Sugawara Koushi ➵ Photo

(Name) menghela napas saat menatap gedung sekolah di depannya. Sepi. Jelas sepi, sudah senja, murid-murid sudah pulang.

(Name) menatap selembar foto di tangannya lalu menatap gedung sekolah itu lagi. Kemudian ia menghela napas panjang. Kelihatannya gadis itu menanggung beban hidup yang berat.

Kenapa semerepotkan ini, sih?

.
.
.
.
.
.
.

Haikyuu!! Fanfiction
Haikyuu!! © Haruichi Furudate
Photo © laughinapril_

Sugawara Koushi x (Fullname)
.
.
.
.
.
.
.
.

Happy reading!

(Name) sudah putus sekolah sejak setahun yang lalu. Ibunya, satu-satunya keluarga telah tiada. Ayahnya telah menghilang karena kecelakaan pesawat saat gadis itu berumur 12 tahun. Tak ada sanak saudara lagi karena kedua orang tua (Name) sudah yatim piatu dan anak tunggal. (Name) tidak punya siapa-siapa lagi selain dirinya sendiri.

Uang yang ditinggalkan Ibunya tidak cukup untuk membiayai sekolah dan kesehariannya. Oleh karena itu, saat kenaikan kelas dua, (Name) keluar dan berhenti. Lagipula ia tidak sepintar itu untuk bersekolah.

Dengan bakat fotografi peninggalan Ayahnya yang ia pelajari sebelum ayahnya pergi, (Name) mampu bertahah hidup. Gadis itu menjadi fotografer lepas lalu ia jual hasil jepretannya itu ke redaksi koran dan majalah-majalah. Awal-awal butuh perjuangan, kadang ia menerima upah yang hanya cukup untuk makan sehari.

Setelah melalui berbagai kesulitan, akhirnya (Name) direkrut menjadi fotografer tetap di sebuah redaksi majalah olahraga tahun ini. Tugasnya adalah memotret setiap jenis pertandingan olahraga. Minggu lalu ia ditugaskan untuk memotret segala hal yang ada Pertandingan Interhigh voli SMA di Miyagi.

Saat itu (Name) tak sengaja menemukan objek yang menarik perhatiannya lalu memotretnya. Kebiasaannya jika ada foto yang menarik minatnya ia akan memberi nama pada foto itu saat dipindahkan di komputer.

Sialnya data foto itu ikut terkirim ke redaksi beserta namanya dan atasannya melihat foto itu lalu mengikutsertakannya dalam lomba fotografi internasional. Tak disangkanya lagi, fotonya itu mendapat juara ketiga.

'Fotonya itu memiliki cerita tersendiri dibanding foto yang lain. Sisi story yang unik dan tak biasa. Begitu kata jurinya.'

(Name) masih teringat kata-kata atasannya atas pertanyaan mengapa foto hasil jepretannya bisa juara. Hadiahnya pun tidak main-main. Uang 800000 USD. Lomba itu diadakan oleh organisasi kolektor foto sedunia untuk mendukung karir para fotografer. Sinting emang. Yang lebih sinting lagi, fotonya berhasil menduduki peringkat ketiga dari sekian ribu foto yang diikutsertakan hasil jepretan orang-orang yang lebih pro. Sudahlah, (Name) tak tahu harus berkomentar apa.

Kini dalam pikirannya ia harus meminta maaf kepada objek foto karena telah memotret tanpa izin dan mengikutsertakan fotonya dalam sebuah lomba. Pasti mengganggu privasi sekali. Tak hanya itu, (Name) juga berniat membagi 60 % hadiahnya kepada si objek.

Saat ini (Name) masih mematung di depan gedung SMA Karasuno. Kini ia dilanda kebingungan. Bagaimana caranya menemukan si objek foto ini?

Murid-murid pasti sudah pulang, mungkin masih ada beberapa kegiatan klub yang berjalan. Tapi, kemungkinan kecil klub voli SMA Karasuno ini latihan mengingat kekalahan mereka saat melawan Aoba Johsai. Ya, objek fotonya ini merupakan pemain voli SMA Karasuno.

(Name) sangat menghindari bertanya dengan guru ataupun pihak sekolah, ia ingin menyelesaikannya secara pribadi.

Di tengah-tengah kebingungan, tiba-tiba saja ada seorang siswa yang baru keluar dari sekolah. (Name) pun menghampirinya.

"Anoo, sumimasen, saya ingin bertanya. Apakah kamu tahu siapa yang ada di dalam foto ini?"

(Name) menunjukkan fotonya.

"Oh, itu Sugawara Koushi-senpai. Dia anak klub voli. Eh, tunggu dulu, anda bukannya jurnalis yang ngeliput di Sendai waktu itu ya? Wah, apakah klub voli SMA kami akan diwawancara?"

"Hmm, ya begitulah. Apakah kamu tahu Sugawara-san ini berada di mana? Atau mungkin apakah kamu tahu rumahnya?"

"Ah, hari ini klub voli sudah menjalankan aktivitasnya. Anda bisa menemuinya di gym. Dari sini lurus lalu belok, langsung kelihatan kok gym-nya."

"Terima kasih banyak! Kalau begitu saya permisi dulu."

(Name) membungkuk lalu berjalan sesuai arahan siswa tadi. Dan benar saja, ia langsung menemukan gym-nya. Samar-samar ia mendengar suara pantulan bola.

(Name) berjalan mendekat. Pintu gym sedikit terbuka, (Name) mengintip sedikit, ingin mencari tahu keberadaan Sugawara Koushi.

"Ada yang bisa dibantu?"

(Name) tersentak lalu menoleh ke belakang. Seorang gadis berkacamata berkaus putih dan bercelana hitam panjang. Rambutnya digerai. Satu kata untuk gadis itu, cantik.

"Ah, maaf. Nama saya (Fullname) dari redaksi majalah olahraga A. Saya ingin bertemu dengan tuan Sugawara Koushi. Bisakah pertemukan aku dengan beliau?"

(Name) berdiri tegak sambil menunjuk nametag warna biru yang ia kalungkan. Ia berusaha terlihat profesional seperti yang diajarkan atasan.

"Oh, b-baiklah. Tunggu sebentar, akan kupanggilkan."

Gadis itu masuk ke gym dan tak lama kemudian muncul lah pemuda bersurai abu yang mengenakan kaus putih dan celana pendek hitam serta sepatu olahraga. Peluh menetes di dahinya menandakan ia baru saja latihan yang melelahkan.

Sugawara berdiri di ambang pintu lalu menutupnya. Ia mendekat ke arah gadis yang mengenakan kaus pollo berwarna hitam, celana jeans ketat semata kaki, sepatu kets hitam bertali putih, dan jaket kain berwarna cream. Rambutnya hitam sebahu belah pinggir, matanya kecoklatan. Gadis itu juga mengalungkan nametag bertali biru menandakan bahwa ia seorang pekerja.

Kesan dari Sugawara terhadap gadis itu. Manis.

Walaupun begitu, Sugawara sama sekali tidak mengenali gadis tersebut.

"Anoo...ada apa mencari saya?"

"Ah, perkenalkan nama saya (Fullname), saya pegawai dari redaksi majalah olahraga A. Saya ada hal yang perlu dibicarakan kepada anda. Sebelum itu, saya ingin meminta maaf sebesar-besarnya!" (Name) membungkuk 90° membuat Sugawara terkejut.

"E-eh?! Kenapa anda meminta maaf?"

(Name) pun bangkit lalu menjelaskan semuanya secara detail sambil menunjukkan selembar foto yang ada di tangannya. Setelah selesai menjelaskan, Sugawara melongo.

"S-Serius (Surname)-san? Padahal hanya foto seperti ini bisa juara tiga? Hadiahnya tak main-main lagi. Delapan ratus ribu dollar dan enam puluh persennya untukku? Anda yakin memberikannya kepada saya? Soalnya ini terlalu banyak."

"Itu setimpal, kok. Soalnya foto ini diupload di akun Instagram organisasi itu otomatis fotomu dilihat oleh seluruh dunia. Itu pasti mengganggu privasimu sekali. Jadi, enam puluh persen itu sebagai permintaan maafku karena telah mengganggu privasimu."

Sugawara memegang dagu sambil menatap selembar foto potret dirinya yang ditunjukkan (Name).

"Aduh, delapan ratus dollar terlalu banyak hanya untuk foto biasa ini. Kolektor tingkat dunia memang beda, ya. Hah, keluargaku bisa heboh kalo dapat uang sebanyak ini."

Pemuda itu tampak berpikir. Tak lama ia pun tersenyum lebar ke arah (Name) membuat gadis itu terpana.

"Saya ada ide bagus. Tunggu sebentar, saya ingin memanggil pelatih terlebih dahulu."

Sugawara pun masuk ke gym, sedangkan (Name) masih terdiam. Itu dia, senyuman dari Sugawara Koushi yang telah membuatnya terpesona. Semua berawal dari senyuman itu. Saat di Sendai minggu lalu, (Name) terpana saat melihat pemuda itu tersenyum di pertandingan. Senyuman lembut untuk menenangkan rekan-rekannya di saat pertandingan semakin sengit.

(Name) belum pernah melihat laki-laki yang memiliki senyuman selembut itu dan tanpa sadar ia mengarahkan kameranya lalu memotret pemuda itu. Ya, begitulah awal dari mengapa ia bisa berdiri di sini.

************

"Sugawara-san, anda tidak perlu serepot ini mengantarkan saya hingga pintu gerbang."

(Name) dan Sugawara berjalan beriringan menuju pintu gerbang.

Semua masalah sudah selesai. Sugawara tadi memutuskan untuk membagi jatahnya, 30% untuk keluarganya dan sisanya untuk klub voli SMA Karasuno. Hal itu disambut kehebohan dari pelatih voli mereka yang bernama Ukai-san juga seseorang yang ditelpon Ukai-san bernama Takeda-san. Lalu, anak klub voli keluar, penasaran apa yang terjadi, dan selanjutnya ... (Name) tak bisa menjelaskan. Saat itu ia merasa dikelilingi sekumpulan burung gagak yang berkoak-koak. Bahkan Sugawara yang tadinya sudah tenang malah ikut-ikutan heboh lagi. Ya, sebenarnya siapa yang tidak heboh jika mendapatkan uang sebanyak itu.

Selepas acara heboh-hebohan itu, (Name) pun mencatat nomor rekening atas nama Takeda Issei di ponselnya dan karena Sugawara tidak tahu nomor rekening keluarganya, (Name) pun menyimpan nomor kontak pemuda itu agar ia bisa menghubunginya guna menanyakan nomor rekening keluarganya.

Setelah itu, (Name) memutuskan untuk berpamitan dan Sugawara menawarkan untuk mengantarnya ke gerbang. Klub voli melanjutkan aktivitasnya lagi.

"Tidak apa-apa, tidak semerepotkan itu. Hanya ini yang bisa saya lakukan atas pemberian anda. Saya benar-benar berterimakasih."

Sugawara menampilkan senyumnya membuat (Name) lagi-lagi terpana. Dengan cepat (Name) mengendalikan diri.

"Aneh sekali, ya, kita bicara seformal ini. Padahal kita ini seumuran." (Name) terkekeh kecil.

"E-Eh?? Seumuran?? Saya kira anda orang yang termasuk babyface, soalnya anda sudah menjadi pegawai perusahaan, tapi wajahnya seperti anak SMA."

"Ya, begitulah. Aku putus sekolah setahun yang lalu, berarti jika aku masih anak sekolah tahun ini, aku sudah kelas tiga. Sama sepertimu, iya, kan? Ah, jangan terlalu formal seperti tadi, ya, kesannya aku tua sekali."

"O-Oh, begitu. K-Kenapa putus sekolah? Ah, maaf jika pertanyaannya menyinggung. Tidak dijawab juga tidak apa-apa, kok."

"Tidak apa-apa, kok. Aku bukan tipe orang yang suka menutup-nutupi. Saat pertengahan kelas satu SMA, Ibuku, satu-satunya anggota keluargaku, meninggal karena sakit akibat terlalu kelelahan bekerja. Ayahku sudah tiada karena kecelakaan pesawat saat umurku 12. Tak ada sanak saudara lagi, ayah dan ibuku anak tunggal dan kedua orangtuanya juga sudah tiada. Aku sebatang kara."

"Dan selanjutnya uang yang ditinggalkan Ibuku tidak cukup untuk biaya sekolah dan keseharianku. Akhirnya, aku pun memutuskan untuk putus sekolah dan memilih bekerja. Nilaiku di bawah rata-rata, jadi akan sangat parah jika aku masih sekolah lalu kerja part time."

"Aku pun menjadi fotografer lepas. Itu adalah satu-satunya yang tersisa dari Ayahku sebelum beliau pergi, fotografi. Ya, berbagai kesulitan dan masalah aku hadapi dari foto-fotoku yang ditolak oleh berbagai redaksi majalah dan koran, bahkan sampai ada yang dibuang lalu dibakar. Lalu, pernah juga aku menerima upah yang hanya cukup untuk makan sehari sehingga aku pun makan cuma satu kali sehari dalam seminggu, dan masih banyak lagi masalah lainnya. Tapi, aku terus berjuang dan bertahan hingga sebuah perusahaan redaksi merekrutku menjadi fotografer tetap mereka. Perusahaan itu adalah tempatku bekerja hingga saat ini dan aku pun mampu bertahan sampai sejauh ini."

Mereka terhenti di depan gerbang, berdiri berhadap-hadapan. Sugawara menatap (Name) dengan pandangan yang sulit dijelaskan.

"Pasti sulit sekali keadaanmu itu..."

"Ya, begitulah. Yang bisa kulakukan hanyalah bertahan." (Name) tersenyum, sedangkan Sugawara masih menatapnya dengan tatapan yang sama.

"Aku boleh minta foto yang ada di tanganmu?"

(Name) tersentak, ia baru sadar jika ia masih memegang potret Sugawara di tangan kanannya. "Eh, tapi ini sudah agak lecek. Aku bisa mengirimimu cetakan yang lain."

"Tidak apa-apa. Sebagai kenang-kenangan dari seorang fotografer profesional yang diakui dunia." Sugawara tersenyum tipis, sedangkan (Name) hanya terkekeh.

(Name) pun memberikannya kepada Sugawara. "Tapi, kalo kamu mau meminta cetakan yang lain, aku bersedia kok."

"Terima kasih. Saat mendengar ceritamu, aku tidak bisa membayangkan jika aku berada di posisimu. Pastilah sangat sulit ketika kamu tidak mempunyai siapa-siapa lagi selain dirimu sendiri. Aku juga tidak tahu apakah aku bisa bertahan sebaik dirimu atau tidak."

"Tapi, yang jelas usahamu selama ini membuahkan hasil (Surname)-san. Kamu mendapatkan pekerjaan tetap dan hasil jepretanmu diakui oleh internasional. Tuhan telah menjawab setiap perjuanganmu (Surname)-san..."

"Dan aku hanyalah bagian kerikil kecil dari perjuanganmu. Mungkin kamu bisa mendapatkan objek yang jauh lebih baik ketimbang diriku lalu mendapatkan juara satu. Tapi, tak apa, aku senang menjadi bagian dari kisahmu (Surname)-san.."

"Aku ... aku tak tahu harus berkata apa lagi. Yang jelas ... kamu adalah perempuan hebat (Surname)-san! Aku beruntung bisa bertemu perempuan sehebat dirimu. Tetap semangat dalam menjalani hidup (Surname)-san dan ... Ganbattene!"

Sugawara tersenyum lebar hingga matanya menyipit sambil mendekap foto itu di dadanya.

(Name) terpana lalu ingatan-ingatan masa lalu melesak di kepalanya. Ingatan masa-masa menyenangkan ketika Ayah dan Ibunya masih hidup. Senyuman ayahnya ketika ayahnya mengangkat dirinya tinggi-tinggi karena ia berhasil memotret untuk pertama kali. Senyuman ibunya ketika mengelus kepalanya sambil menceritakan kisah pengantar tidur untuknya. Senyuman keduanya ketika dirinya berulang tahun yang kesebelas.

Lalu, teringat kalimat Ayahnya setelah mengangkatnya tinggi-tinggi karena berhasil memotret untuk pertama kali.

'Setelah ini putri kecil Ayah akan menjadi fotografer yang hebat! Fotografer yang akan memotret keindahan dunia beserta isinya. Untuk itu, (Name) masih harus belajar teknik-teknik memotret dan Ayah siap mengajarimu. Ganbattene (Name)! Jadilah putri kecil Ayah yang dapat dibanggakan!'

Lalu kalimat terakhir Ibunya saat di rumah sakit.

'(Name) ... apapun yang terjadi setelah ini kamu harus tetap hidup. Apapun masalah yang kamu hadapi, kamu harus bertahan. Demi kehidupan yang telah diberikan Tuhan kepadamu, demi perjuangan ayah dan ibu yang telah mempertahankanmu. Ganbattene (Name)-chan! Maafkan Ibu yang tak bisa disisimu...'

Dan kini ada seseorang dengan senyuman yang sama sambil mengucapkan kata yang sama ada di hadapannya.

Sugawara dengan senyuman lebarnya mengucapkan 'Ganbattene' kepadanya.

Dadanya tiba-tiba saja terasa sesak. Begitu sesak. Dan air mata lolos di pipinya. (Name) pun terisak. Selama ini, (Name) terus berjuang dan bertahan. Ketika kesulitan datang yang bisa dia lakukan hanyalah menyemangati dirinya sendiri, memotivasi dirinya sendiri. Tak ada seorang pun yang bisa ia gantungkan karena yang tersisa hanyalah dirinya ini.

Ketika ada seseorang yang mengucapkan kata itu lagi kepadanya setelah kedua orangtuanya tiada, berarti ia ingin agar dirinya bertahan. Ia ingin agar keberadaannya tetap ada di dunia ini. Dan orang itu adalah Sugawara Koushi.

(Name) merasa begitu sesak dan tangisannya tak bisa berhenti. Semua perasaan yang ia pendam selama ini keluar begitu saja. Tiba-tiba sebuah rengkuhan hangat menyambutnya.

"Yosh, yosh, menangislah hingga tenang..."

Sugawara berujar lembut sambil mengelus surainya perlahan. Tangannya yang lain masih menggenggam fotonya di punggung (Name). Selanjutnya (Name) menangis sejadi-jadinya dalam dekapan Sugawara.

Dalam senja yang jingga ini, (Name) tak akan melupakan kejadian ini seumur hidupnya ketika ia bisa bertemu lagi dengan senyuman yang ia sangat rindukan.

Masih dalam dekapan Sugawara, masih dengan air mata yang mengalir di pipi, (Name) tersenyum hingga mata menyipit berbisik, "Terima kasih..."

Terima kasih Tuhan, terima kasih telah mempertemukanku dengan Sugawara Koushi. Dengan ini ... aku tahu alasanku untuk terus bertahan selama ini.

Fin



Author's note:

Panjang beut dah 😑

Hope you like it lah ya 😁

Jika kalian menyukai cerita ini silakan vote and comment sebagai bentuk dukungan kalian terhadap cerita ini. HANYA JIKA kalian menyukainya.

Thank you 😉

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top