UwU Series: Iwaizumi Hajime

Pukul sembilan pagi di musim panas. Sinar matahari begitu terik membuat peluh menetes dari dahi dan leher.

Iwaizumi Hajime, pemuda yang mengenakan kaus lengan pendek berwarna putih dengan luaran kemeja lengan panjang yang digulung sesiku berwarna biru tua serta celana pendek selutut dengan saku di masing-masing kedua sisi, tak lupa sepatu kets warna putih, kini sedang berdiri di depan pagar rumah bertuliskan marga (Surname).

Bel di sebelah pintu pagar ditekan agar penghuni rumah tahu bahwa ada tamu yang menunggunya. Jeda beberapa lama, tapi belum ada respon. Bel ditekan lagi. Iwaizumi menunggu. Kali ini cukup lama. Heran karena belum ada respon, bel pun ditekan lagi. Namun, sama saja.

'Tidak mungkin pada pergi, kan? Kalau iya, seharusnya (Name) memberitahuku ...’

Saat sibuk bertanya-tanya dalam hati, Iwaizumi merasakan getaran notifikasi ponselnya dari dalam sling bag kecil warna hitam yang ia kalungkan di depan dada. Pemuda itu pun membuka resleting tasnya lalu mengambil ponselnya.

From: (Name)
Hajime sudah datang?

Saat menatap layar ponselnya, Iwaizumi pun teringat seketika bahwa bel rumah (Name) sedang rusak dan gadis itu menyuruhnya untuk mengirimi pesan jika sudah sampai, dilihat dari pesan sebelumnya.

Iwaizumi pun langsung menepuk keras dahinya, merutuki ketidakfokusannya. Untung saja (Name) mengiriminya pesan. Kalau tidak, mungkin Iwaizumi akan menekan belnya terus sampai tambah rusak.

Pesan diketik cepat lalu mengirimnya. Tak lama kemudian dari dalam rumah, keluar lah sosok gadis cantik yang mengenakan dress selutut berwarna biru muda berlengan pendek dengan tas selempang kecil berwarna putih tersampir serta flatshoes abu-abu yang menghiasi kakinya. Rambut hitam lega sebahu berponi rata itu tampak diikat setengah kuncir kuda, meninggalkan kesan manis pada wajahnya.

“Menunggu lama, Hajime?”

“Ya, lumayan. Aku lupa kalau belnya mati, tadi aku menekannya berkali-kali. Untung kamu tadi mengirim pesan.”

“Sepertinya kamu butuh minum, Hajime. Ini diminum dulu dan oh, astaga ... keringatmu ...”

(Name) mengeluarkan botol air mineral kecil dari dalam tasnya juga sapu tangan. Iwaizumi menerima botol itu pun langsung meminumnya bersamaan (Name) yang telaten mengelap keringat yang ada di wajah Iwaizumi.

Iwaizumi yang mendapat perlakuan seperti itu membuat telinganya memerah. (Name) yang melihat itu langsung terkikik kecil. “Telingamu memerah, lho, Ha-ji-me-kun ...”

“Ekhem! Jadi ... kita mau ke mana?”

Iwaizumi mengalihkan perhatian sambil menutup botol air mineral tadi lalu menyerahkannya pada (Name) bersamaan dengan gadis itu memasukkan kembali sapu tangannya ke dalam tas.

“Emm ... sebentar, aku lihat list-nya dulu ...”

(Name) mengeluarkan ponselnya lalu membuka catatan list yang dibuat kakaknya.

Ya, di Sabtu pagi yang cerah ini mereka tidak sepenuhnya akan pergi kencan, melainkan belanja. (Name) dimintai tolong oleh kakaknya untuk belanja keperluan festival tempat kuliahnya dikarenakan kaki sang kakak keseleo hingga tak bisa jalan diakibatkan terpeleset di kamar mandi semalam.

“Maaf, ya, (Name), aku malah mengganggu hari liburmu. Nanti aku akan kabulkan apa saja keingininanmu, deh, asal yang masuk akal, ya?”

(Name) sebenarnya tak masalah. Ia menganggapnya ini sebagai kesempatan kencan dengan kekasihnya. Maka dari itu, selepas diberitahu kakaknya ia langsung menghubungi Iwaizumi.

“Ah, sebaiknya kita ke pusat kota dahulu saja biar nanti di sana tentukan tujuannya.”

“Baiklah. Ayo, berangkat sekarang kalau begitu.”

Mereka pun berjalan beriringan menuju halte sambil mengobrol ringan. Setiba di halte, tepat sekali bus datang sehingga mereka pun tak perlu menunggu lama. Sayangnya di dalam bus semua bangku penumpang telah penuh, bahkan gantungan tangan juga. Hanya tersisa satu, itu pun (Name) tidak akan sampai meraihnya.

“Kau pegangan dengan lenganku saja,” tawar Iwaizumi sambil menyerahkan lengan kirinya yang menganggur. Wajahnya sedikit ditolehkan ke arah lain, menghindari tatapan (Name).

Si gadis yang melihat tingkah malu-malu Iwaizumi hanya bisa tersenyum kecil lalu ia pun merangkul lengan Iwaizumi dengan kedua tangannya seiring bus melaju.

Setelah beberapa lama, akhirnya mereka tiba di pusat kota. Selepas turun dari bus, mereka melangkah beriringan menyusuri trotoar yang ramai oleh pejalan kaki.

(Name) sibuk dengan ponselnya, menelaah list belanjaan dari kakaknya, sedangkan Iwaizumi berjalan di sampingnya.

“Mungkin kita ke toko alat tulis dulu lalu–woaah!”

Ucapan (Name) terputus. Ia terkejut karena terkena hembusan angin dari kendaraan yang melaju dengan kecepatan tinggi mengingat posisinya bersisian dengan jalan besar. Melihat hal itu, Iwaizumi pun meraih kedua bahu gadisnya untuk bertukar posisi. (Name) sendiri tak sadar akan hal itu karena kembali sibuk dengan ponselnya.

“Coba kulihat daftarnya,” ucap Iwaizumi sambil mendekatkan kepalanya pada layar ponsel milik (Name) menyebabkan kepala mereka sedikit bersentuhan.

“Woah, lumayan banyak juga ya ...”

“Iya. Di sini ada toko kosmetik tidak, ya?”

“Aku tidak tahu. Apa sebaiknya ke mall saja untuk beli alat-alat kosmetik? Jaraknya lumayan dekat dari toko alat tulis.”

“Oke, deh!”

Mereka pun terus berjalan hingga akhirnya tiba di toko yang dituju. (Name) pun langsung memilih barang-barang sesuai list dengan dibantu Iwaizumi. Setelah selesai, mereka pun ke kasir untuk melakukan pembayaran.

“Sini, kubawa,” ujar Iwaizumi sambil mengambil alih kantung belanjaan yang tadinya akan dijinjing oleh (Name).

“Terima kasih!”

Mereka pun keluar dari toko lalu berjalan menuju mall.

“Sisa belanjaannya dibeli di sini aja, deh,” ucap (Name) setibanya di mall.

“Kita beli barang yang disediakan di lantai satu dahulu saja,” tambah Iwaizumi sambil menatap daftar belanjaan yang ada di ponsel (Name).

“Hm, oke! Ah, belanjaannya dititipkan ke loker penitipan barang saja, Hajime.”

Mereka pun pergi ke loker penitipan barang yang ada di mall untuk menyimpan belanjaan sebelumnya. Setelah itu mereka mulai berbelanja.

Semua barang yang tersedia di lantai satu telah terbeli. Sebelum pergi ke lantai dua guna membeli barang yang tersisa, mereka menyimpan belanjaannya di loker penitipan terlebih dahulu agar tidak kerepotan.

Setelah itu mereka pun menaiki eskalator menuju lantai dua. Berdiri bersisian sambil sedikit mengobrol ringan. Tak sengaja menoleh ke belakang, Iwaizumi mendapati seorang pemuda, jauh lebih tua darinya yang berdiri selisih dua tangga di bawah terus menatap mereka, lebih tepatnya ke bagian bawah dress yang dikenakan (Name). Karena posisi pemuda itu berada di bawah, ia bisa melihat sedikit bagian dalam dari dress mengingat dress yang dikenakan (Name) hanya mencapai lutut.

Melihat hal itu, Iwaizumi pun langsung melangkah turun satu tangga guna menutupi bagian bawah dress (Name) lalu melempar tatapan super duper tajam ke arah si pemuda yang berada di bawahnya. Pemuda yang ditatapi langsung menoleh ke arah lain, bertingkah seolah tak terjadi apa-apa. (Name) tak sadar akan perilaku kekasihnya karena ia sibuk dengan ponselnya, menanyakan ini itu kepada kakaknya melalui fitur chat.

Sesampainya di lantai dua, mereka pun mulai berkeliling untuk berbelanja. Setelah satu jam, akhirnya mereka pun selesai membeli semua barang-barang yang ada di list.

“Sudah masuk jam makan siang. Di lantai tiga ada food court, kita makan di sana sekalian beristirahat.”

Mereka pun menaiki lantai tiga dan memasuki salah satu kedai ramen di sana.

Makan siang diselingi cerita-cerita ringan dan tawa sambil mengistirahatkan diri setelah berkeliling ke sana kemari. Makanan telah ditandaskan. Mereka masih menetap karena memesan es krim sebagai penutup makan siang.

“Hajime, cicip es krim punyamu,” ucap (Name) sambil menyendokkan es krim cone milik Iwaizumi dengan sendok kecilnya. Iwaizumi sendiri tak protes dan membiarkannya. Tak ada percakapan lagi karena keduanya sibuk menikmati es krim.

“Hajime, aku baru sadar kalau kamu setiap membeli es krim pasti membeli yang cone,” celetuk (Name) setelah beberapa lama hening sambil menyendokkan es krim cup miliknya lalu menatap Iwaizumi yang ada di hadapannya.

“Karena cone-nya bisa dimakan dan tak perlu repot membuang sampah,” jawab Iwaizumi sambil memasukkan gigitan terakhir cone ke dalam mulutnya membuat (Name) melongo. Pasalnya es krim miliknya belum habis.

“Ih, cepat banget habisnya!”

“Kamu aja yang makannya lambat.”

Mendengar balasan dari Iwaizumi, (Name) hanya memanyunkan bibirnya ke bawah. Iwaizumi yang melihat itu hanya tertawa pelan.

“Hajime, mau cicip?” tawar (Name) sambil menunjuk es krimnya yang tinggal setengah.

“Boleh.”

(Name) pun langsung menyendokkan es krimnya lalu menyodorkannya ke Iwaizumi, hendak menyuapinya. Pemuda itu mengerjap sebentar lalu membuka mulutnya.

Saat hendak masuk ke dalam mulut Iwaizumi, tiba-tiba saja (Name) menarik tangannya dan malah menyendokkan es krimnya ke dalam mulutnya. Kini gadis itu menatap jahil Iwaizumi sambil menyeringai.

“Ga jadi, wlee!” ejek (Name) sambil menjulurkan lidahnya. Iwaizumi yang dijahili seperti itu hanya tertawa kecil lalu ia pun mencubit pipi putih gadisnya.

“Aduh! Sakit tahu!” rengek (Name) sambil mengusap-usap pipinya.

“Pembalasan,” balas Iwaizumi pendek seraya merebut sendok yang dipegang (Name) lalu menyendokkan es krimnya, menyuapi dirinya sendiri.

Setelah beberapa lama, es krim milik (Name) telah tandas. Pesanan pun dibayarkan. Selepas itu mereka akan beranjak pulang. Namun, sebelum itu (Name) merasakan ada sesuatu yang aneh dari dress-nya saat hendak berdiri.

“Hajime, tunggu sebentar ...”

Iwaizumi yang sudah berdiri menatap heran ke arah (Name) yang malah menatapnya dengan tatapan horor.

“Tembus ...”

“Ha?”

(Name) semakin melebarkan matanya ke arah Iwaizumi membuat sang pemuda gelagapan.

“Tunggu ... kamu ... bulan? merah?”

Anggukan cepat sebagai balasan membuat Iwaizumi semakin gelagapan.

“Aduh ... tunggu ... ah!”

Iwaizumi melepas kemeja biru tua yang dikenakannya lalu menyerahkannya kepada (Name). “Pakai ini buat menutupinya!”

(Name) pun menyambarnya dengan cepat lalu mengikatkan lengan kemeja Iwaizumi ke pinggangnya.

“Ga kelihatan, kan?”

(Name) mencoba berdiri, memperlihatkan bagian belakang dress-nya yang sudah tertutupi kemeja milik Iwaizumi.

“Aman, tidak kelihatan, kok.”

“Haah, astaga, merusak mood saja. Untung sekitar sini tidak banyak orang yang melihat,” gerutu (Name) sambil menghembuskan napas kasar.

“Sudah, tidak apa-apa. Ayo pulang!”

Iwaizumi mengacak poni (Name) sebentar sambil tersenyum manis.

Mereka akhirnya kembali pulang dengan masing-masing kedua tangan menjinjing tas belanjaan.

*******

Mereka tiba di depan pagar rumah (Name). Semua barang belanjaan sudah beralih ke tangan (Name).

“Hajime, terima kasih sudah menemaniku belanja hingga mengantarku pulang,” ucap (Name) sambil tersenyum manis kepada Iwaizumi.

“Hm, sama-sama. Habis ini beristirahatlah. Kemeja bisa dikembalikan besok saat di sekolah.”

“Oke, hati-hati Hajime!”

“Hm, sampai jumpa nanti di sekolah.”

Iwaizumi mengecup lama pucuk kepala (Name). Selepas itu ia menyatukan kedua kening mereka lalu telunjuknya mencolek hidung (Name) sambil melempar senyuman manis dan berbisik parau,

“Rindukan aku, ya?”






I wanna stay with you until I never say ‘miss you’ ...








a/n:
uwu series telah berakhir
boleh dong di rating 1-10 keuwuannya dari lima chap uwu series 😀

oke, buku ini akan terbengkalai lagi karena saya mau fokus ke book Sunshine, collab baru, sama book baru 😀👌

see you!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top