Suna Rintarou ➵ Beautiful
Siapa perempuan paling cantik di dunia ini menurut Suna Rintarou?
Tentu saja, the one and only, ibunya. Wanita yang sangat Suna hormati itu tahu baik buruknya. Dengan penuh kasih mau mengurusnya, memberikan perhatian, memarahinya, walau letih mengurus rumah, senyum indah itu terus terpancar di hadapan suami dan anak-anaknya.
Lalu, adakah seorang perempuan yang berhasil menyaingi kecantikan ibunya?
Ada, baru saja ia menemukannya setelah hampir 16 tahun tak ada yang bisa menggeser posisi ibunya di dalam hatinya sebagai perempuan tercantik. Posisi ibunya tidak tergeser, hanya saja Suna menobatkan perempuan ini menjadi perempuan tercantik nomor dua setelah ibunya.
Suna menemukannya setelah timnya memenangkan pertandingan pertama Summer Interhigh. Awalnya Suna hanya ingin mencari udara segar, jengah menghadapi kembar yang semakin ada-ada saja tingkah polahnya. Lalu, tiba-tiba saja langkahnya terhenti di antara keramaian. Matanya terpaku.
Seorang gadis seumuran dengannya, di antara kerumunan di dalam gor Tokyo, tubuhnya masih berbalut seragam SMA Inarizaki, rambut panjangnya tergerai indah, tangan lentik itu menggenggam tangan mungil seorang bocah laki-laki yang berusia sekitar 7 tahun, senyuman manis selalu tersungging di wajah cantiknya, tak pernah luntur sedetikpun di hadapan bocah laki-laki yang berada di genggamannya. Mulutnya itu menceritakan banyak hal, menunjuk sesuatu sambil menjelaskan dengan tersenyum terhadap bocah laki-laki di sebelahnya yang Suna simpulkan adalah adik dari sang gadis. Sesekali terkekeh saat melihat reaksi si bocah laki-laki yang sama antusiasnya. Tangan putihnya itu juga sesekali menyelipkan rambut indahnya ke belakang telinga disertai dengan senyuman manis dan tatapan lembutnya.
Cantik. Sangat cantik. Senyuman manis yang begitu tulus dan tatapan lembut yang menunjukkan kasih sayang. Suna terpesona dan ada gemuruh di dalam dadanya.
Tidak disangka, ternyata (Fullname) bisa secantik itu jika tersenyum. Padahal yang Suna tahu, jika di sekolah gadis itu dikenal pendiam dan jarang tersenyum. Wajahnya selalu menampakkan ekspresi datar dan ia irit bicara. Berbanding terbalik dengan apa yang dilihat Suna saat ini.
Semenjak saat itu, Suna tidak pernah meluputkan pandangannya dari (Name) saat di sekolah. Entah itu tak sengaja berpapasan di lorong, menatap lewat ujung mata dari meja yang ia duduki bersama anak voli saat di kantin, melirik sekilas saat (Name) berlatih panahan di lapangan, atau menatap dari jendela kelas di lantai dua saat kelas sang gadis sedang ada pelajaran olahraga di lapangan. Ya, intinya Suna memerhatikan (Name) dalam diam dan tak ada satupun teman-temannya yang menyadarinya hingga Turnamen Musim Semi tiba.
Suna merasa dejavu dengan keadaannya saat ini. Di tengah keramaian Tokyo Metropolitan Gymnasium. Sebelum pertandingan Inarizaki dengan Karasuno di Spring Interhigh Tournament, Suna memutuskan mencari udara segar. Langkahnya terhenti di antara keramaian. Matanya terpaku menatap gadis yang sama seperti beberapa bulan yang lalu.
Bedanya adalah bocah laki-laki yang dulu tangannya digenggam oleh sang gadis kini berada di dalam gendongan (Name) di punggung dengan seuntai kain yang mengikatnya. Suna terheran-heran. Mengapa adiknya digendong segala? Apa ia tidak bisa berjalan?
Berbagai pertanyaan yang muncul di dalam benak Suna terputus saat seseorang, yang ternyata Osamu, memanggilnya untuk bersiap-siap.
Suna menatap lekat (Name) sejenak. Gadis itu menyunggingkan senyum sambik berbicara, sesekali menoleh ke belakang menatap adiknya sambil terkekeh. Cantik.
Suna pun berlalu mengikuti Osamu. Dalam hati ia selalu berharap jika (Name) sering tersenyum seperti itu saat di sekolah. Suna sangat menantikannya.
**********
Siapapun pasti benci kekalahan, termasuk orang sedatar Suna Rintarou sekalipun. Ia memutuskan jalan-jalan di luar gymnasium, mencari udara segar. Teman-temannya yang lain berada di dalam selasar lobby, menunggu bus datang.
Suna menghela napas berat. Moodnya buruk karena kekalahan tadi. Ia menendang kerikil di jalanan yang dilewatinya. Melampiaskan kekesalan. Tangannya merapatkan jaketnya. Saat ia melangkah di area pancuran, di sana ia mendapati ada bangku taman di bawah pohon yang sedang diduduki oleh anak laki-laki berusia sekitar 7 tahun berpakaian tebal dan mengenakan kupluk. Dia kan bocah yang digendong (Name)!
Kini bocah itu terlihat berusaha menuruni bangku dan mengesot-ngesot, hendak mengambil sesuatu yang terjatuh di jalanan. Suna pun menghampirinya.
"Aspalnya dingin, jangan mengesot-ngesot seperti ini."
Suna mengambil barang yang hendak diambil bocah itu, ternyata sebuah botol kecil lalu mengangkat tubuh kecil itu dan mendudukkannya di bangku. Suna pun menyerahkan botol itu lalu mendudukkan diri di sebelahnya.
"Waa, terima kasih banyak telah menolongku! Eh, tunggu dulu, anda bukannya Suna Rintarou, middle blocker dari Inarizaki, ya??"
Anak laki-laki itu menatap Suna dengan tatapan berbinar dan senyuman lebar. Suna sedikit tergagap. "E-Eh, iya. Itu aku, tau dari mana?"
"Aku membaca ini dan tadi aku juga menonton pertandingan kalian melawan Karasuno."
Anak itu mengeluarkan sebuah buku dari tas kecil di sebelahnya yang ternyata buku berisi daftar pemain.
"Ah, Suna-san, namaku Ryo. Seharusnya aku tidak mengatakan ini, tapi izinkan aku mengatakannya! Pertandingan kalian tadi saat melawan Karasuno ... benar-benar luar biasa!! Yabai! Sugoi!! Pokoknya ... arrgh!!"
Ryo begitu antusias, matanya berbinar-binar, pipinya merona. Kedua tangannya mengepal, digerakkan ke atas bawah berkali-kali, gregetan. Senyumannya begitu lebar.
"Spike, set up, receive, servis, dan block yang kalian lakukan benar-benar .... 'gwaaaahh!!' Walaupun kemenangan tidak memihak kalian, tapi kalian luar biasa!! Mampu mengerahkan seluruh kekuatan kalian untuk satu pertandingan, hebat!!"
Saat melihat binaran mata Ryo, entah kenapa mood Suna tiba-tiba saja naik. Anak ini cerdas dan memiliki aura positif yang luar biasa. Kini Suna mengerti mengapa (Name) betah tersenyum terhadap Ryo. Pemuda itu pun tersenyum tipis.
"Terima kasih. Selanjutnya kami akan menang."
"Hm! Akan kutunggu!"
"Ngomong-ngomong Ryo, kaki kamu ... kenapa?" tanya Suna. Ia sudah sangat penasaran sejak tadi.
Binar di mata Ryo redup. Ia tersenyum sedih menatap kakinya.
"Lumpuh. Aku sudah tidak bisa berjalan lagi. Ini efek dari pengobatan."
Suna terdiam lalu menatap kedua kaki Ryo. Memang, jika dilihat baik-baik kaki itu seperti sudah tidak bisa digerakkan lagi. Apakah ia mengidap suatu penyakit yang sangat parah? Suna tidak berani bertanya lebih lanjut.
"Suna-san, apakah Suna-san mengenal seorang gadis bernama (Fullname)? Dia satu sekolah dengan Suna-san."
Baru saja Suna hendak menanyakan hal itu, tapi Ryo mendahuluinya.
"Iya, aku mengenalnya. Apa dia kakakmu? Aku tadi sempat melihat kalian di dalam gym sebelum pertandingan dimulai."
Mata Ryo berbinar menatap Suna.
"Ya, dia kakakku! Apa Suna-san berteman dengan neechan?"
Suna terdiam, ia menerawang. Sejauh ini ia belum ada interaksi dengan (Name) yang mengindikasikan sebagai teman.
"Bisa dibilang kakakmu itu teman seangkatanku. Tapi, kita beda kelas dan belum pernah berbicara satu sama lain. Aku tahu kakakmu karena dia pernah menjuarai kejuaraan panahan tingkat nasional dan dia termasuk 10 terbaik peringkat paralel. Ya, bisa dibilang hubunganku dengan kakakmu hanya sebatas saling tahu nama dan wajah."
"Apa ... neechan punya teman di sekolah?"
"Sejauh ini ... yang kulihat kakakmu itu penyendiri."
"Jaa ... apakah Suna-san mau berteman dengan neechan?"
Suna menaikkan alis, Ryo menatapnya dengan tatapan penuh harap. Sedikit heran dengan permintaan anak tersebut. "Memangnya kenapa?"
Ryo menerawang ke atas sambil tersenyum.
"Aku tidak ingin neechan kesepian lagi. Aku ingin neechan punya tempat berbagi cerita. Aku ingin neechan menikmati masa mudanya yang menyenangkan bersama teman-temannya. Maka dari itu, Suna-san mau kan berteman dengan neechan?"
Suna terdiam. Ia menatap kagum Ryo. Hei, dia baru berumur sekitar tujuh tahun tapi pikirannya sudah sampai sejauh itu. Anak yang cerdas dan begitu peka. Pasti (Name) sayang sekali dengan adiknya ini.
"Akan kuusahakan."
"Janji, ya?"
Ryo menyodorkan kelingkingnya. Suna pun menautkan kelingking besarnya dengan kelingking mungil Ryo. "Ya, aku janji."
"Ryo! Maaf menunggu la---eh?"
"Neechan!! Tadi Suna-san menolongku, aku tak sengaja menjatuhkan botolku ke aspal. Terus dia juga menemaniku selama di sini"
Suna pun berdiri saat (Name) datang. Gadis itu terlihat sedikit canggung dengan kehadiran Suna mengingat mereka belum pernah berbicara sama sekali. Di tangannya ia tenteng sebuah kresek kecil.
"Terima kasih Suna-san, telah menolong dan menjaga adikku .."
(Name) tersenyum, helaiannya sedikit terkembang oleh angin membuat Suna menahan napas. "T-Tentu ... s-sama-sama .."
Oh, astaga, mengapa ia tiba-tiba jadi gagap begini?
Suna mengalihkan pandangan ke arah lain. Semoga (Name) tak sadar adanya rona tipis yang muncul di pipinya.
"Neechan, apakah neechan mendapatkan kaus 'jalan seorang ace'?"
"Haah, kaus itu ternyata laku sekali. Untung saja ada satu pedagang yang masih ada stok dan menyediakan ukuran anak-anak."
Mereka pun berbincang-bincang sebentar lalu (Name) dan Ryo berpamitan hendak pulang. Suna membantu (Name) menggendong Ryo di punggungnya. Mereka membungkuk lalu melangkah menjauh sambil melambai ke arah Suna. Saat kepala (Name) mengarah ke depan, Ryo sedikit membalikkan kepalanya ke belakang lalu berucap tanpa suara sambil mengedipkan sebelah matanya.
Jangan lupakan janji kita, ya?
Suna hanya mengangguk sambil tersenyum tipis, menatap kepergian (Name) dan adiknya.
**********
"Boleh aku duduk di sini?"
Ini adalah pertemuan pertama mereka setelah beberapa bulan Spring Interhigh berakhir. Suna berdiri di hadapan (Name) yang sedang duduk di bawah pohon sakura yang berada di halaman belakang sekolah.
Gadis yang sedang membaca buku itu mendongak, iris kelamnya menatap Suna. Surainya tergerai indah, terhembus angin pelan. Kelopak sakura sedikit berjatuhan di belakang (Name). Suna membatu. Pertemuan pertama malah disuguhi kecantikan seperti ini? Oh, sial, jantungnya mulai bergemuruh.
"Tentu, lagian ini tempat umum."
Suaranya begitu halus dan tenang bagai gemericik air. Suna menahan napas lalu menghembuskannya pelan, meminimalisir rasa gugup.
Pemuda itu pun mendudukkan diri agak di belakang (Name), menyandar ke pohon. Tak disangka, setelah sekian lama ia akhirnya bisa mendekatkan diri dengan sang gadis. Ucapkan terima kasih pada kegiatan klub voli yang semakin menjadi-jadi membuatnya tak ada waktu lebih untuk berbicara lagi kepada (Name) hingga musim dingin berakhir dan sekarang berada di pertengahan musim semi.
"Suna-san, tumben sekali datang ke tempat seperti ini. Biasanya meramaikan kantin bersama teman tim volimu."
(Name) sedikit menoleh ke belakang, menatap Suna yang duduk bersandar di pohon sambil memejamkan mata.
"Mereka hari ini berisik. Aku butuh ketenangan."
"Bukannya setiap hari juga berisik, ya?"
"Hari ini berisiknya melebihi hari biasa."
Ya, benar. Semenjak pertemuan Suna dengan (Surname) bersaudara, Suna semakin sering memerhatikan (Name) dan gelagatnya itu disadari oleh Miya Osamu.
'Oi, Suna, kau akhir-akhir ini sering melamun. Apa yang kau lamunkan, sih?'
'Tentu saja melamunkan gadis yang ia taksir.'
Berkat ucapan ember Osamu, kantin jauh lebih berisik dari biasanya karena ulah anak tim voli yang menggoda Suna beberapa hari terakhir membuat yang bersangkutan kabur ke sini.
"Tidak disangka, lama-lama kamu tidak tahan juga, ya, dengan berisiknya teman-temanmu."
(Name) tertawa kecil sontak Suna membuka matanya sedikit, menatap (Name) yang sedikit menyipitkan matanya sambil tersenyum. Lagi dan lagi dada Suna bergemuruh.
Keheningan pun terjadi setelah percakapan pendek mereka. Namun, mereka sama-sama menikmatinya.
Hari-hari berikutnya, Suna datang lagi ke tempat yang sama setiap jam istirahat dan selalu menemukan (Name) yang sedang duduk sambil membaca buku atau sedang memakan bekalnya. Percakapan mereka pun lebih panjang dari sebelumnya. Obrolan pun terjalin di antara mereka.
Setiap jam istirahat, di bawah pohon sakura, mereka berbagi cerita tentang sekolah, hobi, teman-teman, masa depan, dan hal random lainnya membuat ikatan mereka terjalin. (Name) mulai berani membagikan senyumnya di hadapan Suna membuat pemuda itu harus pandai-pandai mengontrol gemuruh di dalam dadanya dan rona di pipi dan pada akhirnya ia hanya bisa mengagumi kecantikan senyuman (Name) dalam hatinya.
Sudah hampir tiga minggu semenjak obrolan pertama mereka di belakang sekolah. Selama itu pula Suna tak pernah bosan-bosan memuji kecantikan (Name) yang sedang tersenyum di antar guguran kelopak bunga sakura.
"Suna, aku masih tidak menyangka akan mempunyai teman bicara sepertimu. Terima kasih sudah mau menjadi temanku."
Suna terdiam saat melihat (Name) tersenyum padanya. Ya, gemuruh itu tak bosan-bosannya selalu datang saat senyuman itu terukir. Namun, tiba-tiba saja pemuda itu teringat sesuatu saat mendengar kata 'teman'.
Jangan lupakan janji kita, ya?
Astaga, mengapa ia bisa lupa tentang Ryo? Selama obrolan mereka di setiap jam istirahat, topik yang mereka bicarakan tak pernah menjangkau sampai topik keluarga. Hal privasi yang tak perlu diumbar-umbar.
Bagaimana bisa ia melupakan janjinya dengan Ryo? Bukankah berkat Ryo, niatnya untuk mendekati (Name) itu tumbuh? Tetapi, walau begitu, tanpa sadar ternyata ia telah menepati janjinya. Mereka telah berbagi cerita. Mereka telah menjalin pertemanan.
"Berarti aku telah menepati janjiku kepada adikmu. Ngomong-ngomong soal adikmu, maaf baru menanyakannya sekarang, bagaimana kabarnya? Aku benar-benar tidak kepikiran soal adikmu padahal kita sudah saling berbicara lumayan lama. Maaf ..."
Bukannya menjawab, (Name) malah menatap Suna yang duduk di sebelahnya dengan iris melebar. Senyumannya luntur. Ia berkata dengan tercekat, "Kamu ... janji apa sama Ryo?"
Suna mengerjap, balas menatap (Name). Ia bingung ingin menjawab atau tidak. Ah, lebih baik ia jujur saja.
"Aku berjanji kepada adikmu bahwa aku akan menjadi temanmu saat di Spring Interhigh beberapa bulan yang lalu. Ya, walaupun tanpa berjanji seperti itu ... se-sebenarnya aku memang ingin berteman denganmu. Tapi ... belum ada timing yang tepat untuk berbicara lagi denganmu .."
Suna mengalihkan pandangannya ke arah lain sambil menggaruk pipinya dengan telunjuknya.
Hening. Suna pun menoleh ke arah (Name). Gadis itu menatap langit, pandangannya menerawang.
"Ryo ... sudah tiada .."
Suna membelalak. Ia tercekat. Memorinya akan senyum dan tatapan berbinar Ryo berputar di kepalanya.
"Sejak ... kapan?"
"Dua hari sebelum pertemuan pertama kita di sini. Penyakitnya tambah parah setelah beberapa minggu pertemuan kita di Spring Interhigh. Berbulan-bulan kondisinya terus memburuk. Dan sekarang ... dia tak perlu berjuang lagi ..."
(Name) menjelaskan hingga suaranya mengecil dengan kepala tertunduk. Suna menegakkan diri. Ia menatap sosok (Name) dari samping. Suna tak bisa menebak ekspresi gadis itu saat ini karena sebagian wajahnya tertutupi helaian rambutnya membuat Suna gemas ingin menyelipkan helaian itu di belakang telinga (Name), namun pemuda itu menahan diri.
"Kau tahu Suna ... sebelum Ryo pergi dia berkata kepadaku 'Neechan jangan khawatir. Setelah ini neechan tak akan kesepian lagi karena aku telah menyiapkan satu orang teman untuk neechan.' Aku bingung siapa yang dimaksud 'teman' oleh Ryo. Lalu, dua hari setelahnya .... kamu datang. Ternyata 'teman' yang dimaksud Ryo itu ... kamu. Sekali lagi ... terima kasih Suna sudah mau menepati janjimu dengan adikku!"
Terima kasih Ryo, telah mempertemukanku dengan Suna
(Name) tersenyum lebar hingga matanya menyipit ke arah Suna. Air mata mengalir di pipi kanannya. Angin berhembus, helaiannya terkembang. Kelopak sakura berguguran.
Suna terpana dengan apa yang dilihatnya sekarang. Ia tak peduli dengan gemuruh di dalam dadanya yang semakin menjadi. Tak peduli dengan rona yang muncul di pipi. Suna ingin menikmatinya. Mengagumi betapa cantiknya (Name) lebih lama. Ia selalu jatuh dalam pesona senyuman gadis itu.
"Ah, bel masuk sudah berbunyi Suna, sebaiknya kita segera kembali ke kelas," ujar (Name) sambil mengusap pipinya lalu membereskan kotak bekalnya.
Suna pun berdiri sambil menepuk-nepuk celana belakangnya. Ia ke sini tidak membawa apa-apa. "Aku duluan, ya (Surname)."
Setiap kembali ke kelas, mereka selalu berlawanan arah. Suna berjalan ke arah kanannya, menuju lorong terbuka yang tembus ke dalam gedung dan tangga menuju lantai atas terpampang langsung. Sedangkan (Name) berjalan ke arah kiri, terdapat pintu masuk menuju dalam gedung dan langsung terpampang tangga ke lantai atas satunya lagi. Kelas mereka berbeda, pojok dengan pojok.
Baru saja dua langkah, Suna berhenti. (Name) baru saja berdiri sambil menenteng kain kotak bekalnya.
"(Surname) ..."
"Ya?"
(Name) menatap punggung Suna. Hening beberapa saat. "S-Suna?"
"Aku ingin mengakui satu hal bahwa .... kamu dengan senyuman itu .... cantik. Sangat cantik sampai .... aku selalu terpesona. Sering-seringlah tersenyum seperti itu ... (Name)."
Suna berbalik. Ia tersenyum manis terhadap (Name) hingga menciptakan lengkungan di kedua matanya. Terdapat rona tipis di kedua pipinya. Kelopak sakura berguguran menjadi latar belakangnya.
Kali ini (Name) yang terpana saat melihat senyuman Suna. Gadis itu merasakan gemuruh yang tak biasa di dalam dadanya saat melihat senyuman Suna. (Name) menunduk, menggigit bibir bawahnya. Tangannya yang bebas mengepal di depan dadanya. Ia merasakan panas yang luar biasa di kedua pipinya seiring gemuruh detak jantungnya yang begitu kencang.
Begitu juga dengan Suna yang sudah melangkah menjauh menuju kelasnya. Gemuruh di dadanya semakin menjadi begitu pula dengan rona yang terus menghiasi di kedua pipi dan senyum yang tak ingin berhenti tersungging.
Di bawah guguran kelopak sakura, dalam hangatnya musim semi.
Untuk pertama kalinya mereka jatuh cinta ...
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
next, siapa yang belum?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top