Rosita Membujuk

Samsul dan Rosita tak membiarkan Aurora tinggal di rumah sendiri selama Vera masih dirawat.

"Ma, apa kata tetangga kalau Aurora tinggal di rumahku?" bantah Dirga dengan suara pelan saat mereka berdiskusi di depan ruang rawat Vera.

"Terus kamu tega biarin Aurora tinggal sendiri?" sahut Rosita dengan tatapan tajam. "Kalau anak buah bajingan itu datang lagi gimana? Kamu enggak mikir!" omel Rosita menunjuk-nunjuk kapalnya sendiri.

"Ma, kan bisa kita minta tolong Om Ahmad, buat nurunin anak buahnya biar bantu jagain rumah Tante Vera."

"Kamu pikir itu gratis! Kamu pikir itu murah!" sahut Rosita cepat.

"Sudah, Ma. Sabar." Samsul mengelus punggung Rosita agar istrinya bisa mengendalikan emosinya. "Ayo kita masuk, enggak enak sama Vera," ajak Samsul merangkul Rosita.

"Egois kamu, Ga!" sungut Rosita sebelum meninggalkan Dirga.

"Udah, Ma," ujar Samsul menenangkan Rosita.

Dirga menghela napas dalam, dia galau. Sebenarnya dia juga mencemaskan keadaan Aurora, tetapi kalau membawa Aurora tinggal di rumahnya, itu bukan ide bagus.

Samsul menepuk bahu Dirga lalu mengajaknya masuk ke ruang rawat Vera. Rosita melihat Aurora tidur meringkuk di sofa. Dia mengisyaratkan dengan dagunya agar Dirga mengurus Aurora. Dengan lemas Dirga mendekati Aurora, dia melepas jaketnya lalu diselimutkan pada tubuh Aurora.

"Ros, kamu dari kemarin di sini. Enggak cape nungguin aku?" tanya Vera setelah Rosita duduk di samping tempatnya berbaring.

"Enggak, Ver. Kamu tenang saja." Rosita mengelus lengan Vera lembut.

"Ma, biar aku yang jagain Tante Vera sama Aurora di sini. Mama sama Papa pulang aja dulu, istirahat di rumah. Besok pagi baru ke sini lagi, soalnya siang aku dinas," ujar Dirga kasihan melihat wajah letih mamanya.

Padahal dia sendiri lelah, sejak kemarin belum istihatan tenang dan tidur pun tidak nyenyak.

"Kamu yakin bisa sendiri?" tanya Samsul.

"Iya, Pa. Ajak Mama istirahat di rumah dulu biar besok bisa jagain Tante Vera lagi."

"Ya sudah kalau gitu," sahut Samsul. "Ayo, Ma, kita pulang dulu," ajak Samsul mengusap bahu Rosita yang duduk di sampingnya.

"Ver, kamu enggak apa-apa Aku tinggal?" Rosita berat hati saat ingin meninggalkan Vera yang masih lemah.

"Enggak apa-apa, Ros. Bener kata Dirga, kamu istirahat di rumah dulu. Nanti kalau kamu kecapean malah ikut sakit, jadi repot, kan?" ujar Vera dengan senyum simpul di bibirnya yang pucat.

"Iya deh kalau gitu. Aku pulang dulu, besok pagi aku ke sini lagi," kata Rosita beranjak dari tempat duduknya. "Ga, kalau ada apa-apa hubungi Mama, ya?" pesan Rosita seraya mengambil tasnya yang berada di meja kaca depan sofa tempat Aurora meringkuk.

"Iya, Ma. Tenang saja, aku bisa jagain mereka," ucap Dirga berusaha meyakinkan.

"Ya sudah kalau begitu kami pulang dulu. Assalamualaikum," ucap Samsul berjalan lebih dulu diikuti Rosita.

Selepas kepergian Rosita dan Samsul, Dirga duduk di samping tempat berbaring Vera. Beberapa saat keadaan hening, sampai Vera memecah keheningan dengan obrolan kecil.

"Ga, kamu tahu? Sebenarnya Tante kurang setuju Aurora jadi pramugari."

Kali ini Dirga sependapat dengan calon mertuanya itu. Namun, dia tidak langsung mengatakan kepada Vera.

"Kenapa, Tan?" tanya Dirga ingin mengetahui alasannya.

"Tante cuma khawatir aja, Ga. Tante takut terjadi sesuatu sama Aurora. Godaannya banyak, bukan cuma soal kehidupan yang bergengsi tinggi, tapi juga pria hidung belang. Apalagi, kan, kamu tahu sendiri, Tante di rumah sendiri. Pengin gitu, ada Aurora setiap hari yang menemani, Ga. Tapi, anaknya kalau dibilangin bantah, keras kepala."

"Sabar dulu, Tante. Nanti coba Dirga bicarain pelan-pelan sama dia, ya?" Dirga mengelus lengan Vera sambil tersenyum tipis.

"Makasih, ya, Ga."

"Sekarang Tante istirahat." Dirga membenarkan selimut Vera sebatas perut.

Hati Vera tersentuh dengan sikap simpel itu. Dia semakin yakin bahwa Dirga orang yang baik dan pantas untuk Aurora. Dengan perasaan tenang, Vera memejamkan mata.

Dirga mendekati Aurora yang masih tidur di sofa. Perlahan dia menyibak rambut Aurora yang menutupi wajahnya. Dirga lalu mengambil air hangat di gayung dan handuk kecil. Dia duduk di lantai depan sofa yang ditiduri Aurora.

Sangat pelan dan hati-hati, takut Aurora terbangun, Dirga mengompres bagian wajahnya yang lebam. Dia juga mengobati sudut bibir Aurora yang luka. Rasanya belum lega hati Dirga sebelum dia membalas perbuatan Faruq yang dilakukan kepada Aurora. Setidaknya biar impas, Dirga ingin sekali memukul wajah Faruq sampai babak belur.

Sayangnya saat ini Faruq sedang diproses secara hukum. Semoga saja kekuasaan dia tidak melemahkan hukum di negara ini. Namun, dalam hati Dirga yakin, pasti suatu saat dia akan kembali mengganggu Aurora.

Selesai mengobati sudut bibir Aurora, Dirga merapikan lagi semua alat yang dia gunakan. Lalu dia duduk di samping tempat tidur Vera. Karena kantuknya yang tak tertahan, Dirga meletakkan kepalanya di samping tubuh Vera. Tak butuh waktu lama, Dirga terlelap.

Tengah malam Aurora terbangun. Dia merasa tidak kedinginan padahal di ruang itu ber-AC. Saat ingin bangun, dia melihat sesuatu menutupi tubuhnya. Aurora menajamkan pandangannya, itu jaket Dirga.

Lantas Aurora bangun, dia mendekati tempat berbaring Vera. Melihat Dirga setia menjaga Vera, perasaan Aurora tersentuh.

Biarpun lo cuek dan dingin, ternyata lo penyayang, Ga. Terutama sama keluarga. Makasih, ya, Ga. Aurora hanya bisa membatin sambil tersenyum melihat wajah Dirga yang tampak lelah.

Perut Aurora keroncongan, dia sangat lapar. Ingin keluar, takut. Akhirnya dia mencari sesuatu yang bisa dimakan. Aurora perlahan membuka laci nakas yang berada di samping tempat tidur Vera.

Dirga sayup-sayup mendengar suara plastik. Segera dia membuka mata. Dirga melihat Aurora mencari sesuatu di laci.

"Cari apa?"

Sedetik itu juga tubuh Aurora menegang, dia sangat terkejut. Dengan cepat Aurora menoleh ke belakang, melihat Dirga sudah duduk tegap sambil bersedekap.

"Lo kok bangun sih?" tanya Aurora menemukan roti lalu kembali duduk ke sofa.

"Lo berisik," jawab Dirga setengah berbisik.

Mereka bicara dengan volume suara kecil supaya tidak mengganggu Vera.

"Ga, gue laper," ujar Aurora memperlihatkan sifat manjanya. Dia tak selera makan roti.

"Ck, makan itu aja."

"Ish, tega banget sih lo!" kesal Aurora dengan bibir cemberut.

Meskipun begitu, Dirga tetap memesankan makan untuk Aurora lewat online. Dirga tidak akan mungkin meninggalkan dua wanita di ruangan itu.

Terlihat Aurora tak selera memakan roti itu lalu Dirga mendekat dan duduk di sebelahnya.

"Ra, gue boleh tanya sesuatu sama lo? Tolong jawab jujur."

"Tanya aja," sahut Aurora cuek karena masih sebal dengan Dirga yang tak mau membelikannya makan.

"Sebenarnya lo itu kenapa sih bisa tertarik jadi pramugari?"

"Suka aja, dilihat tuh elegan pekerjaannya. Bisa jalan-jalan gratis, tahu tempat-tempat baru."

"Berarti lo egois."

"Kok bisa gitu sih?"

"Iya, lo mikirin diri lo sendiri. Enggak mikirin Tante Vera."

"Ga, jadi pramugari cita-cita gue sejak kecil. Selama gue di Dubai, setiap daftar selalu ditolak karena banyak alasan."

"Terus kenapa lo bisa masuk di sini? Padahal usia maksimal 25 tahun. Syarat itu jelas lo enggak masuk, Ra."

"Gue enggak tahu soal itu, Ga. Tapi, gue masuk dibantu sama saudaranya Desti."

"Siapa Desti?"

"Temen gue, pramugari juga di Rajawali."

"Terus saudaranya bagian apa di kantor?"

"SDM pusat."

"Siapa namanya?"

"Pak Aryo."

"Besok gue nemui dia."

"Loh, kenapa?"

"Minta dia ngeluarin lo."

"Ih, lo kok jahat sih? Apa salah gue coba?"

"Salah lo masuk pramugari dan menelantarkan ibu kandung."

"Kapan gue nelantarin Mama?"

"Setiap hari saat lo dinas. Lo enggak kasihan Tante Vera di rumah sendiri. Apalagi habis kejadian ini, pasti dia tidak tenang, Ra."

"Tapi, Ga, gue enggak akan berhenti gitu aja dari pekerjaan ini. Gue enggak mau ah, nyia-nyiain kesempatan ini."

"Terus lo mau gimana sekarang? Emang lo tahu jadwal dinas lo? HP aja enggak punya. Mana dompet lo?"

Aurora berhenti mengunyah, dia menghela napas dalam. Selera makannya hilang. Dia meletakkan roti yang baru dimakan sedikit itu ke meja.

"Enggak tahu ah, Ga. Gue pusing," ucap Aurora dengan suara parau.

"Makanya, Ra, kalau melakukan sesuatu itu dipikir panjang. Jangan asal, dasar Sumbu Pendek," ujar Dirga ketus lalu dia melihat ponselnya yang berdering.

"Lo tunggu di sini dulu, bentar." Saat Dirga ingin pergi, dengan cepat Aurora menahan tangannya.

"Lo mau ke mana? Jangan pergi-pergi, gue takut." Tatapan Aurora mengiba, Dirga menjadi tak tega.

Tanpa berucap dengan Aurora, Dirga menelepon ojol yang mengantar pesanannya.

"Bang, tolong antar ke bangsal flamboyan satu. Kamar nomor dua, ya?" ujar Dirga melalui telepon.

Setelah itu dia kembali duduk, menunggu ojol sampai.

"Lo nyuruh siapa ke sini?" tanya Aurora masih memegangi lengan Dirga supaya orang itu tidak pergi.

"Anak buah Faruq," jawab Dirga asal.

"Ih!" Aurora memukul kencang lengan Dirga.

"Aw, sakit," rintih Dirga merasa benar-benar sakit. "Tangan lo kecil tapi nyakitin," ujar Dirga mengelus lengannya.

"Bercanda lo enggak lucu!" sungut Aurora dengan wajah kesal.

"Emang gue bukan pelawak."

"Itu baru tangan gue, belum ada apa-apanya. Hati gue juga bisa nyakitin lo," celetuk Aurora tanpa pikir panjang.

Langsung Dirga menolehnya, mengangkat satu alis.

"Lo ngomong apaan sih?"

"Mmm ... mmm ...." Aurora bingung, dia juga tak sadar bicara seperti itu.

Ponsel Dirga kembali berdering, lalu dia mengangkatnya.

"Saya sudah di depan pintu, Mas," kata ojol melalui sambungan telepon.

"Oke."

Saat Dirga beranjak ingin mengambil makanan, Aurora memikirkan ucapannya tadi. Sampai Dirga kembali duduk di sampingnya, Aurora masih melamun.

"Kalau ada niat nyakitin hati gue, tunggu, buat gue jatuh cinta dulu sama lo. Baru lo akan berhasil bikin gue sakit hati," ujar Dirga sambil mengeluarkan kotak makanan ke meja.

Aurora menatap wajah Dirga bersalah. Gara-gara ucapannya yang asal, bikin Dirga salah paham. Ceroboh!

"Cepet makan," ucap Dirga setelah membukakan kotak nasi goreng untuk Aurora dan menyiapkan sendoknya.

"Lo enggak makan?" tanya Aurora karena hanya ada satu nasi goreng.

"Gue enggak laper. Tadi sudah makan sama Papa, Mama di kantin. Udah, makan aja."

Aurora memangku kotak nasinya, dia makan sangat lahap. Sambil menunggu Aurora makan, Dirga melihat ponselnya. Tak sengaja dari ekor matanya, Aurora melihat wallpaper ponsel Dirga. Wanita cantik, yang wajahnya sama dengan yang di IG saat itu.

"Ga, gue boleh tanya?"

"Tanya apa?" sahut Dirga tanpa menoleh, dia sedang melihat Instagram-nya.

"Soal ... Lili ...."

#######

Nah, kaaan? Dasar, Sumbu Pendek! Ceplas-ceplos enggak mikir panjang.

Maaf, ya, baru sempat upload.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top