Ujian Kesabaran
Siang hari, saat Dirga pulang kerja, melihat dari jadwal, seharusnya Aurora dinas hari ini. Namun, Dirga mendapati Aurora tidur siang di kamar. Dia mendekat lalu menyentuh keningnya, Dirga cemas dan takut jika Aurora sakit. Merasakan ada sentuhan di keningnya, Aurora lantas membuka mata.
"Maaf, terganggu, ya?" ucap Dirga menurunkan tangannya.
Aurora menggeliat sambil menguap. Dia menatap Dirga yang sedang mengendurkan dasinya.
"Pesawatmu baru landing atau udah dari tadi?" tanya Aurora enggan bangkit dari tempat tidur, dia malah memeluk guling erat.
"Sebenarnya sudah dari tadi, cuma mampir dulu ke rumah Aditya."
"Ngapain?"
"Cuma pengin lihat mobil barunya."
"Mobil apa?"
Dirga hanya tersenyum, tak menjawab. Lantas dia masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sejenak Aurora mengingat bahwa dulu Dirga memiliki mobil impian. Sejak menikah dengannya, dia tak pernah lagi mengungkit hal itu.
Apa mobil impian Dirga yang dibeli Aditya? batin Aurora.
"Yang!" pekik Dirga dari kamar mandi.
"Iya, apa?" sahut Aurora tersadar dari lamunannya.
"Sabun mandinya habis. Tolong ambilin dong."
Aurora lalu mengambil sabun mandi di laci, tempat dia menyimpan stok. Setelah itu, dia membuka pintu kamar mandi. Dirga berdiri di bawah shower dengan keadaan polos. Aurora menginginkan suaminya, dia lalu menutup pintunya lagi dan menunggu Dirga selesai mandi.
Setelah menunggu hampir 30 menit, akhirnya Dirga keluar. Rambutnya basah, setengah telanjang, dan hanya mengenakan handuk yang dililit pada pinggang.
"Sayang," panggil Aurora saat Dirga berjalan ke arah lemari. Dirga menoleh. "Sini deh!" Aurora menepuk sampingnya. "Aku mau ngomong sesuatu."
"Ngomong apa?" tanya Dirga menghampirinya lalu duduk di sebelah Aurora.
Sengaja Aurora menjatuhkan diri di tempat tidur dan mengangkat satu kaki hingga piyamanya tersibak, mengekspose pahanya yang mulus. Dirga tersenyum miring, dia langsung paham maksud istrinya itu.
Peka dengan kode itu, Dirga lalu menindihnya. Dengan suara lembut sambil mengelus rambut Aurora, Dirga kembali bertanya, "Ada apa? Katanya mau ngomong sesuatu?"
"Mmm ... aku ...." Aurora sengaja menghindari tatapan Dirga. Jemarinya yang lentik bergerilya di belakang telinga sampai leher Dirga.
Sekujur tubuh Dirga seperti tersengat aliran listrik, merinding, dan seketika eraksi. Dirga membalik posisinya, kini Aurora yang berada di atas tubuhnya.
"Ngomong aja. Jangan ragu, aku enggak akan marah," ujar Dirga menarik tali piyama Aurora.
Karena malu, Arora berbisik di telinga Dirga, "Aku pengin punya anak."
Detik itu juga tubuh Dirga kaku, aliran darahnya seperti berhenti. Detik berikutnya bibir tersungging senyuman lebar, tubuhnya kembali lemas, dan semangatnya membara.
Tanpa pikir panjang, Dirga berusaha mewujudkan keinginan istrinya, begitupun keinginannya sejak lama. Siang di cuaca panas, mereka bergumul.
***
Satu bulan terlewati, Aurora melihat tanggalan. Dia merasa telat datang bulan. Harapan baru untuknya dan Dirga. Pagi-pagi sekali dia semangat bangun, sebelum salat Subuh, Aurora menyempatkan diri untuk mengetes urinnya. Dia sudah menyiapkan banyak test pack di laci nakas.
"Bismillah," ucap Aurora menutup mata sambil mencelupkan ujung test pack di urin.
Setelah menunggu beberapa saat, Aurora mengangkat test pack-nya. Dia sangat tak sabar ingin melihat hasilnya. Aurora membayangkan jika hasilnya positif, dia akan memberi Dirga kejutan saat nanti pulang dinas.
Perlahan Aurora melihat, senyum yang tadi mengembang, kini pudar. Aurora harus menelan pil pahit. Hanya ada satu garis merah. Dengan perasaan kecewa, dia masukan hasil tes pertamanya ke laci. Lalu dia menelepon Dirga, mencari ketenangan hati.
"Halo, apa, Sayang?"
"Aku negatif." Suara Aurora parau dan terdengar berat di ponsel Dirga.
"Sabar dong. Kita usaha lagi, mungkin yang kemarin usaha kita kurang maksimal. Jangan sedih, masih ada hari esok, kita coba lagi, ya?"
Paling bisa Dirga menenagkan hati istrinya.
"Maaf, ya?"
"Kenapa minta maaf?"
"Enggak tahu, pokoknya aku minta maaf."
"Iya, iya, cintaku. Udah, jangan sedih lagi. Dua flight lagi, terus aku pulang."
"Iya," sahut Aurora lemas.
"Sekarang kamu bersih-bersih, terus salat Subuh."
"Iya. Kamu hati-hati, ya?"
"Iya, Sayang. Udah, ya? Aku mau persiapan dulu, pesawatku 30 menitan lagi landing."
"Oke, Sayang. Aku tunggu kamu di rumah."
Panggilan pun berakhir. Aurora lantas membersihkan diri dan salat Subuh.
***
Bulan demi bulan berganti. Setiap saat Aurora berharap ada keajaiban. Pagi ini untuk yang ke sekian kalinya dia melakukan tes kehamilan di rumah. Samar-mara saat masih nyaman tidur, Dirga mendengar tangis dari kamar mandi.
Kejadian itu bukan pertama kalinya, tetapi sering Dirga dengar. Dengan berat, Dirga membuka mata lantas turun dari tempat tidur. Dia membuka pintu kamar mandi pelan, Aurora sudah tersungkur di lantai sambil menangis, menelungkupkan wajahnya di sela-sela lutut yang dia tekuk. Dirga jongkok di depannya lalu mengelus kepalanya.
"Udah dong, jangan nangis lagi," ucap Dirga sangat lembut.
"Aku takut ...," ujar Aurora mendongakkan kepalanya, air mata sudah membanjiri pipinya. "Gimana kalau aku ...."
"Ssssst, jangan mikir macam-macam. Nanti kita ke dokter saja, ya? Kita konsultasi sama dokter."
Dengan lemas Aurora mengangguk. Dirga membantunya berdiri, setelah itu mereka membersihkan diri dan salat Subuh berjamaah.
Setelah sarapan, mereka pergi ke rumah sakit. Dirga sangat sabar menemani Aurora menunggu dokter kandungan yang belum sampai di rumah sakit itu.
"Kamu mau sesuatu?" tanya Dirga tak tega melihat kesedihan Aurora.
"Enggak." Aurora lalu menyandarkan kepalanya di bahu Dirga.
Hampir satu jam mereka mengantre. Kini tiba waktunya mereka masuk ke ruang praktik dokter kandungan. Pertemuan kali ini selain konsultasi, mereka juga akan mengecek kesehatannya.
Setelah semua hasil keluar, mereka pulang dengan perasaan sedikit lega. Tak ada kendala untuk mereka memiliki anak, hanya saja mereka harus mengubah bola hidup agar lebih sehat dan istirahat yang cukup. Terutama Aurora, dia disarankan dokter agar tidak stres, itu dapat berpengaruh pada kesehatannya.
Sampai di rumah, Aurora langsung ke kamar sedangkan Dirga membiarkannya minuman hangat. Setelah itu dia bawa ke kamar.
"Yang, ini diminum dulu," kata Dirga meletakkan cangkir tehnya di nakas.
"Makasih," ucap Aurora lemas, tak bersemangat.
"Obatnya jangan lupa diminum," ujar Dirga mengingatkan obat yang tadi dokter berikan.
"Iya."
Segera Aurora mengambil obat itu di tas lalu meminumnya. Setelah itu, dia kembali berbaring di ranjang. Aurora belakangan sering melamun. Dirga lalu merangkak ke tempat tidur dan memeluknya dari belakang. Dia mengelus rambut Aurora pelan dan mencium pucuk kepalanya.
"Kamu mikirin apa sih?"
"Andai dulu aku enggak menunda, mungkin kita sekarang udah punya anak, ya?"
"Jangan ngomong gitu ah! Kita tambahi doa sekaligus usahanya. Ayooo dong, jangan putus asa gitu."
"Tadi dokter bilang faktor usia juga mempengaruhi. Usiaku sudah masuk kepala tiga."
"Ah, enggak masalah. Mukjizat Allah lebih dasyat. Dokter kan, sebagai perantara, Allah yang memberi. Udah, ya, jangan mikir macam-macam. Kita bobo aja. Nanti malam aku berangkat dinas."
Beberapa menit hening, Dirga sudah memejamkan mata. Sedangkan Aurora masih saja melamun. Hingga akhirnya ponsel Dirga berdering. Aurora mencari sumber suara, ternyata dari saku celana Dirga. Dia merogoh lalu mengecek si penelepon. Tertera 'Mama' di sana. Aurora lalu menggeser tombol hijau.
"Assalamualaikum," sahut dari seberang setelah panggilannya dijawab.
"Waalaikumsalam. Iya, Ma?"
"Dirga lagi apa, Ra?"
"Baru saja tidur, Ma."
"Tolong nanti kalau dia sudah bangun sampaikan, enggak usah beliin Mama sama Papa tiket. Kami batal ke Jogja."
"Loh, kenapa, Ma?"
"Papamu tiba-tiba ada kerjaan. Kliennya yang dari Singapura mau datang besok."
"Oooh, iya deh, Ma. Nanti aku sampaikan.
"Gimana tadi hasilnya, Ra? Apa kata dokter?" tanya Rosita, sejujurnya dia sudah ingin sekali menimang cucu dari Dirga dan Aurora.
Wajah Aurora kembali lesu lalu menjawab, "Tadi sudah cek kesehatan, semuanya normal, Ma. Tapi, kok aku belum juga hamil. Kenapa, ya, Ma? Aku takut karena faktor usia yang bikin aku sulit hamil."
Aurora menghela napas berat, terdengar sampai ke telinga Rosita. Hati kecil Rosita menjadi tak tega, dia merasakan kesedihan menantunya itu.
"Sabar dong, Ra. Kamu ingat kisah Nabi Ibrahim alaihissalam dan istrinya, Sarah? Allah itu bijaksana, dia yang paling paham kapan akan menitipkan anugrahnya kepada kita. Tak ada yang mustahil jika Allah sudah berkehendak, nyatanya Sarah bisa hamil di usianya 60 tahun."
"Iya, Ma. Tapi aku sungkan sama Dirga."
"Loh, kenapa kamu punya pikiran begitu?"
Sambil menatap wajah Dirga dan mengelus pipinya, Aurora berkata, "Dia sudah pengin gendong anak kami, Ma. Apalagi Aditya sudah punya anak, teman-teman seusia dia juga banyak yang sudah punya anak dua."
"Sabar, usaha, dan berdoa. Udah, kamu jangan mikir macam-macam, jangan stres dan makan yang sehat. Besok, Mama pulang arisan mampir ke rumah kamu. Kita bikin sesuatu. Gimana?"
Begitulah Rosita, pintar mengalihkan kesedihan seseorang.
"Iya, Ma."
"Kamu tidur siang dulu, nanti agak sore Mama kirimi sup jagung, ayam goreng, sama dadar jagung. Mama suruh Pak Sapto yang antar, ya?"
"Iya, Ma. Makasih."
"Jangan sedih lagi, ya?"
"Iya, Ma."
"Udah dulu, ya, Sayang. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Dukungan orang-orang terdekat yang saat ini Aurora butuhkan. Dia bersyukur memiliki mertua yang baik dan bisa memahaminya. Aurora letakkan ponsel Dirga di laci nakas lantas dia memeluk Dirga dan menelungkupkan wajahnya di depan dada bidang suaminya.
***
Minggu berganti bulan. Sudah tiga bulan mereka melakukan program hamil. Semua saran dokter dilakukan dengan baik.
"Jika bulan depan belum ada hasil, kami sarankan untuk melakukan bayi tabung."
Kata-kata dokter itu terus terngiang di telinga Aurora. Dia bersandar di kaca jendela mobil sambil memijat pilipisnya. Dirga menoleh ke samping, dia mengelus kepala Aurora.
"Sayang, kamu mikirin apa sih? Jangan banyak pikiran, nanti kamu stres."
"Tadi kamu dengar, kan, kalau bulan depan aku belum juga hamil, dokter nyaranin ...."
"Sayang, udah dooong. Jangan terlalu dipikirkan." Dirga berucap sangat lembut. "Eh, kita makan di tempat biasa yuk!" Dirga berusaha mengalihkan kesedihan Aurora.
"Aku enggak selera makan, Yang."
"Tapi aku laper. Masa kamu tega biarin suamimu yang ganteng ini kelaparan."
Detik itu juga Aurora menoleh Dirga, dia menahan tawanya. Dirga melirik.
"Kenapa? Mau protes?" kata Dirga.
"Kata siapa kamu ganteng?" Aurora melepas tawa sambil mencolek pipi Dirga.
"Banyak yang bilang. Tapi yang paling sering Mama."
"Idih, PD banget sih!" Aurora mencolek pinggang Dirga hingga menggeliat kegelian.
"Menurutmu aku ganteng enggak?" Dirga menaik-turunkan kedua alisnya sambil tersenyum manis.
"Mmm ...." Aurora memerhatikan setiap inci wajah Dirga. "Enggak!" ucap Aurora mengerling.
"Kok kamu mau nikah sama aku? Kan, aku enggak ganteng."
"Tapi dompet kamu tebel, kan?"
Dirga tertawa lepas.
"Selain sumbu pendek, kamu matre juga, ya?"
"Realitas, Yang. Kalau kamu malas kerja terus enggak punya uang, ogah banget nikah sama kamu. Gimana nanti bayar listrik, bayar air, beli pulsa, bayar wifi, beli beras, dan sebagainya. Hayooo, itu semua pakai duit, kan?"
"Ih, istriku pinter banget sih."
"Istrinya siapa dulu! Fajar Dirgantara Surya!" ucap Aurora membanggakan dirinya sendiri.
Gelak tawa pecah di dalam mobil. Aurora bisa sejenak melupakan kesedihannya.
#######
Aku ikut doain, Ra, semoga cepet positif, ya? Aku udah enggak sabar pengin gendong ponakan online😚😅.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top