Salah Paham
Sedari tadi Dirga fokus pada ponselnya, membuat Aurora kesal.
"Pagi-pagi udah bikin mood down," gerutu Aurora lirih lalu menyesap kopi susunya.
"Kenapa sih marah-marah terus? Lagi PMS kamu?" tanya Dirga lembut meskipun hanya melirik Aurora sebentar lalu dia lanjut mengetik sesuatu di ponselnya.
"Kamu ngajakin aku sarapan, malah sibuk sendiri," ujar Aurora sambil cemberut. "Mana aku belum mandi," lanjut dia bersungut-sungut.
"Salah siapa bangunnya siang?" sahut Dirga meletakkan ponselnya di meja lalu menegakkan duduknya dan mengambil jus alpukat yang dia pesan.
"Aku kan, cape."
"Cape nangis? Makanya jangan cengeng."
"Iiiih, kamu selalu gitu."
Pelayan restoran datang membawa pesanan mereka. Namun, Aurora tak langsung memakan sup ayam pesanannya. Dia hanya diam memerhatikan supnya.
"Kenapa?" tanya Dirga bingung melihat Aurora.
"Masih panas supnya," rajuk Aurora manja menatap Dirga memelas.
Dirga mengangkat mangkuk berisi sup tersebut, pelan-pelan dia meniup dan menyendokan kuah berserta isiannya lalu dijulurkan sendok tersebut ke depan mulut Aurora.
"Buka mulutnya," ujar Dirga seperti kakak yang sedang menyuapi adik kecilnya.
Tanpa ragu Aurora membuka mulut dan langsung melahap supnya. Dari jarak tak jauh, meja pojok restoran itu, sepasang mata sipit memerhatikan Aurora.
Senyum manisnya, wajah cantiknya, rambutnya yang panjang, tubuhnya yang langsing, kaki jenjang yang mulus tanpa ada cacat, sempurna, seperti model, batin orang itu terus memerhatikan Aurora.
Dia tak peduli dengan Dirga yang jelas sedang menyuapi Aurora. Fokusnya hanya kepada wanita itu.
"Udah, lanjutin sendiri." Dirga meletakkan mangkuk supnya di depan Aurora. "Udah enggak panas kok," lanjut Dirga lalu dia menyantap sarapannya.
Selesai sarapan, Dirga membayar ke kasir. Aurora terus membuntutinya. Pria yang sedari tadi memerhatikan Aurora semakin penasaran dengan gadis itu. Walhasil dia pun menguntit Aurora dan Dirga yang kembali ke kamar hotel mereka.
"Jadi, pramugari itu bisa dipakai?" gumam pria tadi berpikir bahwa Aurora adalah pramugari nakal yang bisa dipakai pilot atau co-pilot-nya.
Menjadi rahasia umum di kalangan mereka, jika ada pramugari yang memiliki pekerjaan sambilan memuaskan kru. Namun, tak semua pramugari dan pilot. Hanya saja mereka yang biasa hidup bebas tanpa pengawasan.
"Wah, jadi aku bisa memakainya," ucap lirih pria itu ketika melihat Aurora dan Dirga masuk di kamar yang sama. Senyum sinis dan seringai mesum tergambar jelas di wajahnya.
Ketika sampai di kamar, Aurora teringat sesuatu.
"Ga, Aku ke mini market sebentar, ya?"
"Mau ngapain? Kenapa enggak sekalian tadi?"
"Aku baru inget, stok pembalutku tinggal satu."
"Kamu lagi dapat?"
Sambil malu-malu dan memamerkan wajah polos, Aurora mengangguk.
"Ya sudah sana! Jangan lama-lama, nanti beresin bawaan kamu. Pukul sepuluh kita berangkat ke bandara."
"Iya," sahut Aurora lalu berjalan keluar.
Sambil menunggu, Dirga lebih dulu membereskan bawaannya. Tak lupa Dirga juga menyicil memasukan barang-barang Aurora ke kopernya.
Ketika berjalan santai di lorong hotel, tiba-tiba Aurora dikagetkan dengan munculnya pria tinggi dan gagah yang tak sengaja dia tabrak beberapa waktu lalu.
"Hai," sapa pria itu. "Kita ketemu lagi," ujar Yoga menyamakan langkahnya dengan Aurora.
"Hai," jawab Aurora singkat, dia mempercepat langkahnya.
"Mau ke mana?" tanya Yoga terus berusaha berjalan di samping Aurora.
"Ke bawah," jawab Aurora singkat, dia merasa tak nyaman diikuti Yoga. Aurora takut kalau Dirga marah jika melihatnya berjalan dengan pria lain.
"Boleh aku minta kontakmu?"
"Buat apa?" tanya Aurora buru-buru memencet angka 1 setelah masuk lift. Untung saja di lift itu ada dua orang. Jadi, perasaan Aurora sedikit lega.
"Cuma mau nambah teman aja," ujar Yoga memaksa.
"Aku enggak bawa HP. Lupa nomorku," alasan Aurora, memang dia lupa tak membawa ponsel. Namun, dia bohong jika lupa nomor teleponnya.
Sampai di lantai satu, kaki jenjangnya melangkah lebar. Berharap Yoga jengah mengikutinya. Namun, ternyata Yoga tak pantang menyerah, dia terus mendesak Aurora supaya memberikan nomor teleponnya. Sayangnya Aurora kukuh pada pendiriannya.
"Ya sudah, aku akan cari tahu sendiri dari teman-teman kamu," ujar Yoga tak pantang menyerah.
Aurora tak menggubris, dia menuju mini market, mengambil yang dia butuhkan lalu ke kasir.
"Jangan diterima, Mbak," ujar Aurora ketika Yoga ingin membayarkan belanjaannya. "Pakai ini saja." Aurora memberikan uang 50 ribu kepada kasir.
Setelah transaksi, mereka lalu keluar dan kembali ke hotel. Yoga masih mengikuti Aurora.
"Kamu satu kamar sama Dirga?" tanya Yoga saat mereka sampai lobi hotel.
"Iya, kenapa?" jawab Aurora sinis.
Yoga tersenyum miring. "Mending sama aku. Berapa sih dia ngasih uang kamu?"
"Sebulan gaji full dia kirim ke aku."
"Enggak mungkin. Dirga itu sejak kuliah terkenal pelit. Dia hidup hemat."
"Oh, jadi kalian pernah kuliah bareng, ya?" Aurora sedikit tertarik dengan obrolan mereka kali ini, tetapi ada yang ganjal dari ucapan Yoga.
"Iya. Dulu kami satu jurusan dan sempat sekelas. Aku enggak nyangka, ya, diem-diem Dirga ganas juga."
"Maksudnya?"
"Iya gitu! Sikapnya aja sok-sokan berwibawa, cuek, dan pendiam. Tahunya dia juga sering pakai pramugarinya."
Terdiam, Aurora malah kepikiran ternyata kecurigaannya benar, mengira Dirga selingkuh.
"Kamu tahu dari mana kalau dia seperti itu?"
"Nyatanya lo dipakai dia, kan? Udah, enggak usah malu. Kamu sebutin aja, berapa Dirga ngasih kamu semalam?"
Baru Aurora ngeh ternyata sedari tadi Yoga mengira dia cewek gampangan. Sampai di depan kamar, Aurora memasukan kartu ke pintu sambil berucap, "Maaf, ya, Kapten Yoga, saya bukan cewek yang seperti Anda pikirkan!"
"Halah, ini sudah menjadi rahasia umum. Enggak usah sok jual mahal."
Karena Aurora sudah membuka pintunya sedikit, Dirga yang mendengar suara pria di depan pintu lantas mendekat dan membukanya lebar. Ternyata Aurora sedang mengobrol dengan Yoga.
Melihat Dirga di depannya, Aurora langsung sok menunjukan kemesraanya dengan Dirga, padahal itu hanya untuk dipamerkan kepada Yoga.
"Sayang, aku udah selesai belanja. Kamu sudah selesai beres-berasnya belum?" tanya Aurora sambil memeluk perut berotot Dirga.
Namun, Dirga memasang wajah datar, dia menatap Yoga penuh tanda tanya.
"Ga, gue tawar dia, tapi sok jual mahal," ujar Yoga dengan senyum sombong.
"Maksud lo nawar apaan?" Darah Dirga langsung panas dan naik sampai ubun-ubun.
"Biasalah! Cewek kayak dia banyak, Ga. Biasanya habis dipakai pilotnya, boleh dong pilot maskapai lain juga pakai." Yoga terkekeh sambil melirik Aurora yang memasang wajah kesal.
Jika Dirga hajar Yoga, dia akan berurusan dengan pihak berwajib, bisa-bisa image-nya jatuh. Aurora tahu bahwa saat ini pasti Dirga sedang menahan amarahnya, sebenarnya ingin sekali Aurora menampar mulut Yoga, tetapi tak berani karena dia masih ingin bekerja, tak mau mencari masalah.
Dirga sengaja mengangkat tangan dan memainkan cincin pernikahannya yang terpasang di jari manis. Yoga mengerutkan dahi, bingung sejak kapan Dirga pakai cincin begitu.
"Yog, kita sudah kenal lama. Kita ngopi di bawah yuk! Sudah lama kita enggak ngobrol." Dirga menahan amarahnya, dia merangkul Yoga kasar. "Kamu masuk dulu, mandi, terus siap-siap. Barang-barang kamu sebagian sudah aku masukin. Seragamku nanti tolong siapin, ya? Digantung aja, biar enggak lusuh," pesan Dirga kepada Aurora, sengaja dia mencium kening Aurora di depan Yoga.
Seeeeer, darah Aurora berdesir, sejuk rasanya ketika bibir Dirga nempel di keningnya. Dirga pun mengajak Yoga pergi ke lantai bawah, sekadar ingin ngopi dengan Yoga.
"Kita sudah kenal lama, Yog. Selama ini, gue menjaga hubungan baik dengan siapa pun. Termasuk lo. Soal materi gue bisa sharing sama lo, tapi kalau istri, sorry, ya, Yog, gue harus benar-benar menjaga dia. Siapa pun mereka yang berani mengusik ketenangan istri gue, dia enggak akan nyaman menjalani hidupnya. Apalagi sampai nyentuhnya, dia akan dapat ganjaran setimpal."
Mendengar ucapan Dirga barusan mata Yoga melotot menoleh ke sampingnya. Dia sangat terkejut.
"Jadi ...."
Dengan senyum manis, Dirga mengangguk lalu berkata, "Makasih waktu itu lo udah nolongin istri gue. Sebagai gantinya, gue traktir lo ngopi hari ini."
Diam seribu bahasa, Yoga sangat malu kepada Dirga. Dia mengacak rambutnya dan mengusap wajah frustrasi.
"Ga, sorry banget, gue enggak tahu lo udah nikah. Sumpah, gue juga enggak tahu kalau Aurora istri lo." Yoga benar-benar merasa bersalah.
"Lo tahu gue, kan, Yog? Gue diem bukan berarti enggak tahu apa-apa. Gue cuma malas punya masalah, gue harap lo bisa mengerti, ya?" Dirga menepuk tiga kali bagi Yoga. "Gue mau siap-siap dulu, duluan, ya?" Lantas Dirga meninggalkan Yoga yang masih termenung.
Dalam hati Yoga mengerutuki kebodohannya. Dia melihat punggung Dirga yang keluar dari tempat itu setelah membayar kopi mereka.
"Goblok, goblok! Bisa-bisanyaaaaa ...." Yoga menggeleng sambil memukul kepalanya, dia sangat malu kepada Dirga.
Sampai kamar, Dirga melihat Aurora sedang merapikan rambut di depan cermin.
"Ra, besok sampai di Soekarno Hatta aku mau ketemuan sama seseorang di kafe bandara."
"Siapa? Cewek apa cowok?" tanya Aurora langsung menoleh Dirga.
"Cewek."
"Aku kenal?"
"Iya."
Setelah berucap Dirga lalu masuk ke kamar mandi. Aurora termenung, dia penasaran dengan orang yang akan Dirga temui besok.
"Ga, besok aku boleh ikut?" tanya Aurora sedikit mengeraskan suaranya.
"Enggak usah, biar aku temui sendiri."
Aurora sedih, tetapi dia tak memedulikan larangan Dirga.
"Pokoknya aku mau lihat, siapa cewek itu," gumam Aurora lirih. Dia tak mau suaminya digoda wanita lain.
Selesai mandi, Dirga keluar hanya dengan lilitan handuk di pinggangnya. Dadanya yang berotot telanjang, rambutnya setengah bahas, ketampanannya meningkat 100% saat seperti itu. Aurora terpaku di tempat, Dirga tampak seksi dan maskulin.
Dia melewati Aurora tak acuh yang berdiri di depan meja rias lalu mengambil kaus dalam, boxer, dan PDH-nya yang tadi Aurora sudah siapkan. Dirga mengganti baju di depan Aurora, tetapi karena malu, Aurora pura-pura sibuk membenarkan make up-nya. Setelah rapi dengan PDH, Dirga mendekati Aurora di depan cermin.
"Tolong rapiin rambutku dong," pinta Dirga mendekatkan kepalanya di depan Aurora.
"Kebiasaan deh, setiap mau berangkat suruh ngerapiin rambut," keluh Aurora sedikit kesal karena dia sudah rapi, tetapi harus menata rambut Dirga.
"Ayooolah, 100 ribu deh," bujuk Dirga dengan senyuman manis.
"Kalau di salon biasanya sih 200 ribu." Aurora berusaha menego sambil tersenyum penuh arti.
"Salon mana? Mahal amat. Cuma nata rambut aja kok."
"Salon Aurora," sahut Aurora lalu terkekeh. "Sini!" Aurora mendudukkan Dirga di depan meja rias.
Sudah menjadi candu Dirga saat mereka tugas bersama, Aurora menjadi penata rambut dan penampilannya sekarang. Ketika Aurora sibuk merapikan rambut Dirga menggunakan hairspray, dari cermin Dirga memerhatikan wajah serius istrinya.
"Ra, kita tinggal serumah yuk!"
"Belum bisa, Ga."
"Kenapa? Apa yang buat kamu keberatan?"
"Mmm ... kamu masih nyimpen barang-barang Lili di rumahmu?" Bukannya menjawab, Aurora malah bertanya hal lain.
Dirga diam, lagi-lagi dia kepikiran Lili. Entahlah, rasa bersalah itu belum bisa hilang sepenuhnya. Dirga takut, jika suatu hari nanti Lili datang menagih janjinya.
"Kok diem?" tanya Aurora sudah selesai menata rambut Dirga.
Lalu dia mengambil dasi Dirga dan memasangkannya. Dirga masih setia duduk, Aurora yang berdiri di depannya.
"Sudah selesai. Suamiku sudah ganteng, rapi, dan wangi. Siap menjemput rejeki," ujar Aurora merapikan dasi Dirga yang sedikit miring.
Ketika Aurora ingin melangkah, dengan cepat Dirga menarik tangannya hingga tubuh langsung itu jatuh di pangkuan Dirga. Debaran jantung Aurora tak keruan, apalagi saat ditatap Dirga lembut.
"Kamu cemburu kalau aku masih mengingat Lili?" tanya Dirga sangat halus.
Tanpa berucap Aurora hanya mengangguk.
"Berikan aku waktu, ya? Bantu aku."
Lagi-lagi Aurora hanya mengangguk.
"Maaf," ucap Dirga pertama kali Aurora mendengar langsung kata maaf dari bibir suaminya.
"Kenapa kamu minta maaf?" Aurora mengalungkan tangannya di tengkuk Dirga. Dia mengamati setiap inci wajah tampan itu dan berhenti di mata sayu Dirga.
"Bukan maksudku ingin mengkhianati kamu, tapi aku juga masih berusaha untuk menggeser Lili dari hatiku dan menggantikanmu di sana. Kamu mau bersabar, kan?"
"Boleh aku tanya sesuatu?" ujar Aurora sedikit takut.
"Tanya apa?"
"Apa kamu bisa mencintaiku?"
"Insyaallah bisa, tapi sabar dulu, ya? Aku masih berusaha."
Aurora berdiri diikuti Dirga. Mereka saling berhadapan. Aurora mengulurkan tangannya, membuat Dirga bingung. Namun, dia tetap menjabat tangan Aurora.
"Halo, Kapten. Izinkan aku mengetuk pintu hatimu," ujar Aurora dengan senyuman manis.
Senyumannya dibalas Dirga, tanpa membalas ucapan Aurora, Dirga langsung menariknya ke dalam pelukan. Dirga mencoba merasakan kehadiran Aurora ke dalam hidupnya. Dia peluk erat, dibalas Aurora yang merasa nyaman dalam pelukan itu.
"Izinkan aku masuk ke hatimu, Kapten," lanjut Aurora pelan saat memejamkan mata menyandarkan kepalanya di bahu Dirga.
"Dengan syarat," kata Dirga langsung Aurora menegakkan tubuhnya menatap wajah Dirga.
"Apa?" tanya Aurora lembut.
"Tinggalah bersamaku. Biar aku terbiasa bersamamu."
"Tap--"
Dirga langsung menutup mulut Aurora dengan tangannya.
"Boleh enggak aku cium kamu?" tanya Dirga menurunkan tangannya dari bibir Aurora.
"Enggak boleh."
"Kenapa?"
"Nanti lipstikku pindah ke bibirmu."
"Sedikit saja."
"Enggak boleh."
Dirga berdecak lalu melepas pelukannya, wajahnya tampak kecewa. Tak ingin mengecewakan suaminya, Aurora sengaja mencium kerah putih Dirga.
"Eh, kok dikotori sih," ujar Dirga terkejut. Dia melirik kerahnya, ada bekas merah meski tipis, tetapi membentuk bibir.
"Itu stempel yang menandakan kamu udah punya istri. Biar enggak ada yang berani deketin kamu."
"Tapi malu, Ra. Dipikir aku nanti habis ngamar sama jalang."
"Enggak! Percaya deh. Kalau ditanya, jawab aja, itu tanda cinta dari istri. Gitu!"
"Ck, kamu ini aneh-aneh aja."
"Kalau enggak distempel, nanti banyak cewek mengira kamu masih lajang."
"Enggak cukup cicin kawin kita?"
"Enggak! Soalnya pelakor sekarang lebih kejam dan enggak peduli ada mas kawin di jari. Makanya aku kasih stempel itu, biar pelakor takut mau deketin kamu."
"Pelakor mikir-mikir, Ra, kalau mau deketi aku."
"Kenapa?"
"Karena aku yang enggak mau didekati."
"Yang beneeeeer?" Aurora mengerling sambil tersenyum jahil, dia juga mencolek perut Dirga.
"Iyalah! Apalagi kamu posesif begini, mana ada yang berani deket."
"Kalau boleh niiii, jidat kamu mau aku tato."
"Hah!" Dirga mendelik, terkejut menatap Aurora.
"Aku mau tulis 'Suaminya Chelsea Aurora Wijaya' gitu. Kalau cuma di buku nikah, pelakor enggak tahu."
"Ih, ternyata kamu posesif juga, ya? Persis Lili," ucap Dirga tak sengaja membuyarkan senyum Aurora.
Menyadari perubahan wajah Aurora, langsung Dirga mengatupkan mulutnya rapat. Lantas Aurora sok menyibukkan diri merapikan alat make up-nya. Dari belakang Dirga memeluk Aurora.
"Maafin, ya?" kata Dirga merasa bersalah.
Namun, Aurora hanya diam. Sejenak mereka di posisi seperti itu. Dirga memeluk Aurora dari belakang.
#####
Aaaaaah, meltiiiiiing. Tapi kok gitu siiiih? Hahahahaha
Maaf, yaaa? Kalau aku lagi sibuk, update-nya enggak bisa tiap hari.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top