itu disodorkan ke (Name). Wanita itu pun membuka mulutnya guna menerima suapan dari Sakusa. Lidahnya mulai mencecapi rasa bibir. Kernyitan muncul di dahi seusai (Name) menelannya.
"Ah, Omi-kun, mungkin karena aku lagi sakit jadi buburnya tidak berasa, hehe."
"Tidak mau tahu, kau harus menghabiskannya. Ini, lagi."
Selama Sakusa menyuapi (Name), keheningan melanda mereka. Hanya suara dentingan sendok beradu dengan mangkuk yang terdengar. Biasanya, jika berduaan begini, (Name) lah yang paling banyak bicara mengingat kepribadian Sakusa yang pendiam dan pasif. Tapi, karena wanita itu sedang sakit, jadinya ia hanya diam saja. Namun, (Name) merasa nyaman dengan keheningan ini.
"Omi-kun, sekarang jam berapa?" tanya (Name) kala melihat gorden jendela kamarnya yang terbuka lebar dan mendapati sinar matahari masuk ke kamarnya.
"Jam delapan pagi."
(Name) hanya mengangguk seraya mulutnya menerima suapan dari Sakusa.
Bubur tinggal tersisa sedikit, tapi (Name) mengunyah lebih lama, sengaja melambatkannya.
"Oi, cepatlah mengunyahnya. Tanggung, tinggal dua suapan."
"Omi-kun, aku sudah tidak kuat. Buburnya semakin pahit dan tenggorokanku sakit. Dibuang saja, ya? Ya?"
(Name) kini memasang senyuman manis dan puppy eyes agar Sakusa luluh. Sungguh, ia sudah muak dengan rasa buburnya. Mengutuk lidahnya yang mati rasa sehingga tidak bisa merasakan rasa asli bubur buatan Sakusa yang pastinya enak. Ya, pria muda itu pandai memasak walau jarang berkutat di dapur. (Name) suka dengan masakan Sakusa karena selalu enak rasanya.
(Name) kini masih bertahan dengan puppy eyes-nya, sedangkan Sakusa hanya menatap (Name) dalam-dalam.
"Sayang ..."
Oh, shit
Jika Sakusa sudah memanggilnya seperti itu dengan suara rendah, mau tak mau (Name) harus menurutinya. Sakusa dengan suara rendah adalah hal yang paling berbahaya!
(Name) pun menerima tiga suapan terakhir dengan tidak ikhlas. Bubur telah ditandaskan. Wanita itu juga baru saja menenggak obatnya.
"Ingusnya dikeluarkan dulu."
Sakusa membantu (Name) mengeluarkan ingusnya menggunakan tisu. Ia mengusap-usap belakang kepala gadisnya dan tangan satunya lagi memegang tisu di hidung (Name) saat wanita itu berusaha mengeluarkan ingusnya. Suara desisan ingus menggema di kamar dan ekspresi pria itu sama sekali tidak merasa jijik. Justru, ekpresinya menampakkan rasa tidak tega kala melihat kekasihnya kesakitan seperti ini.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Sungguh, cara Sakusa merawatnya seharian ini membuat (Name) kehabisan kata-kata. Pria itu selalu membangunkannya dengan cara yang lembut ketika ia ketiduran karena efek obat. Elusan di pucuk kepala, usapan pipi, dan colekan di hidung selalu berhasil membangunkannya kala jam makan dan minum obat tiba. Pria itu juga menyiapkan air mandi untuknya dan entah bagaimana caranya Sakusa bisa menemukan sendal rumah yang sudah lama (Name) simpan, entah di mana, agar dipakai (Name) untuk menghindari suhu lantai yang dingin.
Seusai mandi, (Name) dikejutkan dengan bergantinya seprai kasur, bantal, dan selimut.
"Kebersihan paling penting untuk membantu kesembuhan. Seprainya sudah lama tidak dicuci kan?"
Ya, benar, (Name) sudah lama tidak mencuci dan mengganti seprai kasurnya. Biasanya ia akan menggantinya seminggu sekali, tapi karena kesibukan pekerjaannya akhir-akhir ini (penyebabnya sakit juga) membuat wanita itu lupa soal seprainya. Akhirnya, malah Sakusa yang mencucinya barusan.
Tak hanya itu, Sakusa juga selalu menyuapinya ketika jam makan tiba. Membantunya mengeluarkan ingus, memijat kepalanya pelan kala ia mengeluh pusing, selalu mengikat kembali rambut (Name) yang berantakan karena bangun tidur akibat efek obat, dan masih banyak lagi.
Jam menunjukkan pukul sepuluh malam dan (Name) merasa fisiknya lima kali jauh lebih baik dari sebelumnya. Kepalanya sudah tidak terlalu pusing, hidungnya juga mampetnya sudah tidak parah, dan suhu tubuhnya perlahan normal kembali.
Hebat! Satu hari dirawat oleh Sakusa efeknya sama seperti tiga hari istirahat total. Sakusa benar-benar totalitas dalam merawatnya.
"Saatnya tidur."
Sakusa menggiring (Name) agar berbaring di atas kasur.
"Tapi, Omi-kun, aku belum mengantuk. Seharian ini aku selalu tidur tahu!"
"Tidak apa, sebagai langkah pemulihan akhir. Lagian sebentar lagi kau pasti mengantuk karena efek obat. Aku juga bisa mempercepat efek mengantuknya itu.."
(Name) hanya mengembungkan pipi seraya berbaring menghadap ke arah Sakusa yang duduk di kursi tepat di sebelah ranjangnya. Tangan Sakusa terulur, membelai helaian wanitanya pelan. Ini adalah caranya untuk mempercepat efek mengantuk dari obat.
Tangan Sakusa masih membelai helaian rambut (Name), sedangkan wanita itu menatapnya tepat di mata.
"Omi-kun, hari ini mysophobia- mu kemana? Aku kan penuh bakteri dan kuman sekarang ini, tapi kamu tidak merasa jijik. Apalagi saat kamu membantuku mengeluarkan ingus, ekpresimu biasa saja. Aku jadi heran dan bingung ..."
"Masih ada. Buktinya aku merawatmu."
"Eh?"
(Name) mengerjap bingung sambil menatap paras rupawan kekasihnya. Sakusa hanya tersenyum lembut, tangannya masih membelai pelan mahkota kekasihnya.
"Aku merawatmu totalitas agar kuman-kuman dan bakteri yang ada di tubuhmu segera hilang."
(Name) yang mendengar jawaban Sakusa langsung terkekeh. Tangannya pun meraih tangan Sakusa yang masih membelai surainya lalu menggenggamnya di samping wajahnya.
"Karena aku sudah dirawat dengan totalitas oleh Sakusa Kiyoomi, aku yakin besok aku sudah seratus persen sehat kembali. Terima kasih, ya, Omi-kun!"
Senyuman tulus mengembang dan hanya ditujukan untuk Sakusa Kiyoomi seorang.
Sakusa hanya melebarkan senyum. Ibu jarinya mengelus tangan (Name) yang menggenggamnya. Wajahnya ia dekatkan ke sang wanita, mengecup pipinya pelan tanpa melunturkan senyuman seraya berbisik tepat di telinga kekasihnya.
"Ya, semoga saja besok kau sembuh. Aku tidak bisa melihatmu menderita lebih lama soalnya ..."
So many ways to say 'I love you' ...
A/N:
gimana uwunya gengs? 😏
uwuan mana sama yang kemarin? 😂
saya baper waktu Omi ngomong "Kalau itu kamu, aku tidak masalah ..."
sama
"... Aku tidak bisa melihatmu menderita lebih lama soalnya."
geeezzz, kok bisa ya saya nulis kalimat ngebaperin kayak gitu 🤧
jadi bucin sakusa kan sayanya 🤧
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top