Miya Osamu ➵ Take Me Home
Pertengkaran menjadi hal yang wajar bagi setiap pasangan. Bisa jadi untuk mempererat, bisa juga untuk merenggangkan. Bisa untuk intropeksi diri, bisa juga untuk meninggikan ego lagi. Yang jelas, setiap pertengkaran membawa dampak yang berbeda-beda tergantung sikap yang diambil dari kedua belah pihak.
(Fullname) dan Miya Osamu, sepasang kekasih selama lima tahun, untuk pertama kalinya mereka bertengkar hebat membuat (Fullname) memutuskan untuk pergi setelah sekian lama tinggal bersama.
Akan tetapi, setelah merenungi banyak hal, (Name) sadar bahwa ia yang salah. Seharusnya Osamu yang pergi, bukan dirinya. Seharusnya Osamu yang mengatakan muak, bukan dirinya. Seharusnya Osamu yang lebih lelah, bukan dirinya.
Selama ini Osamu selalu menjadi pendengar. Selama ini Osamu yang selalu menjadi tempat bersandar. Selama ini Osamu yang selalu memperhatikan. Selama ini Osamu yang selalu menjadi rumah. Selalu, selalu, selalu, selalu, dan selalu Osamu.
Hei, apakah ia pernah menjadi pendengar untuk Osamu? Apakah ia pernah menawarkan bahunya pada Osamu? Apakah ia pernah memberi perhatian lebih pada Osamu? Apakah ia pernah menjadi rumah untuk Osamu? Tidak! Tidak pernah!
Selama ini (Name) merasa hubungannya dengan Osamu sukses karena Osamu yang begitu dewasa, tak banyak bicara, tak mempermasalahkan hal-hal remeh, lebih suka bertindak. Tetapi (Name) salah, Osamu selalu mengiyakan (Name) dan (Name) merasa tak masalah karena Osamu mengiyakan. Hubungan mereka pun menjadi komunikasi satu arah. Selalu (Name) yang berbicara, selalu (Name) yang berpendapat, selalu (Name) yang didengar. Selalu, selalu, dan selalu. Hei, bahkan ia tidak pernah meminta Osamu untuk berpendapat.
(Name) sadar, ia egois. Sangat egois. Hubungan ini sudah berlangsung lima tahun, selama itu Osamu memendam semuanya lalu meledakkannya saat pertengkaran kemarin. Seharusnya (Name) mendengarnya, seharusnya (Name) bisa berpikir jernih.
Akan tetapi, malah ia yang berkata muak. Malah ia yang berkata lelah dengan hubungan ini. Hei, Osamu jauh lebih lelah, jauh lebih muak karena menghadapi keegoisanmu dasar gadis bodoh!
Kini sudah dua minggu lebih sejak pertengkaran mereka, sejak (Name) memutuskan pergi dan kembali ke apartemen lamanya. Namun, (Name) merasa semua begitu asing. Seluk beluk apartemen lamanya, jalanan sepi di depan, keramaian kota, semua terasa asing. Seluruh penjuru kota ini terasa asing bagi (Name). Ia seperti tersesat. Tetapi, sejak awal ia memang tersesat di kota ini, ia sosok yang asing di kota ini.
Ia dilahirkan dan dibesarkan di Kyoto. Seluruh keluarga besarnya di sana. Alasan mengapa ia bisa terdampar di Hyougo adalah dia diusir oleh keluarganya karena memilih untuk melanjutkan pendidikan di musik ketimbang bisnis seperti arahan keluarganya agar dapat melanjutkan bisnis keluarganya yang menggurita. Masa bodoh dengan kekayaan, ia lebih senang menghabiskan seluruh hidupnya dengan petikan gitar dalam keadaan miskin ketimbang menjadi milyader yang tidak bisa merasakan kebahagiaan sama sekali.
Alhasil ia dibuang oleh keluarganya, marga yang tersemat di namanya menjadi marga kosong yang tak berarti. Lalu, ia lulus ujian masuk di salah satu universitas di Hyougo dan sampailah ia di kota ini. Melanjutkan pendidikan dan hidup sendirian tanpa ada orang yang bisa digantungkan. Ia hidup dalam keterasingan. Kemudian ia bertemu dengan Osamu dan menemukan 'rumah' di dalam sosoknya.
Tetapi, ia telah pergi dari rumahnya setelah beberapa tahun tinggal bersama. Memang tak ada kata putus di antara mereka. Namun, (Name) merasa seperti memegang tali yang hendak putus. Tinggal menunggu waktu.
Maka dari itu, di setiap malam (Name) terjerat oleh ketakutan. Ia tersesat dan semua begitu asing. Ia ingin kembali.
Apakah Osamu akan memberinya kesempatan lagi?
*********
"(Name), bisakah kamu mengisi lagu untuk cafeku malam ini? Tapi, hanya satu lagu tidak apa-apa ya? Soalnya kita juga mengundang musisi underground lain. Hari ini cafe kami anniversary yang kelima dan ingin menghibur pelanggan dengan konser musik all genre. Untuk genre akustik kami memilihmu dan ah! maaf, kamu bawa gitar sendiri ya? Gitar milik kami rusak, senarnya putus dan belum selesai diperbaiki. Tidak apa-apa, kan?"
"Tidak apa-apa. Kira-kira pukul berapa aku bisa tiba di sana?"
"Konsernya akan dimulai pukul 7 malam, satu jam setelah cafe dibuka. Tapi, karena kamu penampil kedelapan, datang saja pukul setengah delapan. Setiap musisi maksimal lima menit dan lagunya terserah mau lagu apa, sesuai genre musisinya. Jangan telat ya, eh, tunggu, kamu bakal datang kan?"
"Iya, aku akan datang. Kebetulan akhir-akhir ini aku punya banyak waktu luang."
"Oke, sip kalau gitu. Ah, kalau soal bayaran jangan khawatir, dua kali lipat dari biasanya. Eh, kututup teleponnya ya. Sampai jumpa!"
"Ya, terima kasih Kaori. Sampai jumpa!"
(Name) meletakkan ponselnya di meja nakas. Ia tersenyum tipis, Kaori, teman pertamanya di sini, cerewet seperti biasanya. Setelah lulus kuliah, Kaori menjadi manajer di cafe milik kakaknya, sedangkan (Name) sendiri memilik karir yang cukup bagus. Ia pernah mengisi baking vokal di lagu-lagu milik beberapa penyanyi terkenal. Ia juga pernah menyanyi untuk mengisi acara di festival ataupun menjadi gitar pengiring penyanyi yang diundang. Memang luntang-luntung, ke sana kemari, tapi penghasilan yang dihasilkan sangat mencukupi kebutuhannya. Kini ia memiliki pekerjaan tetap, menjadi pengajar les vokal dan les gitar di salah satu lembaga musik terkenal.
Satu minggu ini ia memutuskan untuk mengambil cuti, ia ingin berisitirahat, menenangkan pikirannya.
(Name) berjalan menuju balkon kamarnya, memandang aktivitas jalanan kota yang begitu ramai dari lantai 18 gedung apartemennya. Langit siang begitu biru tanpa awan. Musim panas telah menyambut bulan ini. Angin berhembus, menerbangkan helaian panjang rambutnya.
Sudah hampir dua minggu lebih (Name) tidak bertemu dan berhubungan dengan Osamu. Tidak ada yang memulai komunikasi di antara mereka. (Name) sendiri belum sanggup untuk menghubungi pria itu, lebih tepatnya ia belum siap dengan apa yang akan terjadi setelah bertemu pria itu.
Rindu? Pasti
(Name) teringat saat siang-siang begini Osamu pasti sedang sibuk melayani pelanggan di kedai onigiri miliknya. Jam-jam makan siang. Tiba-tiba (Name) teringat senyum yang selalu terulas di wajah Osamu ketika melayani pelanggan, membuat dada (Name) terasa sesak.
Apakah Osamu bisa tersenyum biasa lagi setelah semua apa yang terjadi di antara mereka? Hah, tentu saja bisa, pria itu sudah bebas. Osamu punya banyak hal yang menyambutnya untuk tersenyum kembali. Pekerjaannya, keluarganya, teman-temannya, dan hobinya. Dunia menyambut Osamu begitu baik.
Sedangkan (Name), rasanya susah sekali untuk tersenyum dan tertawa kembali setelah apa yang terjadi. Alhasil hanya senyum tipis yang berhasil ia uarkan. Pekerjaannya menjadi kacau yang membuatnya memutuskan untuk mengambil cuti. Ia belum bercerita pada Kaori akan masalahnya dengan Osamu karena gadis itu benar-benar sibuk dengan pekerjaannya dan (Name) merasa tak enak hati jika mengganggunya. Keluarganya yang di Kyoto? Mana mungkin, ia sudah dibuang, selama ia tinggal di Hyougo tak ada satupun sanak keluarganya yang mencarinya dan menghubunginya.
Kini, (Name) merasa seperti dirinya saat baru pertama kali menginjakkan kakinya di sini. Asing dan tidak punya siapa-siapa. Sesak.
(Name) berjongkok, kedua tangannya memegang erat besi pinggiran balkon yang panas, kepalanya menunduk. (Name) menggigit bibir bawahnya, ia terisak.
Ia benar-benar tersesat dan tak tahu lagi harus kemana. Ia ingin kembali. Ke rumahnya. Ke Miya Osamu.
**********
"Apa aku datangnya telat?"
(Name) memasuki cafe lewat pintu belakang yang tembus ke dapur lalu berjalan menuju area dalam cafe dan di meja bar terdapat Kaori yang sedang duduk.
Kaori menyambut (Name) dengan sumringah. "Ah, (Name)! Akhirnya kamu datang juga, aku kangen sekali!"
Kaori memeluk (Name) sebentar lalu menatap sahabatnya itu sambil memegang kedua bahunya. (Name) mengenakan dress hitam selutut dengan lengan longgar sesiku. Ankle boot warna hitam bertali cocok sekali dengan dressnya dan rambutnya yang hitam dengan poni yang hampir menyentuh mata lurus tergerai hingga pinggang. (Name) juga merias wajahnya dengan make up tipis-tipis, terlihat cantik dan menawan apalagi dengan gitar yang berada di punggungnya. Tapi, Kaori menyadari satu hal, ada yang berbeda dari raut wajah (Name).
"(Name), kamu baik-baik saja kan?"
"Hm? Aku baik-baik saja kok. Ngomong-ngomong ini sudah penampil ke berapa?"
(Name) melongok-longok, menatap halaman luar cafe. Hari ini konsep cafenya adalah outdoor dengan panggung kecil untuk pemusik, sedangkan bagian indoor khusus untuk musisi yang diundang karena area dalam lebih kecil dari halaman luar. Cafe ini memang memiliki halaman depan yang luas sehingga mendukung konsep outdoor.
Kaori hanya menghela napas saat (Name) berusaha mengalihkan pembicaraan. Kebiasaannya jika terkena masalah.
"Ya, sudah duduk dulu di sini. Kau ingin memakan sesuatu? Kutraktir."
"Appetizer, apa saja, terserah. Aku belum makan malam soalnya."
"Churros red velvet mau?"
"Mau, tapi minumnya air putih saja, ya."
"Huh? Oh, oke deh."
(Name) pun duduk di salah satu kursi di meja bar yang ditunjuk Kaori tadi. Ia pun meletakkan tas gitarnya di sampingnya. Gadis itu menatap sekitar. Sebagian musisi yang berada di sini (Name) mengenalnya. (Name) bertopang dagu, ia menghela napas. Gadis itu kesini hanya membawa gitar. Ponselnya ia tinggal karena lagi di-charge dan ia tidak membawa dompet karena jarak antara apartemen dengan cafe ini sangat dekat, bisa ditempuh dengan jalan kaki.
(Name) hanya bisa menunggu sambil gabut. Tak selang berapa lama, Kaori datang dengan sepiring penuh Churros berwarna merah dan segelas air putih.
"Tada! Ini dia, red velvet Churros numero uno! Menu baru kami, silakan dicicipi."
"Thanks Kaori. Ngomong-ngomong aku tampil kapan?"
"Oh, tunggu bentar ..."
Kaori melongok ke luar sebentar lalu tiba-tiba matanya membola.
"Astaga, habis ini (Name)! Aduh, maafkan aku! Kalo begitu bersiaplah, tas gitar dan churrosmu akan kujaga di sini. Ah, ini diminum dulu biar suaramu merdu."
(Name) hanya terkekeh kecil sambil membuka tas gitarnya lalu meminun air putih yang disodorkan Kaori. "Terima kasih Kaori."
"Tampilkan yang terbaik (Name) dan juga sehabis tampil, mari bincang-bincang. Sepertinya kamu harus menceritakan sesuatu padaku," tukas Kaori sambil mengedipkan sebelah matanya. (Name) hanya mengangguk sambil tersenyum tipis.
Ia menghembuskan napas kasar lalu mencangklengkan gitarnya di depan dada dan mengangkatnya sedikit. (Name) berjalan ke luar. Langkah boot-nya menimbulkan suara tuk-tuk yang bergema. (Name) membuka pintu cafe, beberapa pasang mata tertuju padanya.
Gugup? Jelas. Sudah lama ia tidak tampil di depan publik. (Name) menaiki panggung, kini ia sudah bersiap dengan gitarnya di depan stand mic yang sudah disediakan. Matanya menatap ke depan, melihat setiap meja pengunjung.
Ada yang bersama keluarga, begitu ramai. Ada yang bersama teman-teman, penuh gelak tawa. Ada yang menyendiri, menikmati keramaian. Ada juga yang bersama pasangan, penuh aura kebahagiaan. Ada juga beberapa pasang mata yang sedang menunggunya.
(Name) tersenyum sendu. Rasa itu datang kembali, rasa terasingkan. Ia memejamkan mata dan mulai memetik gitarnya. Angin malam berhembus, menerbangkan helaiannya.
*you can play the mulmed above for best experience :)
"🎵I'm falling to pieces
But I need this, yeah I need this~"
Osamu, sekarang aku benar-benar hancur tanpamu, hancur hingga rasanya tak sanggup untuk berdiri. Tapi, aku tahu bahwa ... kamu lebih dulu hancur berkeping-keping dariku, sejak dulu dan menahan semuanya hingga tak tampak di depanku. Aku ... jahat sekali ya? *(Name) masih memejamkan mata sambil mempertahankan senyum sendunya*
"🎵 You're my fault
My weakness, when did you turn so cold~"
Aku membuat kesalahan yang seharusnya kusadari sejak dulu. Setiap malamku dipenuhi rasa sesal saat mengingat itu semua. Hei, 'Sam, apakah ... aku akan dimaafkan?
"🎵 You cut me down to the bone, now you're dancing all over my souls
I'm falling to pieces, to pieces, to pieces🎵"
'Sam, aku yakin kamu benar-benar terbebas sekarang. Kamu akhirnya melepaskan semuanya dan bisa lepas dari keegoisanku. Walau hubungan kita belum ada kata putus, tapi aku tahu ini hanya tinggal menunggu waktu. Tapi, walau begitu, aku ... belum sanggup ... sama sekali belum sanggup saat hari itu datang, 'Sam..
"🎵 But I still stay cause you're the only thing I know
So won't you take, oh, won't you take me home
Take me home, home, home
Take me home, home, home~
Take me
Take me
Won't you take me
Take me home~🎵"
Semua pengunjung cafe terkejut dengan nada tinggi dari (Name). Tidak biasanya ada musisi underground yang memiliki nada tinggi setara dengan penyanyi terkenal. Apalagi nada tinggi itu terdengar parau, (Name) benar-benar menghayati nyanyiannya. Sontak seluruh mata tertuju padanya yang sedang memejamkan mata sambil menghayati permainan gitarnya.
Ya, semua tertuju pada (Name), termasuk Miya Osamu di jajaran meja panjang yang berisikan teman-teman masa SMA-nya. Mereka sedang mengadakan reuni setelah sekian lama. Osamu yang dari awal sudah berada di sana, sejak konser kecil dimulai, ia benar-benar tidak menyadari penyanyi ke delapan ialah (Name). Sudah lama ia tidak mendengar nyanyian gadis itu.
Mata abu itu terus menatap (Name) di depan sana yang masih memejamkan mata sambil memainkan gitarnya.
"🎵 Round in circles
Here we go, with the higest highs and the lowest lows
But no shakes me like you do
My best mistake was you~🎵"
Setiap malamku dipenuhi sesak rindu akan kamu 'Sam. Segalanya tentang kamu selalu terepetisi di kepalaku. Setiap jengkal kenangan tentang kamu, setiap jengkal ekspresimu, setiap jengkal senyum yang kamu uarkan, semuanya selalu, selalu, dan selalu membuatku jatuh cinta
"🎵 You're my sweet affliction
Cause you hurt me right, but you do it nice~"
Sam, keegoisanku telah menyakitimu selama ini. Aku tak ingin menyakitimu lagi, tapi aku ... ingin kembali
"🎵 Round in circles
Here we go, oh yeah~🎵"
Seluruh pengunjung terdiam hening saat nada nyanyian (Name) begitu tinggi. Mereka terpana dengan nada tinggi (Name) seiring petikan gitarnya yang semakin cepat. Kemudian, tangannya berhenti memetik membuat keadaan menjadi benar-benar senyap. Lalu, suara tarikan napas (Name) terdengar.
"🎵 But I still stay cause you're the only thing I know🎵"
(Name) bernyanyi lirih sambil perlahan-lahan membuka matanya dan pertama kali yang ia lihat ialah Miya Osamu yang sedang duduk di meja ujung sana, di antara teman-teman SMA-nya. Mata abu itu menatap tepat (Name) di matanya. (Name) merasa sesak.
"🎵 So won't you take, oh, won't you take me home
Take me home, home, home~
Take me home, home, home~
Take me
Won't you take me
Take Take me home
Take me home, home, home~🎵"
Air mata berkumpul di pelupuk mata (Name). Pandangannya buram. Kemudian air mata itu jatuh, mengalir di pipinya. (Name) bernyanyi sambil terisak. Gitarnya terus ia petik, ia terus bernyanyi sambil menangis tertahan, matanya tidak lepas dari pria muda berambut abu di ujung sana. Seluruh pengunjung benar-benar terpaku terhadap (Name) karena penghayatan gadis itu, bahkan terdengar suara isakan dari salah satu pengunjung wanita.
"🎵Take me, I still stay, oh, won't you take me home
Take me home
Oh, I still stay, oh, won't you take me home~🎵"
(Name) mengakhiri nyanyiannya diiringi petikan gitar yang memelan. Gadis itu menunduk, ia menggigit bibir bawahnya, menahan sesenggukan. Hening. Tak lama kemudian terdengar suara tepuk tangan lalu disusul yang lain. Gemuruh tepuk tangan terdengar, hampir seluruh pengunjung berdiri memberikan apresiasi kepada (Name), bahkan sampai pejalan kaki yang lewat pun ikutan.
(Name) mendongak. Semua pujian tertuju padanya. Lalu, matanya tertumbuk pada Osamu. Pria itu juga berdiri sambil tepuk tangan dengan wajah datar, namun mata kelabu itu terkunci pada (Name).
(Name) pun mengendalikan diri. Ia pun membungkuk lalu berjalan cepat menuruni panggung sambil melepaskan cangklengan gitarnya. Saat hendak masuk cafe, ia disambut Kaori dengan tatapan khawatir.
"Hei, kamu kenapa (Name)?!"
"Kaori aku titip gitarku dan maaf aku belum mencicipi churrosnya. Aku akan cerita, tapi tidak sekarang. Aku pergi dulu. Permisi."
(Name) menyerahkan gitarnya pada Kaori lalu berjalan cepat menuju dapur, menghiraukan Kaori, menghiraukan sapaan koki yang sudah lama mengenalnya saat lewat dapur. Ia pun keluar cafe lewat pintu belakang.
(Name) berlari secepat mungkin, tanpa arah, tanpa tujuan.
Ia tak peduli kemanapun ia pergi, asal buka apartemennya, tidak kembali ke cafe Kaori.
Saat di atas panggung tadi, saat seluruh pengunjung menatapnya, ia malah merasa terasingkan, membuatnya sesak. Juga, tadi ada Osamu. Ia belum siap bertemu pria itu. Belum sanggup.
Ia pun berlari tak tentu arah. Ia hanya ingin menenangkan pikiran dan perasaannya yang mulai kacau balau. Suara tuk ankle boot- nya mengiringi langkahnya. Dress dan rambutnya berkibar melawan angin.
Setelah lama ia jauh berlari, (Name) pun berhenti. Tangannya bertumpu pada kedua lututnya, napasnya ngos-ngosan. Setelah berhasil mengatur napas, (Name) pun menatap sekitar, ingin mengetahui ia berada di mana. Saat ia melihat di seberang jalan sampingnya, matanya terbelalak menatap tak percaya.
Miya Onigiri dengan tanda close di pintunya. Itu rumah Osamu. Itu rumah mereka berdua selama beberapa tahun terakhir.
'Kenapa ... aku malah kembali ke sini?'
... dan semuanya merepitisi kembali segala tentang Osamu.
(Name) tercekat. Salah satu tangannya mencengkram erat dadanya, satunya lagi menutup mulutnya. (Name) pun berjongkok, ia menangkupkan wajahnya dengan kedua tangannya. Gadis itu terisak pelan. Tak pedulikan ia dengan bisingnya kendaraan yang berlalu lalang di jalanan sampingnya. Tak peduli lagi ia dengan pejalan kaki yang menatapnya.
"Osamu ... Osamu ... Samu ..."
(Name) memanggil Osamu disela isakannya. Ia tahu itu adalah hal yang sia-sia karena tak ada pemuda itu di sekitarnya.
"Samu ... aku ingin ... aku ingin kembali ... aku ingin menjadi pendengarmu ... aku ingin menjadi tempat sandaranmu ... aku ingin menjadi rumahmu ... aku ingin ... maafkan aku ... maafkan kesalahanku ... berikan aku kesempatan lagi ... berikan aku ... kesempatan .."
(Name) terus menangis. Ia menumpahkan segalanya. Bisingnya kendaraan dan langkah pejalan kaki mengiringi isakannya. Setelah lama menangis, tiba-tiba saja ia mendengar nyanyian rendah dengan suara bariton.
"But I stil stay cause you're only thing I want ..."
(Name) menghentikan tangisannya, ia mengatur napasnya lalu mengusap-usap kedua matanya. Ia pun mendongak. Tepat dua meter di depannya, seorang pria yang mengenakan kaos lengan panjang berwarna hitam, celana kain berwarna cream, dan sepatu kets berwarna putih sedang berdiri. Rambut kelabunya berkibar tertiup angin malam.
Miya Osamu, pria itu menatapnya. Ia baru saja menyanyikan penggalan lirik lagu Take Me Home milik Cash Cash ft. Bebe Rexha yang dinyanyikan (Name) di cafe tadi dengan lirik yang berbeda dengan lagu aslinya.
"Sa ... mu?"
(Name) menatap tak percaya dengan apa yang ada di depannya. Itu sungguhan Osamu? Bukan halusinasinya kan? Pandangannya sedikit mengabur karena air mata membuat tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Namun, (Name) disadarkan bahwa di hadapannya ini Osamu beneran. Pria itu melanjutkan nyanyiannya dengan nada yang sama namun lirik yang berbeda sambil melangkah mendekat ke arah (Name).
"Don't leave me again, oh, so please come back to home
Lets go home, home, home~
Lets go home, home, home~"
Kini, Osamu berlutut di depan (Name) sambil tersenyum tipis. Matanya berkaca-kaca saat menatap (Name). Tangannya terulur, ibu jarinya menghapus jejak air mata di pipi (Name) dengan lembut membuat gadis itu sedikit menganga dan membelalakkan matanya. Dengan suara bergetar, pria itu pun berujar,"Bukan salahmu (Name). Bukan kamu. Sejak awal aku yang salah karena tidak jujur padamu dengan apa yang kurasakan. Padahal kamu selalu memberiku kesempatan untuk jujur, tapi ... aku selalu mengabaikannya.."
"(Name), aku tidak ingin hanya kamu saja yang menjadi pendengar, yang menjadi tempat sandaran, yang menjadi rumah. Aku inginnya kita. Mari menjadi pendengar untuk satu sama lain, menjadi tempat sandaran untuk satu sama lain, menjadi rumah untuk satu sama lain. Mari ... untuk selalu jujur terhadap satu sama lain. Dengan begitu semua akan terkomunikasikan secara baik."
Osamu tersenyum lembut, matanya menatap lekat iris hitam kelam (Name). Masih dengan senyum terpatri dan tangan yang masih di sisi wajah (Name), pria itu berujar lembut,
"Lets go to our home ... (Name).."
Selanjutnya yang terjadi adalah (Name) menerjang Osamu membuat pria itu terkejut lalu jatuh terduduk sehingga (Name) berada di antara kaki Osamu. Gadis itu memeluk leher Osamu erat-erat, kepalanya ia benamkan di dada bidang Osamu, ia terisak jauh lebih keras dari sebelumnya. Sedangkan Osamu hanya tersenyum kecil kemudian salah satu tangannya memegang belakang kepala (Name) lembut lalu membenamkan wajahnya di bahu gadis itu, ia terisak pelan.
Malam musim panas. Kerlipan cahaya kota. Bising kendaraan. Langkah pejalan kaki.
Mereka telah menemukan rumah untuk satu sama lain...
Fin
Author's note:
Gila apa 3163 kata, dasar imajinasi bener-bener liar 🤦
Efek semester pendek, pelajarannya eksak semua, bikin kepala mampet akibatnya imajinasi pun bertumpuk dan menghasilkan cerita yang panjangnya naudzubillah, hadeh 🤧
Semoga kalian suka, kalo suka boleh komen alasannya kenapa kalian suka dan vote-nya juga
Kalo ga suka, ya gapapa, tinggal left aja 👌
See you next chap 😉
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top