Kunimi Akira ➵ Lazybones Love Story

Suatu percobaan yang mantap
Reader POV
I hope you like it

Aku tahu, Kunimi adalah orang yang tidak suka membuang-buang tenaga untuk hal-hal yang tidak perlu, ya sebut saja mageran. Dengan mata sayunya itu dan kuapan berkali-kali saat pelajaran di kelas, melekat sudah kata 'malas' yang melabeli tubuhnya.

Aku juga tahu dengan sifat pemalasnya itu, ia pasti sangat benci jika ada seseorang yang memaksanya untuk lebih bertenaga. Aku tidak akan pernah melupakan tatapan benci yang ia uarkan saat guru olahraga menyuruhnya untuk mengerahkan kemampuan yang ada saat penilaian lari.

Aku juga tahu bahwa aku dan Kunimi itu sangat berbeda. Aku akan mengerahkan segenap kemampuanku untuk hal-hal apapun. Berteriak-teriak, melepaskan emosi yang tak tertahan. Mulut yang tak akan berhenti membacot karena selalu menemukan hal-hal yang menarik untuk dibahas. Bergerak ke sana kemari karena penasaran. Tubuhku telah diracik oleh Tuhan untuk hiperaktif dan berapi-api.

Dengan begitu, kami berdua adalah minyak dan air yang mustahil bersatu. Aku dengan duniaku dan Kunimi dengan dunianya itu bagaikan kutub utara dan kutub selatan.

Namun, saat aku melihat Kunimi yang begitu mengerahkan tenaganya di pertandingan voli melawan Karasuno, rela berlari sampai menjatuhkan diri untuk menyelamatkan bola yang dirasa mustahil untuk diterima, saat itulah ... aku melihat pesona dari pemuda itu.

Ia bagaikan pahlawan kesiangan, seluruh kemampuannya ia kerahkan di saat-saat terakhir demi menyelamatkan tim. Itu sangatlah keren dan aku mengaguminya.

Sejak saat itu, diriku yang hiperaktif ini jatuh suka kepada si pemalas Kunimi.

Aku tahu sifat kami sangatlah berbeda, mustahil untuk bersama. Walaupun begitu, setidaknya aku ingin berjuang memuluskan kisah cinta masa SMA-ku. Aku juga ingin membuktikan sebuah rumor bahwa pasangan yang berbeda sifat itu sangatlah ideal karena saling melengkapi satu sama lain.

Ya, dimulailah kisah asmaraku dengan si mata sayu.

*******

"KUNIMIII!!! AYO KE KANTIINN!!!"

Aku teriak-teriak bagaikan toa, tangan berusaha menarik lengan baju Kunimi. Pemuda itu sedang menidurkan kepalanya di atas meja dengan kedua tangan sebagai bantal. Kepala yang tadinya menunduk itu bergerak perlahan ke arahku. Dengan mata sayu, dia berujar dengan nada super duper lesu.

"Tidak mau. Sendirian ke kantin, kan bisa? Ngapain ngajak aku?"

"Tapi kan kamu punya hutang roti yakisoba ke aku! Ingat, yang kemarin itu!"

"Bukannya kamu yang tiba-tiba ngasih ke aku? Aku kan tidak minta."

"Itu karena kamu belum makan apa-apa padahal aktivitas klub voli mau dimulai. Emangnya kamu tidak butuh tenaga setelah seharian belum makan apa-apa? Bersyukur sedikit karena sudah kupedulikan!"

"Kalau peduli dan memang ikhlas ngasih, kenapa sekarang malah nganggep itu hutang?"

Tanganku masih menarik-narik lengan seragamnya. Kunimi masih mempertahankan posisinya.

"Itu karena aku meninggalkan dompetku di kamar! Aku lapar dan aku butuh makanan!"

"Ya, sudah ini."

Kunimi menyodorkan beberapa yen di atas meja. Aku terdiam sejenak menatap uang itu lalu tanpa sadar alisku tertekuk.

"Kunimi tidak gentle! Kalau begini kesannya kan aku malak kamu! Ayo ikut ke kantin juga biar kamu terbiasa berjalan! Habis ini pelajaran olahraga, kamu juga harus mengisi tenaga, ayo makan bareng di kantin!"

"Iya, iya. Berisik sekali, sih!"

Akhirnya kami ke kantin. Aku tersenyum puas seraya menarik paksa tangan Kunimi. Tanganku yang satunya lagi menggenggam uang yang ada di atas meja tadi. Di belakangku, Kunimi menggumam tidak jelas, sepertinya kesal karena kelakuanku yang seenaknya. Aku juga merasakan berat saat menarik tangan Kunimi, sepertinya pemuda itu sengaja menyeretkan langkahnya.

Tidak masalah. Selama aku berada di dekat Kunimi, menggenggam tangannya, itu sudah cukup. Oh, sial! Tangannya yang kasar nan dingin itu begitu nyaman digenggam. Seketika jantungku begitu berisik dan panas menguar di pipi.

Aku memang jatuh cinta.

*********

Aku melangkah sambil bersenandung pelan. Sebuah kebetulan berharga menghampiriku tadi. Sepulang sekolah, aku mengunjungi ruang guru guna meminta soal latihan tambahan pelajaran Matematika dan Fisika kepada guru yang bersangkutan. Jujur saja, aku sangatlah bobrok di kedua mapel itu. Sebentar lagi ujian semester diadakan, setidaknya aku ingin menghindari lingkaran remidi selama liburan musim panas. Makanya kupersiapkan amunisi sejak sekarang.

Saat urusanku sudah selesai dan hendak keluar, tiba-tiba saja Mizoguchi-san, pelatih tim voli, memanggilku. Kebetulan mejanya dekat dengan pintu.

"(Surname), tolong berikan ini ke Oikawa, dia ada di gym. Kau tidak keberatan, kan?"

Begitulah hingga akhirnya aku membawa setumpukan dokumen sambil berjalan menuju gym. Kesempatan emas bisa melihat Kunimi bermain voli. Sungguh, Kunimi yang sedang bermain voli itu auranya sangat berbeda dengan Kunimi si pemalas saat di kelas. Auranya ... lebih kuat mungkin? Entah, aku tidak tahu.

Aku melongok ke dalam gym, di dalam hanya ada anak laki-laki semua. Walaupun aku orangnya pecicilan dan super berisik, aku juga masih punya rasa malu dan canggung saat berhadapan dengan lawan jenis yang jumlahnya banyak. Bingung, bagaimana caranya memanggil Oikawa-san yang sedang berdiri di pinggir lapangan sana?

Pada akhirnya aku terdiam lama, malah menonton aktivitas klub voli dari pintu gym. Latihan mereka hari ini membagi anggota menjadi dua tim untuk bertanding. Dalam pertandingan tersebut kulihat yang bermain anak kelas satu dan kelas dua. Para anak kelas tiga latihan sendiri di lapangan lain, berlatih servis, spike, dan lain-lain. Dan kulihat Oikawa-san berdiri di pinggir lapangan, mengamati adik-adik kelasnya bertanding.

Ah, itu Kunimi. Ia sedang fokus berjaga menjadi middle blocker di dekat net. Saat ia melompat, helaian itu berkibar seirama bulir-bulir keringat yang ikut terhempas. Lalu, saat ia menspike bola, ekspresi yang menyiratkan kepuasan saat bolanya berhasil menembus pertahanan. Mataku terfokus pada keberadaan pemuda itu, melupakan tujuanku yang sebenarnya untuk datang kemari.

Sudah kubilang kan jika Kunimi itu punya pesona tersendiri saat bermain voli dan aku selalu jatuh ke dalamnya.

Lumayan lama aku memfokuskan mataku pada Kunimi sampai akhirnya fokusku dibuyarkan oleh senggolan keras di bahuku. Baru saja aku hendak mengumpat, tapi aku urungkan saat mengetahui siapa tersangkanya. Kyotani Kentaro, berjalan masuk ke gym, melewatiku begitu saja tanpa permintaan maaf. Ya, wajar sih. Kakak kelas yang satu itu memang dikenal dengan sifatnya yang ... ah, sudahlah.

Tapi, tunggu, aku teringat lagi tujuanku ke sini.

"Anoo ... maaf, Kyoutani-san. Tolong berikan ini kepada Oikawa-san dari Mizoguchi-san. Beliau ada urusan sebentar, jadi datangnya akan telat."

Aku menyodorkan dokumen itu ke Kyoutani-san, sedangkan si senior itu malah menatapku dengan tatapan tidak suka. Ia terdiam, tidak menjawab. Tak lama kemudian, ia pergi. Mengabaikanku dan mengabaikan dokumen yang kusodorkan. Aku mengerjap. Melongo sambil menatap kepergian Kyoutani-san.

Ternyata seniorku itu berjalan menuju Oikawa-san, menepuk bahunya lalu menunjukku tanpa melihatku. Hei, itu tidak sopan! Walau hanya terpaut satu tahun, kau harus tetap menghormati orang yang lebih tua, Kyoutani-san!

Oikawa-san langsung memutar kepalanya ke arahku dan berlari-lari kecil menuju tempatku. Ah, entah kenapa aku gugup tiba-tiba. Dia Oikawa-san yang mempunyai segudang fans dalam sekolah maupun luar sekolah karena parasnya yang tampan juga kepribadiannya yang charming, tak lupa kehebatannya dalam permainan voli. Gini-gini aku juga bisa gugup kalau menghadapi orang ganteng.

Oikawa-san telah berdiri di hadapanku. Tinggi badannya begitu menjulang tinggi membuat tulang-tulangku yang masih dalam masa pertumbuhan menjerit-jerit insecure.

"Ada perlu apa ke sini?"

"Ini dokumen dari Mizoguchi-san. Beliau ada urusan sebentar, jadi datangnya agak telat."

Aku menyerahkan dokumen tersebut yang langsung diterima Oikawa-san.

"Okee, terima kasih ya, etto ... siapa namamu?"

"(Fullname) desu."

"Ah, terima kasih (Surname)-chan. Maaf, ya jika merepotkan."

"Hm, tidak apa-apa. Kalau begitu, saya permisi dulu Oikawa-san."

Sebelum benar-benar pergi, aku mencuri pandang ke arah Kunimi yang ternyata sedang menatap ke arahku juga. Wah, tidak disangka, aku ternotice olehnya. Sontak saja aku melemparkan senyuman kecil kepadanya. Kunimi tak membalas, ia langsung kembali fokus ke pertandingan dengan mata sayunya itu.

Ya, ampun. Padahal ternotice-nya cuma sepersekian detik, tapi mengapa aku bisa sampai sesenang ini?

**********

Saat itu adalah senja seperti biasanya di hari Senin. Aku melangkahkan kaki keluar area sekolah, pulang agak telat karena ada urusan di ruang guru. Persiapan amunisi sebelum ujian semester.

Saat kakiku hendak mendekat ke gerbang, kulihat seorang pemuda berdiri di bawah pohon sambil menatap ke atas. Itu Kunimi, sedang apa dia di sana?

"Kunimi, kamu sedang apa?"

Kunimi menoleh ke arahku dengan tatapan sayunya. Hei, sinar senja yang menjadi latar belakang sosok Kunimi itu membuat pemuda di hadapanku ini terlihat lebih menawan dari biasanya. Oh, shit, diriku jangan senyum terlalu lebar!

"Itu, di sana."

Kunimi menunjuk ke atas pohon. Mataku mengikuti arah yang ditunjuk Kunimi, seekor anak kucing mengeong-ngeong, ketakutan berada di atas pohon. Sepertinya ia tidak bisa turun.

"Kenapa kau tak menolongnya, Kunimi? Kau kan tinggi."

"Tidak sampai."

"Kenapa tidak memanjat?"

"Malas."

"..."

Tiba-tiba saja Kunimi meraih pinggangku, mengangkat tubuhku. Aku tersentak kaget diiringi jantung yang berpacu lebih cepat dan panas di pipi.

"Ku-Kunimi, apa-ap-"

"Ambil kucingnya."

Mataku menatap ke depan, kucing kecil yang sedang mencengkram erat batang pohon masih mengeong dengan keras. Oh, aku disuruh menyelamatkan kucingnya. Tapi, ada satu hal yang menggangguku ...

INI AKU SERIUSAN DIANGKAT SAMA KUNIMI? COWOK INI NGANGKAT AKU CUMA MEGANG PINGGANGKU LHO!! SEKUAT APA, SIH LENGANNYA ITU?!?! ATAU JANGAN-JANGAN AKUNYA SAJA YANG KELEWAT RINGAN MACAM GADIS ANOREKSIA??!?!

"Oi, cepat!"

Kesadaranku kembali. Tanganku pun terulur, meraih tubuh kucing itu. Sialnya, saat tubuh hewan itu sudah berada di dalam genggamanku, dengan kampretnya anak kucing itu malah mencakar mata kananku.

"Arrgh!"

"Hei, kau kenapa?"

Kunimi menurunkanku dan saat aku mendarat di tanah, langsung saja aku melepaskan anak kucing sialan itu yang langsung lari terbirit-birit entah kemana. Masa bodoh, dasar kucing tidak tahu diri, sudah ditolong malah mencakar penolongnya!

Untung saja saat dicakar aku langsung menutup mata sehingga yang terluka hanya di kulit kelopak mata. Walaupun, begitu, tetap saja perih dan gatal.

"Jangan dikucek-kucek!"

Tangan besar Kunimi menahan pergelangan tanganku yang hendak ke mata. "Tunggu bentar."

Aku menurut, terdiam sambil memejamkan mata. Tak lama kemudian, aku merasakan seperti kain yang basah menempel di mata kananku. Aku berspekulasi kain itu adalah sapu tangan yang dibahasi oleh air.

"Kubersihkan dulu darahnya."

Aku hanya menurut. Mata kananku diusap-usap menggunakan kain oleh Kunimi. Tangan satunya lagi berada di atas kepalaku, menahan kepalaku agar tidak gerak-gerak.

Walaupun aku memejamkan mata, aku bisa merasakan betapa mungilnya aku di tangan Kunimi. Tangannya yang menahan kepalaku itu kurasakan permukaannya di separuh kepalaku. Tangannya tadi yang menahan pergelangan tanganku saja terasa sangat besar, melingkari-tidak, melebihi jari-jari pergelangan tanganku.

"Sudah, coba buka matamu."

Aku pun mengerjap pelan lalu membuka mata. Yang kulihat pertama kali adalah Kunimi berdiri di depanku. Ia malah terlihat seperti mematung menatapku dan ... eh, aku tak salah lihat, kan? Pipinya itu ... merona? Uh, oh, kok ... dia malah terlihat manis saat merona seperti itu?

Uh, ok, jantungku mulai berisik dan ronanya mulai menular padaku. Tentu saja, soalnya saat ini Kunimi merona sambil menatap wajahku.

APA-APAAN COBA?!

"Ku-Kunimi?"

Oke, dia mulai tersentak saat aku memanggil namanya. Kemudian ia mengalihkan pandangannya ke arah lain sambil berdehem kecil. Rona di pipinya pun semakin terlihat samar. Apa dia .... sedang salah tingkah?

"Ayo pulang .."

Kunimi berbalik, berjalan meninggalkanku. Aku terdiam menatap punggungnya yang sudah keluar dari gerbang.

Saat melihat rona di pipinya tadi, saat melihat dia salah tingkah tadi, dan ajakan pulangnya tadi ....

Entah kenapa aku seperti melihat kobaran api harapan yang besar di hadapanku.

Aku mengulas senyum.

"Tunggu aku, Kunimi!!"

**********

Usahaku mendekati Kunimi semakin menjadi-jadi. Aku semakin sering mengerecokinya saat dia hendak bermalas-malasan. Contohnya,

"KUNIMII!! BANGUUN!!! AYO KE KANTIN!!"

"KUNIMII!!! Jalannya lebih tegak lagi, dong!"

"KUNIMII!!! AYO LEBIH BERTENAGA LAGI LARINYA!!! SEBENTAR LAGI FINISH, TUH!!"

"KUNIMII!!"

"KUNIMII!!"

"KUNIMII!!"

"KUNIMII!!"

Ya, begitulah. Tak bosan-bosan aku meneriaki namanya terus, membuat ia merengut sebal dan menyadari keberadaanku. Setiap kali aku berada di dalam jarak pandangnya, ia langsung kabur sambil menggumam sebal. Tentu saja kukejar.

Pemandangan aku yang merecoki Kunimi sudah menjadi makanan sehari-hari bagi teman seangkatan.

Semakin sering aku merecokinya, aku tak sadar bahwa aku telah melakukan kesalahan fatal.

"BISA TIDAK KAU BERHENTI MENGGANGGUKU?!?! KAU BERISIK, AKU TIDAK SUKA!! MENJAUH DARIKU, JANGAN RECOKI AKU LAGI!!"

Untuk pertama kalinya aku melihat seorang Kunimi Akira marah besar. Rahangnya mengeras, wajahnya memerah karena emosi. Tatapan benci yang begitu tajam dan volume suaranya tadi tidak main-main.

Aku merasa tertampar saat itu juga dan tersadarkan. Usahaku selama ini telah melenceng. Merecokinya saat ia malas-malasan sama saja menyuruhnya untuk menyukai hal yang ia benci, kan?

Maka dari itu aku mengujarkan kata maaf padanya, dengan khas ceriaku. Bertingkah seolah baik-baik saja lalu kami berpisah jalan pulang.

Saat di rumah, aku mengurung diri di kamar. Merenungi segala tingkahku kepada Kunimi. Aku memang telah kelewatan, telah menganggu zona nyamannya. Selama ini tak ada yang pernah protes soal tabiat Kunimi dan saat mengingat-ingat perlakuanku padanya, sepertinya aku yang satu-satunya protes (dalam lingkup murid) mengenai tabiatnya. Aku memaksakan agar tabiat malasnya itu hilang. Menyuruhnya berdiri tegak, lebih bertenaga, lebih ini, lebih itu, dan bla bla bla.

Setelah aku menyadari semua kesalahan fatalku, aku pun menangis sejadi-jadinya. Kuhabiskan malam itu dengan menangis, meluapkan perasaan kesal, kecewa, menyesal, dan patah hatiku dalam satu malam itu. Ya, patah hati.

'... KAU BERISIK, AKU TIDAK SUKA!! ...'

Aku terlahir dengan mulut yang akan selalu menyerocos tentang hal apapun, mustahil aku bisa diam dalam satu hari saja. Saat Kunimi mengucapkan kalimat itu pertanda bahwa dia sangat sangat sangat tidak menyukai sifatku. Kepribadianku dengannya sangatlah bertolak belakang, itu berarti semua sifat yang kupunya adalah hal yang sangat dibenci oleh Kunimi. Menandakan bahwa aku sudah tidak ada kesempatan lagi dan perjuanganku telah berakhir. Kunimi sejak dulu telah menatapku sebagai seseorang yang dibencinya dan itu tidak akan pernah berubah.

Keesokan harinya, aku menyapanya seperti biasa dengan senyuman lebar khasku. Seperti kemauannya saat itu, aku tidak merecokinya lagi. Hanya sekedar sapa dan gurauan. Yang lain bertanya apa yang terjadi, kujawab saja sejujurnya, ia tidak suka direcoki dan aku sudah keterlaluan. Alasan awalku suka merecokinya hanya sekadar iseng belaka, namun malah semakin berlebihan. Teman-temab yang lain hanya ber'oh' ria. Tidak bertanya lebih lanjut. Tentu saja soal rasa suka dan patah hati kututup rapat-rapat, tidak ada yang mengetahuinya sama sekali.

Kupikir saat aku menangis semalam suntuk setelah kejadian itu, saat aku bersedih-sedih dalam waktu satu malam itu, aku bisa kembali normal lagi dan langsung melupakan rasa patah hati. Prinsipku adalah bersedih-sedihlah pada hari itu juga jika kau merasakan duka, jangan biarkan sampai berlarut-larut. Hal itu selalu manjur setiap kali aku mendapat musibah atau sedih karena sesuatu. Aku menangis semalam suntuk lalu keesokannya aku merasa plong dan bebanku seperti terangkat.

Namun, patah hati ini beda cerita. Tidak bisa dihilangkan dalam kurun waktu 12 jam saja. Butuh waktu yang entah sampai kapan. Rasa cinta adalah perasaan yang sangat krusial di dalam diri manusia, jika itu terluka, menyembuhkannya tidak segampang membalikkan telapak tangan.

Aku masih bisa tersenyum menyapa Kunimi, kami sekelas, tak mungkin tidak bertegur sapa. Tindak-tandukku sama seperti biasanya, cerewet, pecicilan, berapi-api. Tapi, lama-lama aku tak sanggup. Rasa patah hati ini semakin hari terasa begitu menyakitkan. Ditolak sebelum menyatakan perasaan itu sangatlah menyakitkan, lebih menyakitkan dari ditolak langsung.

Pada akhirnya kisah cinta SMA-ku berakhir pahit dan rumor yang mengatakan bahwa pasangan berbeda sifat itu ideal karena saling melengkapi hanya berlaku untuk sebagian orang saja, tidak denganku.

Sudah hampir dua minggu dan patah hatiku belum sembuh. Aku menatap langit biru berawan, membolos pelajaran terakhir dan kabur ke rooftop. Duduk meluruskan kaki sambil bersandar di dinding yang bagian bawahnya teduh.

Aku menghela napas. Kenapa aku belum bisa menghilangkan perasaanku pada Kunimi, ya? Apa karena aku belum menyatakan perasaanku? Tapi, kan sama saja, mau menyatakan atau tidak ujung-ujungnya aku ditolak. Sekilas rasa nyeri dan perih muncul di dalam dada. Menyesakkan. Sampai kapan aku akan terus bermuram diri?

Entahlah, memikirkan semuanya terasa begitu lelah. Bersikap seolah diriku baik-baik saja juga sama lelahnya, dua kali jauh lebih lelah. Untuk itu aku datang ke sini, ingin mengistirahatkan diri dengan menatap langit. Ya, walaupun aku harus melakukan kebohongan, berdalih kepada ketua kelas, izin ke UKS karena sakit perut akibat tamu bulanan.

Masa bodoh dengan etika dan tata tertib. Badung sekali-kali tidak masalah, kan?

Aku menyandarkan kepalaku di tembok. Angin berhembus pelan, membawaku dalam kantuk yang luar biasa. Kesadaranku lama-lama di ambang batas. Kupejamkan mata hingga akhirnya semua benar-benar gelap dan aku terlelap.

Sudah berapa lama aku tertidur? Entah, aku tak tahu. Di tengah-tengah dalam buaian ketidaksadaran, indraku menyadari ada seseorang di depanku. Aku berusaha menggapai-gapai kesadaran dan membuka mata lebar-lebar. Tapi, tidak bisa. Pada akhirnya aku berada di antara sadar dan tidak sadar, mata terbuka setengah dengan pemandangan yang buram.

Walaupun buram, aku masih bisa mendeskripsikan apa yang ada di depanku. Seorang pemuda berjongkok dengan jarak yang sangat dekat, hidungku bisa mencium aroma mint yang menguar dari orang ini. Pakaiannya didominasi warna hijau dan putih mengingatkanku seragam tim voli sekolahku. Lalu, wajahnya yang sedang menatapku .... kulit putih itu ... hidung yang mancung ... bibir tipis yang mengulas senyum manis .... mata sayu ... helaian yang dibelah tengah di dahi .... bukankah dia ini Kunimi?

Perlahan aku merasakan hangat menjalar di pipiku, seperti tangan yang menangkup di pipiku. Hei, di depanku ini beneran Kunimi?

Kesadaranku yang berada di ambang batas membuatku tak percaya jika di depanku adalah sosok Kunimi yang nyata, ini pasti bunga tidur. Tapi, kenapa otakku harus memproduksi mimpi berupa Kunimi yang sedang berjongkok di hadapanku, menangkupkan salah satu tangannya di pipiku, mengulas senyum manis sambil menatap wajahku???!?! Kenapa?!?!

Aku ini sedang patah hati karena pemuda ini dan pemuda ini sangat tidak menyukaiku, tapi kenapa aku mimpi sehalu ini woey?!?! Kenapa aku harus bermimpi seindah ini di saat hatiku sedang hancur berantakan gara-gara si objek mimpi?!?!



"Jahat ..."

Ya, hanya itu bisa yang kukatakan di antara kesadaran yang perlahan mulai tenggelam.

*********

Aku terbangun dengan terkaget-kaget dan rasa tidak percaya yang luar biasa. Tentu saja, saat aku terbangun, aku menyadari bahwa kepalaku bersandar pada sesuatu keras yang berbalut kain yang ternyata adalah bahu manusia. Setelah, tersadar sepenuhnya ternyata bahu yang menjadi sandaran tidurku adalah milik Kunimi Akira yang kini masih terlelap dengan kepala sedikit menunduk, badan bersandar di dinding dan kaki yang diluruskan.

Ngomong-ngomong soal kaki, aku merasakan sesuatu yang hangat menyelimuti kakiku. Sebuah jaket dengan perpaduan warna putih dan hijau tosca. Sengaja ditaruh di sana demi menutup bagian kakiku yang terekspos di antara potongan rok pendek dengan kaus kaki panjang sebetis.

Aku hanya bisa cengo sambil menganalisis keadaan. Bertanya-tanya mengapa bisa seorang Kunimi tertidur di sebelahku? Tunggu, apa jangan-jangan .... yang tadi itu memang bukan mimpi?! Yang tadi itu memang beneran Kunimi?!

Dia datang ke sini lalu berjongkok di depanku melakukan hal yang sama seperti kulihat tadi lalu pada akhirnya memutuskan ikutan tidur di sebelahku dan kepalaku pun bergerak secara tak sadar, bersandar ke bahu Kunimi.

WHAT THE HELL?!?! KENAPA SEPERTI ADEGAN DI MANGA SHOUJOU?!?!

Aku pun duduk bersimpuh di dekat Kunimi dengan jaketnya yang berada di pangkuanku. Menatap wajahnya yang damai terlelap. Saat ini pikiranku benar-benar ngeblank. Aku tidak tahu harus melakukan apa dan bagaimana sikapku saat Kunimi bangun nanti. Aku benar-benar bingung, berbagai pertanyaan berputar di kepalaku.

Mengapa Kunimi berada di sini? Apakah yang kulihat tadi, yaitu Kunimi yang tersenyum kepadaku sambil menangkupkan pipiku, itu benar-benar nyata atau memang mimpi?

Tunggu dulu, Kunimi saat ini mengenakan seragam tim volinya, juga jaketnya ini. Langit juga sudah menjadi jingga, pertanda sore menjelang. Pertanda aku tertidur cukup lama dan aku yakin bel pulang sudah berbunyi dari tadi.

Hei, seharusnya kan dia latihan saat ini! Mengapa dia membolos?

"(Surname), kau sudah bangun?"

Oh, shit, pemuda ini sudah bangun. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali kemudian menegakkan tubuh.

Apa yang harus kulakukan?

"Kamu ini, jika ingin membolos bilang saja, tak usah berdalih ke UKS segala. Susah nyarinya, tahu!"

Huh, Kunimi mencariku?

Kini aku menatap wajah Kunimi dan baru tersadar ada lebam biru di sudut bibirnya, seperti habis ditonjok. Sontak tubuhku bergerak sendiri, tanganku terulur menyentuh lebam itu.

"Ini kenapa?"

Kunimi sedikit tersentak saat aku menyentuhnya begitu juga denganku yang terkaget karena atas tindakan tanpa sadarku. "Eh, maaf!"

Saat hendak menarik tanganku kembali, Kunimi malah menahannya. Menggenggam punggung tanganku dengan tangan besarnya yang kasar nan dingin itu. Oh, sial, perasaan ini muncul lagi seolah melupakan penolakan yang pernah dilakukan Kunimi.

"Kindaichi menyadarkanku ..."

Huh? Aku mengerjap bingung, tidak mengerti maksudnya.

Kini Kunimi menatapku dalam sambil menggenggam tanganku yang terulur di dekat bibirnya. Aku terdiam, hanyut dalam pesona iris hitam kelam itu. Seperti blackhole yang siap menghisapku kapan saja. Perasaan yang sangat ingin kuhilangkan ini malah muncul kembali ke permukaan, tambah menguat.

Rasa sakit patah hati dan lelah kulupakan begitu saja. Seolah hari-hari yang penuh kemuraman karena pemuda ini tidak pernah terjadi.

Tiba-tiba saja, dalam satu tarikan, aku sudah berada di dalam dekapan Kunimi. Pemuda itu merengkuhku, membenamkan wajahnya di bahuku. Tangannya mengelus suraiku perlahan.

Aku membatu. Lidahku kelu. Tidak memberontak sama sekali. Aku benar-benar terkejut, otakku tidak bisa diajak berpikir, jadi yang kulakukan hanya diam, menerima perlakuan.

"Maaf sudah membentakmu waktu itu ..."

Tangan Kunimi masih mengelus suraiku, begitu perlahan, begitu hati-hati menyiratkan bahwa aku adalah sosok yang berharga. Astaga, jantungku, sudah berapa lama aku tidak merasakan sensasi debaran seperti ini?

"Rasanya sakit saat kau benar-benar menjauhiku dan begitu sepi saat tidak mendengar teriakanmu memanggil namaku lagi ..."

Kunimi mengeratkan pelukannya dan semakin membenamkan wajahnya di bahuku. Okey, jantung, bertahanlah, aku belum mau mati muda. Okey, pipi, panaslah, tapi jangan sampai membuatku hangus terbakar. Aduh, siapa pula yang menggelitiki perutku?

"... aku kesepian tanpamu ..."

Oke, bolehkah aku berharap bahwa kisah cinta masa SMA-ku memiliki plot twist tak terduga?

"Aku ingin kau meneriaki namaku lagi, menyuruhku ini itu. Tapi, jangan meneriakkan nama 'Kunimi' lagi. Aku ingin kau .... meneriakkan nama 'Akira' dan teriakkan lebih keras saat aku sedang berjuang dalam pertandingan .."

"Aku menyukaimu ... jadilah kekasihku .."

Plot twist itu memang sangat tidak terduga saat di dalam cerita fiksi apalagi di dalam kehidupan nyata. Ditambah saat mengalaminya sendiri.




Hei, jantung, masih sanggup bertahan kan?
























Hshshshs, selalu jatuh cinta sama cerita dengan gaya sudut pandang pertama, tapi kalo nyoba sendiri malah hancur amburadul. Cerita ini adalah percobaan yang entah ke berapa sekian. Semoga suka dan terima kritikan pedas plus saran manisnya.

Ah, satu lagi, cuma ngasih tahu ...









Tamatlah sudah cerita Haikyuu~
:')

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top