Terhalang Restu Anak
Sebulan setelah pernikahan, hubungan Aurora dan Dirga tetap masih seperti yang dulu, dingin. Aurora berharap Dirga bisa mengubah sikapnya yang cuek kepadanya. Namun, Aurora sendiri juga gengsi ingin menunjukan perhatiannya kepada Dirga.
Walhasil sekarang malah mereka saling tak acuh, kesannya justru hidup sendiri-sendiri meskipun Dirga setiap bulan mentransfer uang ke rekening Aurora sebagai tanggung jawabnya. Tetap Aurora belum punya keinginan tinggal bersama Dirga.
Saat menjenguk Suci yang melahirkan di rumah sakit, Dirga datang sendiri. Semua keluarga sudah tahu jika Dirga dan Aurora tinggal terpisah.
"Sendiri, Ga?" tanya Rosita yang sedang menggendong cucu pertamanya, berdiri di samping boks bayi.
Suci menikah di usia 28 tahun karena terlalu fokus dengan kariernya. Kini usianya 30 tahun saat melahirkan anak pertama. Usianya dan Dirga hanya selisih dua tahun. Orang-orang mengira mereka kembar, padahal sundulan.
"Iya, Ma," jawab Dirga lesu karena dia juga pagi tadi baru pulang dinas.
"Aurora enggak diajak?" Kali ini Suci yang bertanya.
"Enggak tahu dia di mana, Kak."
"Kok enggak tahu sih?" sahut Samsul yang duduk di samping tempat berbaring Suci menoleh ke arah Dirga yang berdiri di samping Rosita menjenguk keponakannya.
"Emang Dirga enggak tahu, Pa. Dia dinas atau enggak."
"Loh, kalian itu suami-istri, tapi enggak saling tahu. Gimana sih?" sungut Rosita tampak kesal.
"Terus aku harus gimana, Ma? Setia detik tanya dia di mana? Sudah makan belum? Lagi apa? Gitu? Kami bukan ABG yang alay. Kalau lapar juga pasti dia makan."
"Kalau dia kangen?" sela Suci cepat.
"Pasti ngajak ketemu. Gitu aja kok repot kalian ini. Hidup itu simpel, kalian aja yang bikin ribet," ujar Dirga lalu duduk di sofa pojok ruangan itu.
Semua menghela napas berat, entah apa yang ada dalam pikiran Dirga, mereka saling pandang.
"Bujuk adikmu, Mama udah enggak tahu gimana lagi bilangin dia," ujar Rosita kesal kepada putranya.
"Entar aku yang bicara sama Dirga. Mama tenang saja," ucap Suci tersenyum manis kepada Rosita.
Dirga pindah ke sofa, mengobrol dengan Yogi, suami Suci. Suci menghela napas dalam, hanya dia orang yang bisa membujuk Dirga.
***
"Ra, lo enggak tinggal serumah sama Kapten Dirga?" tanya Desti saat mereka makan siang di restoran bandara Soekarno Hatta.
"Enggak, Des." Aurora menggeleng lemah sambil mengunyah makanannya.
Sebenarnya dia kepikiran Dirga, tetapi dia tahan agar tidak menghubunginya lebih dulu. Aurora menguji Dirga, kalau suaminya itu peduli padanya, pasti dia akan menghubungi dulu. Namun, sudah hampir seminggu Dirga tak menghubungi. Dirga tidak akan mengirimkannya pesan atau telepon kalau tidak Aurora dulu.
"Kenapa?" tanya Desti sambil memutar spagetinya dengan garpu lalu menyuapkan ke mulut.
"Aku enggak tega ninggalin Mama sendiri, Des."
"Kapten Dirga enggak mau kalau suruh tinggal di rumah lo?"
Aurora menggeleng.
"Ck, kalian tuh gimana sih? Udah berumah tangga malah tinggal terpisah." Desti tak mengerti jalan pikiran sahabatnya dan Dirga. "Harusnya kalian bisa nurunin ego, kamu atau dia yang mengalah."
"Biarin deh, Des."
"Lo enggak takut dia cari wanita lain?"
Deg! Seperkian detik jantung Aurora seperti berhenti berdetak. Lantas dia menatap Desti dengan pandangan yang sulit diartikan.
"Kapten Dirga pria normal, Ra. Dia udah punya istri, kalau lo enggak tinggal serumah, misalkan dia lagi pengin, gimana? Gue enggak nakuti lo, tapi kita bicara realitasnya."
Aurora kebayang kejadian malam pertama mereka, dia menolak saat Dirga mencumbunya. Rasa takut menjalar ke sekujur tubuh Aurora.
"Kalau dia mau, silakan," ucap Aurora sok cuek, padahal dadanya sakit saat berucap seperti itu.
"Yakin lo?"
Terdiam! Aurora memikirkan ulang perkataannya.
"Jangan asal bicara, Ra. Ucapan itu doa loh."
"Terus gue harus gimana, Des? Gue enggak akan tega ninggalin Mama tinggal sendiri. Keluarga gue tinggal Mama, Des."
"Dibicarakan sama Kapten Dirga dong, Ra. Gue yakin, pasti Kapten Dirga tahu jalan keluarnya. Kalian itu cuma butuh saling terbuka."
"Dia aja enggak terbuka, gue ngapain terbuka sama dia."
"Ck, Ra, memang Kapten Dirga orangnya begitu. Tapi setidaknya lo harus bisa memahaminya. Lo pernah cerita sama gue, kalau Kapten Dirga biarpun cuek bisa memahami lo. Jangan cuma maunya dipahami, egois namanya itu. Lo juga harus bisa memahaminya."
"Gimana caranya gue mahami dia, Des? Yang ada di otak dia cuma Lili, Lili, Lili!"
"Lo tahu dari mana? Emang lo cenayang yang bisa tahu isi hati dan pikiran orang?"
"Feeling."
"Kalau feeling lo salah gimana? Pikiran lo yang terlalu sempit, Ra."
"Kenapa sih lo malah bela dia. Apa mentang-mentang lo pernah suka sama dia. Makanya lo ...."
"Cukup, Ra!" sentak Desti langsung memotong ucapan Aurora. Dia langsung berdiri. "Gue peduli sama lo karena gue sahabat lo dan sayang sama lo. Kalau pikiran lo begitu, maaf, Ra .... Permisi," ucap Desti tersinggung dengan ucapan Aurora yang asal tadi. Desti langsung ke kasir membayar makanannya lantas pergi.
Aurora termangu, dia masih terkejut dengan sikap Desti. Ini kali pertama Desti marah padanya. Apa aku salah berucap? batin Aurora seperti orang linglung.
Ponselnya berdering, dia terkejut lalu melihat si penelepon. Nomor baru, Aurora mengabaikannya. Lantas ada pesan masuk dari nomor yang sama.
Terima kasih sudah memberikan waktu untuk aku bersama suamimu.
Kedua alis Aurora bertautan. "Apa maksudnya?" ucap Aurora lirih.
Kecurigaan mencumbui pikirannya, Aurora justru berpikir macam-macam tentang Dirga.
Siapa kamu?
Karena terbakar api cemburu buta, Aurora merespons pesan itu. Namun, pesan itu tidak dibalas. Sambil tangan gemetar, Aurora mengetik pesan untuk Dirga.
Oh, jadi gitu? Mentang-mentang enggak tinggal serumah, kamu seenaknya sendiri. Oke, Ga. Aku juga bisa!
Saat ini pikiran dan perasaan Aurora kacau. Desti, sahabat yang selama ini dekat dan mendengarkan keluh kesahnya pergi. Dirga? Entahlah, di mana sekarang Aurora tak tahu. Pikirannya kalut, Aurora membayar makanannya lalu pergi dari tempat itu.
Dirga yang saat ini masih di rumah sakit membaca pesan Aurora, tiba-tiba mengerutkan dahi.
"Kenapa sih nih anak," gumam Dirga lalu mengetik balasan untuk Aurora.
Oke.
Aurora yang membaca balasan Dirga lalu berjalan ke toilet. Dia memecahkan kesedihannya di sana. Aurora menangis membekap mulutnya.
"Aku menyesal menikah sama kamu, Ga," gumam Aurora, kepalanya dipenuhi pikiran yang macam-macam.
***
Sabtu malam, Panji datang ke rumah Vera membawa martabak manis rasa cokelat kacang kesukaan Vera. Setelah memencet bel, Panji menunggu. Tak berapa lama ada wanita cantik membukakannya pintu.
"Selamat malam, Aurora," sapa Panji dengan senyuman ramah.
"Malam, Om," jawab Aurora sinis tanpa senyuman.
"Mamamu ada?"
"Silakan masuk, saya panggilkan dulu," ujar Aurora memasang wajah tak suka lantas dia pergi begitu saja ke dalam, membiarkan Panji duduk sendiri di ruang tamu.
Sampai di ruang makan, Aurora menyampaikan kepada Vera, "Ma, ada tamu."
"Siapa, Ra?"
"Lihat saja sendiri," kata Aurora duduk lalu mengambil makan malamnya.
Vera melihat ke ruang tamu, terdengar sapaan ramah Vera kepada Panji sampai terdengar di ruang makan. Aurora yang mendengar hal itu semakin tak suka.
"Sudah tua ganjen," ucap Aurora lirih, entah mengapa hatinya tak rela jika Vera punya teman pria.
Notif pesan masuk di ponselnya, dia berharap itu Dirga. Lagi-lagi pesan dari nomor yang sama mengirimkannya foto Dirga.
Dia malam ini sedang bersamaku di Jogja. Kami RON dan menginap di hotel.
Aurora curiga jika Dirga selingkuh dengan pramugari, mungkin bisa jadi salah satu temannya. Karena orang itu bisa mengirimkannya foto saat Dirga dinas. Bahkan ketika Dirga berada di rumahnya.
"Ra, Om Panji boleh makan malam sama kita, ya?"
Aurora terkejut dan langsung meletakkan ponselnya di meja makan saat Vera datang sambil bicara padanya. Ingin menolak, tetapi Panji sudah di ruang makan.
"Ji, maaf makan malam kita apa adanya," ujar Vera menjamu tamunya dengan baik.
"Enggak apa-apa, Ver. Mending ada yang masakin, daripada aku, setiap hari beli."
"Loh, kamu enggak ada ART yang khusus masakin, Ji?" tanya Vera sambil mendekatkan nasi dan lauk pauk di depan Panji.
"Ada,Ver. Cuma kalau makan sendiri rasanya ada yang kurang. Kenikmatannya kurang."
"Iya, benar, Ji. Aku juga gitu, kalau Aurora lagi dinas. Malas makan, soalnya enggak ada temannya."
"Oh, iya. Dirga kok enggak kelihatan?" tanya Panji berusaha mengajak Aurora mengobrol. Dia ingin mengambil hati Aurora agar mereka bisa ngobrol nyaman.
"Enggak tahu, Om," jawab Aurora ketus.
"Dia lagi dinas, Ji. Tadi pagi telepon aku," jawab Vera dengan senyum lebar.
Dia bisa telepon Mama, kenapa enggak telepon aku? batin Aurora, lagi-lagi pikirannya dipenuhi kecurigaan.
Dirga yang sedang RON di Jogja memanfaatkan waktu luangnya untuk nge-gym di hotel tempatnya menginap. Sejauh ini dia masih santai, tidak terlalu memikirkan Aurora. Pikiran Dirga selalu positif kepada Aurora. Dia percaya, Aurora bisa menjaga diri dan komitmen mereka.
Setelah Panji pulang, Aurora yang duduk di ruang tengah langsung mengintimidasi Vera.
"Mama punya hubungan apa sama Om Panji?"
"Kami berteman."
"Hanya itu?"
"Iya. Kenapa, Ra?"
"Aku enggak suka Mama mengkhianati Papa."
"Loh, siapa yang mengkhianati Papa sih, Ra? Emang Mama enggak boleh berteman sama Om Panji? Kami sudah lama tidak bertemu, Ra. Om Panji dulu waktu SMA sering Mama repotkan. Pulang pergi sekolah Mama bonceng dia."
"Iya, tapi apa maksudnya ke sini bawa martabak? Ikut makan malam sama kita? Mama sadar enggak sih, dia itu lagi PDKT sama Mama."
"Ah, masa sih? Kamu berlebihan, Ra. Kami sudah tua, enggak kepikiran hal begitu."
"Awas aja kalau Mama sampai nikah sama Om Panji. Aku enggak akan setuju! Dengan siapa pun! Pria mana pun! Aurora enggak suka, Ma! Mama harus setia sama Papa," ujar Aurora lalu menangis.
Kekesalannya karena memikirkan banyak hal, dia meluapkan amarahnya kepada Vera. Aurora langsung berlari ke kamarnya.
"Ra! Dengerin Mama dulu." Vera ingin mengejar, tetapi langkah Aurora lebih cepat.
Baru juga Vera sampai di tengah tangga, Aurora sudag menutup pintu kamarnya keras. Vera mengelus dada. Semarah itukah putrinya melihat dia dekat pria lain selain papanya?
#######
Aduuuh, biasanya restu terhalang orang tua, ini anak! Kasihaaaan Tante Vera.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top